Saturday, January 23, 2010

23 Januari 2010 : Sendiri

Sabtu pagi, kalau tidak ada aral melintang seperti hujan atau bangun terlalu siang, biasanya saya sudah di jalan, kalau tidak jalan kaki, ya mengayuh sepeda onthel sebagai wujud olah raga di alam nyata, maksudnya bukan bohongan karena naik sepeda statis, tapi benar benar menghirup udara luar rumah, menyusuri indahnya alam Lippo Village. Pagi tadi, menjadi lebih istimewa lagi, karena di tengah jalan bertemu Pak Wong, ketua wilayah gereja saya. Lalu tanpa terasa saya bersepeda sambil mengobrol ngalor ngidul selama dua jam.

Pak Wong adalah orang yang sangat sederhana, dan aktif di gereja. Namun, karena Beliau tinggal di daerah paling elit di kawasan ini, dan menjadi tetangga depan James Riady, timbul pertanyaan iseng ingin tahu, "Pak, Bapak kenal nggak dengan tetangga?" Ternyata, untuk orang yang se people person dia, jawabannya kurang lebih tidak. Lalu saya mengaku kalau saat ini, tak seorangpun di sekitar rumah yang saya kenal. Satu satunya tetangga yang saya kenal, Paul yang di depan rumah, sudah pindah berbulan bulan lalu ke rumah yang lebih besar. Itu pun saya sambut dengan lega karena selama ini supirnya kalau parkir tidak pernah tahu aturan.

Saya jadi berpikir, penting nggak sih kenal tetangga? Lha wong tetangga saya di sebelah Paul adalah anak anak kos Pelita Harapan yang manner parkirnya juga tidak ada harapan. Dan tetangga sebelah saya persis juga bukan tipe orang yang ingin saya kenal. Mungkin pembantu saya lebih kenal tetangga sekitar. Di seberang jalan saya, tinggal kakak Johnny Andrean dan darinya terkadang pembantu saya mendapat supply Breadtalk dan J.Co. Buat pembantu, bukan buat saya.

Dulu, ketika tinggal di Cinere, wah, setiap anggota keluarga tetangga saya kenal. Bahkan ibu saya saja sempat heran, ketika saya demam, mengalir kiriman makan siang dan malam dari tetangga. Tetangga di ujung jalan, Maureen Budiman saja, menelpon, "Hari ini mau dimasakin apa? rawon ya? nanti aku suruh bibi ngirim!" Tapi, sejak pindah di Karawaci, suasananya sudah beda. Bagaimana ketemu, kalau pagi, saya mungkin yang paling siang berangkatnya dan pulangnya masing masing bervariatif. Lagi pula kok rasanya sampai saat ini rasanya (masih) tidak ada perlunya kenalan. Satu satunya ajang kenalan adalah waktu saya dulu pertama kali pindah, dan diadakan giliran jaga malam bersama karena masih suasana kerusuhan Mei 1998. Tapi itu pun saya lakukan cuma sekali. Habis, dibanding waktu di Cinere yang benar benar jaga keliling, kegiatan ronda malamnya cuma duduk ngobrol di salah satu rumah warga, makan makan minum, sampai subuh. Memang dasar cukong cukong, jadi tidak terbiasa ronda, dan buat saya cuma buang buang tenaga dan waktu saja. Sekarang, laskar satpam malam dulu sudah tidak berbekas kecuali saya jadi salah satu dari segelintir veteran di deretan jalan ini.

Belum sempat pembahasan soal tetangga selesai, Pak Wong sudah nyerempet soal interaksi dengan keluarga. Saya kemudian menimpali, kalau mau dituruti, keluarga ibu saya yang asal Makassar itu, setiap minggu adaaaaa saja acaranya. Ulang tahun ini lah itu lah. Lama lama saya pikir, waduh, kalau gini caranya, saya tidak punya waktu untuk diri sendiri. Senin sampai Jumat, saya sudah bersosialisasi dengan ratusan orang, kalau weekend saya habis buat bersosialisasi juga, kapan waktu untuk diri sendiri? Belum lagi saya sering dibuat mabok dengan gossip keluarga yang kadang melebihi hebohnya berita infotainment para artis. Yang saya lakukan kemudian adalah menjadi super selektif untuk kegiatan sosialisasi keluarga ini. Datang ke yang penting penting saja, kecuali kalau ada yang sakit atau berduka, wah itu sih diperlukan datang. Kalau tidak, saya tidak punya me-time."

Dan sepanjang sore hingga malam ini benar benar jadi me-time saya. Bukan karena benar benar ingin sendiri, tapi karena tak punya pasangan to spend time with. Tapi karena sendirian, bukan berarti pula tidak ada yang mau menemani saya. Ada seseorang yang menyatakan ingin bertemu sebelum besok berangkat keliling daerah untuk tugas kerjanya selama 3 minggu. Dan ada seseorang lain yang menyatakan ingin spend weekend bersama saya. Tapi saya tidak mood. Tak tahu mengapa, akhirnya saya memutuskan untuk keliling Jakarta sendiri dengan mobil, tanpa tujuan yang jelas, dan tanpa ditemani seorangpun. Kesepian? Yaa... sedikit, tapi saya juga sedang tidak ingin ditemani siapa siapa.

Selama dalam perjalanan 4 jam itu, saya banyak berdialog dengan diri sendiri. Mulai dari debat mendebat masalah kangen, pikiran ini melanglang buana mencari jawaban atas pertanyaan seorang rekan saat saya bilang: kenalin doooong. Pertanyaannya standar,"Kamu mau pacar yang kayak apa se?" Waduh, tadinya saya bikin kriteria berlembar lembar, yang tampang dan bodinya oke, smart, mandiri, ini, itu, ini, itu... sampai akhirnya saya coret semua daftar itu secara virtual, dan dalam mobil tadi saya mendapatkan jawaban yang memuaskan hati karena mencakup semuanya,"yang bisa dengan bangga saya kenalkan ke kamu, ini lho pasanganku..."

Saya perlu minta maaf pada mereka mereka yang saya kecewakan karena saya tidak menjawab keinginan mereka untuk bisa spend time together di weekend ini. Tapi akhirnya, hari yang tadinya bisa jadi calon disaster buat saya karena kesendirian ini, malah jadi produktif justru karena kesendirian itu membuat saya jadi lebih mengerti dan menerima keadaan diri dan pada akhirnya berdamai dengan diri saya sendiri. Kalau di awal perjalanan keluar dari karawaci lagu yang saya dengar adalah lagu menangis-nangisnya Rossa dan Sadis (lagi!) nya Afgan, maka di akhir perjalanan masuk Karawaci, saya sudah mematikannya dan mengganti dengan lagu yang lebih optimis : Smile.

Smile adalah lagu karangan Charlie Chaplin (tak ada orang yang lebih tepat lagi menciptakan lagu ini, di balik ketenarannya, Charlie Chaplin harus bersembunyi di kedok make up tebal dan kumis Hitlernya dan berakting konyol, tak peduli bagaimana suasana hatinya saat itu) yang dipersembahkan pada Nat King Cole, dan kemudian menjadi lagu kesayangan Michael Jackson, dan dibawakan oleh kakak lakinya sambil menahan haru di depan peti jenazah emas adiknya. Lagu itu menyarankan kita untuk tetap tersenyum walau hati ini hancur, karena senyuman akan menghalau mendung dan membawa terang hidup. Senyum, juga jadi resep Ketut Liyer saat ia menurunkan ilmu meditasinya kepada Elizabeth Gilbert dalam Eat, Pray, Love. Ketut menyarankan agar melakukan meditasi dengan senyum, untuk mengundang energi baik dalam kehidupannya.


Smile, though your heart is aching
Smile, even though it's breaking
when there are clouds in the sky, you'll get by
if you smile through your fear and sorrow,
smile and may be tomorrow
you'll see the sun will come shinning through
if you just smile

Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness
although a tear maybe ever so near
That's the time you must keep on smiling
Smile, what's the use of crying
You'll see that life is still worthwhile
if you just smile...

Malam ini saya belajar, bahwa sendiri tak selamanya nelangsa. Bahkan ketika kita sudah punya pasangan pun, ternyata kita juga butuh me-time. Agar kita selalu diingatkan bahwa kita ini seorang pribadi yang memiliki eksistensinya sendiri. Me-time juga menjadi waktu meneguhkan, menyegarkan dan menguatkan kembali keberadaan kita sebagai seorang insan pribadi. Kalau pasangan Anda bilang bahwa setelah menikah atau berkomitmen, semuanya lebur jadi satu, saya pastikan itu semuanya bisa jadi akal akalan dia saja, dengan mengatasnamakan cinta dan romantisme, agar bisa memenjarakan Anda dan menjadikan Anda orang yang dia inginkan. Yang benar adalah Bhinneka Tunggal Ika. Justru keunikan pribadi kita masing masing yang menjadi perekat dan pemersatu hubungan kita menjadi lebih bermakna dan lebih solid. Maka, me-time itu perlu. Asal jangan disalahgunakan saja: me-time jadi saat selingkuh. Atau... asal jangan keseringan saja, lama lama bisa jadi jomblo abadi, karena isinya me-time melulu...

No comments: