Tuesday, January 19, 2010

19 Januari 2010 : Ditampar!

Hari ini rasa rindu saya kepada seseorang yang sudah tidak memedulikan saya lagi sampailah pada puncaknya. Saking tidak tahannya, saya sempat mengirimkan pesan singkat dua hari yang lalu, dan sampai, tapi tidak ada jawaban. Saya sms lagi kemarin, dan sampai saat ini nomornya dimatikan.

Secara virtual, saya mengambil palu dan memukulkannya berulang kali ke kepala botak saya. Tung! Tung! Tung! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sudah tahu sudah usai, masih saja tidak belajar belajar dan menerima realita! Saya membayangkan Dallan*, sang pembaca watak yang berkali kali menceramahi saya soal ini selama 45 menit di Perth! Terngiang-ngiang kata stubborn, and you never learn, and you keep repeating the same thing, over and over again with the same mistakes and results! You have to change! And somehow, I don't know how, you will change! Saya jadi terdiam mencoba mencerna dan belajar dari ketololan saya.

Oke oke, saya memang bodoh! Masih memikirkan dan berharap yang tak mungkin. Saya tahu itu. Tapi di sisi lain hati ini juga bilang, siapa tahu? Memang semua ini proses, dan dalam proses tarik ulur rasa ini, rasanya saya butuh pembuktian. Bukti bahwa semuanya memang telah usai, dan dia sudah tidak peduli lagi pada saya. Dan reaksinya terhadap aksi konyol saya ini adalah buktinya. Sebagai orang yang selalu ingin berpikir analitis dan rasional, saya harus bisa menerima bukti nyata ini. Tak peduli nyata atau tidak, tapi yang kasat mata, beginilah buktinya.

Lama saya terdiam mencerna realita ini, dan memikirkannya. Selama ini saya bertanya dalam hati, bagaimana caranya mengobati luka yang ada di hati ini. Sudah mencoba tegar dan rasional, masih saja tersedot dalam lingkaran setan yang tidak berkesudahan. Masih curi curi baca sms dan email basinya, masih curi curi memandang fotonya. Padahal beberapa teman dekat saya yang sudah seperti malaikat telah menceramahi saya habis habisan. Mereka tak pernah berhenti mengawal hari hari saya. Tapi, tetap saja.... (dan saya tak berani menceritakan apa yang saya sudah lakukan selama ini, semoga saja mereka tidak baca blog ini, dan kalau iya, masih sudi memaafkan saya yang bebal ini)

Hari ini, saya seperti ditampar untuk bangun. Dibukakan mata terhadap realita yang sebetulnya sudah saya ketahui sejak beberapa waktu lalu, tapi tidak mau menerima kenyataan. Tapi akhirnya saya menyadari juga, kalau tamparan itu perlu. Perlu adanya sebuah shocking effect untuk menghentikan sesuatu yang terjadi berkepanjangan dan bertele tele tanpa hasil. Dan hari ini, saya melakukannya. Plak! Ibaratnya, kalau tidak bisa diberitahu baik baik, ya harus diberi pelajaran! And that's exactly what I did to myself today!

Hasilnya? Yang jelas saya jadi terbangun, dan mengakui, bahwa semuanya sudah berakhir. Dan saya tidak boleh marah. Atau kecewa lagi. Karena memang akhirnya sampai di sini saja. Dan memang seperti itu jalannya.

Tadi saat makan malam dengan seorang teman, saya bercerita tentang pelajaran yang saya petik dari menonton film The Lord of The Rings. Semua tentu ingat bahwa film legendaris itu terbagi atas tiga bagian. Yang mau saya ceritakan adalah seusai menonton film pertama, saya benar benar kesal dan marah, bukan karena kualitas filmya karena menurut saya, filmnya sungguh luar biasa! Tapi... produser dan sutradara macam apa itu, yang memenggal film seenaknya sendiri, dan membiarkan film yang sama sekali tak tuntas itu berakhir dengan kata "bersambung"?

Lama benar saya geram, betul betul geram. Rugi besar rasanya menonton film itu! Sampai akhirnya saya dibawa untuk menyadari makna lain dibalik film yang dipenggal "seenaknya" itu. Tak tahu bagaimana awalnya, saya jadi mengaitkannya dengan realita hidup, atau sebuah hubungan, atau sebuah cerita hidup. Saya jadi mendapat pencerahan, bahwa begitulah hidup ini, bisa berhenti kapan saja, apakah berhentinya selesai dengan kata "Tamat" yang aman dan tenang, atau terpenggal di tengah jalan, mungkin karena kecelakaan, dibunuh, sakit mendadak, atau apapun. Tapi yang namanya mati ya tetap mati. Tamat. Apa pun ceritanya. Juga sebuah hubungan. Mau berakhirnya happy ending, atau terpisah karena meninggal, bercerai, diselingkuhi, menyelingkuhi, dipaksa kawin dengan pilihan orang tua atau apa pun, tetap saja ada akhirnya. Tetap saja harus tamat. Dan kita harus bisa menerimanya, karena ceritanya memang berakhir sampai di situ saja.

Saat menceritakannya, saya diingatkan kembali atas pencerahan itu, dan dibimbing untuk mempergunakannya untuk menyadari situasi sekarang, bahwa hubungan saya dengan si tidak peduli itu sudah berakhir, sudah tamat, dan saya harus menerimanya dengan legawa. Dan sekali lagi, mengikhlaskannya. (bicara soal ikhlas, meski sudah diberitahu berkali kali, tapi kok tidak belajar belajar ya! aarrrgh!! Dasar bebal!!!)

Dan ... ah, saya jadi ingat satu kisah lagi yang menguatkan hal ini. Di sebuah acara natal sederhana beberapa tahun silam, saya dihampiri Oom Willem Soeryadjaya, sang pendiri Astra. Beliau memilih duduk dan mengobrol santai dengan saya di deretan kursi belakang dari pada di deretan depan. Namun Oom Willem tetap Oom Willem, bersembunyi di mana pun tetap terlihat, sehingga si pembawa acara minta Oom Willem memberi kesaksian atau wejangan. Oom Willem lalu bercerita tentang bersyukur. Bahwa kita harus selalu mensyukuri keadaan kita. Apa yang dimiliki kita bukan punya kita, sehingga bila diambil, kita harus merelakannya, karena "itu" bukan milik kita. Kita cuma "dipinjami" saja. Oom Willem malah mengajak kita untuk mensyukuri, bahwa kita boleh pernah punya, boleh pernah memiliki, boleh pernah bersama dan boleh pernah menikmati apa yang dititipkan pada kita, sependek apa pun waktunya. Beliau bercerita bagaimana Beliau mendirikan dan membesarkan Astra, dan ketika semua semua jerih payahnya itu terambil, akhirnya si Oom bisa mensyukuri, pernah diberi kesempatan mendirikan dan membesarkan Astra hingga saat ini menjadi salah satu Blue chip utama di negeri ini. Oom Willem pun merasa bangga, pernah diberi kesempatan menjadi bagian (penting) dalam kejayaan itu. Sharing Oom Willem begitu melekat di otak dan hati saya, dan pelahan lahan saya mencoba mempraktekkannya. Saya jadi lebih legawa, ketika barang kecintaan saya rusak, atau hilang. Atau bahkan ketika ayah saya berpulang. Semuanya saya lalui dengan bersyukur. Bersyukur diberi kesempatan punya ayah yang luar biasa.

Maka hari ini saya diingatkan dua hal: Menerima dengan legawa dan ikhlas bahwa segala sesuatu itu ada akhirnya, tak peduli bagaimana hal itu berakhir - yang namanya tamat tetap tamat ; dan mensyukuri apa yang sudah dititipkan Tuhan kepada kita, tak peduli betapa singkatnya titipan itu. Apa yang saya awali dengan kecewa dan marah, hari ini saya akhiri dengan menerima dan bersyukur...


* Dallan : di Victoria Park ph 94706076 atau Armadale ph 94983788, West Australia

No comments: