Monday, January 04, 2010

4 Januari 2010 : Tulus Ikhlas

Saya bersyukur punya keluarga yang penuh cinta, saling mendukung dan menghormati eksistensi dan privasi masing masing anggotanya. Meski demikian, kalau kami berkumpul, mengalir sejuta cerita yang seakan tak pernah ada habisnya, dari yang lucu hingga yang haru. Dan di antaranya tentu saja ditambahi bumbu seru bergosip!

Maka ketika siang ini, saya berada di tengah tengah keluarga tercinta, sambil menikmati makan siang santai di sebuah historical cafe di Australia Barat, cerita cerita itu mengalir lagi. Sampailah kami membicarakan seorang teman keluarga yang sudah kami kenal dekat. Saya sendiri sudah mengenalnya sejak ia masih kecil. Kini ia sudah dewasa, menjadi pemuda yang gagah tampan, dan memiliki pekerjaan yang baik. Saya juga mengenal ibunya dengan sangat baik namun sangat dominan dalam keluarganya.

Gosip terakhir, mama si tampan minta dicarikan jodoh buat anaknya. Dan siang tadi kami sekeluarga dibuat seru memikirkan siapa gadis yang pantas dikenalkan padanya. Tapi kami juga harus hati hati, karena si gadis tentunya harus punya daya juang tinggi, karena akan harus berhadapan dengan calon monster in law, eh, maksud saya, mother in law :-P

Sampai lah saya pada kesimpulan, wah jangan jangan tak ada gadis yang bisa masuk kriteria. Padahal si tampan ini cukup mapan. Tapi di balik kemapanannya, sebagian besar gajinya tersedot untuk diberikan ke orang tuanya. Ketika disuruh pindah kerjaan, karena si ibu merasa bahwa kesempatan meraih uang yang lebih banyak di tempat yang baru lebih besar, si anak baik inipun menurutlah.

Saya jadi kasihan dan prihatin pada si tampan yang polos dan baik hati ini. Saya curiga, jangan jangan ibunya menganggap si anak adalah investasi dan tambang emas modal pensiunnya. Saya jadi merenung dan menemukan begitu banyak orang yang seperti si ibu. Memberi tapi tak rela. Memberi tapi tak tulus. Tak ikhlas. Buat saya seharusnya menyekolahkan anak itu sudah kewajiban sebagai orang tua, dan kalau anaknya sukses, sudah layaknya orang tua itu bersyukur. Sedang masa tua si orang tua, selayaknya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Toh mereka harus merencanakan hidupnya sampai menutup mata. Jadi, bukan beban si anak, meskipun kita sebagai anak wajib berbakti dan menghormati orang tua, dan itu wajib hukumnya.

Tapi di luar orang tua, lebih banyak lagi orang yang memberi dengan imbalan. Orang yang merasa kalau orang yang ditolongnya tidak lagi memenuhi harapannya, maka si orang yang ditolong itu menjadi pengkhianat. Begitu banyaknya sampai kenalan yang saya ceritakan di tanggal 2 lalu merasa heran ketika saya membantu seseorang, saya melakukannya dengan tulus untuk kebahagiaan orang itu, dan tidak mengharap apa apa. Dia tak percaya. Para dokter dan pasien tempat pembantu saya ditolong pun merasa heran heran ketika saya dengan susah payah mengurus pembantu saya yang sakit hingga ia sembuh total setelah dioperasi. Saya ingat betul dokter spesialis paru paru itu mengatakan, "Bapak baik sekali ya, mau mengurus pembantu seperti ini." Saya balik heran dan dengan polosnya bertanya,"Saya yang justru heran, dok. Kalau mereka tinggal di rumah kita, dan sehari harinya mengurus kita, bukankah mereka sudah menjadi anggota keluarga terdekat kita, dan kalau terjadi apa apa dengan mereka, bukankah kewajiban kita untuk menolong mereka dan bukannya menyingkirkan mereka?" Saya tidak bisa membayangkan orang macam apa saya ini kalau tega melakukannya. Saya bahkan diam diam menangis memohon kemurahan Tuhan untuk kesembuhannya. Saya sampai meminta tolong kepada kenalan saya yang berpengaruh untuk mendapatkan kamar di Rumah Sakit karena pembantu saya ditolak kartu miskinnya dan asuransi kesehatan yang saya tanggung sudah melebihi pagu nya. Saya juga berdoa novena untuk kesembuhannya. Dokter itu terdiam. Saya tidak tahu apa yang diceritakan oleh isteri pembantu saya kepada keluarga pasien yang lainnya di ruang kelas tiga RS Persahabatan saat itu, namun ketika saya menjenguk pembantu saya di sore harinya, saya disambut dan diajak berkenalan oleh semua keluarga pasien yang lain seperti seorang selebriti.

Saya menceritakan ini bukan karena ingin dianggap pahlawan, sama sekali bukan. Saya hanya ingin berbagi pengalaman pribadi saya. Kalau sampai suatu saat pembantu saya keluar pun, tak akan ada tagihan sepeserpun atas biaya pengobatan mereka dan rasa dikhianati karena ditinggalkan. Itu adalah hak mereka, dan waktunya sudah tiba buat mereka meninggalkan saya. Saya sudah cukup diurus mereka dengan baik selama bertahun tahun. Dan saya bersyukur karenanya.

Dalam kurun waktu 45 tahun hidup saya, dan dengan berbagai kejadian yang menimpa saya, saya jadi menyadari, bahwa setiap pertemuan itu ada waktunya. Dan setiap perjumpaan ini ada makna dan maksudnya. Demikian juga orang yang kita jumpai, tak ada kebetulan kita berjumpa dengannya, karena setiap perjumpaan memiliki maksud dan tujuan tertentu. Ada orang orang yang seumur hidup akan bersama kita, ada juga yang tidak. Dan kalau Yang Kuasa sudah menentukan waktunya sudah habis, maka sudah habis pula waktu kebersamaan kita. Saya akhirnya menyadari bahwa peran saya bagi mantan isteri saya adalah sebagai perantara buat dia untuk menemukan kebahagiaannya yang sejati sekarang. Saya juga akhirnya menyadari bahwa peran mantan kekasih saya juga hanya untuk membantu saya melalui masa sulit perceraian saya. Masalahnya, ketika waktunya sudah usai, saya nya yang tak rela, sehingga hubungan itu menjadi bergulir begitu lama dan menjadi semakin memburuk. Hingga akhirnya perpisahan yang menyakitkan pun terjadi.

Hari ini saya bersyukur karena orang tua saya mengajar anak anaknya untuk tulus dan ikhlas. Dan hari ini saya sekali lagi belajar untuk merelakan. Letting go. Mengikhlaskan. Kalau mau memberi, lakukan dengan tulus, dan ikhlas. Kalau mau bertransaksi, bertransaksilah yang baik, jelas aturan mainnya. Namun kalau niatnya menolong, jangan pakai tanda kutip. Rela tapi tak rela, karena ada maksud tertentu dibaliknya. Dan kalaupun apa yang kita tidak terturuti padahal kita sudah berbuat begitu banyaknya terhadap seseorang, itu juga bukan salah orang yang kita bantu. Salah saya berharap terlalu banyak dan tidak tulus. Semoga saya hari ini bisa berdamai dengan keinginan saya atas ini dan itu, dan realitanya nanti kalau kemauan saya tersebut tidak terwujudkan...

ps. terima kasih untuk my dearest secret editor. Hari ini saya belajar dari kamu tentang pentingnya menjaga kepercayaan seseorang atas janji yang telah diucapkannya, dan menjadi orang yang lebih considerate and thoughtful.Love you always.

ps. 2 Tesalonika 3 : 8 "kami berusaha dan berjerih payah siang dan malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun di antara kamu"
2 Tesalonika 3 : 10 "Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan."

No comments: