Inilah drama realitas yang sesungguhnya di luar gemerlapnya acara kontak jodoh yang sekarang sedang populer-populernya. Dengan satu orang dipajang dan sederetan calon pendamping yang harus dipilih dalam waktu satu atau dua jam, si merak harus menentukan pilihannya. Dan ketika "jodoh" ditemukan, kita semua mengira bahwa akhir cerita dongeng ini adalah bahagia sepanjang hayat...
Kenyataan berbicara jauh dari itu. Reality show ini digarap setengah sinetron, dengan sebagian memang mencari jodoh, dan sebagian lagi mencari popularitas dan uang. Yang sial adalah bila yang serius bertemu yang sebelahnya lagi. Itulah yang terjadi dengan salah satu pesertanya. Hari ini dia menceritakan kepada saya bagaimana harapan yang diletakkan dalam waktu beberapa jam itu kemudian menjadi malu yang terbesar seumur hidupnya karena sang pasangan ternyata tidak benar benar mencari pasangan sebab sudah punya pacar, dan ikut acara itu untuk uang dan popularitas. Akhirnya pertalian yang dijalin instan itu, rontok dalam hitungan bulan.
Apa sih yang bisa diharapkan dengan pertemuan pertama yang harus menjadi penentu pilihan seumur hidup? Ketika berjumpa, tentu penilaian luar yang diandalkan: fisik dan gerak gerik. Namun semua itu sama sekali tidak menggambarkan sejarah panjang ke dua belah pihak, baik yang hitam maupun yang putih. Pilih memilih instan itu sama sekali tidak menunjukkan keadaan yang sebenarnya dari peserta, termasuk motif di balik kemunculannya di panggung arena.
Saya jadi tercenung. Bagaimana kita bisa menaruh harapan pada suatu hal yang dikemas menjadi sebuah tontonan penuh drama dan intrik demi tingginya rating? Tentu semuanya semu, tapi toh masih saja ada yang menaruh harapan penuh, siapa tahu bisa mendapatkan yang diharapkan. Jodoh kan tak akan lari ke mana? Namun itu lah yang dipermasalahkan kakak kelas saya beberapa hari yang lalu. Saat saya bercerita tentang apa yang saya alami, dia langsung bertanya: ketemu di mana?
Ternyata bertemu di mana itu, punya peranan yang cukup besar dalam menentukan apakah arah sebuah perkenalan itu masuk kategori benar atau tidak benar. Saya mencoba memasukkan kasus di atas ke dalam rumus ini, dan ternyata klop. Ketemunya di sebuah drama, ya hasilnya drama juga. Bermulanya instan, ya kemungkinan akhirnya instan juga.
Ada sisi lain lagi yang tidak tergambar dari acara yang menyedot jutaan pemirsa itu. Angka jutaan itu menjadi magnet bagi sebagian orang untuk mendaftar demi popularitas. Ada yang berharap bahwa ditonton jutaan mata sama dengan terkenal, dan kalau sudah dikenal kemungkinan ia menangkap perhatian produser dan sutradara sinetron akan terbuka lebar. Kalau pun itu tak dapat, hitung hitung lumayan dapat honor yang lumayan besar. Kejadian ini mengkonfirmasikan serangkaian kejadian yang saya jumpai dari awal tahun ini bahwa hidup ini begitu sulitnya, sampai berbagai cara pun dicoba ditempuh. Jalur yang ditempuh di atas masih cukup sopan dan wajar. Jalur ekspres lainnya adalah memanfaatkan (atau dimanfaatkan!) peluang. Kadang ada mata yang memang menangkap peluang seseorang yang sekelebat keluar di televisi untuk diangkat menjadi bintang yang lebih bersinar. Namun mata itu juga melihat peluang untuk memanfaatkan peluang sang calon bintang itu bagi kenikmatan pribadinya. Kalau kurang jelas, kalimat di atas alias menawari sebuah peran (yang belum tentu besar) dengan syarat harus tidur dengan sutradara atau produsernya. Dan percaya atau tidak, banyak sekali yang rela melakukannya. Bahkan, bukan cuma rela, namun menyodorkan diri untuk itu.
Saya jadi berkesimpulan, bahwa di balik suatu kejadian instan, tersimpan berjuta peluang masalah yang siap terbeber begitu ke-instan-annya lenyap. Dan yang namanya instan, maka sebagian besar hasilnya juga akan menguap cepat juga. Coba sebut jebolan ajang cari bakat tarik suara yang sampai saat ini masih dikenal. Cuma segelintir, bahkan tak jarang juara pertamanya justru tertelan bumi lebih cepat lagi. Berapa banyak mantan ratu kecantikan atau duta provinsi yang masih eksis. Berapa banyak generasi ke sekian konglomerat yang akhirnya menyerahkan kekayaannya pada orang lain karena semua didapatnya dari warisan nenek moyang yang keringatnya sudah kering tak berbekas. Juga para koruptor yang maunya instan dapat uang dan jabatan yang berlimpah, namun berakhir di balik jeruji.
Lalu saya mencoba untuk mereview hidup saya lagi. Untuk mendapat gelar sarjana saya butuh waktu 18 tahun merangkak dari taman kanak kanak hingga perguruan tinggi. Untuk mencapai posisi sekarang, saya menghabiskan waktu 22 tahun, mulai dari seorang pelamar hingga jadi seorang business partner. Saat ini, saya rela menunggu sebuah televisi datar terjun bebas harganya untuk menggantikan televisi kaca cembung di ruang kerja di rumah. Kalau saya rela dan mau menjalani tahapan yang tidak sederhana dalam kehidupan kerja dan keseharian, mengapa saya jadi orang yang tidak sabar dan ingin instan ketika bertemu seseorang yang memikat hati saya? Katanya kalau jodoh takkan ke mana? Mestinya saya juga melakukan apa yang terjadi dalam karir dan kehidupan belajar saya. Toh dalam 18 tahun saya belajar, tak ada yang mengatakan saya gagal. Saya malah lulus summa cumlaude. Dan dalam 22 tahun perjalanan berliku karir saya, tak ada yang mengatakan saya gagal, atau kurang cepat. Dan saya menikmati setiap tahapan yang terjadi, mulai dari seorang manajemen trainee, kemudian memiliki kemampuan di sisi agency, pindah ke sisi klien, kemudian balik lagi ke sisi agency, lalu beralih ke sisi klien dan kini menjadi partner di sebuah konsultan. Ping pong posisi ini membuat saya menjadi pribadi yang utuh sebagai seorang konsultan. Terasah ketajamannya di bidang konsultasi, namun juga memiliki empati di sisi klien, karena saya sudah merasakan di dua posisi tersebut. Jadi, kalau saya cerna lagi, mestinya saya juga menerapkan prinsip ini dalam kehidupan cinta saya. Kalau toh memang jodoh saya, maka tak apa untuk menjalaninya setahap demi setahap, dimana di setiap tahapan kita jadi lebih mengerti tentang pasangan kita. Selama ini, untuk soal asmara, saya inginnya instan saja: begitu jatuh cinta, langsung mengutarakan, diterima, dan bersatu. Ternyata yang begini ini justru menimbulkan masalah besar.
Saya jadi ingat, suatu saat sebelum kembali ke Jakarta, keponakan saya Ika menunjukkan sebuah cupu, yang ketika dibuka berisi lipatan kertas. Isinya adalah beberapa kriteria yang ingin diperolehnya dari seorang suami idealnya. Waktu itu Ika baru putus dengan pacar terdahulunya. Dia bilang dengan menuliskan kriteria yang terpenting yang harus dimiliki pasangannya, ia jadi punya patokan untuk menilai dan men-test apakah seseorang layak masuk dalam kategori calon suaminya. Dan ketika syarat itu terpenuhi, barulah ia berani melangkah. Kini ia hidup bahagia dengan suami yang memenuhi kriterianya, dan seorang putri yang membuat semua orang jatuh cinta. Rasanya saya harus belajar dari dia, menulis kriteria pasangan saya, dan mulai mencocokkan kriteria yang saya tulis itu dengan karakter orang yang saya sukai. Dan itu bukan hal yang bisa dilakukan dalam sehari. Butuh beberapa bulan, bahkan tahun untuk mencentang masing masing kriteria hingga keseluruhannya sudah diperiksa dengan benar dan tepat.
Hari ini saya belajar untuk tidak lagi mencoba mendapatkan apa pun dalam hidup ini melalui jalan instan. Kalau selama ini saya sudah menerapkannya untuk hidup dan kerja saya, maka kini giliran saya menerapkannya untuk hubungan pribadi saya...
No comments:
Post a Comment