Malam ini saya bersantap sambil berbincang panjang dengan seorang teman. Saya sempat bercerita tentang apa yang terjadi pada teman saya dua malam lalu, dan teman santap malam saya mengeluarkan pendapatnya: sebenarnya tidak ada yang salah dengan teman saya yang satu itu, ia hanya bertemu dengan orang yang tidak baik. Orang yang sudah dari awalnya punya niat tersendiri. Saya hanya terdiam. Jadi, ada kategori orang baik, dan orang yang tidak baik. Lalu, dia bilang lagi, proses sebuah hubungan itu perlu waktu. Kita tidak bisa menilai dari tahap awalnya saja, karena apa yang menggebu gebu di awal itu sebenarnya adalah area abu abu. Hm, ini menarik. Yang dimaksud dengan abu abu, adalah area yang antara bisa dipercaya dan tidak bisa dipercaya. Ok, I get it. Setelah melalui masa ini, masih butuh waktu yang cukup dan pertimbangan yang matang untuk sampai pada tahap mengikat janji untuk hidup bersama. Hm, saya teringat pesan Gill di Australia soal mencintai 100%. O, soal yang seratus persen ini, teman saya bilang, dia menahan diri. Saya jadi ingin tahu lebih jauh, bagaimana caranya. Dia bilang dengan tidak berharap banyak di awal. Ah, that's the point! Selama ini saya rasanya menaruh beban harapan yang terlalu besar di awal hubungan saya. And it's just not working. So, I have to change.
Teman saya bercerita dia pernah melakukan kesalahan juga. Saat itu dia suka pada seseorang dan berharap. Di saat semuanya indah, tiba tiba sang pujaan menghilang lenyap begitu saja. Menjawab sms pun seperlunya. Perlu waktu tiga bulan untuk membujuknya makan malam bersama. Dan saat makan malam tiba, sebenarnya ia ingin menanyakan apa yang terjadi. Namun bahasa tubuh sang pujaan mengurungkan niatnya. Ia tahu bahwa harapannya sudah berakhir.
Tapi menghilangnya sang pujaan ternyata membawa dampak lain padanya. Ia jadi tidak percaya diri. Maka ia pun mencoba memikat orang lain, hanya untuk mendapat konfirmasi bahwa ia masih menarik dan masih dapat menggait hati orang. Dan ketika orang itu sudah terpikat dan menanyakan arah hubungan mereka, ia pun mundur teratur, yang penting ia tahu, dia masih punya daya pikat!
Wait a minute, saya juga melakukannya saat saya kehilangan percaya diri ditinggal selingkuh! Saya memejamkan mata memikirkan hati yang terlukai hanya untuk membuktikan bahwa saya masih punya daya pesona. Saya jadi ingin tahu, apakah menurut pendapat teman saya, saya ini flirty. Jawabannya seolah meneguhkan penelaahan pribadi saya saat di Perth beberapa lalu. Dia bilang, saya tidak flirty, hanya too nice. Too nice sampai orang salah sangka, dan punya persepsi lain atas laku saya terhadap yang bersangkutan. Dikira saya ada hati, tapi yang sebetulnya terjadi adalah saya hanya being nice.
Masalah ini, sudah pernah saya bahas dengan kakak saya Gita berpuluh tahun lalu. Waktu itu, ada rekan kerja wanita saya yang usianya 12 tahun di atas saya, dan mempertanyakan arah hubungan kami. Saya benar benar terkesiap karena selama ini saya menganggapnya seperti kakak saja. Rekan kerja wanita yang lain, sampai pernah mengunci pintu ruang kerja saya, dan membuat saya keringat dingin karena menyangka akan diperkosa! Lalu ada seorang petinggi sebuah surat kabar nasional yang berkomentar, "I like you, because you are such a gentleman. Jarang sekarang saya melihat ada orang yang membukakan pintu mobil seperti ini." Saya merasa ada yang salah. Selalu telat sadar. Namun, mungkin karena saat itu masih terlalu muda, saya merasa belum mendapat jawaban yang memuaskan bagaimana mengatasinya.
Saya memang dididik untuk sopan. Seorang pria harus berjalan di sisi luar jalanan bila sedang berdampingan dengan wanita. Dia harus membukakan pintu. Harus perhatian. Jadi saya merasa aneh ketika hal seperti ini dipermasalahkan. Dan diperhatikan.
Saya jadi ingat ketika sedang mengantri ke kamar kecil di lorong pesawat saat mengantar ibu saya ke Perth tanggal 20 Desember yang lalu. Rupanya gerak gerik saya mengurusi ibu saya, jadi perhatian seorang ibu yang mengantri di depan saya. Dia bilang, dia memperhatikan saya dan begitu perhatiannya saya pada ibu. Dia jadi ingat anaknya, dan dia "kepingin punya anak seperti kamu." Ketika kembali duduk, saya bercerita pada ibu saya, dan kami berdua terbahak lirih (saya rasa Ibu saya bangga, dan to tell the truth saya bangga juga dimaui orang untuk jadi anaknya. hahaha) Dalam hati, saya agak heran karena buat saya, bukannya sudah seharusnya seorang anak berbakti dan hormat pada orang tuanya (catatan: berbakti bukan berarti mengikuti kemauan orang tua secara membabi buta karena kita juga tahu apa yang terbaik untuk kita sendiri, bukan menurut orang lain, termasuk orang tua kita). Karena begitulah kami di keluarga dididik.
Maka, di tengah didikan untuk sopan, perhatian, menghargai orang lain, dan sebagainya, saya kemudian menjadi apa yang dikatakan teman saya, kurang peka. Bahwa hal hal seperti ini bisa memacu persepsi lain atas diri saya. Bahwa saya ada hati.
Saya tercenung. Jadi apa yang harus saya lakukan? jadi judes? cuek? teman saya bilang nothing. The only thing you have to change is to be more sensitive. Perhatikan reaksi orang yang menerima treatment yang kamu lakukan secara alami itu. Dia bilang saya harus lebih peka terhadap reaksi orang. Dan saya harus lebih berhati hati dalam bersikap baik. It's a must to be nice to people. Just don't be too nice...
Saya bersyukur punya momen seperti ini yang menjadi masukan berharga untuk memperbaiki diri. Saya jadi harus belajar untuk bisa mendefinisikan tindakan mana yang akhirnya melangkah melebihi batas kata "terlalu" tadi. Dan lebih peka. Lebih peka, dan lebih peka ...
No comments:
Post a Comment