Friday, January 29, 2010

29 Januari 2010 : Telanjang

Paling tidak setahun sekali, saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke sebuah panti atau yayasan sosial. Tujuannya, selain sebagai "my give back time", juga untuk mengasah hati, wawasan dan agar saya tetap memijak pada bumi tercinta ini. Saya pernah mendatangi panti asuhan, panti wreda, bahkan berkenalan dengan panti asuhan cacat ganda, atau tempat suster-suster merawat dengan penuh kasih sayang mereka yang terkena penyakit lepra. Juga pernah berbincang dengan penderita HIV/AIDS. Dan bersama teman-teman terjun langsung dalam membantu korban banjir beberapa waktu lalu. Kalau Anda pikir apa yang kami lakukan adalah untuk membantu mereka yang kurang beruntung, maka yang sebenarnya terjadi justru mereka lah yang membantu kami lebih mengerti mengenai misteri kehidupan dan menjadi manusia yang tidak cepat berprasangka dan menghakimi. Mereka juga lah yang menjaga kami tetap jejak di bumi pertiwi ini. Hidup dalam kenyataan yang sesungguhnya, bukan dalam kenyataan sehari hari saya yang bergelimang pekerjaan dan dikelilingi oleh event ini dan itu...

Setiap tahunnya, saya tidak pernah menentukan mau ke mana. Saya menyerahkan kepada Tuhan untuk memimpin langkah. Maka, ketika tahun lalu saya sedang buntu akal mau ke mana, tiba-tiba ada seorang rekan kerja yang memperkenalkan saya pada sebuah panti asuhan yang membutuhkan dukungan. Karena jadwal akhir tahun saya sudah terisi penuh, maka niat itu baru terwujud siang ini. Bersama dua rekan kerja, kami menyelinap meninggalkan kesibukan kerja di jam rehat siang menuju ke Panti Asuhan Tanjung Barat, sebuah badan sosial di bawah naungan Gereja Kristen Pasundan.

Panti asuhan ini sebenarnya sudah berdiri sejak zaman Belanda, namun pada tanggal 4 Juni 1949 diserahterimakan ke pihak gereja. Tadinya panti ini berfungsi sebagai panti rehabilitasi narkoba, namun sejak dikelola gereja Pasundan, Mantan Menteri Kesehatan Johannes Leimena sebagai salah seorang inisiator gereja, berinisiatif mengalihfungsikannya menjadi panti asuhan.

Panti asuhan ini sehari-harinya beroperasi berdasarkan uluran tangan donatur di atas sumbangan sosial dari pemerintah Rp. 3,000 per anak per hari. Yang menjadi masalah adalah karena pengeluaran belanja bulanan si panti merupakan hal yang tetap, namun penghasilannya tidak tetap. Oleh karena itu si panti harus pandai-pandai mengelola keuangan yang biasanya hanya panen besar setahun sekali, waktu natal ketika umat berlomba menjadi sinterklas. Itu pun harus disisihkan sedikit demi sedikit untuk pembangunan bangunan baru karena gedung yang dipakai sudah reot dan bisa runtuh sewaktu-waktu.

Dengan gedung tua yang masih sama dengan ketika didirikan, panti itu saat ini menampung 34 putera puteri dari keluarga sangat miskin dan broken home atas rekomendasi gereja. Tidak ada proses penyelidikan latar belakang dan sebagainya, hanya atas azas percaya bahwa kalau gereja yang merekomendasikan, pasti sang anak sangat membutuhkan.

Anak yang ditampung berkisar dari usia 6 tahun sampai lulus SMA. Mereka semua menjalani hidup yang ketat. Jam 4 subuh sudah harus bangun untuk doa pagi. Kemudian bersih bersih, mandi, sarapan pagi, dan jam 6.30 sudah harus berangkat sekolah. Sekembali dari sekolah, mereka harus makan siang, tidur siang, bersih bersih, snack sore, belajar, makan malam, dan sudah harus masuk kamar tidur jam 21, tak peduli usia. TV hanya menyala Sabtu sore sampai jam 9 malam, dan hanya hari Minggu mereka bangun lebih siang, jam 5 karena doa paginya digantikan dengan kebaktian. Sebenarnya, panti ini berniat membuka diri kepada siapa pun yang membutuhkan, namun peraturan pemerintah menetapkan bahwa kalau sebuah yayasan ber agama, maka yang boleh ditampung hanyalah anak anak yang beragama sama.

Dari penuturan pengurus panti, ada sebuah fakta yang sangat mencengangkan dan memprihatinkan. Lima anak yang tinggal di panti merupakan korban terpaksa terpisah dari orang tuanya. Ceritanya di sebuah daerah Jawa Barat, sebagian penduduknya pindah agama dan oleh penduduk setempat mereka kemudian diburu dalam sebuah gerakan anti permurtadan. Ya, di negara yang katanya menjunjung tinggi azas ke Tuhan an dan memberikan kebebasan penuh kepada warga negaranya untuk memeluk agamanya masing-masing, mereka dianggap murtad. Karena diburu, maka anak anak mereka dititipkan ke pihak gereja, dan pihak gereja kemudian menitipkannya ke panti asuhan ini, sedang orang tuanya bersembunyi di kota lain.

Saya jadi sedih. Orang-orang yang memrakarsai tindakan yang menjadi pemicu terpisahnya orang tua dan anaknya ini, adalah orang-orang yang tidak mengerti. Saya jadi teringat akan sebuah film kartun yang pernah diputar di bioskop-bioskop Indonesia yang menceritakan kisah hidup Nabi Muhammad. Film ini sudah mendapat approval dari Majelis Islam Iran, Irak dan berbagai Majelis Islami negara negara Islam di dunia, termasuk MUI, jadi mestinya isinya benar. Diceritakan di sana, melihat kemunafikan orang orang sekitar yang menyembah berhala, maka Sang Nabi kemudian bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, Allah Musa dan Allah Isa. Saat Nabi Muhammad diburu oleh pamannya sendiri dan melarikan diri ke sebuah kerajaan kristen, sang paman kemudian memberi upeti yang luar biasa banyaknya kepada sang raja, asalkan mau menyerahkan Muhammad. Sang raja menolak, dan terdengarlah kata-kata bijak sang raja yang sampai sekarang terngiang di telinga saya : "Pada saat saya mendengarkan ajaran Muhammad, saya seperti melihat sinar yang sama, dari jendela yang berbeda"

Kalau saja semua ummat di dunia menonton film ini, dan memahaminya, tidak ada lagi pertikaian antar agama, dan intra agama, karena pada dasarnya, apa yang diajarkan adalah sama. Sama-sama menunjukkan jalan terang menuju Allah yang sama... Saya jadi teringat lagu imagine John Lennon yang kalau dicermati setiap katanya menelanjangi semua kepentingan dan keangkuhan manusia, sehingga semua manusia sama tingkat dan derajatnya. Di dalam ketelanjangan, tidak ada lagi perbedaan agama, tidak ada lagi perbedaan kaya miskin, tidak ada lagi batas status, tidak ada lagi batas kepemilikan, semuanya sama.

Saya lalu memperhatikan bahwa semakin lama dunia ini semakin menjadi sebuah komunitas global. Generasi penerus kita berbicara, berpikir, dan bertindak dengan sebuah gelombang universal yang melintasi budaya, usia, warna kulit dan agama. Dengan fenomena seperti ini, perlu bagi kita untuk mempertahankan keunikan masing masing pihak, bukan untuk membangun egoisme kelompok, namun untuk keberagaman kebersatuan. Perbedaan yang saling bergandengan tangan, saling menghormati, menghasihi dan mengisi. Karena dunia akan menjadi semakin indah dan berwarna dengan kekuatan perbedaan yang bersatu membangun sebuah desa global. Para pendiri bangsa kita sudah memberi landasan Bhinneka Tunggal Ika. Azas ini lah yang dapat menjadi landasan yang baik dan kuat bagi terbentuknya sebuah komunitas global. Unity in Diversity.

Saya lalu berpikir lagi, bagaimana kita bisa memulai masuk ke rana itu, kalau dari lingkungan terkecil saja, sudah diajarkan untuk mengotak-kotakkan status. Suku ini tidak mau anaknya menikah dengan suku mana pun, harus dari suku yang sama, agama yang sama. Bibit bebet bobot harus seimbang. Maka, soal jodoh, harus dilihat, dari keluarga mana, agamanya apa, status kekayaannya seperti apa, dan lain lain. Saya sih memahami semua batasan itu adalah untuk meminimalisasikan ketidakcocokan antar insan yang menikah, namun sering kali norma norma yang seperti ini tipis bedanya dengan prasangka atas kualitas pribadi orang tersebut. Seolah olah kalau dari keluarga anu, pasti begini. Kalau agamanya itu, nanti begitu. Kita ini sering lupa kalau dia datang dari keluarga koaya raya, dia nya punya gelar yang poanjang, saking panjangnya sampai di kartu undangan harus dicetak dua baris, statusnya direktur di sana sini, dan agamanya sama dengan agama keluarga kita, TIDAK MENJAMIN bahwa dia akan jadi orang soleh. Juga tidak menjamin, kalau dia datang dari keluarga miskin, dari desa antah berantah, ijazahnya SD tak lulus, maka dia tidak qualified. Semua terpulang pada kualitas pribadinya masing masing. Dengan latar belakang yang begini begitu, apa yang dia lewati dalam hidupnya kan belum tentu sama dengan apa yang secara umum dialami keluarganya...

Maka saya hari ini disadarkan dan berdoa untuk keutuhan dan kerukunan ummat manusia dengan segala keberagamannya, kelebihan dan kekurangannya. Karena kita semua telanjang di mata Allah, dan kita harus melihat bukan dari asesoris yang menempel di jubah kita, tapi dari ketelanjangan kita.

Hari ini saya juga sekali lagi diajak untuk bersyukur. Mensyukuri nikmat anugerah Allah yang luar biasa bagi ummatnya. Kalau anak anak panti tadi dibilang kurang beruntung, maka saya tidak setuju. Mereka justru beruntung. Masih banyak anak lain yang sampai harus menjual diri dan harga dirinya untuk bertahan hidup. Harus mengalami kekerasan dan akhirnya menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri untuk bisa makan hari ini. Saya tahu itu, karena saya berjumpa sendiri dengan mereka, mengobrol dan berusaha membantu meningkatkan daya juang pribadi mereka agar menjadi orang bermartabat. Saya sampai berpikir, apakah mungkin ya, kalau seorang anak itu kemudian mengajukan dirinya sendiri kesebuah yayasan yang memberi kesempatan kepada masyarakat Indonesia untuk hidup lebih baik, agar dirinya dapat ditampung dan mendapat pendidikan yang layak? Tapi, mana ada yayasan seperti itu? Anda tertarik untuk membangunnya? Kalau iya, saya akan bergabung, membangun kekuatan. Agar keadilan sosial yang sesungguh sungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menikmati kesejahteraan yang sejati dapat terwujud. Alangkah bahagianya kalau cita cita itu bisa terwujud.

Hm.sebentar. Anda pasti bilang saya terlalu idealis. Tak mengapa. Butuh mimpi untuk meraih yang lebih tinggi. To dream the impossible dream, to reach the unreachable star. Dan kali ini saya pun kembali bermimpi,sambil berdoa dan mencari jalan untuk mewujudkannya...


Panti Asuhan Tanjung Barat, Badan Sosial Gereja Kristen Pasundan, tel 0217818451

No comments: