Minggu pagi ini saya agak kesiangan ke gereja jam 7. Biasanya kalau saya berangkat jam 6:30 dari rumah, saya mendapat my spot of seat and parking. Kali ini gereja sudah penuh. Dari pada duduk berdesakan di bawah, untuk pertama kalinya, saya duduk di balkon atas. Wow! What a wonderful view! Saya mendapat pemandangan gereja yang belum pernah saya saksikan sebelumnya.
Selama ini, saya selalu duduk di pinggir gang utama tempat pastor masuk dan keluar, dan agak di belakang supaya bisa akses keluar masuknya mudah. Namun, duduk di situ, ada kurangnya juga. Terganggu oleh petugas gereja yang kerjanya mondar mandir mencarikan tempat duduk tersisa untuk mereka yang terlambat datang, dan berisiknya suara anak anak yang membuat konsentrasi saya yang sudah rendah ini semakin lenyap. Tapi, di atas balkon, rasanya saya jadi disedot ke ruang hampa...
Pagi ini saya diberi inspirasi untuk memperkaya kata kata populer yang mengatakan bahwa berada di puncak itu sepi. Saya menambahkan, mungkin bukan sepi, tapi sunyi, dan karena sunyi nya kita bisa bermeditasi dengan lebih baik. Maksud saya, kita bisa lebih merenung dan memperhatikan dengan lebih baik. Dan karena keluar dari kebiasaan duduk di tempat itu itu saja, saya jadi bisa mengamini pula, bahwa hidup itu harus bervariatif: kalau kita lihat nya itu itu saja, ya paham dan lihatnya yang itu itu saja, padahal kalau suatu hal di lihat dari sudut lain, perspektif kita terhadap masalah itu akan jadi jauh berwarna dan lebih menyeluruh.
Maka keluar lah berbagai fakta yang menarik yang sebelumnya tidak pernah saya lihat selama bertahun tahun duduk di bangku gereja ini. Dirigen yang alur tangannya itu itu saja, tanpa peduli keras pelan dan lambat cepatnya tempo lagu. Tingkah laku orang dari atas. Wah, pokoknya saya mendapat kehormatan melihat bird's eye view. Selama ini teorinya adalah kalau ada masalah, kita harus melihatnya dari atas supaya tahu peta masalahnya seperti apa, dan pagi ini saya diberi bukti nyata dalam bentuk visual. Bagaimana tatanan upacara gereja yang tampak berjalan fungsional itu, secara detil terlihat jelas. Bahkan diakon yang mestinya mengatup mata konsentrasi dengan tangan terkatup rapat, masih sempat celingak celinguk melihat sekitar.
Karena semuanya seolah menjadi sunyi, maka saya yang biasanya tertidur di antara buaian bualan sang pastor dan hiruk pikuknya anak kecil, jadi mendengar tajam juga apa yang dikatakan pastor dalam kotbahnya. Kali ini saya untuk kesekian kalinya mendengar gereja, dan Yesus membela kaum marjinal, dan meminta umat untuk mencontoh dan belajar dari kaum pinggiran ini. Serta merta pikiran usil saya ikut campur. Lucu ya gereja ini, ngomongnya saja selalu membela kaum marjinal, apa nggak lupa gereja yang mentereng dan gedung yang sedang dibangun dengan biaya puluhan miliar itu dibangun dari kocek orang yang tidak dibela? Yesus sendiri menurut kisah di luar alkitab juga dibantu secara finansial oleh Maria Magdalena. Lha kalau kita kita ini tidak dibela, ngapain kita ke gereja untuk dicela cela? Kalau kita kita ini yang membiayai kehidupan gereja ini semua jerih payah terhadap gereja dan tingkah lakunya tidak masuk hitungan, ngapain saya mengambil jalan gereja? Apa nggak diperhatikan, bahwa yang dibela itu semuanya tidak ada di dalam gereja ini? Dan segitunya men-generalisasi orang pinggiran? Orang pinggiran itu hidupnya gak bagus bagus dan suci suci amat kok? Lihat saja babeh, berapa anak yang sudah dibunuh dan disodomi. Dan babeh orang marjinal. Lihat saja tingkah laku hitam mereka semua...
Kita? Saya? siapa kamu? Memang kamu termasuk orang kaya itu? Waduh, pagi pagi sudah ditampar lagi. Bukan oleh pastor tapi oleh tangan saya sendiri. Kita ini sering sok kaya. Dan karena sok kaya, sok suci pula. Saya sering bertindak seperti orang yang paling kaya di dunia. Yang kalau kesal dengan pelayan, atau petugas toko, langsung saya menyambar, "Mbak, nanti mbak saya beli sekalian lho!" Maka saya pagi ini diberi petunjuk, bahwa Tuhan itu bukannya tidak cinta orang yang mampu atau dianggap mampu. Bukannya Tuhan tidak cinta pada kita kita. Justru karena cinta, maka kita diingatkan. Buktinya, toh kotbah pastor itu tidak ditujukan pada orang marjinal, tapi pada kita kita ini. Saya kini mengerti. Jadi orang itu jangan tengil, jangan sok paling pintar, paling kaya, paling berkuasa. Kata pak Harto (Soeharto, mantan presiden kita) : Ojo Dumeh (jangan berlagak, jangan sok mentang mentang, padahal Beliaunya sendiri... hehehe). Saya jadi mengerti sedikit lebih jauh lagi mengenai konsep hidup yang seimbang. Dunia boleh, tapi surganya juga berimbang. Kan di doa Bapa kami, kita juga diajarkan bahwa Allah juga melakukan keseimbangan yang sama. Di atas bumi seperti di dalam surga. Dan karena keseimbangan itu, sombong jadi tidak laku, dan tinggi hati jadi tidak ada gunanya pula.
Di akhir misa, sepertinya saya harus mengoreksi apa yang saya muntahkan ke Pak Wong kemarin pagi. Kemarin, saya bilang, saya ke gereja bukan buat dengerin bualan pastornya. Pastor juga manusia. Siapa dia ngajar ngajarin saya melalui pengertiannya sendiri terhadap agama. Saya ke gereja untuk berkomunikasi dengan Tuhan! Tapi sepertinya Tuhan ingin mengoreksi otak saya. Dia mau bilang bahwa dia juga bisa berkomunikasi dengan saya melalui ocehan pastor yang saya anggap sok tau itu. Mungkin bukan dari kata kata pastor yang menuntut kita harus ini dan harus itu. Buktinya, melalui kotbah yang diberikannya, otak saya jadi terpacu lebih kreatif untuk menangkap pesan yang lebih dalam yang ingin disampaikan Tuhan secara spesifik kepada saya. Dan si pastor menjadi channel of God dalam hal ini.
Rupanya butuh tempat yang tinggi agar kita mengerti untuk tidak tinggi hati...
No comments:
Post a Comment