Sunday, January 10, 2010

10 Januari 2010 : Antara Teori dan Kenyataan

Ada sebuah film yang tidak habis habis saya tonton, judulnya Eternal Beloved. Bukan karena ceritanya tidak menarik, tetapi karena saya menontonnya di tempat dan waktu yang berbeda beda karena sempitnya waktu luang saat bekerja. Mulai dari menonton di dalam mobil, kemudian pindah ke ruang keluarga, lalu tersimpan selama tiga minggu saat saya di Perth, dan hari Minggu ini, karena sudah mati gaya, jadi teringat akan film ini, kemudian saya tuntaskan. Lagi lagi, setelah menonton, saya jadi merasa, pasti ada tujuannya, saya disuruh menunggu bagian terakhir film ini selama berminggu minggu.

Film ini bercerita mengenai roh penasaran seorang biksu yang di akhir hidupnya diberi janji oleh wanita yang dicintainya - yang meninggal terlebih dahulu - untuk bertemu di kehidupan mendatang. Masalah si wanita pergi duluan, dan ketika si biksu mati terbunuh, dia takut kalau kalau arwah si wanita mencarinya. Ternyata ia keliru. Wanita idamannya sudah dilahirkan kembali, bahkan menikah bahagia dengan pria lain dan sedang mengandung bayi pertamanya, sedang si biksu masih tetap jadi setan gentayangan.

Ada yang menarik ketika akhirnya si arwah itu melihat kebahagiaan kekasihnya dan menyadari bahwa selama hidupnya ia ingin si wanita bahagia, dan kini ia bahagia, tak masalah apakah karena dia atau orang lain, yang penting dia bahagia. Maka si arwahpun kemudian merelakan kekasihnya menjalani hidup barunya yang bahagia, dan ia melanjutkan perjalanan rohnya menuju alam baka.

Saya jadi merenung. Betapa saya sering ngotot ingin membuat kekasih saya bahagia. Dan yang lebih keras kepala lagi, adalah pokoknya definisi bahagia ya harus saya yang membuat dia bahagia. Kalau dia bahagia dengan orang lain, itu salah dan bukan bahagia namanya! Maka saya yang selama ini sibuk berteori, kalau dihadapkan pada kenyataan dan realita, jadi gagap. Jadi frustrasi sendiri. Jadi merana sendiri. Padahal apa yang saya inginnya sudah tercapai, walaupun bukan karena saya.

Saya hari ini mendengar lagi kata kata kalau cinta itu tidak harus memiliki. Dan saya tidak habis mengerti. Saya mengutuk ungkapan itu sebagai kata kata orang yang terlalu banyak kecanduan film Korea. Tapi film yang baru saya selesaikan setelah sebulan menontonnya ini, menampar keras kebebalan saya.

Kemarin dan hari ini, saya ditampar lagi dengan kata kata oleh seorang yang umurnya lebih muda separuh dari usia saya, "Kamu ini hanya berpikir dari sisi kamu, tanpa mau tahu sisi orang lain. Kamu terlalu banyak teori." Ya, saya akhirnya menyadari, semua teori ini bagusnya di atas kertas. Kalau sudah dihadapkan realita, kita harus fleksibel menghadapi persoalan sesuai keadaan. Sama seperti saya menganggap bahwa saya bisa bersaing dengan lulusan S3 komunikasi kalau harus menangani sebuah kasus pekerjaan, karena saya ini pakar lapangan. Sayangnya, kepiawaian saya di bidang kerja, tidak diterapkan di kehidupan pribadi saya. Tapi, seperti kata teman saya Anita, kalau sudah perasaan yang main, mana bisa diatur?

Untuk menjawab pertanyaan itu, pikiran saya kembali mengulangi kata arwah si biksu. Selama ini, saya ingin dia berbahagia, dan kini saya melihat dia berbahagia, and this is all that matter! Tak peduli siapa yang memberi kebahagiaan, apakah saya atau dari orang lain, nyatanya dia berbahagia.

Hari ini saya diajari untuk mencintai dengan bijaksana oleh sebuah roh di dalam film mandarin. Semoga saya bisa menerapkannya dengan bijaksana di kehidupan nyata ...

No comments: