Sunday, January 31, 2010

31 Januari 2010: Instan

Inilah drama realitas yang sesungguhnya di luar gemerlapnya acara kontak jodoh yang sekarang sedang populer-populernya. Dengan satu orang dipajang dan sederetan calon pendamping yang harus dipilih dalam waktu satu atau dua jam, si merak harus menentukan pilihannya. Dan ketika "jodoh" ditemukan, kita semua mengira bahwa akhir cerita dongeng ini adalah bahagia sepanjang hayat...

Kenyataan berbicara jauh dari itu. Reality show ini digarap setengah sinetron, dengan sebagian memang mencari jodoh, dan sebagian lagi mencari popularitas dan uang. Yang sial adalah bila yang serius bertemu yang sebelahnya lagi. Itulah yang terjadi dengan salah satu pesertanya. Hari ini dia menceritakan kepada saya bagaimana harapan yang diletakkan dalam waktu beberapa jam itu kemudian menjadi malu yang terbesar seumur hidupnya karena sang pasangan ternyata tidak benar benar mencari pasangan sebab sudah punya pacar, dan ikut acara itu untuk uang dan popularitas. Akhirnya pertalian yang dijalin instan itu, rontok dalam hitungan bulan.

Apa sih yang bisa diharapkan dengan pertemuan pertama yang harus menjadi penentu pilihan seumur hidup? Ketika berjumpa, tentu penilaian luar yang diandalkan: fisik dan gerak gerik. Namun semua itu sama sekali tidak menggambarkan sejarah panjang ke dua belah pihak, baik yang hitam maupun yang putih. Pilih memilih instan itu sama sekali tidak menunjukkan keadaan yang sebenarnya dari peserta, termasuk motif di balik kemunculannya di panggung arena.

Saya jadi tercenung. Bagaimana kita bisa menaruh harapan pada suatu hal yang dikemas menjadi sebuah tontonan penuh drama dan intrik demi tingginya rating? Tentu semuanya semu, tapi toh masih saja ada yang menaruh harapan penuh, siapa tahu bisa mendapatkan yang diharapkan. Jodoh kan tak akan lari ke mana? Namun itu lah yang dipermasalahkan kakak kelas saya beberapa hari yang lalu. Saat saya bercerita tentang apa yang saya alami, dia langsung bertanya: ketemu di mana?

Ternyata bertemu di mana itu, punya peranan yang cukup besar dalam menentukan apakah arah sebuah perkenalan itu masuk kategori benar atau tidak benar. Saya mencoba memasukkan kasus di atas ke dalam rumus ini, dan ternyata klop. Ketemunya di sebuah drama, ya hasilnya drama juga. Bermulanya instan, ya kemungkinan akhirnya instan juga.

Ada sisi lain lagi yang tidak tergambar dari acara yang menyedot jutaan pemirsa itu. Angka jutaan itu menjadi magnet bagi sebagian orang untuk mendaftar demi popularitas. Ada yang berharap bahwa ditonton jutaan mata sama dengan terkenal, dan kalau sudah dikenal kemungkinan ia menangkap perhatian produser dan sutradara sinetron akan terbuka lebar. Kalau pun itu tak dapat, hitung hitung lumayan dapat honor yang lumayan besar. Kejadian ini mengkonfirmasikan serangkaian kejadian yang saya jumpai dari awal tahun ini bahwa hidup ini begitu sulitnya, sampai berbagai cara pun dicoba ditempuh. Jalur yang ditempuh di atas masih cukup sopan dan wajar. Jalur ekspres lainnya adalah memanfaatkan (atau dimanfaatkan!) peluang. Kadang ada mata yang memang menangkap peluang seseorang yang sekelebat keluar di televisi untuk diangkat menjadi bintang yang lebih bersinar. Namun mata itu juga melihat peluang untuk memanfaatkan peluang sang calon bintang itu bagi kenikmatan pribadinya. Kalau kurang jelas, kalimat di atas alias menawari sebuah peran (yang belum tentu besar) dengan syarat harus tidur dengan sutradara atau produsernya. Dan percaya atau tidak, banyak sekali yang rela melakukannya. Bahkan, bukan cuma rela, namun menyodorkan diri untuk itu.

Saya jadi berkesimpulan, bahwa di balik suatu kejadian instan, tersimpan berjuta peluang masalah yang siap terbeber begitu ke-instan-annya lenyap. Dan yang namanya instan, maka sebagian besar hasilnya juga akan menguap cepat juga. Coba sebut jebolan ajang cari bakat tarik suara yang sampai saat ini masih dikenal. Cuma segelintir, bahkan tak jarang juara pertamanya justru tertelan bumi lebih cepat lagi. Berapa banyak mantan ratu kecantikan atau duta provinsi yang masih eksis. Berapa banyak generasi ke sekian konglomerat yang akhirnya menyerahkan kekayaannya pada orang lain karena semua didapatnya dari warisan nenek moyang yang keringatnya sudah kering tak berbekas. Juga para koruptor yang maunya instan dapat uang dan jabatan yang berlimpah, namun berakhir di balik jeruji.

Lalu saya mencoba untuk mereview hidup saya lagi. Untuk mendapat gelar sarjana saya butuh waktu 18 tahun merangkak dari taman kanak kanak hingga perguruan tinggi. Untuk mencapai posisi sekarang, saya menghabiskan waktu 22 tahun, mulai dari seorang pelamar hingga jadi seorang business partner. Saat ini, saya rela menunggu sebuah televisi datar terjun bebas harganya untuk menggantikan televisi kaca cembung di ruang kerja di rumah. Kalau saya rela dan mau menjalani tahapan yang tidak sederhana dalam kehidupan kerja dan keseharian, mengapa saya jadi orang yang tidak sabar dan ingin instan ketika bertemu seseorang yang memikat hati saya? Katanya kalau jodoh takkan ke mana? Mestinya saya juga melakukan apa yang terjadi dalam karir dan kehidupan belajar saya. Toh dalam 18 tahun saya belajar, tak ada yang mengatakan saya gagal. Saya malah lulus summa cumlaude. Dan dalam 22 tahun perjalanan berliku karir saya, tak ada yang mengatakan saya gagal, atau kurang cepat. Dan saya menikmati setiap tahapan yang terjadi, mulai dari seorang manajemen trainee, kemudian memiliki kemampuan di sisi agency, pindah ke sisi klien, kemudian balik lagi ke sisi agency, lalu beralih ke sisi klien dan kini menjadi partner di sebuah konsultan. Ping pong posisi ini membuat saya menjadi pribadi yang utuh sebagai seorang konsultan. Terasah ketajamannya di bidang konsultasi, namun juga memiliki empati di sisi klien, karena saya sudah merasakan di dua posisi tersebut. Jadi, kalau saya cerna lagi, mestinya saya juga menerapkan prinsip ini dalam kehidupan cinta saya. Kalau toh memang jodoh saya, maka tak apa untuk menjalaninya setahap demi setahap, dimana di setiap tahapan kita jadi lebih mengerti tentang pasangan kita. Selama ini, untuk soal asmara, saya inginnya instan saja: begitu jatuh cinta, langsung mengutarakan, diterima, dan bersatu. Ternyata yang begini ini justru menimbulkan masalah besar.

Saya jadi ingat, suatu saat sebelum kembali ke Jakarta, keponakan saya Ika menunjukkan sebuah cupu, yang ketika dibuka berisi lipatan kertas. Isinya adalah beberapa kriteria yang ingin diperolehnya dari seorang suami idealnya. Waktu itu Ika baru putus dengan pacar terdahulunya. Dia bilang dengan menuliskan kriteria yang terpenting yang harus dimiliki pasangannya, ia jadi punya patokan untuk menilai dan men-test apakah seseorang layak masuk dalam kategori calon suaminya. Dan ketika syarat itu terpenuhi, barulah ia berani melangkah. Kini ia hidup bahagia dengan suami yang memenuhi kriterianya, dan seorang putri yang membuat semua orang jatuh cinta. Rasanya saya harus belajar dari dia, menulis kriteria pasangan saya, dan mulai mencocokkan kriteria yang saya tulis itu dengan karakter orang yang saya sukai. Dan itu bukan hal yang bisa dilakukan dalam sehari. Butuh beberapa bulan, bahkan tahun untuk mencentang masing masing kriteria hingga keseluruhannya sudah diperiksa dengan benar dan tepat.

Hari ini saya belajar untuk tidak lagi mencoba mendapatkan apa pun dalam hidup ini melalui jalan instan. Kalau selama ini saya sudah menerapkannya untuk hidup dan kerja saya, maka kini giliran saya menerapkannya untuk hubungan pribadi saya...

Saturday, January 30, 2010

30 Januari 2009 : Ora et Labora

Saya punya kelompok pendalaman iman yang unik. Anggotanya terdiri dari orang orang yang biasa tampil di majalah-majalah sosialite dan kalau kumpul kacaunya setengah mati. Maksudnya, tertawa melulu. Kelompok ini tadinya dibentuk untuk melakukan sharing dan mengasah hati kita agar lebih peka atas karunia Allah, namun dalam perjalanannya, kelompok ini mungkin sudah agak mati akal, sehingga perlu bantuan orang yang lebih ahli dalam membimbing iman kami. Kami secara rutin mengadakan pertemuan dua minggu sekali, dan untuk kali ini diundanglah seorang pendeta.

Saya sendiri termasuk satu dari empat pendiri kelompok pendalaman iman ini, namun karena naik turunnya kehidupan pribadi, sudah hampir tiga tahun saya absen. Hari ini, adalah yang kedua kali saya datang setelah "cuti" panjang, sehingga teman saya yang cantik berteriak,"Lawrence Tjandra is Back, and I hope it's for good!" Teriakan ini disambut dengan suka cita oleh teman yang lain. Dalam hati, saya terharu atas perhatian dan kasih mereka.

Membawakan firman pada kelompok unik ini bukan hal yang mudah. Beberapa kali sang pendeta mati gaya karena celetukan dan komentar-komentar nakal teman-teman. Kali ini, yang dibahas adalah bagaimana naik ke tingkat yang lebih tinggi alias next level. Terus terang, kalau soal yang satu ini, sampai saat ini, apa yang dikotbahkan sang pendeta belum masuk di otak saya. Mungkin karena ilmu saya masih cetek, dan bolos lama pula, sehingga "ndak mudeng". Namun ada dua hal yang langsung menancap. Yang pertama adalah, tak peduli siapa kita, yang penting kita jaga hati kita. Kalau hati kita baik dan bersih, tak usah peduli omongan orang, karena orang toh akan bicara seenaknya menurut pandangan mereka. Kata Pak Pendeta, orang akan bicara, karena mereka punya mulut.

Yang ke dua, lebih menancap di otak. Pak Pendeta berpesan agar kita tak henti-hentinya berdoa. Mau telepon, tumpangkan tangan kita di atas telepon, agar pembicaraan kita diberkati. Mau nulis di notebook, tumpangkan tangan kita di atas notebook. Teman saya bahkan bilang, kalau perlu, tumpangkan tangan kita di atas contact list, agar apa yang kita bicarakan dengan mereka jadi terberkati.

Saya jadi ingat ocehan Samuel Mulia yang kali ini berhalangan hadir. Dia pernah mengingatkan saya, bahwa kata "Ora et Labora" itu tidak sembarangan ditulis. Artinya, berdoa dan bekerja, bukan sebaliknya. Yang terjadi selama ini dengan kita adalah fakta sebaliknya. Kita kerja mati-matian, dan kalau menemukan jalan buntu, baru berdoa mati-matian. Bagaimana bisa diberkati, kalau sebelumnya tak minta. Di atas meja kerja kakak saya tertera, "Be part of the solution, not the problem." Maka kalau doa kita di belakang setelah semuanya runyam, kita ini part of the problem, bukan the solution. Setelah semuanya hancur berantakan, kita berdoa agar Tuhan sudi membereskannya.

Maka yang benar adalah berdoa dulu, mohon berkat dan petunjuk, baru berkarya sebaik mungkin, sambil memasrahkan diri diarahkan oleh Allah. Artinya, kalau dalam bekerja kita disuruh belok kiri, ya ikuti belok kiri.

Saya sendiri sudah memraktekan apa yang dipesankan Pak Pendeta, namun hanya untuk hal-hal yang besar. Ada dua hal yang ajaib yang terjadi, yang bisa saya bagikan. Yang pertama adalah ketika perusahaan kami diminta untuk menangani acara peresmian pengiriman gas pertama dari Indonesia ke Malaysia. Waktu itu Presidennya adalah Ibu Megawati Soekarnoputri dan Perdana Menterinya adalah Mahatir Mohammad. Acara yang tadinya direncanakan di Jakarta, tiba-tiba dipindahkan ke Istana Tampaksiring, Bali seminggu sebelum hari-H. Istana Tampaksiring adalah istana peristirahatan sehingga tidak memiliki fasilitas untuk sebuah kegiatan formal yang berkapasitas 300 orang. Maka, oleh pihak istana kami diizinkan untuk membuat tenda acara di halaman istana yang asri. Karena Presiden meminta diadakan telewicara antara Bali, Sumatra dan Malaysia, kami harus memasang tv-wall, rangkaian pesawat televisi yang dijadikan satu sebagai backdrop. Waktu itu, teknologi tv-wall belum secanggih sekarang, sehingga pantulan cahaya matahari menghilangkan gambar yang tertera di televisi. Untuk keamanan Presiden dan Tamu Negara, kami dilarang untuk menutup seluruh tenda, sehingga tenda acara harus dibiarkan tetap terbuka. Tak ada jalan selain mengikuti prosedur yang berlaku. Dan semua kru cemas, kalau cuaca benderang, acara telewicara bisa gagal total karena tak terlihat gambarnya.

Selama lima hari, yang saya lakukan adalah komat kamit berdoa dalam hati kepada Tuhan. Yang saya minta bukan soal terangnya gambar, tapi mohon agar negara dan bangsa kita tidak dipermalukan. Pada hari upacara, langit terang benderang dan kru kami sudah pasrah dan berputus asa. Herannya, saya malah tenang saja. Saya yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik buat kita. Kalau pun terang benderang dan gambar tak tampak, ya itu adalah kemauan Tuhan, dan kita harus bisa memetik hikmahnya. Karena acara yang sebelumnya terlambat dimulai, maka mundur pulalah pelaksanaan upacara pengiriman gas ini, yang tadinya jam 10:00 menjadi jam 10:30. Lalu perubahan yang menakjubkan terjadi. Sekitar jam 10:00 lebih, cuaca mulai berawan, dan ketika acara berlangsung, awan gelap menutupi area istana, sehingga acara telewicara berjalan dengan sangat lancar, dan gambar di televisi terlihat sangat jelas. Karena acaranya mundur, maka akhirnya juga mundur, dan baru selesai jam 12:00, tepat ketika Perdana Menteri Thailand Thaksin hadir untuk santap siang bersama dan dilanjutkan dengan pembicaraan tertutup ketiga kepala negara. Yang menakjubkan lagi, awan gelap itu berangsur angsur sirna sehingga di saat hidangan santap siang disajikan, langit kembali terang benderang. Saya langsung berdoa mengucap syukur atas anugerah dan mukjijat Tuhan.

Satu lagi. Tanggal 1 Juni diperingati Hari Susu Sedunia. Sebuah acara besar dipersiapkan di Bundaran HI dengan melibatkan anak SD untuk membagikan paket informasi dan susu gratis kepada pengendara yang melintasi HI. Bahkan sebuah SD sudah mempersiapkan drumband anak-anak untuk memeriahkan acara ini, tepat di lingkaran Bundaran. Karena acara ini melibatkan begitu banyak unsur, termasuk belasan artis yang mendukung gerakan minum susu, saya berdoa lagi, mohon kelancaran acara.

Acara dimulai jam 15:00 dengan sebuah konferensi pers. Jumlah wartawan yang datang mencapai 80 orang, dan artis serta narasumber sudah hadir semua di sana. Kira-kira jam 15:20, langit berubah menjadi gelap, dan di tengah musim kemarau, terjadi hujan yang sangat lebat. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang mengganggu, di lantai bawah. Saya yang bertindak sebagai moderator, lambat laun menyadari, bahwa suara gemuruh itu berasal dari anak anak SD yang berteduh. Hujan tak kunjung reda, kami memutuskan agar memulangkan anak-anak SD. Sedang para tamu, tidak dapat ke mana-mana, terjebak di dalam ruang konferensi pers. Karena punya waktu luang banyak, dan narasumber tidak ke mana mana, maka wartawan jadi bertanya lebih jauh mengenai seputar manfaat susu bagi kesehatan. Hasil liputannya luar biasa banyak dan mendalam hingga berbulan-bulan kemudian, dan diulas dari berbagai angle.

Hujan baru reda jam 17:30. Karena harus mengambil gambar, kru televisi dan wartawan foto membujuk selebriti kita untuk membagikan paket informasi ke sejumlah pengendara di depan hotel Nikko. Saat membagikan, dan saking bersemangatnya, seorang selebriti remaja sudah lupa kalau ia berada di jalan utama yang pengemudinya sering ngebut. Untung dia didampingi polisi sehingga pengemudi jadi lebih takut dan berhati-hati. Seketika itu juga saya disadarkan dan mengucap syukur kepada Tuhan atas hujan yang diguyurkanNya. Itu baru satu orang selebriti muda, coba kalau ratusan anak SD mengerubuti bundaran ikon ibu kota negara ini. Saya membayangkan bisa saja ada korban tertabrak. Kalau itu terjadi, maka headline esok pagi bukan soal manfaat susu, tapi tertabraknya anak SD yang membagikan susu gratis. Allah Mahabesar.

Kedua peristiwa di atas memang peristiwa besar. Yang belum saya lakukan adalah berdoa mengawali setiap tindakan kecil. Saya lalu memperhatikan bahwa supir saya mengucapkan Bismillah sebelum menginjak pedal memulai perjalanan. Bismillah dan Alhamdulillah saat akan menyantap makanan. Bismillah saat akan melakukan sebuah kegiatan. Saya? Makan saja, doa lewaaaat... kalau ditegur, saya selalu bilang bahwa "Ah, Tuhan sudah tahu kok kalau saya bersyukur..."

Maka hari ini saya diingatkan untuk mulai memulai setiap tindakan dengan doa mohon berkat dan berkahNya....

Friday, January 29, 2010

29 Januari 2010 : Telanjang

Paling tidak setahun sekali, saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke sebuah panti atau yayasan sosial. Tujuannya, selain sebagai "my give back time", juga untuk mengasah hati, wawasan dan agar saya tetap memijak pada bumi tercinta ini. Saya pernah mendatangi panti asuhan, panti wreda, bahkan berkenalan dengan panti asuhan cacat ganda, atau tempat suster-suster merawat dengan penuh kasih sayang mereka yang terkena penyakit lepra. Juga pernah berbincang dengan penderita HIV/AIDS. Dan bersama teman-teman terjun langsung dalam membantu korban banjir beberapa waktu lalu. Kalau Anda pikir apa yang kami lakukan adalah untuk membantu mereka yang kurang beruntung, maka yang sebenarnya terjadi justru mereka lah yang membantu kami lebih mengerti mengenai misteri kehidupan dan menjadi manusia yang tidak cepat berprasangka dan menghakimi. Mereka juga lah yang menjaga kami tetap jejak di bumi pertiwi ini. Hidup dalam kenyataan yang sesungguhnya, bukan dalam kenyataan sehari hari saya yang bergelimang pekerjaan dan dikelilingi oleh event ini dan itu...

Setiap tahunnya, saya tidak pernah menentukan mau ke mana. Saya menyerahkan kepada Tuhan untuk memimpin langkah. Maka, ketika tahun lalu saya sedang buntu akal mau ke mana, tiba-tiba ada seorang rekan kerja yang memperkenalkan saya pada sebuah panti asuhan yang membutuhkan dukungan. Karena jadwal akhir tahun saya sudah terisi penuh, maka niat itu baru terwujud siang ini. Bersama dua rekan kerja, kami menyelinap meninggalkan kesibukan kerja di jam rehat siang menuju ke Panti Asuhan Tanjung Barat, sebuah badan sosial di bawah naungan Gereja Kristen Pasundan.

Panti asuhan ini sebenarnya sudah berdiri sejak zaman Belanda, namun pada tanggal 4 Juni 1949 diserahterimakan ke pihak gereja. Tadinya panti ini berfungsi sebagai panti rehabilitasi narkoba, namun sejak dikelola gereja Pasundan, Mantan Menteri Kesehatan Johannes Leimena sebagai salah seorang inisiator gereja, berinisiatif mengalihfungsikannya menjadi panti asuhan.

Panti asuhan ini sehari-harinya beroperasi berdasarkan uluran tangan donatur di atas sumbangan sosial dari pemerintah Rp. 3,000 per anak per hari. Yang menjadi masalah adalah karena pengeluaran belanja bulanan si panti merupakan hal yang tetap, namun penghasilannya tidak tetap. Oleh karena itu si panti harus pandai-pandai mengelola keuangan yang biasanya hanya panen besar setahun sekali, waktu natal ketika umat berlomba menjadi sinterklas. Itu pun harus disisihkan sedikit demi sedikit untuk pembangunan bangunan baru karena gedung yang dipakai sudah reot dan bisa runtuh sewaktu-waktu.

Dengan gedung tua yang masih sama dengan ketika didirikan, panti itu saat ini menampung 34 putera puteri dari keluarga sangat miskin dan broken home atas rekomendasi gereja. Tidak ada proses penyelidikan latar belakang dan sebagainya, hanya atas azas percaya bahwa kalau gereja yang merekomendasikan, pasti sang anak sangat membutuhkan.

Anak yang ditampung berkisar dari usia 6 tahun sampai lulus SMA. Mereka semua menjalani hidup yang ketat. Jam 4 subuh sudah harus bangun untuk doa pagi. Kemudian bersih bersih, mandi, sarapan pagi, dan jam 6.30 sudah harus berangkat sekolah. Sekembali dari sekolah, mereka harus makan siang, tidur siang, bersih bersih, snack sore, belajar, makan malam, dan sudah harus masuk kamar tidur jam 21, tak peduli usia. TV hanya menyala Sabtu sore sampai jam 9 malam, dan hanya hari Minggu mereka bangun lebih siang, jam 5 karena doa paginya digantikan dengan kebaktian. Sebenarnya, panti ini berniat membuka diri kepada siapa pun yang membutuhkan, namun peraturan pemerintah menetapkan bahwa kalau sebuah yayasan ber agama, maka yang boleh ditampung hanyalah anak anak yang beragama sama.

Dari penuturan pengurus panti, ada sebuah fakta yang sangat mencengangkan dan memprihatinkan. Lima anak yang tinggal di panti merupakan korban terpaksa terpisah dari orang tuanya. Ceritanya di sebuah daerah Jawa Barat, sebagian penduduknya pindah agama dan oleh penduduk setempat mereka kemudian diburu dalam sebuah gerakan anti permurtadan. Ya, di negara yang katanya menjunjung tinggi azas ke Tuhan an dan memberikan kebebasan penuh kepada warga negaranya untuk memeluk agamanya masing-masing, mereka dianggap murtad. Karena diburu, maka anak anak mereka dititipkan ke pihak gereja, dan pihak gereja kemudian menitipkannya ke panti asuhan ini, sedang orang tuanya bersembunyi di kota lain.

Saya jadi sedih. Orang-orang yang memrakarsai tindakan yang menjadi pemicu terpisahnya orang tua dan anaknya ini, adalah orang-orang yang tidak mengerti. Saya jadi teringat akan sebuah film kartun yang pernah diputar di bioskop-bioskop Indonesia yang menceritakan kisah hidup Nabi Muhammad. Film ini sudah mendapat approval dari Majelis Islam Iran, Irak dan berbagai Majelis Islami negara negara Islam di dunia, termasuk MUI, jadi mestinya isinya benar. Diceritakan di sana, melihat kemunafikan orang orang sekitar yang menyembah berhala, maka Sang Nabi kemudian bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, Allah Musa dan Allah Isa. Saat Nabi Muhammad diburu oleh pamannya sendiri dan melarikan diri ke sebuah kerajaan kristen, sang paman kemudian memberi upeti yang luar biasa banyaknya kepada sang raja, asalkan mau menyerahkan Muhammad. Sang raja menolak, dan terdengarlah kata-kata bijak sang raja yang sampai sekarang terngiang di telinga saya : "Pada saat saya mendengarkan ajaran Muhammad, saya seperti melihat sinar yang sama, dari jendela yang berbeda"

Kalau saja semua ummat di dunia menonton film ini, dan memahaminya, tidak ada lagi pertikaian antar agama, dan intra agama, karena pada dasarnya, apa yang diajarkan adalah sama. Sama-sama menunjukkan jalan terang menuju Allah yang sama... Saya jadi teringat lagu imagine John Lennon yang kalau dicermati setiap katanya menelanjangi semua kepentingan dan keangkuhan manusia, sehingga semua manusia sama tingkat dan derajatnya. Di dalam ketelanjangan, tidak ada lagi perbedaan agama, tidak ada lagi perbedaan kaya miskin, tidak ada lagi batas status, tidak ada lagi batas kepemilikan, semuanya sama.

Saya lalu memperhatikan bahwa semakin lama dunia ini semakin menjadi sebuah komunitas global. Generasi penerus kita berbicara, berpikir, dan bertindak dengan sebuah gelombang universal yang melintasi budaya, usia, warna kulit dan agama. Dengan fenomena seperti ini, perlu bagi kita untuk mempertahankan keunikan masing masing pihak, bukan untuk membangun egoisme kelompok, namun untuk keberagaman kebersatuan. Perbedaan yang saling bergandengan tangan, saling menghormati, menghasihi dan mengisi. Karena dunia akan menjadi semakin indah dan berwarna dengan kekuatan perbedaan yang bersatu membangun sebuah desa global. Para pendiri bangsa kita sudah memberi landasan Bhinneka Tunggal Ika. Azas ini lah yang dapat menjadi landasan yang baik dan kuat bagi terbentuknya sebuah komunitas global. Unity in Diversity.

Saya lalu berpikir lagi, bagaimana kita bisa memulai masuk ke rana itu, kalau dari lingkungan terkecil saja, sudah diajarkan untuk mengotak-kotakkan status. Suku ini tidak mau anaknya menikah dengan suku mana pun, harus dari suku yang sama, agama yang sama. Bibit bebet bobot harus seimbang. Maka, soal jodoh, harus dilihat, dari keluarga mana, agamanya apa, status kekayaannya seperti apa, dan lain lain. Saya sih memahami semua batasan itu adalah untuk meminimalisasikan ketidakcocokan antar insan yang menikah, namun sering kali norma norma yang seperti ini tipis bedanya dengan prasangka atas kualitas pribadi orang tersebut. Seolah olah kalau dari keluarga anu, pasti begini. Kalau agamanya itu, nanti begitu. Kita ini sering lupa kalau dia datang dari keluarga koaya raya, dia nya punya gelar yang poanjang, saking panjangnya sampai di kartu undangan harus dicetak dua baris, statusnya direktur di sana sini, dan agamanya sama dengan agama keluarga kita, TIDAK MENJAMIN bahwa dia akan jadi orang soleh. Juga tidak menjamin, kalau dia datang dari keluarga miskin, dari desa antah berantah, ijazahnya SD tak lulus, maka dia tidak qualified. Semua terpulang pada kualitas pribadinya masing masing. Dengan latar belakang yang begini begitu, apa yang dia lewati dalam hidupnya kan belum tentu sama dengan apa yang secara umum dialami keluarganya...

Maka saya hari ini disadarkan dan berdoa untuk keutuhan dan kerukunan ummat manusia dengan segala keberagamannya, kelebihan dan kekurangannya. Karena kita semua telanjang di mata Allah, dan kita harus melihat bukan dari asesoris yang menempel di jubah kita, tapi dari ketelanjangan kita.

Hari ini saya juga sekali lagi diajak untuk bersyukur. Mensyukuri nikmat anugerah Allah yang luar biasa bagi ummatnya. Kalau anak anak panti tadi dibilang kurang beruntung, maka saya tidak setuju. Mereka justru beruntung. Masih banyak anak lain yang sampai harus menjual diri dan harga dirinya untuk bertahan hidup. Harus mengalami kekerasan dan akhirnya menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri untuk bisa makan hari ini. Saya tahu itu, karena saya berjumpa sendiri dengan mereka, mengobrol dan berusaha membantu meningkatkan daya juang pribadi mereka agar menjadi orang bermartabat. Saya sampai berpikir, apakah mungkin ya, kalau seorang anak itu kemudian mengajukan dirinya sendiri kesebuah yayasan yang memberi kesempatan kepada masyarakat Indonesia untuk hidup lebih baik, agar dirinya dapat ditampung dan mendapat pendidikan yang layak? Tapi, mana ada yayasan seperti itu? Anda tertarik untuk membangunnya? Kalau iya, saya akan bergabung, membangun kekuatan. Agar keadilan sosial yang sesungguh sungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menikmati kesejahteraan yang sejati dapat terwujud. Alangkah bahagianya kalau cita cita itu bisa terwujud.

Hm.sebentar. Anda pasti bilang saya terlalu idealis. Tak mengapa. Butuh mimpi untuk meraih yang lebih tinggi. To dream the impossible dream, to reach the unreachable star. Dan kali ini saya pun kembali bermimpi,sambil berdoa dan mencari jalan untuk mewujudkannya...


Panti Asuhan Tanjung Barat, Badan Sosial Gereja Kristen Pasundan, tel 0217818451

Thursday, January 28, 2010

28 Januari 2010 : Pelita

Saya baru saja pulang dari acara ulang tahun keluarga. Theo yang berulangtahun, tadinya adalah pria tegap gagah yang kini kurus dan hanya terdiam di kursi roda karena stroke dan berbagai komplikasi lainnya. Oleh karena itu, oleh keluarganya, ia dihadiahi misa syukur.

Dalam misa syukur itu, Pastor memberi kotbah tentang pelita. Bagaimana hidup ini menjadi cahaya bagi sekitar kita. Pastor sempat menanyakan bagaimana hidup Theo selama ini menjadi pelita bagi orang di sekitarnya. Saya seakan ikut ditanya. Cahaya apa yang saya pancarkan pada sekeliling hidup ini? Apakah cahaya terang? Suam suam? Atau malah padam sama sekali?

Menariknya, sejak beberapa tahun yang lalu saya selalu menyelipkan sebait kalimat dalam doa harian. Kalau selama ini berbagai kebutuhan hidup telah tercukupi, maka doa yang saya panjatkan adalah agar seluruh talenta dan hidup saya dapat dipergunakan oleh Allah sebagai alatnya, sebagai penyalur damai dan kasih. Selama ini, yang saya salurkan bukannya damai dan kasih, tapi kekacauan yang tiada akhir. Maka, saya ingin berubah dan digunakan sebagai channel of peace and love nya Tuhan. Tapi, saya tidak tahu bagaimana memulai dan caranya.

Ya, bagaimana cara nya? dan Bagaimana memulainya? Aktif di gereja juga tidak. Di kelompok doa, sudah tiga tahun absen... (teman-teman, saya janji Sabtu ini akan hadir!) Sampai saya mengobrol dengan sahabat saya. Dia bilang dia awalnya iseng membaca blog saya karena membaca alamat blog yang saya cantumkan di Blackberry Messenger, dan kini jadi keterusan. Lalu dia merekomendasikan alamat blog saya kepada temannya yang sedang punya masalah soal hubungan dengan kekasihnya. Esoknya dia mendapat laporan, bahwa ternyata sang teman tidak hanya melahap topik bahasan yang disodorkan teman saya, tetapi malah membaca dari awal sampai akhir, sambil mengatakan, bahwa ia baru sadar betapa bodohnya selama ini mau dikesetin oleh pasangannya.

Saya jadi tercenung dan terkagum-kagum sendiri. Wah, ternyata apa yang awalnya saya buat untuk pencerahan diri saya sendiri, malah juga jadi pencerahan buat orang lain! It's sooo amazing! Padahal, baru kemarin saya mendapat telepon dicaci maki soal blog yang dianggap gila dan membuka aib diri sendiri ini. Tiba-tiba tadi di tengah kotbah pastor, saya bertanya balik pada Tuhan, "Inikah jawaban dan jalan yang Kau berikan atas permintaanku agar bisa menjadi pelitamu bagi orang lain?"

Mungkin saja. Jadi mungkin, saya tidak dipakai Tuhan di bidang socio-marketing, karena hal itu rupanya dinilai cukup melalui program-program yang saya jalankan bersama klien-klien besar saya. Juga mungkin, bukan dengan kerja sosial di berbagai tempat, seperti yang saya bayangkan. Mungkin Tuhan menilai tenaga saya tak cukup memenuhi syarat. Rasanya juga Tuhan enggan memakai saya untuk meng upgrade kemampuan para imamnya dalam berkotbah, karena bisa bikin kacau tatanan yang sudah ada. Mungkin saja Tuhan memakai saya melalui tulisan tulisan saya. Kok bisa bisanya saya tiba tiba dapat pencerahan menulis blog ini. Dan tanpa saya sadari, pembaca yang malu malu jadi follower dan berkomentar di blog ini jumlahnya menjadi bertambah banyak di luar dugaan saya. Saat mengobrol dengan seorang yang tak terbayangkan akan membaca blog ini, ia mengaku bahwa ia dan pacarnya setia mengikuti tulisan saya setiap hari. Lalu seorang kerabat yang sedang mendapat tugas membawakan sebuah topik, diarahkan oleh google ke blog yang sedang Anda baca. Kalau jawabnya ya, saya dipakai Tuhan just like that. Just the way I am.

Tadi, saat kotbah masih berlangsung, saya jadi bersyukur kepada Tuhan atas anugerah yang diberikan kepada saya. Bahwa kalau benar semua yang saya analisa di atas, saya dipakaiNya untuk menyalurkan berkat. Dengan cara dan gaya apa pun sesuka-suka Tuhan. Saya jadi menyadari, asal saya mau berserah, Tuhan akan buka dan pimpin jalan. Yang jadi masalah, saya sering kepala batu dan mau menentukan arah sendiri. Ternyata jalan yang saya kira paling oke, malah tidak oke. Tuhan belokkan jalan, tapi kadang saya masih meronta. Dan jadinya sakit semua. Padahal kalau mau pasrah, akan mudah buat Tuhan untuk membentuk kita.

Tiba tiba saya jadi teringat nama babtis saya. Lawrence Albert. Santo Laurentius (yang diperingati setiap tanggal 10 Agustus, tanggal wafatnya di tahun 258) adalah seorang diakon di Roma pada zaman Paus S. Sixtus II yang terkenal cerdas dan jenaka. Ketika gubernur memerintahkan supaya ia menyerahkan keuangan keuskupan, Laurentius lalu mengumpulkan para fakir miskin dan menjawab,"Tuanku, inilah harta kekayaan gereja!" Seketika itu juga ia dibakar hidup-hidup. Setelah separuh badannya hangus, ia minta dibalik, supaya seluruhnya menjadi matang. Bau yang sangat harum semerbak memenuhi seluruh ruang pembakaran. Banyak di antara pembesar kota Roma yang sangat kagum atas ketabahan sang martir, bertobat dan minta dipermandikan.

Santo Albertus Agung, yang diperingati setiap tanggal 15 November adalah seorang pujangga gereja yang hidup di tahun 1206 - 1280. Sejak kecil Albert mencintai alam semesta beserta kekayaannya. Ia tahu dan hapal nama hampir segala bunga, binatang hutan, batu alam dan bintang di langit. Ia menulis banyak buku tentang ilmu alam, yang sampai sekarang masih dikagumi orang. Albert belajar di Universitas Padua, kemudia masuk Ordo Dominikan dan ditempatkan di Koln. Rekan rekan biarawan segera melihat bahwa Albert pandai dan sangat bijaksana. Maka mereka mengusulkan kepada pimpinan agar Albert mempelajari segala ilmu dan kebijaksanaan, lalu menjadi guru mereka. Dan itu terjadi : Albert menjadi mahaguru yang tersohor di Paris dan Koln. Ia dijuluki 'doctor universalis', karena menghasilkan buah pena yang banyak sekali dan meliputi segala cabang ilmu. Albert bak ensiklopedi berjalan.

Saya jadi tercengang, kalau analisa berandai-andai di atas mengenai pelita yang dibawakan kepada saya oleh Tuhan itu benar, maka bisa jadi nama babtis yang saya pilih di SMP berdasarkan ilham dari doa itu, ternyata merupakan pengejawantahan dari peran yang rupanya ingin Tuhan berikan kepada saya. Berlaku kreatif yang membawa manfaat seperti yang dilakukan Santo Laurentius, dan menulis inspiratif seperti Santo Albertus Agung. Wow, sebuah korelasi yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Bahwa keduanya tidak main-main dan sembarangan "diutus" untuk menjadi (nama) pelindung saya.

Hari ini saya dibukakan mata bahwa cahaya yang saya minta bagi lentera saya, dinyalakan seketika saya menyerahkan diri seutuhnya pada Allah melalui jalan dan rencana yang telah ditetapkan bagi saya di saat yang dianggapNya tepat. Sampai sampai santo pelindung pun dipilihkan yang paling tepat untuk peran saya. Saya tinggal mengikuti dan menjalankannya. Ngomong-ngomong, apakah pelita Anda sudah menyala? dan cahaya apa yang Anda keluarkan bagi lingkungan sekitar? Kalau saya, terus terang saya belum tahu bagaimana lentera saya akan menyinari sekitar. Saya cuma berharap saya tetap dipandu kemana arah lentera ini pergi dan semoga cahayanya semakin terang setiap harinya ...

Wednesday, January 27, 2010

27 Januari 2010: Hakim

Hari ini saya tuntas membaca Eat, Pray, Love yang awalnya diperuntukkan sebagai bacaan selama masa libur panjang di Australia. Ternyata, liburan yang dikira senggang itu, terpenuhi oleh berbagai jadwal kegiatan sehingga buku yang saya bawa kemana mana itu, jadi terbengkalai. Sebenarnya, kelanjutan buku itu, sudah terbit awal bulan ini dengan judul "Committed". Buku itu dicetak dalam ukuran lebih besar dari pocket book biasa, dan dalam dua warna pilihan, putih dan oranye yang menyolok dengan judul dalam lingkaran cincin emas. Saya tertarik untuk membelinya, namun ketika lewat di depan Periplus sesaat setelah makan malam bersama dan berhenti sebentar untuk melihat lebih detil lagi ulasan di cover belakang, teman saya lalu nyeletuk,"It's sooo girly.." Pudar langsung niat saya membeli. Bukannya saya tidak jadi beli, saya cuma mengurungkan beli saat itu, dan akan mengambilnya di lain waktu... saat saya sendirian!

Saya sebenarnya heran bagaimana dia bisa menghakimi girly. Dia kan belum membaca bukunya. Apa karena yang menulis wanita? Dan covernya berurusan dengan hal hal yang selama ini diidentikkan dengan wanita, seperti bunga dan cincin kawin? Padahal, there's nothing wrong with the book. Kalau Anda pernah membaca Eat, Pray, Love, banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik dari pengalaman Elizabeth Gilbert, terlepas Anda setuju tidak dengan jalan yang diambilnya. Dan saking uniknya cara ia bertutur dan membagi pengalamannya, saya jadi ingin tahu, bagaimana dalam buku lanjutan ini, ia dan pacarnya yang duda itu sama sama mengatasi ketakutan mereka dalam mengakhiri masa lajang ke duanya dan berani mengambil keputusan untuk mengikat janji menikah lagi. Saya juga pernah trauma terhadap berbagai keterikatan yang ternyata penuh intrik ini. Jadi, pasti saya bisa belajar sesuatu dari buku baru itu.

Beberapa waktu lalu, saya kedatangan tamu dari jauh. Begitu masuk dalam rumah, ia langsung memberi penilaian bahwa rumah saya terlalu ribet, terlalu banyak barang, terlalu ini dan itu. Kalau saya jadi kamu, saya akan bobol tembok ini dan itu. Saat itu juga, saya langsung merasakan ada jarak antara kami berdua. I don't need this kind of person to tell me this and that in my life. Siapa dia berani beraninya memakai ukuran dia untuk menilai saya. Saya yakin dia tidak lebih baik dari saya. He ain't know nothing about me!

Ada lagi yang spesial menelpon saya dan menghakimi, "lu sudah gila ya bikin blog kayak gitu." Saat diocehi, saya sih diam saja. Tapi dalam hati, saya menjawab: Well, first of all, let me put it clearly: this blog is not for you nor anybody. It's for myself, so that I can learn and understand. And in doing so, I make various conversations with so many sides of myself so I can learn and understand. I am not writing to please anybody, however, I am inviting everybody to read so that we all can share in honesty and learn and understand together in order to become a better person. If you don't get the idea, then simply stop opening this blog. Gitu aja kok repot... Lalu saya berpikir, apa karena dia memang benar concern sama saya, atau cuma sekedar mau obok obok sok ikut campur saja tanpa tahu ujung pangkalnya ya?

O ya, saya juga pernah menonton acara televisi yang kalau tidak salah bertajuk, "Masihkah kau mencintaiku" dengan Helmy Yahya yang menjadi pembawa acara yang berusaha menyatukan lagi insan yang akan berpisah. Saya jadi heran siapa dia membawakan acara seperti itu padahal dianya sendiri bercerai, dan setelah membuat mantan isterinya terlihat jelek di hadapan publik dan infotainment, beberapa bulan kemudian, ia menikah lagi dengan wanita yang lebih muda dan kaya pula!

Manusia ini memang senang jadi hakim. Bisa menentukan ini benar dan itu salah. Yang sini dosa yang sana bejat. Kok dia gitu ya, kok bisa-bisanya ini ya. Ih, jijik deh. Aduh gila deh ya... dan... saya ternyata juga sangat tidak terkecuali sebagai hakim super piawai dan hebat! Ya, saya tidak ada bedanya dengan mereka yang menghakimi saya secara sepihak!

Malam ini, saya hadir di sebuah acara ulang tahun majalah gaya hidup. Banyak wajah yang berseliweran di infotainment dan majalah gaya hidup papan atas hadir di sana. Serta merta saya jadi fashion police. Padahal mengerti dan belajar fashion pun tidak! Hih, kok bajunya aneh gitu sih. Kok ke acara gini pake celana pendek sih. Walah, bajunya kayak merak. Ke acara formal gini kok rambutnya dijepit asal asalan begitu ya. Belum lagi langsung jadi penilai dan hakim jitu. Heehhhh yang itu pasti brondong cari mangsa (padahal mungkin dia memang sengaja diundang dan dikirimi undangan resmi, sedangkan saya cuma diundang pakai sms) Iiiiih, tu orang sudah menikah dan bawa pasangannya, matanya masih jelalatan ke mana mana (padahal mungkin jelalatannya untuk mencari "siapa lagi ya yang saya kenal tapi belum disalami..." )Kalau saya jadi wartawan infotainment, wah saya sudah bisa mengarang berita sampai berminggu minggu dari hasil penghakiman saya.

Enak rasanya jadi hakim. Kalau menghakimi, saya tiba tiba jadi orang yang paling benar dan paling suci, juga paling berkuasa. Tidak peduli saya tidak tahu atau tidak mengerti duduk masalahnya pokoknya menghakimi. Tanpa mau tahu alasan dan situasi yang menyebabkan sesuatu terjadi, ketok palu sudah dikumandangkan. Lalu penilaian terhadap orang yang baru dikenal. Uh, orang itu angkuh banget ya. Sok banget ya. Jualan banget ya. Mari kita coba pada selebriti kita. Apa pandangan Anda terhadap Julia Perez? Dewi Perssik? Krisdayanti?

Lalu sekarang saya terdiam, tersadar, saya ini hidup di dua alam. Di satu alam, saya ini jadi hakim yang mujarab, yang kata kata dan pikiran yang lebih tajam dari silet, tapi di alam lain, saya juga jadi korban tersilet silet karena penghakiman orang.

Waktu saya akhirnya bercerai, saya sempat sangat takut atas penghakiman orang atas status duda saya dan butuh waktu 10 tahun untuk berdamai dengan status tersebut. Saat saya merasakan palu vonis di toko buku dan di rumah saya sendiri atau dihakimi melalui telepon seperti di atas, hati saya pun berontak. You don't know what you are talking about. But that's what happens! Saat kita menghakimi, kita tidak tahu apa-apa tentang yang kita hakimi. Kita tidak tahu perasaan dan sejarah detil dan kompleks yang menyebabkan sesuatu terjadi. Dan dengan berani dan kurang ajarnya kita sudah main jadi hakim dan bahkan berani berlagak jadi Tuhan, yang menentukan ini salah, itu dosa!

Saya jadi teringat waktu naik sepeda Sabtu pagi dengan Pak Wong. Ketua Wilayah gereja Karawaci itu bertanya pendapat saya tentang dosa. Saya jawab, dosa itu bukan wilayah manusia, itu wilayah Tuhan. Sayangnya, kenyataannya, manusialah yang selama ini menetapkan rana dosa dan tidak dosa. Norma-norma diciptakan (oleh segelintir) manusia (yang akhirnya secara politis ditetapkan sebagai kaidah umum) untuk membuat hidup ini berjalan sesuai pola dan alur tertentu, agar kehidupan di dunia ini menjadi tertib dan teratur. Kalau melakukan ini benar kalau begitu dosa. Kalau begini masuk surga, kalau begitu masuk neraka. Bahkan kemudian ditetapkan bahwa kalau melakukan ini pahalanya naik sekian, kalau begitu minus sekian. Jadilah, hidup kita ini seperti balance sheet, timbangan antara perbuatan baik dan buruk, macam utang piutang. Kenyataannya norma yang dipakai manusia tidaklah selalu berbanding lurus dengan penilaian Ilahi. Karena itu, meskipun sudah dicap sampah masyarakat dan dicap sebagai pelacur, Yesus masih membuat garis di tanah dan memberi kesempatan bagi mereka yang tidak pernah berdosa untuk menjadi pelempar batu pertama guna menghakimi Maria Magdalena. Tak satu pun berani. Bahkan kepada Maria Magdalena lah Yesus menampakkan diriNya pertama kali setelah bangkit.

Lalu saya diam lagi. Selama ini saya terkenal sebagai Master Komplen yang punya angan angan membuat situs www.tukangkomplen.com Pasti laku! Lalu saya bertanya pada diri sendiri. Tukang komplen itu sama nggak ya dengan tukang menghakimi? Saya menemukan jawabannya, tidak mesti sama. Komplen belum tentu menghakimi, tapi justru protes untuk mendapat keadaan yang lebih baik. Cuma kadang beda tipis. Komplen bisa jadi berlanjut menghakimi.

Dari perenungan malam ini, dan dari pengalaman dihakimi, saya ditunjukkan untuk tidak menghakimi. Lagian saya bukan Tuhan. Siapa saya berani menghakimi Julia Perez itu begini begitu. Kenal saja tidak, tahunya karena dicekoki infotainment setiap pagi saat olah raga sepeda statis. Gitu saja rasanya sudah akrab banget dan sok tau dan merasa berhak untuk ikut campur...

Lalu saya kemudian menawar, oke berhenti jadi hakim, tapi boleh dong tetap jadi tukang komplen, asal tidak menghakimi? Tiba tiba saya diingatkan akan sebuah ayat di alkitab. Sayangnya ayat yang saya kutip di handphone ikut raib dengan hang nya telepon genggam canggih itu. Namun saya masih ingat intinya. Jangan menghakimi orang karena ukuran yang kita pakai untuk menghakimi, akan dipergunakan juga untuk menghakimi kita....


"Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu." - Matius 7:2, Markus 4:24, Lukas 6:38


(Terima kasih Andreas yang sudah memberikan informasi tentang ayat yang saya cari ini)

Tuesday, January 26, 2010

26 Januari 2010: Guilty!

Bagi segelintir teman, saya ini dijadikan tumpuan curhatnya. Saya tidak mengerti kenapa, tapi begitulah kenyataannya. Mereka tidak menyadari, kalau yang diajak curhat ini bisanya cuma ngomong, teori, dan pada prakteknya tidak ada bedanya dengan mereka.

Maka siang ini saya mendapat telepon curhat dari salah seorang teman, yang cuma menghubungi saat hidupnya dalam keadaan kacau. Sebetulnya saya malas menerima teleponnya karena isinya bad news melulu, tapi karena kebetulan sedang jam makan siang sendirian di kantor, ya saya angkat saja.

Betul kan, dia curhat soal pacarnya, yang sudah pernah membuat keonaran setengah tahun lalu, namun akhirnya come back tiga bulan kemarin, dan sekarang bubar lagi. Bubarnya dipicu oleh hal sepele. Pacarnya ini cemburuan. Handphone diperiksa, laptop diperiksa. Macam KPK. Tidak berhenti di situ, teman saya juga kena wajib lapor. Mau begini lapor, mau ke situ lapor. Sebenarnya teman saya agak kurang nyaman soal ini, sampai sampai ribut sama pacarnya, karena tidak mau pinjami laptop. Bukan karena di dalamnya ada gambar porno atau email selingkuhan, tapi dia merasa tidak nyaman privasinya hilang sama sekali. Kalau sedang bertandang dan tidur tidur siang di ruang tamu pacarnya, handphone ia selipkan di bawah bantal sofa yang ditidurinya.

Lalu kejadian itu meledaklah. Dia pulang nge gym, dan karena buru burunya, ia lupa lapor kalau dia sudah selesai nge gym dan sedang on the way ke rumah pacarnya. Tahu tahu dia sudah di depan pintu rumah. Dan marahlah pacarnya, karena teman saya tidak mengikuti Standard Operating Procedure yang diberlakukan. Perang mulut tak terhindarkan, sampai puncaknya sang pacar mengusir teman saya untuk segera hengkang dari rumahnya. Karena tersinggung dan harga dirinya diungkit, pulang lah ia, dan sejak itu, ia dan sang kekasih menyatakan PUTUS!

Namun, kejadiannya tak berhenti di situ. Sang pacar marah besar, menuduh teman saya mencampakkannya begitu saja. Dan sederetan tuduhan lagi. Teman saya yang masih rada sayang, jadi termakan tuduhan sang kekasih dan merasa sangat bersalah.

Hey... tunggu dulu! Saya menyela. Kamu yang bersalah? Kamu yang mencampakkan? Lha yang ngusir siapa? Dia kan? Lha kok berani beraninya dia melimpahkan kesalahannya ke teman saya? Dan teman saya mau saja dijadikan keset! Saya merasa seperti dejavu, ketika di awal Desember kemarin mantan saya mengatakan bahwa terkadang dia merasa bahwa saya menghukumnya terlalu sadis dibandingkan kesalahannya. Ketika itu nada saya langsung meningkat lima oktaf: Hukuman? Hukuman apa? Lha yang meninggalkan saya siapa? Kok saya yang disalahkan dan harus merasa bersalah? Wait a minute! Saya jadi emosional! Saya bilang sama teman saya, look, stop blaming yourself, berhenti merasa bersalah atas kesalahan yang dilimpahkan ke kamu, padahal yang salah dia! Orang itu memang suka seenaknya melempar kesalahan dan tanggung jawab. Biar dibilang dia bersih, dan dia tampil seperti malaikat, sedangkan kamu jadi seperti setan dan penjahat kelas kakap! Dan hebatnya, banyak dari kita yang mau saja dikesetin seperti itu. Dibuat merasa bersalah atas tindakan orang lain, padahal dianya sendiri sebetulnya tak bersalah! Dan kita semua tidak sadar, saking lihainya si penipu ini!

Satu lagi, saya menasihati teman saya: Memang kamu suka dikuntit handphone dan laptop kamu? Gak suka? Ya sudah, berhenti menyiksa diri kamu sendiri! Get rid of this sick person and set yourself free! Lagian kok mau maunya hidup dijadikan budak seperti itu? Memang bukan budak karena disuruh suruh, tapi kalau gerak gerik diawasi dan diikat seperti itu, apa bukan sama dengan diperlakukan jadi budak yang diikat kakinya dengan rantai besi? We are all free people. No one should take control of our life except God and ourselves! Jadi kalau kita orang bebas, kenapa kita mau diikat seperti ini? Takut? Masih lebih takut dengan manusia dari pada dengan Allah? Merasa bersalah? Bersalah apa? Kasihaaaan deh kamu.... Hebat bener orang yang bisa menyaingi Tuhan... (Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Flp 4:6)

Setelah bilang iya iya selama setengah jam (dan masih dalam kondisi sama bebalnya dengan saya kemarin), teman saya kemudian (masih) bertanya : ada saran? Karena sekarang saya sudah lebih pintar setelah ditampar oleh teman kemarin, saya bilang, gak ada. Semua ini gara gara kamu sendiri dan hanya kamu yang bisa menghentikannya. Mulai sekarang jadilah orang yang lebih punya harga diri dan percaya diri.

Dia diam. Dia bilang, apa ini gara gara dia tanya sama Tuhan tentang kelanjutan hubungannya dan sekarang Tuhan yang menjawab? Saya lalu bilang, lha sudah tahu kamu minta, sekarang sudah diberi jawaban, kamunya masih protes. Manusia itu memang seenaknya sendiri. Kita itu sering doa minta ini minta itu, lalu pura pura berserah kepada Tuhan. "Tuhan, aku berserah, tapi....." masih pakai "tapi" dan "syarat syarat"! Dan kalau tidak dituruti marah marah sama Tuhan dan membenci Dia. Padahal kita merayuNya dengan kata, "aku berserah." Well, berserah itu artinya pasrah, dan pasrah itu suka suka yang memberi. Apa pun hasilnya. Jadi yang namanya berserah itu tidak bersyarat, tidak pakai "tapi" ... Lha Tuhan kok disyarati. Siapa kamu ngatur ngatur Dia? Sekarang "kepasrahan" kamu sudah dijawab. Syukuri dan nikmatilah. Yakin kalau apa yang diberikan adalah yang terbaik. Bukannya Tuhan juga bilang, akan menjadikan segalanya indah pada waktunya? Mungkin sekarang adalah saatnya. This is the time! This is it!

Saya jadi teringat renungan pagi ini dari Saat Teduh yang sudah pasti Anda belum pernah membacanya. Kesaksian kecil ini dikirim oleh Sarah R. Joy dari Indiana, Amerika Serikat :

Aku punya lubang pengolah kompos dan gemar memasukkan berbagai hal yang akan terfermentasi jadi tanah subur dan sehat. Aku memasukkan sisa sayuran, daun tua, potongan rumput, bahkan kertas. Tiap beberapa minggu, aku mengaduknya, memastikan semua isi tercampur. jika kompos kering, aku basahi. Selain itu, aku tak berbuat apa pun, hanya membiarkan bakteri alami bekerja. Setelah beberapa bulan, aku melihat "sampah" itu menjadi tanah segar bagi kebunku.

Sering hal serupa terjadi di hidupku. Aku merasa yang kulakukan atau tak kulakukan, sia sia dan tak berbuah. Kadang aku terlalu keras pada diriku. Namun, aku sadar Allah tak seperti itu. Kegagalan terbesarku diubah menjadi positif. Allah bekerja diam-diam, lalu, saat tidak menyadarinya, aku menemukan tanah baru yang indah tersedia bagi fase baru dalam hidupku. Jeruk busuk dan daun bulukan - kegagalan dan kekuranganku - diubah, untuk memberiku sudut pandang baru dan kepercayaan diri yang lebih kuat.

Kita dapat mulai lagi saat memalingkan kehendak dan hidup kita serta mengizinkan kuasa Allah diam-diam berkarya.

Maka hari ini, melalui kejadian teman, saya dibukakan mata agar berhati-hati atas tindakan orang lain yang mencoba merongrong kepercayaan diri saya, dan lebih tekun lagi menjalani proses hidup ini, karena tahu, segala sesuatunya akan menjadi indah pada waktu Nya (waktunya Tuhan) ...

"Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberi kekekalan dalam hati mereka" Pkh 3:11

Monday, January 25, 2010

25 Januari 2010 : Ditampar lagi!

Hari ini saya membuktikan bahwa butuh proses untuk penyembuhan. Tidak bisa instan. Hari ini saya "ditampar habis" oleh teman saya. Dia menghentak waktu saya mengeluh bahwa sekarang ini masa terberat saya. Saya mengeluh kok "luka" nya masih menganga dan tidak sembuh sembuh. Dia berkata," Yang bikin semakin sakit itu KAMU (sendiri!)... Kamu hidup dalam khayalan bahwa dia masih milik kamu! Hilangkan pikiran itu! Percuma kamu nulis di blog DITAMPAR (19 Januari 2010)... Jangan sekedar tulisan, itu harus dipraktekkan..."

Saya tercekat. Tersinggung tapi benar juga sih yang dia bulang. Saya sendiri yang cari gara gara! Di tengah rehat siang tadi, saya ya kok ngisengnya mencari facebook si "dia" yang sudah saya hapus dari daftar facebook saya. Wah, fotonya ganti, tersenyum cerah dan manis pula! Dan seketika itu rontok pula hati saya. Luka lama langsung berdarah darah lagi! Arrrrrrrrrghhh! Anda sendiri pasti sudah bosan dengan kelakuan saya yang tidak belajar belajar ini.

Tapi saya masih membela diri, "Ini soal perasaan, susah diatur!" Jawabnya sedikit melunak, "Memang benar itu tentang perasaan.. Tapi kamu juga harus realistis.."

Saya jawab rada ketus,"Pikiranku sudah realistis, hati ini yang tidak bisa diajar." Jawabannya gusar,"Hati bisa diatur jika kamu realistis. Jangan siksa diri kamu dengan perasaan perasaan itu... Mau sampai kapan kamu kayak begini????"

Saya terdiam. Ya. Mau sampai kapan saya seperti begini? Karena tamparan tadi, saya jadi bangun dan merasa dituntun balik ke rel yang benar. Kalau dihitung, sudah bertopik topik yang saya bahas dalam blog ini dalam kurun waktu 25 hari ini. Dan lagi lagi saya jatuh bangun jatuh bangun lagi. Sementara "dia" nya cuek cuek saja dan meneruskan hidupnya dengan cengar cengir di photo wall facebooknya. Jadi kenapa saya harus seperti ini?

Kalau teman teman sudah sangat kesal atas kebebalan saya, saya hari ini disadarkan bahwa memang saya harus mengakhiri semua ini, namun butuh proses. Ibu saya saja perlu waktu dua tahun untuk bisa menerima kehidupan sepeninggalan Ayah. Tapi dia memang sudah bersama lebih dari 57 tahun. Saya yang baru umur sejagung, tentu perlu waktu yang lebih singkat. Dan setahap demi setahap belajar menerima, menutup buku dan berjalan tegak. Toh saya tetap memahami pelajaran saya dan tetap menerima kenyataan hubungan kami yang singkat ini sudah berakhir, dan mensyukuri juga pernah mengalami saat saat terindah walaupun singkat. Hari ini saya naik kelas: saya tidak bisa serba instant, kalau mau sesuatu, langsung saat itu juga jadi!

Saya setuju sih, kalau apa yang saya tulis dan pelajari sehari hari ini harus dipraktekkan. Cuma, kenyataannya, mempraktekkan dan belajar itu dua hal yang berbeda. Saya bahkan terkadang tidak tahu cara mempraktekkannya. Sama seperti ketika hari ini saya mengeluh pada teman saya bagaimana caranya mengatasi perasaan ini, karena saya tidak tahu (bagaimana caranya). Karena sekarang ini urusannya adalah hati. Dan hati serta perasaan tidak gampang diatur atur. Ia harus belajar menemukan jalannya sendiri, untuk berdamai dengan keadaan dan akhirnya melanjutkan perjalanan hidupnya.

Tapi saya setuju, bahwa belajarnya tidak boleh berkepanjangan. Dalam kasus saya sekarang, cerita membosankan jatuh bangun ini "baru" berlangsung kurang dari dua minggu. Saya lalu menilai, kalau kurang dari satu minggu sudah biasa lagi, berarti ada yang tidak beres dalam kamus jatuh cinta saya. Jadi, kalau dua minggu sudah bisa seperti ini, ya saya nilai wajarlaah.. hehe

Eh, tiba tiba saya teringat sebuah buku yang saya beli beberapa tahun lalu, berjudul "Lost & Found". Detik ini saya jadi menyadari, saya mungkin sudah kehilangan sebuah cinta basi, namun saya menemukan bahwa pintu kesempatan di depan sana sudah terbuka lebar. Saya juga teringat guyonan basi ketika seorang teman malam malam datang ke rumah, dan saya menemaninya keliling kota tanpa tujuan hingga dini hari saat ia bercerita kisah cintanya sudah bubar, dan dengan menyeringai saya bilang,"Well, look at the bright side! You are SINGLE again!" Sekarang kalimat itu terlempar balik ke saya. Ya, saya single lagi! I've got a whole world of opportunities open up in front of me! This is not my loss anyway. Yang rugi ya dia, tidak dapat orang se-kualitas saya hahahaha... (pededotcom mode on)

Untuk kesekian kalinya, apa yang tadi pagi saya awali dengan berat, di penghujung hari ini, sekali lagi terasa lebih ringan. Memang, naik turun sih, tapi tak mengapa, namanya juga proses. Dan seperti dikatakan di depan, saya hari ini diajak memahami arti kata PROSES - yang berarti serangkaian usaha yang MEMERLUKAN WAKTU untuk sampai pada taraf yang diinginkan - melalui tamparan yang diberikan teman saya...

So,thank you very much for slapping me on the face so that I don't have to do it to myself over and over again. Hopefully this is the first time and the last time you did it to me. Because, actually I am a fast learner. Just a bit stubborn. Sometimes. O, Okay.... many times. hehehe...

Sunday, January 24, 2010

24 Januari 2010: Tinggi

Minggu pagi ini saya agak kesiangan ke gereja jam 7. Biasanya kalau saya berangkat jam 6:30 dari rumah, saya mendapat my spot of seat and parking. Kali ini gereja sudah penuh. Dari pada duduk berdesakan di bawah, untuk pertama kalinya, saya duduk di balkon atas. Wow! What a wonderful view! Saya mendapat pemandangan gereja yang belum pernah saya saksikan sebelumnya.

Selama ini, saya selalu duduk di pinggir gang utama tempat pastor masuk dan keluar, dan agak di belakang supaya bisa akses keluar masuknya mudah. Namun, duduk di situ, ada kurangnya juga. Terganggu oleh petugas gereja yang kerjanya mondar mandir mencarikan tempat duduk tersisa untuk mereka yang terlambat datang, dan berisiknya suara anak anak yang membuat konsentrasi saya yang sudah rendah ini semakin lenyap. Tapi, di atas balkon, rasanya saya jadi disedot ke ruang hampa...

Pagi ini saya diberi inspirasi untuk memperkaya kata kata populer yang mengatakan bahwa berada di puncak itu sepi. Saya menambahkan, mungkin bukan sepi, tapi sunyi, dan karena sunyi nya kita bisa bermeditasi dengan lebih baik. Maksud saya, kita bisa lebih merenung dan memperhatikan dengan lebih baik. Dan karena keluar dari kebiasaan duduk di tempat itu itu saja, saya jadi bisa mengamini pula, bahwa hidup itu harus bervariatif: kalau kita lihat nya itu itu saja, ya paham dan lihatnya yang itu itu saja, padahal kalau suatu hal di lihat dari sudut lain, perspektif kita terhadap masalah itu akan jadi jauh berwarna dan lebih menyeluruh.

Maka keluar lah berbagai fakta yang menarik yang sebelumnya tidak pernah saya lihat selama bertahun tahun duduk di bangku gereja ini. Dirigen yang alur tangannya itu itu saja, tanpa peduli keras pelan dan lambat cepatnya tempo lagu. Tingkah laku orang dari atas. Wah, pokoknya saya mendapat kehormatan melihat bird's eye view. Selama ini teorinya adalah kalau ada masalah, kita harus melihatnya dari atas supaya tahu peta masalahnya seperti apa, dan pagi ini saya diberi bukti nyata dalam bentuk visual. Bagaimana tatanan upacara gereja yang tampak berjalan fungsional itu, secara detil terlihat jelas. Bahkan diakon yang mestinya mengatup mata konsentrasi dengan tangan terkatup rapat, masih sempat celingak celinguk melihat sekitar.

Karena semuanya seolah menjadi sunyi, maka saya yang biasanya tertidur di antara buaian bualan sang pastor dan hiruk pikuknya anak kecil, jadi mendengar tajam juga apa yang dikatakan pastor dalam kotbahnya. Kali ini saya untuk kesekian kalinya mendengar gereja, dan Yesus membela kaum marjinal, dan meminta umat untuk mencontoh dan belajar dari kaum pinggiran ini. Serta merta pikiran usil saya ikut campur. Lucu ya gereja ini, ngomongnya saja selalu membela kaum marjinal, apa nggak lupa gereja yang mentereng dan gedung yang sedang dibangun dengan biaya puluhan miliar itu dibangun dari kocek orang yang tidak dibela? Yesus sendiri menurut kisah di luar alkitab juga dibantu secara finansial oleh Maria Magdalena. Lha kalau kita kita ini tidak dibela, ngapain kita ke gereja untuk dicela cela? Kalau kita kita ini yang membiayai kehidupan gereja ini semua jerih payah terhadap gereja dan tingkah lakunya tidak masuk hitungan, ngapain saya mengambil jalan gereja? Apa nggak diperhatikan, bahwa yang dibela itu semuanya tidak ada di dalam gereja ini? Dan segitunya men-generalisasi orang pinggiran? Orang pinggiran itu hidupnya gak bagus bagus dan suci suci amat kok? Lihat saja babeh, berapa anak yang sudah dibunuh dan disodomi. Dan babeh orang marjinal. Lihat saja tingkah laku hitam mereka semua...

Kita? Saya? siapa kamu? Memang kamu termasuk orang kaya itu? Waduh, pagi pagi sudah ditampar lagi. Bukan oleh pastor tapi oleh tangan saya sendiri. Kita ini sering sok kaya. Dan karena sok kaya, sok suci pula. Saya sering bertindak seperti orang yang paling kaya di dunia. Yang kalau kesal dengan pelayan, atau petugas toko, langsung saya menyambar, "Mbak, nanti mbak saya beli sekalian lho!" Maka saya pagi ini diberi petunjuk, bahwa Tuhan itu bukannya tidak cinta orang yang mampu atau dianggap mampu. Bukannya Tuhan tidak cinta pada kita kita. Justru karena cinta, maka kita diingatkan. Buktinya, toh kotbah pastor itu tidak ditujukan pada orang marjinal, tapi pada kita kita ini. Saya kini mengerti. Jadi orang itu jangan tengil, jangan sok paling pintar, paling kaya, paling berkuasa. Kata pak Harto (Soeharto, mantan presiden kita) : Ojo Dumeh (jangan berlagak, jangan sok mentang mentang, padahal Beliaunya sendiri... hehehe). Saya jadi mengerti sedikit lebih jauh lagi mengenai konsep hidup yang seimbang. Dunia boleh, tapi surganya juga berimbang. Kan di doa Bapa kami, kita juga diajarkan bahwa Allah juga melakukan keseimbangan yang sama. Di atas bumi seperti di dalam surga. Dan karena keseimbangan itu, sombong jadi tidak laku, dan tinggi hati jadi tidak ada gunanya pula.

Di akhir misa, sepertinya saya harus mengoreksi apa yang saya muntahkan ke Pak Wong kemarin pagi. Kemarin, saya bilang, saya ke gereja bukan buat dengerin bualan pastornya. Pastor juga manusia. Siapa dia ngajar ngajarin saya melalui pengertiannya sendiri terhadap agama. Saya ke gereja untuk berkomunikasi dengan Tuhan! Tapi sepertinya Tuhan ingin mengoreksi otak saya. Dia mau bilang bahwa dia juga bisa berkomunikasi dengan saya melalui ocehan pastor yang saya anggap sok tau itu. Mungkin bukan dari kata kata pastor yang menuntut kita harus ini dan harus itu. Buktinya, melalui kotbah yang diberikannya, otak saya jadi terpacu lebih kreatif untuk menangkap pesan yang lebih dalam yang ingin disampaikan Tuhan secara spesifik kepada saya. Dan si pastor menjadi channel of God dalam hal ini.

Rupanya butuh tempat yang tinggi agar kita mengerti untuk tidak tinggi hati...

Saturday, January 23, 2010

23 Januari 2010 : Sendiri

Sabtu pagi, kalau tidak ada aral melintang seperti hujan atau bangun terlalu siang, biasanya saya sudah di jalan, kalau tidak jalan kaki, ya mengayuh sepeda onthel sebagai wujud olah raga di alam nyata, maksudnya bukan bohongan karena naik sepeda statis, tapi benar benar menghirup udara luar rumah, menyusuri indahnya alam Lippo Village. Pagi tadi, menjadi lebih istimewa lagi, karena di tengah jalan bertemu Pak Wong, ketua wilayah gereja saya. Lalu tanpa terasa saya bersepeda sambil mengobrol ngalor ngidul selama dua jam.

Pak Wong adalah orang yang sangat sederhana, dan aktif di gereja. Namun, karena Beliau tinggal di daerah paling elit di kawasan ini, dan menjadi tetangga depan James Riady, timbul pertanyaan iseng ingin tahu, "Pak, Bapak kenal nggak dengan tetangga?" Ternyata, untuk orang yang se people person dia, jawabannya kurang lebih tidak. Lalu saya mengaku kalau saat ini, tak seorangpun di sekitar rumah yang saya kenal. Satu satunya tetangga yang saya kenal, Paul yang di depan rumah, sudah pindah berbulan bulan lalu ke rumah yang lebih besar. Itu pun saya sambut dengan lega karena selama ini supirnya kalau parkir tidak pernah tahu aturan.

Saya jadi berpikir, penting nggak sih kenal tetangga? Lha wong tetangga saya di sebelah Paul adalah anak anak kos Pelita Harapan yang manner parkirnya juga tidak ada harapan. Dan tetangga sebelah saya persis juga bukan tipe orang yang ingin saya kenal. Mungkin pembantu saya lebih kenal tetangga sekitar. Di seberang jalan saya, tinggal kakak Johnny Andrean dan darinya terkadang pembantu saya mendapat supply Breadtalk dan J.Co. Buat pembantu, bukan buat saya.

Dulu, ketika tinggal di Cinere, wah, setiap anggota keluarga tetangga saya kenal. Bahkan ibu saya saja sempat heran, ketika saya demam, mengalir kiriman makan siang dan malam dari tetangga. Tetangga di ujung jalan, Maureen Budiman saja, menelpon, "Hari ini mau dimasakin apa? rawon ya? nanti aku suruh bibi ngirim!" Tapi, sejak pindah di Karawaci, suasananya sudah beda. Bagaimana ketemu, kalau pagi, saya mungkin yang paling siang berangkatnya dan pulangnya masing masing bervariatif. Lagi pula kok rasanya sampai saat ini rasanya (masih) tidak ada perlunya kenalan. Satu satunya ajang kenalan adalah waktu saya dulu pertama kali pindah, dan diadakan giliran jaga malam bersama karena masih suasana kerusuhan Mei 1998. Tapi itu pun saya lakukan cuma sekali. Habis, dibanding waktu di Cinere yang benar benar jaga keliling, kegiatan ronda malamnya cuma duduk ngobrol di salah satu rumah warga, makan makan minum, sampai subuh. Memang dasar cukong cukong, jadi tidak terbiasa ronda, dan buat saya cuma buang buang tenaga dan waktu saja. Sekarang, laskar satpam malam dulu sudah tidak berbekas kecuali saya jadi salah satu dari segelintir veteran di deretan jalan ini.

Belum sempat pembahasan soal tetangga selesai, Pak Wong sudah nyerempet soal interaksi dengan keluarga. Saya kemudian menimpali, kalau mau dituruti, keluarga ibu saya yang asal Makassar itu, setiap minggu adaaaaa saja acaranya. Ulang tahun ini lah itu lah. Lama lama saya pikir, waduh, kalau gini caranya, saya tidak punya waktu untuk diri sendiri. Senin sampai Jumat, saya sudah bersosialisasi dengan ratusan orang, kalau weekend saya habis buat bersosialisasi juga, kapan waktu untuk diri sendiri? Belum lagi saya sering dibuat mabok dengan gossip keluarga yang kadang melebihi hebohnya berita infotainment para artis. Yang saya lakukan kemudian adalah menjadi super selektif untuk kegiatan sosialisasi keluarga ini. Datang ke yang penting penting saja, kecuali kalau ada yang sakit atau berduka, wah itu sih diperlukan datang. Kalau tidak, saya tidak punya me-time."

Dan sepanjang sore hingga malam ini benar benar jadi me-time saya. Bukan karena benar benar ingin sendiri, tapi karena tak punya pasangan to spend time with. Tapi karena sendirian, bukan berarti pula tidak ada yang mau menemani saya. Ada seseorang yang menyatakan ingin bertemu sebelum besok berangkat keliling daerah untuk tugas kerjanya selama 3 minggu. Dan ada seseorang lain yang menyatakan ingin spend weekend bersama saya. Tapi saya tidak mood. Tak tahu mengapa, akhirnya saya memutuskan untuk keliling Jakarta sendiri dengan mobil, tanpa tujuan yang jelas, dan tanpa ditemani seorangpun. Kesepian? Yaa... sedikit, tapi saya juga sedang tidak ingin ditemani siapa siapa.

Selama dalam perjalanan 4 jam itu, saya banyak berdialog dengan diri sendiri. Mulai dari debat mendebat masalah kangen, pikiran ini melanglang buana mencari jawaban atas pertanyaan seorang rekan saat saya bilang: kenalin doooong. Pertanyaannya standar,"Kamu mau pacar yang kayak apa se?" Waduh, tadinya saya bikin kriteria berlembar lembar, yang tampang dan bodinya oke, smart, mandiri, ini, itu, ini, itu... sampai akhirnya saya coret semua daftar itu secara virtual, dan dalam mobil tadi saya mendapatkan jawaban yang memuaskan hati karena mencakup semuanya,"yang bisa dengan bangga saya kenalkan ke kamu, ini lho pasanganku..."

Saya perlu minta maaf pada mereka mereka yang saya kecewakan karena saya tidak menjawab keinginan mereka untuk bisa spend time together di weekend ini. Tapi akhirnya, hari yang tadinya bisa jadi calon disaster buat saya karena kesendirian ini, malah jadi produktif justru karena kesendirian itu membuat saya jadi lebih mengerti dan menerima keadaan diri dan pada akhirnya berdamai dengan diri saya sendiri. Kalau di awal perjalanan keluar dari karawaci lagu yang saya dengar adalah lagu menangis-nangisnya Rossa dan Sadis (lagi!) nya Afgan, maka di akhir perjalanan masuk Karawaci, saya sudah mematikannya dan mengganti dengan lagu yang lebih optimis : Smile.

Smile adalah lagu karangan Charlie Chaplin (tak ada orang yang lebih tepat lagi menciptakan lagu ini, di balik ketenarannya, Charlie Chaplin harus bersembunyi di kedok make up tebal dan kumis Hitlernya dan berakting konyol, tak peduli bagaimana suasana hatinya saat itu) yang dipersembahkan pada Nat King Cole, dan kemudian menjadi lagu kesayangan Michael Jackson, dan dibawakan oleh kakak lakinya sambil menahan haru di depan peti jenazah emas adiknya. Lagu itu menyarankan kita untuk tetap tersenyum walau hati ini hancur, karena senyuman akan menghalau mendung dan membawa terang hidup. Senyum, juga jadi resep Ketut Liyer saat ia menurunkan ilmu meditasinya kepada Elizabeth Gilbert dalam Eat, Pray, Love. Ketut menyarankan agar melakukan meditasi dengan senyum, untuk mengundang energi baik dalam kehidupannya.


Smile, though your heart is aching
Smile, even though it's breaking
when there are clouds in the sky, you'll get by
if you smile through your fear and sorrow,
smile and may be tomorrow
you'll see the sun will come shinning through
if you just smile

Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness
although a tear maybe ever so near
That's the time you must keep on smiling
Smile, what's the use of crying
You'll see that life is still worthwhile
if you just smile...

Malam ini saya belajar, bahwa sendiri tak selamanya nelangsa. Bahkan ketika kita sudah punya pasangan pun, ternyata kita juga butuh me-time. Agar kita selalu diingatkan bahwa kita ini seorang pribadi yang memiliki eksistensinya sendiri. Me-time juga menjadi waktu meneguhkan, menyegarkan dan menguatkan kembali keberadaan kita sebagai seorang insan pribadi. Kalau pasangan Anda bilang bahwa setelah menikah atau berkomitmen, semuanya lebur jadi satu, saya pastikan itu semuanya bisa jadi akal akalan dia saja, dengan mengatasnamakan cinta dan romantisme, agar bisa memenjarakan Anda dan menjadikan Anda orang yang dia inginkan. Yang benar adalah Bhinneka Tunggal Ika. Justru keunikan pribadi kita masing masing yang menjadi perekat dan pemersatu hubungan kita menjadi lebih bermakna dan lebih solid. Maka, me-time itu perlu. Asal jangan disalahgunakan saja: me-time jadi saat selingkuh. Atau... asal jangan keseringan saja, lama lama bisa jadi jomblo abadi, karena isinya me-time melulu...

Friday, January 22, 2010

22 Januari 2010 : Kata

Tidak seperti biasanya, pagi tadi saya menyelesaikan sebuah film di mobil, yang sudah saya tonton setengah hati dari kemarin sore, judulnya : All About Steve - dibintangi oleh Sandra Bullock.

Filmnya cukup menyebalkan dan bercerita tentang seorang gadis pembuat teka teki silang di sebuah koran lokal yang tidak bisa berhenti bicara dan karenanya tak ada orang yang mau dekat dekat dengannya. Well, sebenarnya bukan karakter lain yang di film saja yang sebal dengannya, saya sebagai penonton juga sebal! Suatu saat, ia setengah hati melakukan blind date yang diatur oleh orang tuanya sampai ia terkejut bahwa kencan butanya adalah seorang yang tampan, keren dan cerdas, bekerja sebagai juru kamera di stasiun televisi berita ternama, bernama Steve. Tiba tiba cewek nerd ini menjadi agresif sehingga menakutkan Steve. Maka dia pura pura menerima telepon dari stasiun tevenya bahwa ada breaking news, sambil pura pura bilang, "wah seandainya kamu ada di sana menemaniku bertugas." Sialnya, kata kata Steve diambil hati, dan berangkatlah Mary, si cewek ini mengejar Steve.

Ada satu line yang menancap di otak saya, ketika Steve dengan kesalnya mencoba menghalau pergi Mary. Dia bilang dia tidak benar benar mengundang, tapi ingin mengusir secara halus. Ketika didesak lagi dia bilang : "We are boys! We say things we don't mean to!"

Deg! Hey, itu sepertinya suara saya, saya adalah seorang lelaki, and we are supposed to say things we don't mean to? Hmmm sounds interesting... Pantas rasanya kalimat itu terdengar sangat familiar! Celakanya kata kata itu sering makan tuan. Ketika saya diingatkan, saya sering lupa, wah kapan ya saya bicara seperti itu? Kayaknya lagi itu saya cuma flirting flirting saja deh. Karena itu, seseorang pernah berkata pada saya: "Bagus yah! Setelah mendapat yang kamu mau, saya dibuang! Sudah tak ingat janji janji kamu!" Janji? Ingat rule nya: We are boys, we are supposed to say things we don't mean to...

Lagian, apa susahnya sih mengumbar kata kata? Kalau tidak ditepati, toh itu hanya kata kata karangan yang mengalir, kalau percaya, salah sendiri yang percaya. Jadi, pas istilah yang bilang lidah memang tak bertulang.

Lalu saya merenung. Selama ini, sebagai seorang lelaki, saya akui saya sering mengatakan sesuatu yang tidak benar benar saya maksudkan. Menariknya lagi, saat saya perhatikan, mereka yang pernah menelan janji janji saya, selalu bisa mengingat dengan baik kapan saya berkata, jam berapa, di mana, dan apa yang saya katakan, sampai titik komanya, tepat semua. Dan saya tidak ingat, karena terlalu banyak kata yang sudah saya produksi dari bibir saya yang dower ini. Saya jadi terpesona (dan ngeri). Wow! Dia mengingat sampai sedetil itu.... (dan saya tidak!)

Lalu saya melanjutkan lagi merenungkannya untuk saya sendiri. Iya kalau itu saya yang mengucapkan, alasan saya adalah : "Look! I am a man, and men are supposed to say things we don't mean to". Lha kalau saya yang mendapat ucapan itu, lalu ucapan itu saya tagih dan dijawab sama seperti saya menjawab tagihan orang, bagaimana ya rasanya? Saya jadi tercekat sendiri. Saya jadi ngeri sendiri. Sakit pastinya. Sangat sakit! Saya tahu persis dan dipaksa memahaminya karena saya baru saja mengalaminya.

Saya tidak berhenti sampai di situ, saya melanjutkan penelaahan saya. Wah, saya jadi malu sendiri. Mulut saya ini sering tidak disekolahkan, karena tidak hanya mengumbar janji, tapi kata kata yang saya keluarkan suka seenaknya sendiri. Alasannya sih for the sake of kejujuran. Ceplas Ceplos khas Jawa Timur. Well, seperti makian Jawa Timuran, kata kata itu kembali lagi ke saya,"iya, lha wong otakmu di dengkul!" Aaaaargh!!!! Saya tidak bisa menghitung beberapa banyak orang yang sudah saya sakiti hatinya dengan kata kata saya yang setajam silet. Dan saya santai santai saja, karena saya lelaki, dan saya orang Jawa Timur (meskipun ngakunya selalu (dan memang) lahir di Jakarta).

Kemarin malam saya ditegur oleh seseorang yang usianya separuh di bawah saya, namun membuat saya membisu karena terpesona oleh kedewasaannya. Dia pernah saya sakiti dengan kata kata saya. Dan di kesempatan pertama kami bertemu, dia menjelaskan duduk perkaranya dengan tenang dan baik, dan dalam kata kata yang sangat positif dan bijak. Di akhir pembicaraan, saya sungguh sungguh meminta maaf atas kesalahan (kata kata) saya, dan dia mengatakan, "Sudah dari awal saya maafkan, semuanya memang harus terjadi seperti ini supaya kita sama sama belajar." Saya rasanya langsung menciut seperti anak bengal yang perlu digebuk!

Maka hari ini saya disadarkan untuk berhati hati dalam berkata kata dan memilih kata kata. Saya diingatkan untuk berkata positif, afirmatif, karena kata kata yang baik menyejukkan hati, sedang kata kata yang buruk menghancurkan kehidupan. Bukan itu saja. Saya diberi pelajaran lagi, bahwa ternyata orang itu yang bisa dipegang adalah kata kata (dan janjinya). Kalau saya tidak bisa dipegang kata kata dan janji saya, saya bukanlah manusia. Jadi saya harus berhati hati, jangan sembarang berucap dan berjanji. Karena kata kata memiliki kekuatan yang luar biasa besarnya. Yang lebih tajam dari pisau, yang lebih kuat dari kekuatan mana pun dalam hidup ini ...

O, ya bonus, nih. Mary di akhir film membuat kata kata mutiaranya sendiri : If you love somebody, set him free. If you have to stalk him, he's probably not the one for you from the very first place. Hahahaha how true it is...

Thursday, January 21, 2010

21 Januari 2010 : Merak

Salah satu kegiatan yang rutin saya kerjakan di pagi hari sebelum berolah raga dan sarapan adalah membaca koran. Pagi ini, saya dikejutkan dan dibuat jengkel dengan berlembar lembar ucapan IKUT duka cita yang dikeluarkan berbagai perusahaan di bawah payung ASTRA dan perusahaan mitra lainnya atas berpulangnya presdir Astra, Bpk. Michael Ruslim.

Dalam hati saya bertanya, ini mau duka cita, atau pamer? Atau mau memanfaatkan kepergian sang presdir jadi iklan korporat? Lalu apa manfaatnya buat yang meninggal, atau keluarga yang ditinggalkan? Jadi bangga karena bapaknya diingat oleh perusahaannya dalam bentuk berlembar lembar iklan di segala macam media? Tak percaya, buka saja semua koran nasional hari ini, baik yang bahasa Indonesia maupun Inggris. At least saya juga menemukan iklan yang sama jenisnya di Jakarta Post pagi ini. Dengan desain dan foto yang itu itu saja, tapi di bolak balik, menghadap ke kiri atau ke kanan. Buat medianya sih tentu hayuuuuk aja, banyak pemasukan. Tapi apa gunanya? Buat keluarga yang ditinggalkan, iklan koran itu tidak menambah manfaat finansial atau moral apa pun.Seorang yang saya temui dalam meeting pagi ini, juga menyatakan kejengkelannya, dan bilang, "iya tuh, gak penting, malah sekarang korannya aku buat keset mobil, mas..."

Lebih ironis lagi ketika membaca artikel di bagian belakang Kompas, setelah melewati berbagai halaman yang merupakan aksi penghambur hamburan uang itu, adalah cerita mengenai yang berpulang. Dikatakan bahwa Pak Michael adalah orang yang nasionalis, yang mengajak seluruh karyawannya bahkan berupacara setiap tanggal 17, dan bahkan membuat program SATU INDONESIA. Saya yang master komplen dari www.tukangkomplen.com, langsung menilai, wah, Pak, sepertinya Anda gagal mendidik jiwa nasionalisme karyawan Anda.

Saya tidak against iklan turut berduka cita, tapi hey.... we can do much better! Coba kalau corporate communications nya mengumpulkan semua perusahaan untuk urunan membuat satu iklan duka cita bersama yang sederhana, dan mengumpulkan sisa dana yang tadinya akan dikeluarkan untuk penghamburan uang iklan tersebut. Pasti terkumpul miliaran rupiah. Dan dengan miliaran rupiah itu, Astra bisa membuat Yayasan Michael Ruslim yang misalnya memberikan beasiswa bagi siswa STM di Indonesia. Bayangkan berapa banyak anak yang tidak mampu dapat tersantuni untuk masa depan yang lebih baik, di bidang otomotif, bidang yang diayomi Pak Michael selama ini? Selain dapat pahala, kegiatan ini punya PR value yang luar biasa, buat Astra dan Mendiang Pak Michael, sehingga akan mendapat publikasi luas (gratis pula!). Dengan demikian nama Pak Michael (dan Astra) akan dikenang sepanjang masa sebagai seorang nasionalis yang benar benar peduli akan masa depan bangsanya. Tapi, nasi sudah jadi bubur. Maksudnya uang yang saya pikir dapat bermanfaat itu sudah masuk kantong media...

Lalu saya terdiam. Ngapain kamu protes? Kamu kan sama saja dengan perusahaan-perusahaan itu? Kalau soal belanja, gak ada matinya, gak menghitung bahwa uang yang dikeluarkan itu sering kali mubazir, mending kalau disimpan untuk masa depan, atau buat kegiatan amal. Ke gereja aja, kamu cuma nyumbang berapa, tapi kalau belanja baju bisa berapa? Beli TV LCD dan plasma yang memenuhi tembok, bisa berapa? Atau kalau nyumbang, maunya bisa dilihat. Tengok saja, tembok gereja di samping gua Maria di gereja St. Helena Karawaci. Ada nama kamu tercetak di sana! Diabadikan sebagai penyumbang gereja...

Uh, rasanya saya ingin menarik kembali angan angan mulia saya tadi. Maluuuu. Karena selama ini saya tak lebih dari nama perusahaan yang dicetak hanya agar masyarakat tahu bahwa ini lho, saya care... soal bermanfaat atau tidak, bukan urusan, yang penting saya ikutan beken dan saya dicap peduli. Saya tiba tiba tidak jadi protes, tapi malah disadarkan, bahwa selama ini saya kurang menghargai apa yang saya miliki, dan kurang memanfaatkan untuk hal hal yang dapat memberi dampak bagi kehidupan saya dan orang lain. Saya diingatkan bahwa ada hal hal yang Must & Need to Have and Nice to Have, dan ternyata kejadiannya adalah saya lebih banyak hijau mata untuk hal hal yang Nice to Have but Not Must and Need to Have. Mulai saat ini saya berjanji, kalau mau beli sesuatu saya akan tanya Must have/ Need to Have atau Nice to Have. Kalau Nice to Have, akan saya pending untuk waktu yang tidak ditentukan...

Hari ini saya mendapat pelajaran yang luar biasa berharga dari Mendiang Pak Michael tentang bagaimana memrioritaskan kebutuhan hidup dan lebih arif dalam pengeluaran saya. Selamat jalan, Pak. Meskipun tidak kenal, saya berterima kasih atas pelajaran yang diberikan kepada saya hari ini...

Wednesday, January 20, 2010

20 Januari 2010 : Loreng Macan

Saya tidak pernah menyangka harus membawakan sebuah berita buruk bagi seorang karyawan di tengah minggu seperti ini. Kabar yang saya bawakan adalah vonis bahwa kontrak kerjanya tidak diperpanjang. Bukan karena kami tak butuh pegawai lagi, bukan, bahkan saat ini kami sedang merencanakan penambahan karyawan karena berkembangnya usaha. Keputusan ini dibuat karena berdasarkan evaluasi, kinerjanya tidak memenuhi standar kami. Terlalu loyo,terlalu pasif, tak ada greget, tak ada vitalitas.

Maka sambil menarik nafas panjang, saya mempersiapkan diri menerima kehadirannya di ruang kerja saya yang cozy. Saya membacakan hasil evaluasi yang dilakukan berbagai pihak yang berkaitan kerja dengannya. Lalu kami terlibat perbincangan. Ternyata ia merasa tak percaya diri. Sambil berinteraksi, saya kemudian menceritakan pengalaman hidup saya, bagaimana saya berjuang selama ini. Saya lalu menasihati bahwa apa yang terjadi sekarang ini jangan dianggap kegagalan, tapi sebuah harga mahal yang harus dibayar akibat tidak percaya diri. Minder tidak ada untungnya, yang kita hadapi sama sama manusia. Saya bilang padanya, bahwa dia harus percaya bahwa setiap orang itu unik, dan berharga. Dia unik, dia berharga, dia BISA. Saya bisa tahu dan pakar di beberapa bidang kehidupan, namun sangat payah di bidang lainnya. Mungkin dia kurang baik di bidang yang saya ahli, namun bisa jadi dia sangat baik di bidang yang tidak saya kuasai. Karena tak ada yang sempurna, tak sepatutnya ia merasa rendah diri. Saya selalu percaya bahwa everybody is beautiful in his own way. Tidak ada orang yang benar benar sempurna, dan tidak ada yang seratus persen jelek. Setiap orang memiliki keindahannya masing masing.

Dari pengalaman hidup saya, saya menemukan bahwa keberhasilan itu tidak hanya datang dari kemampuan (baca: kepandaian), kesempatan dan kemauan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah :

1. Kemampuan berkomunikasi. Kalau kita mampu berinteraksi dengan tukang rumput sama baiknya dengan kemampuan kita berinteraksi dengan seorang presiden direktur, menteri atau bahkan kepala negara, maka kemungkinan kita untuk berhasil semakin besar.

2. Network atau jejaring. Semakin luas jejaring persahabatan dan kenalan kita, semakin besar kemungkinan kita untuk berhasil. Saya merasakan sendiri. Ketika dihadapkan pada suatu masalah, saya bisa memilih teman atau kenalan mana yang bisa saya hubungi untuk membantu memecahkan masalah tersebut.

3. Positioning. Ini bersangkutan dengan bagaimana kita memposisikan diri kita. If you see yourself as a winner, then you will act as a winner, dress as a winner, talk like a winner. Kalau kita berhadapan dengan seseorang sebagai seorang bawahan dan atasan, maka seumur umur kita akan jadi bawahan saja, namun pada saat kita menempatkan diri sebagai bagian dari tim kerja, maka tiba tiba kita duduk sejajar dengan siapa pun yang berhadapan dengan kita. Positioning ini penting, karena berkaitan dengan bagaimana kita menempatkan diri. Kalau jadi orang yang tidak percaya diri, ya selamanya orang tidak akan percaya pada kemampuan kita. Dan itulah yang terjadi dengan si karyawan tadi. Kartu "rapor" nya exactly mengatakan bahwa ada krisis kepercayaan yang serius dari anggota kelompoknya atas kemampuan dan kemauan dia untuk berkembang. Padahal sebetulnya, menurut saya, dia seorang yang mampu. Namun rasa tidak percaya dirinya menenggelamkan kemampuannya, dan kini ia harus membayar mahal dengan kehilangan pekerjaannya.

Sambil berceramah, saya merasa bahwa pada saat yang sama saya menceramahi diri saya sendiri. Tiba-tiba saya melihat duduk di posisi karyawan. Tiba-tiba saya diingatkan untuk menerapkan wisdom saya di dunia kerja untuk keperluan pengembangan pribadi saya.

Saya seolah menjelma menjadi si karyawan yang gagal karena kurang percaya diri, hanya saja kegagalan saya letaknya di area personal relationship. Saya tidak percaya diri, padahal sebenarnya saya mampu, dan rasa tidak percaya diri telah menenggelamkan kemampuan saya, dan harus dibayar mahal dengan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan cinta sejati.

Kini saya diajari oleh sisi profesional saya sendiri, untuk berkomunikasi dengan baik, melakukan networking yang baik, sesuai dengan positioning diri yang baik pula -yang merupakan bagian terpenting dalam pelajaran diri hari ini: A good self positioning, as a winner! Because I am a winner. So I have to act as a winner, talk as a winner, dress as a winner. And then the opportunity arises...

Hari ini, saat memberikan pelajaran hidup kepada karyawan saya, saya juga mendapatkan pencerahan dari pelajaran yang sama, namun untuk area yang berbeda. Agar saya lebih percaya diri pada kualitas dan kemampuan saya. Saya punya kemauan untuk memperbaiki diri, dan saya yakin, kesempatan itu akan segera datang begitu saya dapat berdamai dengan diri sendiri dan menunjukkan dengan penuh gaya dan percaya diri betapa indah loreng macan yang ada di diri saya...

intermezzo : Lima

Kemarin pagi pagi saya menerima forward email dari Gillian Weber, sahabat keluarga yang tinggal di Shady Hill, Australia Barat, yang memberi tips tentang How to Stay Young. Dikatakan kita harus :

1. Throw out nonessential numbers. This includes age, weight and height. Let the doctors worry about them. That is why you pay them.

2. Keep only cheerful friends, The grouches pull you down.

3. Keep learning! Learn more about the computer, crafts, gardening, whatever, even ham radio. Never let the brain idle. "An idle mind is the devil's workshop." And the devil's family name is Alzheimer's.

4. Enjoy the simple things.

5. Laugh often, long and loud. Laugh until you gasp for breath.

6. ... The tears happen. Endure, grieve, and move on... The only person, who is with us our entire life, is ourselves. Be ALIVE while you are alive.

7. Surround yourself with what you love, whether it's family, pets, keepsakes, music, plants, hobbies, whatever. Your home is your refuge.

8. Cherish your health : if it is good, preserve it. If it is unstable, improve it. If it is beyond what you can improve, get help.

9. Don't take guilt trips.. Take a trip to the mall, even to the next country; to a foreign country but NOT to where guilt is.

10. Tell the people you love that you love them, at every opportunity. And always remember: Life is not measured by the number of breaths we take, but by the moments that take our breath away. We all need to live life to its fullest each day!!

Life's journey is not to arrive at the grave safely in a well preserved body,
but rather to skid in sideways, totally worn out, shouting '..holy sh*t .. what a ride!'


Banyak artikel seperti ini yang saya sering terima, saya jadi terinspirasi untuk membuat "made in saya sendiri".

Saat Niluh Sekar, waktu itu masih Editor in Chief majalah a+ men sms tema ulang tahun ke 5 majalahnya, saya merasa sangat excited! Saya jadi berpikir, apa ya yang sebaiknya saya bahas di ulang tahun yang serba lima ini. Kalau di halaman yang lain pembaca sudah dimanjakan dengan fashion dan info gaya hidup, mungkin ada baiknya kini saya mengajak pembaca sedikit merenung, apa kira kira 5 hal yang terpenting dalam hidup ini. Setelah berhari hari menyeleksi, akhirnya saya memperoleh sebuah daftar, dimana masing masing dari ke lima unsur ini punya unsur pendamping yang sama pentingnya dan saling berkaitan, seperti prinsip yin dan yang : you can't have one without the other. Maka jadilah artikel di bawah ini untuk pembaca a+ bulan Juni 2005yang menjadi artikel pamungkas di bidang karir tulis menulis di majalah, sebelum saya kemudian rehat panjang dan menenggelamkan diri di dunia kerja. Artikel ini kemudian mendapat respons luar biasa dan salah satunya berkata "Dear a+, saya memang bukan pembaca reguler a+, namun ada sesuatu pada edisi Juni yang mendorong saya menulis email ini. Yaitu artikel berjudul 5 Hal yang Terpenting dari Hidup yang sangat inspiratif buat saya. Artikel itu memberikan pedoman dalam menjalani hidup namun tetap memberika kebebasan pada masing masing individu dalam menerapkan pedoman tersebut. Saya harap a+ dapat secara kontinu menampilkan artikel inspratif semacam itu." Sayang, itu adalah artikel saya yang terakhir untuk a+...

So, okay back to business : 5 Most important Things in Life versi Lawrence Tjandra:

1. Life to the fullest but stay focus!

Beberapa saat yang lalu, saya berjumpa teman sekolah, yang seumur, tapi keadaannya jauh berbeda! Tampangnya jadi lebih tua dan tidak segar lagi. Hidupnya cuma seputar kantor dan rumah saja. Karena ketemunya "yang itu itu saja", maka ketika pembicaraan berada di luar lingkup keseharian, ia jadi mematung. Diam-diam saya bersyukur, dalam kurun waktu dua puluh tahun tak bertemu, saya tidak menjadi seperti dia!

Hidup ini penuh warna! Kalau selama ini hidup Anda berkutat di dunia yang itu itu saja, saya sarankan Anda mulai membuka jendela hidup untuk hal hal baru. Semakin banyak melihat, merasa, melakukan, dan menyerap, semakin luas wawasan kita, sehingga tak terkungkung oleh pola pikir yang sempit. Kita juga jadi lebih bijak dalam melihat berbagai keadaan hidup, juga lebih banyak lagi ide cemerlang yang muncul! Mungkin Anda perlu mencontoh seorang loper koran yang memenangkan setengah miliar rupiah di Who Wants To Be A Millionaire baru baru ini, karena wawasannya yang luas.

Namun, coba coba ini juga ada batasnya, karena apa pun yang Anda coba dalam hidup ini, tak akan ada artinya bila tak terarah, Kalau sudah tak berarah, sering kita tak sadar kalau sudah terperosok di jurang tak bertepi. Karenanya tujuan hidup menjadi mutlak untuk dijadikan patokan. Apa tujuan hidup Anda? Kalau belum punya, inilah saatnya untuk memikirkannya!

2. Strong will, skill and opportunity are important but what matter most are honesty, sincerity, passion and commitment.

Kemauan, kemampuan dan kesempatan memang penting, tapi yang terpenting adalah kejujuran, ketulusan, passion dan komitmen. Sudah banyak pembahasan bagaimana meningkatkan kemampuan dan kemauan diri, namun kita masih sering heran kenapa yang terpilih menjadi "pemenang" adalah orang ini dan bukan orang itu - yang terlihat begitu bekerja keras dan cemerlang otaknya. Simak saja acara reality show American Idol atau Indonesian Idol. Pada akhirnya yang menang adalah yang dapat merebut simpati masyarakat. Tak peduli di negara yang rasionalitasnya sangat tinggi seperti Amerika, atau di negara yang main perasaannya kadang mendahului akal budi seperti Indonesia.

Kejujuran, ketulusan, kepedulian dan komitmen adalah hal yang keluar dari dalam hati. Orang bisa saja terlihat baik tapi serta merta kita bisa menilai bahwa kebaikannya hanya basa basi saja. Dengan hidup jujur, tlus, peduli dan komit, kita bisa merasakan hidup ini lebih indah dan bersih.

3. Money and recognition are important but the most meaningful things in life don't have anything to do with both of them.

Siapapun tak akan mengelak bahwa uang dan penghargaan, jabatan, status termasuk unsur penting dalam hidup ini. Boleh dibilang, they are in the top 5 list in our life!

Namun terfokus di kedua hal tesebut bukan jaminan hidup ini akan bahagia dan bermakna. Pengalaman saya membuktikan bahwa kebahagiaan itu adanya di dalam hati dan pikiran, bukan di harta dan kejayaan. Beberapa orang ternama yang rela berbuat apa saja demi uang dan jabatan berakhir di balik jeruji, bisa jadi cerminan buat kita.

Ada yang bilang, the most precious thing in life are the things you cannot buy, and most of them are free. How true it is! Saya ada usul untuk melakukan satu tes kecil. Coba pejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali pelahan sambil menyerap keadaan sekeliling. Rasakan betapa segarnya udara yang kita hirup. Perhatikan hal hal kecil yang selama ini terlewatkan mata, telinga dan hati. Seketika kita akan melihat keindahan yang belum pernah terasakan sebelumnya. Appreciate life in a small and simple way, dan rasakan hidup jadi lebih bermakna!

4. Dare to face challenge is one thing, dare to face problems is another thing.

Anda biasa menghadapi tantangan? Belum tentu Anda juga berani menghadapi masalah! Konotasinya, tantangan adalah hal yang positif, yang we have nothing to lose tapi kalau berhasil dilakukan menambah kredibilitas kita. Sedang masalah punya kesan berdampak negatif yang kalau gagal, habislah kita!

Ada yang bilang, ambil sisi positifnya saja, anggap masalah sebagai tantangan. Cara itu cukup jitu untuk menghibur diri sehingga kita lebih berani menghadapinya. Namun pengalaman hidup yang saya lalui mengajarkan untuk relaks saja. Darinya saya belajar bahwa every single thing happens in this life serves a purpose, Jadi, buat apa takut menghadapi masalah hidup? Memang tak enak dan menyakitkan, tapi toh sering kali dalam hidup kita tak dapat terus menghindar, mengambil yang enak enaknya saja. Dalam sebuah keputusan pun, selalu ada sisi enak dan tidaknya, dan kita tak bisa memisahkannya. Tinggal memilah porsi mana yang lebih besar enaknya, itulah yang diambil. Dengan cara ini kita akan lebih siap kalau yang tidak enak datang di depan mata, bukannya malah menyesali, mengomel atau menghindar. After all, life is a journey, dan perjalanan penuh kelok inilah yang membuat we are who we are today.

5.Friends and family are the rocks of our life but at the end of the day, there is only you ... and God!

Sebagai seorang pribadi, tentu saya perlu sekelompok orang yang memberi penghiburan dan penguatan di saat suka maupun duka. Tanpa mereka, I am nothing. Namun sering kali keadaan ini menjadi ketergantungan, tidak hanya dalam bentuk pertolongan, tetapi juga dalam bentuk nilai nilai pribadi. Kita jadi tergantung dengan pandangan mereka, padahal belum tentu sejalan. Dan kalau tidak sejalan, kita merasa obligated to follow them, terkungkung di dalamnya, dan merasa hidup seperti neraka. Atau bisa juga ketergantungan kita berubah menjadi sifat menggampangkan : kalau toh jatuh, pasti ada yang menolong!

Pengalaman saya berkata : Be Yourself! Tak ada yang lebih indah dari menjadi diri sendiri. Dengan menjadi diri sendiri, langkah hidup menjadi lebih ringan karena kita diterima seperti apa adanya. Selama 36 tahun, saya menjadi somebody everybody else wants me to be, sampai akhirnya saya memutuskan untuk menjadi diri sendiri. Plong rasanya! No more pretence. Di sisi lain, saya menjadi gemas dengan seorang kerabat yang 10 tahun lebih tua, namun dengan entengnya menimpakan segala musibahnya kepada sanak saudaranya.

Well, it's your life. You are the one who have control in you life and you are the one who should be responsible to your life. Kalau ada yang salah dalam hidup ini, jangan pernah melimpahkan kesalahan pada orang lain. Menyalahkan orang tua yang ingin Anda menikah dengan gadis ini, atau menyalahkan teman atas saran yang menjerumuskan. Semua itu bukan salah mereka, karena toh yang punya kata akhir adalah Anda. Once you decide something, it's your OWN decision. Kita pribadilah yang harus mempertanggungjawabkannya, termasuk kepada diri sendiri, dan yang terpenting lagi ... kepada Tuhan.

Saya sengaja menempatkan Tuhan di akhir perenungan ini, karena Dia lah sumber segalanya, awal dan akhir perjalanan hidup ini. Lalu di mana letak cinta? Cinta ada di mana mana. Di setiap poin yang saya sebutkan, tersirat cinta sejati. Cinta pada kehidupan, lingkungan, pasangan, diri, keluarga, teman dan Tuhan : semua ada di sana. Karena tanpa cinta, hidup tak akan berarti. Semoga perenungan ini menjadikan hidup Anda lebih berwarna!

Tuesday, January 19, 2010

19 Januari 2010 : Ditampar!

Hari ini rasa rindu saya kepada seseorang yang sudah tidak memedulikan saya lagi sampailah pada puncaknya. Saking tidak tahannya, saya sempat mengirimkan pesan singkat dua hari yang lalu, dan sampai, tapi tidak ada jawaban. Saya sms lagi kemarin, dan sampai saat ini nomornya dimatikan.

Secara virtual, saya mengambil palu dan memukulkannya berulang kali ke kepala botak saya. Tung! Tung! Tung! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sudah tahu sudah usai, masih saja tidak belajar belajar dan menerima realita! Saya membayangkan Dallan*, sang pembaca watak yang berkali kali menceramahi saya soal ini selama 45 menit di Perth! Terngiang-ngiang kata stubborn, and you never learn, and you keep repeating the same thing, over and over again with the same mistakes and results! You have to change! And somehow, I don't know how, you will change! Saya jadi terdiam mencoba mencerna dan belajar dari ketololan saya.

Oke oke, saya memang bodoh! Masih memikirkan dan berharap yang tak mungkin. Saya tahu itu. Tapi di sisi lain hati ini juga bilang, siapa tahu? Memang semua ini proses, dan dalam proses tarik ulur rasa ini, rasanya saya butuh pembuktian. Bukti bahwa semuanya memang telah usai, dan dia sudah tidak peduli lagi pada saya. Dan reaksinya terhadap aksi konyol saya ini adalah buktinya. Sebagai orang yang selalu ingin berpikir analitis dan rasional, saya harus bisa menerima bukti nyata ini. Tak peduli nyata atau tidak, tapi yang kasat mata, beginilah buktinya.

Lama saya terdiam mencerna realita ini, dan memikirkannya. Selama ini saya bertanya dalam hati, bagaimana caranya mengobati luka yang ada di hati ini. Sudah mencoba tegar dan rasional, masih saja tersedot dalam lingkaran setan yang tidak berkesudahan. Masih curi curi baca sms dan email basinya, masih curi curi memandang fotonya. Padahal beberapa teman dekat saya yang sudah seperti malaikat telah menceramahi saya habis habisan. Mereka tak pernah berhenti mengawal hari hari saya. Tapi, tetap saja.... (dan saya tak berani menceritakan apa yang saya sudah lakukan selama ini, semoga saja mereka tidak baca blog ini, dan kalau iya, masih sudi memaafkan saya yang bebal ini)

Hari ini, saya seperti ditampar untuk bangun. Dibukakan mata terhadap realita yang sebetulnya sudah saya ketahui sejak beberapa waktu lalu, tapi tidak mau menerima kenyataan. Tapi akhirnya saya menyadari juga, kalau tamparan itu perlu. Perlu adanya sebuah shocking effect untuk menghentikan sesuatu yang terjadi berkepanjangan dan bertele tele tanpa hasil. Dan hari ini, saya melakukannya. Plak! Ibaratnya, kalau tidak bisa diberitahu baik baik, ya harus diberi pelajaran! And that's exactly what I did to myself today!

Hasilnya? Yang jelas saya jadi terbangun, dan mengakui, bahwa semuanya sudah berakhir. Dan saya tidak boleh marah. Atau kecewa lagi. Karena memang akhirnya sampai di sini saja. Dan memang seperti itu jalannya.

Tadi saat makan malam dengan seorang teman, saya bercerita tentang pelajaran yang saya petik dari menonton film The Lord of The Rings. Semua tentu ingat bahwa film legendaris itu terbagi atas tiga bagian. Yang mau saya ceritakan adalah seusai menonton film pertama, saya benar benar kesal dan marah, bukan karena kualitas filmya karena menurut saya, filmnya sungguh luar biasa! Tapi... produser dan sutradara macam apa itu, yang memenggal film seenaknya sendiri, dan membiarkan film yang sama sekali tak tuntas itu berakhir dengan kata "bersambung"?

Lama benar saya geram, betul betul geram. Rugi besar rasanya menonton film itu! Sampai akhirnya saya dibawa untuk menyadari makna lain dibalik film yang dipenggal "seenaknya" itu. Tak tahu bagaimana awalnya, saya jadi mengaitkannya dengan realita hidup, atau sebuah hubungan, atau sebuah cerita hidup. Saya jadi mendapat pencerahan, bahwa begitulah hidup ini, bisa berhenti kapan saja, apakah berhentinya selesai dengan kata "Tamat" yang aman dan tenang, atau terpenggal di tengah jalan, mungkin karena kecelakaan, dibunuh, sakit mendadak, atau apapun. Tapi yang namanya mati ya tetap mati. Tamat. Apa pun ceritanya. Juga sebuah hubungan. Mau berakhirnya happy ending, atau terpisah karena meninggal, bercerai, diselingkuhi, menyelingkuhi, dipaksa kawin dengan pilihan orang tua atau apa pun, tetap saja ada akhirnya. Tetap saja harus tamat. Dan kita harus bisa menerimanya, karena ceritanya memang berakhir sampai di situ saja.

Saat menceritakannya, saya diingatkan kembali atas pencerahan itu, dan dibimbing untuk mempergunakannya untuk menyadari situasi sekarang, bahwa hubungan saya dengan si tidak peduli itu sudah berakhir, sudah tamat, dan saya harus menerimanya dengan legawa. Dan sekali lagi, mengikhlaskannya. (bicara soal ikhlas, meski sudah diberitahu berkali kali, tapi kok tidak belajar belajar ya! aarrrgh!! Dasar bebal!!!)

Dan ... ah, saya jadi ingat satu kisah lagi yang menguatkan hal ini. Di sebuah acara natal sederhana beberapa tahun silam, saya dihampiri Oom Willem Soeryadjaya, sang pendiri Astra. Beliau memilih duduk dan mengobrol santai dengan saya di deretan kursi belakang dari pada di deretan depan. Namun Oom Willem tetap Oom Willem, bersembunyi di mana pun tetap terlihat, sehingga si pembawa acara minta Oom Willem memberi kesaksian atau wejangan. Oom Willem lalu bercerita tentang bersyukur. Bahwa kita harus selalu mensyukuri keadaan kita. Apa yang dimiliki kita bukan punya kita, sehingga bila diambil, kita harus merelakannya, karena "itu" bukan milik kita. Kita cuma "dipinjami" saja. Oom Willem malah mengajak kita untuk mensyukuri, bahwa kita boleh pernah punya, boleh pernah memiliki, boleh pernah bersama dan boleh pernah menikmati apa yang dititipkan pada kita, sependek apa pun waktunya. Beliau bercerita bagaimana Beliau mendirikan dan membesarkan Astra, dan ketika semua semua jerih payahnya itu terambil, akhirnya si Oom bisa mensyukuri, pernah diberi kesempatan mendirikan dan membesarkan Astra hingga saat ini menjadi salah satu Blue chip utama di negeri ini. Oom Willem pun merasa bangga, pernah diberi kesempatan menjadi bagian (penting) dalam kejayaan itu. Sharing Oom Willem begitu melekat di otak dan hati saya, dan pelahan lahan saya mencoba mempraktekkannya. Saya jadi lebih legawa, ketika barang kecintaan saya rusak, atau hilang. Atau bahkan ketika ayah saya berpulang. Semuanya saya lalui dengan bersyukur. Bersyukur diberi kesempatan punya ayah yang luar biasa.

Maka hari ini saya diingatkan dua hal: Menerima dengan legawa dan ikhlas bahwa segala sesuatu itu ada akhirnya, tak peduli bagaimana hal itu berakhir - yang namanya tamat tetap tamat ; dan mensyukuri apa yang sudah dititipkan Tuhan kepada kita, tak peduli betapa singkatnya titipan itu. Apa yang saya awali dengan kecewa dan marah, hari ini saya akhiri dengan menerima dan bersyukur...


* Dallan : di Victoria Park ph 94706076 atau Armadale ph 94983788, West Australia