Wednesday, January 06, 2010

6 Januari 2010: Mencintai Diri Sendiri tanpa Syarat

Perjalanan saya ke Australia kali ini, terbilang tidak biasa. Kalau boleh dibilang, perjalanan kali ini adalah tentang pencarian jati diri dan tujuan hidup saya.

Semua ini bermula ketika saya iseng ingin tahu apa yang dikatakan pembaca garis tangan di sebuah festival makanan di Clarke Quay Singapura Juli lalu. Membaca kredensial si peramal, tergelitik rasanya untuk mentest kemampuannya membaca karakter. Yang menarik adalah, apa yang dikatakannya. Saya ini selalu berpikir secara analitis. Namun, saya juga punya kemampuan (dan dia bilang gift) indra ke enam. Dan mulai saat itu saya disarankan untuk menggunakan kata hati daripada otak, karena kemampuan indra keenam saya dibilang cukup istimewa. Karena dibicarakan di sini, saya harus mengakui saya punya sixth sense. Namun, jangan buru buru datang ke saya untuk dilihat dan minta petunjuk, karena saya bukan cenayang. Saya diberi talenta untuk dapat merasakan, dan melihat visi, atau menjalankan sebuah "tugas" yang tidak bisa saya rencanakan sebelumnya, yang sebagian berurusan dengan mereka yang akan pindah alam, alias mau meninggal. Semua diatur oleh Yang di Atas. Saya juga bisa merasakan kalau ada "jiwa" lain yang hadir di sekitar saya, namun saya bersyukur tidak dibukakan mata batin, karena seringkali dari getarannya saja saya bisa merasakan betapa "menyeramkannya" jiwa yang hadir itu. Itu lah sebabnya teman saya Samuel Mulia sangat malas pergi dengan saya. Kadang saya bisa bilang, Sam lewat sini saja, ada yang nggak bener di sebelah sana. O, ya, dari si peramal, saya juga dibilang punya umur panjang (dan saya mengeluh karena saya tidak ingin panjang panjang usianya. Sedang sedang saja cukup. Die happy when I am still strong). Dan karena umur saya panjang, saya disarankan untuk melakukan perencanaan hidup yang lebih baik. Pembacaan yang lain, baiklah saya simpan dalam hati saja.

Sejak saat itu, saya menjadi tertantang untuk merencanakan hidup masa depan saya. Selama ini saya santai santai saja menghadapi hidup, karena prinsip simply happy tadi, namun ramalan tersebut membuat saya berpikir. Benar juga, ya, saya kan tidak bisa kerja kantoran seumur hidup? Masih ingin pensiun di usia produktif and do all the things I always want to do tanpa merisaukan soal keuangan. Tapi saya selalu terhenti. Mau ngapain ya saya ini? Di tengah pencarian itu, timbul ide menulis blog ini, supaya saya lebih terasah dalam pencapaian diri yang lebih baik. Saya juga berniat menjual kondominium di pinggir pantai tempat saya bersantai di akhir pekan dan menggunakan uang itu untuk membeli properti lain yang lebih menghasilkan uang. Tapi itu saja tidak cukup, karena saya juga ingin tahu, kalau saya meninggal nanti, tentu saya ingin lulus dari hidup ini. Apa sebenarnya yang harus saya pelajari dalam hidup ini agar bisa lulus?

Dari berbagai sesi pengenalan diri yang saya lakukan dengan berbagai pihak, termasuk sesi past life regression kemarin dan diskusi yang dalam dengan Gillian yang kebetulan seorang psikolog dari Curtin University, saya membuka peta hidup saya.

Kesimpulannya : dalam hidup ini, saya bukan harus belajar mengenai uang dan harta. Saya adalah orang yang memiliki prinsip simply happy. Tidak berlebihan, namun tidak kekurangan. Yang cukup cukup saja, yang pas pas saja, yang penting saya bahagia. Yang membuat saya tercekat adalah kemampuan mereka mendeskripsikan keadaan batin saya. Mereka bilang saya ini split personality. Bukan gila, tapi punya dua kepribadian. Pribadi yang satu adalah pribadi yang sukses dalam berkarya, namun pribadi yang lain memiliki kehidupan personal dan cinta yang sangat buruk. Semua ini diakibatkan dari rasa kurang dihargai dan rasa rendah diri dan bersalah karena tidak dapat memenuhi keinginan keluarga. Jadi seumur hidup saya isinya adalah perjuangan untuk mendapat pengakuan dan kasih sayang. Dan semua itu benar adanya. Orang tua saya taunya cuma dokter dan insinyur. Dan saya adalah seorang dokter....andus keguruan bahasa Inggris, pula. Image keluarga saya adalah keluarga yang harmonis dan bahagia dan beranak cucu, sedangkan saya adalah seorang.... yang duda cerai tak beranak pula...

Saat sekolah di SMA, saya inginnya masuk IPS, namun gagal. Karena Kepala Sekolah dan Orang Tua saya melarang. Kata mereka, di keluarga ini tidak ada yang masuk IPS. Titik. Maka saya merana selama tiga tahun di SMA. Lulus dan tak pernah tinggal kelas sih, tapi lulusnya penuh luka dan sengsara. Lukanya karena saya jadi traumatik. Setiap ulangan, kerjanya saya sakit perut yang melintir, karena nervous menghadapi soal. Dan sengsara karena saya benci fisika, benci matematika, benci kimia!

Maka selepas SMA, saat orang tua memaksakan saya mengambil kedokteran dan bahkan datang dengan ide gila jadi dokter hewan (saya rasa mereka senang kalau anaknya dipanggil dokter, apa pun dokternya) saya sengaja tidak mengerjakan soal dengan baik. Dan meskipun ketika itu ayah teman baik saya dapat memasukkan saya di Universitas Negeri ternama yang saya daftari untuk kedokteran itu, saya memohon mohon padanya untuk tidak keluar di koran pengumuman.

Saya lalu ke Salatiga, mengambil Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan bahasa Inggris. Karena di jurusan itu tidak ada fisika. kimia. atau matematika (meskipun ternyata ada juga statistik, tapi okelah... bisa ditolerir). Saat saya di terima, saya mendapat ejekan yang sangat menggores di hati. Mendiang paman saya yang dokter ahli Jantung dari Belanda menegur, "Mau jadi apa kamu? Mau jadi penyair?" Sakit hati saya, hingga saat Beliau meninggal, tak ada rasa sedih di hati. 4 tahun kuliah menjadi ajang pembuktian diri bahwa saya bisa berhasil. Nilai Indeks Prestasi Ujian Akhir sarjana saya adalah Perfect 4! Alias A semua. Dan Indeks Prestasi rata rata saya mencapai 3,8. Saya cuma punya nilai C di kewiraan (aduh, kurang nasionalis kah?) dan di Audio Visual Aids, gara gara waktu itu tukang cukur saya tergiur melihat rambut saya yang (dulu) sangat tebal untuk dijadikan model lomba kreasi rambut. Dan sialnya saya setuju saja, dan saya dikeriting lalu harus menunggu 2 minggu sampai tanggal lomba, dan saya melihat aduh betapa hancurnya keritingan itu sampai saya memutuskan untuk pakai topi saja, bahkan di dalam kelas. Ketika Dosen melihat dan meminta saya lepaskan topi karena dianggap tidak sopan bertopi di ruang kuliah, saya tetap bersikukuh tidak mau melepasnya, dan untuk sikap saya yang dianggap kurang manner itu, saya diganjar C. Saya dongkol, tapi pasrah saja, karena itulah harga yang harus saya bayar untuk rambut keriting sial itu...

Saat bekerja, bukannya tanpa tantangan. Setelah mencari kerja sendiri ke sana ke mari dan dengan modal menjadi lulusan terbaik yang summa cumlaude dari universitas bergengsi, saya diterima di beberapa tempat. Lalu saya memilih masuk ke Matari, sebuah biro iklan lokal terbesar di Indonesia saat itu. Saat saya memberitahu ibu mengenai hal ini, komentar pertamanya adalah, "Apa itu advertensi?" Untung kakak saya Gita membantu menjelaskan sehingga Beliau diam. Di Matari, saya merangkak dari Management trainee, kemudian menjadi copy writer, loncat jadi menangani komunikasi perusahaan, loncat lagi jadi asisten presiden direktur dan akhirnya menjadi asisten presiden komisaris, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk berhenti karena hidup saya isinya kerja saja. Di usia 25 tahun, saya menentukan, saya kerja untuk hidup, bukan hidup untuk kerja. Maka keluarlah saya dari sinar cemerlang karir di Matari, kesebuah kursus bahasa Inggris yang masih harus berjuang memantapkan eksistensinya.
Ibu saya menegur lagi, namun kali ini saya bilang bahwa saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya cuma butuh didengar. Dan kejadian seperti ini bergulir lagi ketika saya memutuskan pindah kerjaan, isinya adalah pembuktian diri bahwa saya bisa dan mampu. Ya, saya ini pemimpi yang teguh mengejar mimpi dengan serangkaian pembuktian pembuktian agar kemampuan saya dihargai dan bisa disamakan "kedudukannya" dengan kakak kakak saya yang dokter dan insinyur.

Jangan salah sangka, orang tua saya adalah orang tua terbaik di dunia. Mereka mencintai dan membanggakan saya. Dan saya juga sangat respek dan mencintai mereka lebih dari yang lain. Saya sangat bersyukur punya orang tua seperti mereka, karena kalau tidak, saya tidak akan menjadi siapa saya sekarang. Saya nya saja yang selama ini salah, karena merasa tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka. Padahal menurut Gil, "It's okay to be different. Kalau ada yang tidak bisa menerima kamu seperti apa adaya, itu masalah mereka, bukan masalahmu."

Hasil pembacaan karakter menunjukkan bahwa pada akhirnya saya selalu mencari untuk dicintai, saya selalu mengejar untuk dihargai. Saya selalu merasa "not good enough". Saya lal memberi cinta 100% dan mengharap 100% pula dari orang yang mencintai saya, padahal kontrol nya bukan pada saya, tapi pada orang yang bersangkutan. Dalam mengejar cinta sejati saya selalu menjadi keset pasangan saya karena ingin memberikan yang terbaik dalam cara yang keliru, sehingga pasangan saya malah meninggalkan saya. Dan pattern ini saya lakukan berulang ulang dengan hasil yang menyakitkan hati. Jadilah saya sakit hati pada 3 mantan saya. Padahal kalau saya jadi orang yang lebih percaya diri seperti saat saya bekerja, kemungkinan besar saya tidak punya 3 mantan, tapi seseorang yang sampai sekarang masih di sisi saya.

Maka saya harus berubah. Saya harus menjadi orang yang bisa menghargai dan menghormati diri sendiri. Saya harus bisa menjadi diri saya sendiri. Dan terlebih lagi saya harus mencintai diri saya sendiri tanpa syarat. Self love unconditionally. Agak terbalik dari kebiasaan orang yang justru dibilang jangan terlalu egoistis memang. Tapi itulah. Kalau saya berubah menjadi orang yang bisa mencintai dan menghargai diri sendiri, maka semua penghalang dalam menjalin hubungan pribadi akan terangkat, dan jalan menuju kebahagiaan terbuka lebar.

Saya lalu berdamai dan bermaafan secara virtual dengan mendiang ayah saya. Dan dengan ibu saya tercinta. Dan kakak saya. Dan kini saya sedang berdamai dengan diri saya sendiri. Mulai belajar mencintai dan menghargai dan menghormati dan menjadi diri saya sendiri. Agar saya bisa menemukan cinta sejati.

Dan hari ini saya belajar, bahwa ternyata, kehadiran saya di dunia ini adalah belajar mencintai (diri sendiri) tanpa syarat...

No comments: