Friday, January 15, 2010

15 Januari 2010: The X Factors

Sore ini saya berbincang dengan sekelompok orang berduit yang peduli dan memiliki visi mulia untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Mereka tidak hanya melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan anak bangsa, namun juga menyediakan berbagai sarana kemudahan untuk memperoleh pengetahuan. Dengan bangga dan tangkas mereka memaparkan upaya mereka mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan para sarjana kita agar bisa menjadi insan Indonesia yang lebih baik.

Saat berbincang saya perhatikan segalanya seputar knowledge and skill, seolah knowledge and skill adalah satu satu nya kunci untuk menjadikan kita manusia yang lebih baik. Otak saya yang tukang komplen jadi digelitik untuk berputar lebih cepat. Kayaknya ada yang tidak tepat dan kurang benar nih. Sambil mencari tahu apa sebenarnya yang kurang, saya mengajak mereka mengobrol berputar putar. Sampai akhirnya lampu otak saya menyala. Aha! Ketemu!

Saya langsung nyeletuk, bagaimana mungkin mengklaim bisa menjadikan insan Indonesia lebih baik, kalau yang ditekankan hanya dari segi teknisnya saja? Di luar kemampuan teknis, ada lagi daya yang luar biasa besarnya yang menjadi penentu : HATI. AKHLAK. IMAN.

Dengan diskusi tadi, saya jadi mendapat pencerahan dan jawaban, mengapa negara ini bisa memiliki prestasi yang luar biasa di bidang matematika, fisika dan kimia, tetapi tak ada satupun dari pemenang medali olimpiade otak itu kemudian membangun bangsanya dengan pengetahuan yang didapatnya. Saya melihat betapa banyaknya otak encer kita yang tercecer di luar negeri. Di Dubai saya mendapatkan ada puluhan ribu sarjana terpandai kita yang bekerja mengembangkan daerah gersang menjadi kota termakmur di dunia ini. Kalau saja, mereka punya sedikit nasionalisme dan Hati Kebangsaan, dan mengembangkan negara ini, bisa dibayangkan betapa maju dan jayanya Indonesia. Di sisi lain, saya juga jadi melihat dan akhirnya memahami mengapa, misalnya para dokter kita lebih peduli dengan kantong dan target yang diberikan pabrik obat, ketimbang melayani pasiennya dengan hati. Mengapa para pejabat negara ini sesumbar demi kepentingan bangsa, namun yang terjadi sebenarnya menghalalkan segala cara untuk mempertebal kantong dan meraup kekuasaan seluas luasnya.

Karena selama ini, bangsa ini terlalu sibuk mengejar ketertinggalan di bidang pengetahuan dan ketrampilan. Kita merasa bahwa kalau kemampuan pengetahuan dan ketrampilan setara dengan bangsa maju, maka kita akan sejajar dengan bangsa maju, dan digolongkan sebagai bangsa maju pula, tanpa menyadari - atau lupa - kalau Hati, Akhlak dan Iman pada akhirnya menjadi penentu apakah insan bangsa ini tampil jadi pemenang atau tidak. Maka jadinya, sekolah kita lebih sibuk menjadi sekolah internasional karena mendongkrak gengsi orang tua dan siswanya, ketimbang membentuk anak anak menjadi manusia Indonesia yang berkemampuan dan berkepribadian utuh.

Maka terjadilah, kenapa kok dengan pengetahuan dan ketrampilan yang sama, orang lebih senang memilih dokter luar negeri ketimbang dokter Indonesia lulusan luar negeri. Kenapa kok layanan pelanggan di negara asing terasa lebih menenteramkan hati dari layanan awak kita sendiri.

Yang menjadi faktor pembeda adalah, di negara lain, akhlak dan hati menjadi pelajaran yang tak kalah pentingnya. Kedisiplinan diajarkan bahkan dengan cara wajib militer seperti di Singapura, Korea, bahkan Jerman. Sedang anak anak kehilangan 'jiwa' dan 'hati' nya. Di Indonesia, budi pekerti sudah tidak masuk kurikulum, baik di sekolah maupun di rumah. Sekolah lebih mengejar prestasi teknis, dan sedang di rumah seringkali tak mendapat apa apa, karena orang tua yang bertanggung jawab mendidik anaknya, menyatakan tanggungjawabnya bukan dengan perhatian namun dengan materi. Karena itu pula, nilai utama anak Indonesia menjadi lebih terbentuk dari prestasi teknis dan materi sehingga tak mengherankan, kedua hal itu menjadi faktor ukuran awam masa kini apakah seseorang itu sukses atau tidak. Maka bersamaan dengan itu, menguap pulalah rasa nasionalisme, rasa kebanggaan memiliki dan tanggungjawab mengembangkan negaranya.

Hal ini ditambah parah lagi, karena televisi kita yang menjadi media utama pengikat mata masyarakat dan sarana utama masyarakat untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan (berdasarkan dari hasil riset terakhir, 97% responden Indonesia menyatakan memperoleh informasi dari televisi) mengajarkan hal hal yang di luar akhlak dan hati untuk meraih keberhasilan dan kebahagian dengan menghalalkan segala cara melalui sinetronnya yang melulu membeberkan intrik, tipu muslihat dan kelicikan, yang tanpa sadar membentuk kepribadian bangsa ini, mulai dari pembantu, ibu rumah tangga, sampai anak anak balita yang sangat hafal karakter masing masing peran.

Saya jadi tercenung dan takut sendiri melihat kenyataan ini. Tapi di lain pihak, saya merasa bersyukur saya termasuk salah seorang dari sedikit kalangan yang masih mendapat pendidikan akhlak dan hati yang luar biasa bergunanya dari kedua orang tuanya, dan dari sekolah "zaman dulu" nya. Di Universitas Kristen Satya Wacana zaman saya dulu, misalnya, nuansa dan nilai nilai kekristenan mengalir kuat dan sama pentingnya dengan mata kuliah penting fakultas yang memiliki sks terbesar sekalipun, sehingga sebagai pribadi, saya merasa diseimbangkan antara penetahuan, ketrampilan dan iman. Tiba tiba, saya merasa menjadi punya daya jual dan daya saing lebih, karena selain pengetahuan dan skill yang saya miliki dan yakini tak kalah dengan kemampuan para pakar bergelar akademis yang berlipat ganda, saya dibekali hati dan akhlak, yang belum tentu dimiliki oleh insan lain di bumi pertiwi ini.

Maka hari ini, saya disadarkan akan pentingnya memiliki faktor penentu kemenangan dalam hidup ini: Hati dan Akhlak. Budi Pekerti. dan Iman. Saya sudah membocorkan rahasia kekuatan ini dalam blog saya. Dengan harapan siapa pun yang membaca menjadi terinspirasi, dan menempatkan hati dan akhlak, dan iman di atas segala ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadikan anak anak kita generasi Insan Indonesia yang tidak hanya lebih baik, namun Insan Indonesia yang utuh dan pada akhirnya memiliki daya jual dan saing yang lebih tinggi nilainya dari bangsa mana pun di dunia ini. Amien.

No comments: