Hari ini saya tuntas membaca Eat, Pray, Love yang awalnya diperuntukkan sebagai bacaan selama masa libur panjang di Australia. Ternyata, liburan yang dikira senggang itu, terpenuhi oleh berbagai jadwal kegiatan sehingga buku yang saya bawa kemana mana itu, jadi terbengkalai. Sebenarnya, kelanjutan buku itu, sudah terbit awal bulan ini dengan judul "Committed". Buku itu dicetak dalam ukuran lebih besar dari pocket book biasa, dan dalam dua warna pilihan, putih dan oranye yang menyolok dengan judul dalam lingkaran cincin emas. Saya tertarik untuk membelinya, namun ketika lewat di depan Periplus sesaat setelah makan malam bersama dan berhenti sebentar untuk melihat lebih detil lagi ulasan di cover belakang, teman saya lalu nyeletuk,"It's sooo girly.." Pudar langsung niat saya membeli. Bukannya saya tidak jadi beli, saya cuma mengurungkan beli saat itu, dan akan mengambilnya di lain waktu... saat saya sendirian!
Saya sebenarnya heran bagaimana dia bisa menghakimi girly. Dia kan belum membaca bukunya. Apa karena yang menulis wanita? Dan covernya berurusan dengan hal hal yang selama ini diidentikkan dengan wanita, seperti bunga dan cincin kawin? Padahal, there's nothing wrong with the book. Kalau Anda pernah membaca Eat, Pray, Love, banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik dari pengalaman Elizabeth Gilbert, terlepas Anda setuju tidak dengan jalan yang diambilnya. Dan saking uniknya cara ia bertutur dan membagi pengalamannya, saya jadi ingin tahu, bagaimana dalam buku lanjutan ini, ia dan pacarnya yang duda itu sama sama mengatasi ketakutan mereka dalam mengakhiri masa lajang ke duanya dan berani mengambil keputusan untuk mengikat janji menikah lagi. Saya juga pernah trauma terhadap berbagai keterikatan yang ternyata penuh intrik ini. Jadi, pasti saya bisa belajar sesuatu dari buku baru itu.
Beberapa waktu lalu, saya kedatangan tamu dari jauh. Begitu masuk dalam rumah, ia langsung memberi penilaian bahwa rumah saya terlalu ribet, terlalu banyak barang, terlalu ini dan itu. Kalau saya jadi kamu, saya akan bobol tembok ini dan itu. Saat itu juga, saya langsung merasakan ada jarak antara kami berdua. I don't need this kind of person to tell me this and that in my life. Siapa dia berani beraninya memakai ukuran dia untuk menilai saya. Saya yakin dia tidak lebih baik dari saya. He ain't know nothing about me!
Ada lagi yang spesial menelpon saya dan menghakimi, "lu sudah gila ya bikin blog kayak gitu." Saat diocehi, saya sih diam saja. Tapi dalam hati, saya menjawab: Well, first of all, let me put it clearly: this blog is not for you nor anybody. It's for myself, so that I can learn and understand. And in doing so, I make various conversations with so many sides of myself so I can learn and understand. I am not writing to please anybody, however, I am inviting everybody to read so that we all can share in honesty and learn and understand together in order to become a better person. If you don't get the idea, then simply stop opening this blog. Gitu aja kok repot... Lalu saya berpikir, apa karena dia memang benar concern sama saya, atau cuma sekedar mau obok obok sok ikut campur saja tanpa tahu ujung pangkalnya ya?
O ya, saya juga pernah menonton acara televisi yang kalau tidak salah bertajuk, "Masihkah kau mencintaiku" dengan Helmy Yahya yang menjadi pembawa acara yang berusaha menyatukan lagi insan yang akan berpisah. Saya jadi heran siapa dia membawakan acara seperti itu padahal dianya sendiri bercerai, dan setelah membuat mantan isterinya terlihat jelek di hadapan publik dan infotainment, beberapa bulan kemudian, ia menikah lagi dengan wanita yang lebih muda dan kaya pula!
Manusia ini memang senang jadi hakim. Bisa menentukan ini benar dan itu salah. Yang sini dosa yang sana bejat. Kok dia gitu ya, kok bisa-bisanya ini ya. Ih, jijik deh. Aduh gila deh ya... dan... saya ternyata juga sangat tidak terkecuali sebagai hakim super piawai dan hebat! Ya, saya tidak ada bedanya dengan mereka yang menghakimi saya secara sepihak!
Malam ini, saya hadir di sebuah acara ulang tahun majalah gaya hidup. Banyak wajah yang berseliweran di infotainment dan majalah gaya hidup papan atas hadir di sana. Serta merta saya jadi fashion police. Padahal mengerti dan belajar fashion pun tidak! Hih, kok bajunya aneh gitu sih. Kok ke acara gini pake celana pendek sih. Walah, bajunya kayak merak. Ke acara formal gini kok rambutnya dijepit asal asalan begitu ya. Belum lagi langsung jadi penilai dan hakim jitu. Heehhhh yang itu pasti brondong cari mangsa (padahal mungkin dia memang sengaja diundang dan dikirimi undangan resmi, sedangkan saya cuma diundang pakai sms) Iiiiih, tu orang sudah menikah dan bawa pasangannya, matanya masih jelalatan ke mana mana (padahal mungkin jelalatannya untuk mencari "siapa lagi ya yang saya kenal tapi belum disalami..." )Kalau saya jadi wartawan infotainment, wah saya sudah bisa mengarang berita sampai berminggu minggu dari hasil penghakiman saya.
Enak rasanya jadi hakim. Kalau menghakimi, saya tiba tiba jadi orang yang paling benar dan paling suci, juga paling berkuasa. Tidak peduli saya tidak tahu atau tidak mengerti duduk masalahnya pokoknya menghakimi. Tanpa mau tahu alasan dan situasi yang menyebabkan sesuatu terjadi, ketok palu sudah dikumandangkan. Lalu penilaian terhadap orang yang baru dikenal. Uh, orang itu angkuh banget ya. Sok banget ya. Jualan banget ya. Mari kita coba pada selebriti kita. Apa pandangan Anda terhadap Julia Perez? Dewi Perssik? Krisdayanti?
Lalu sekarang saya terdiam, tersadar, saya ini hidup di dua alam. Di satu alam, saya ini jadi hakim yang mujarab, yang kata kata dan pikiran yang lebih tajam dari silet, tapi di alam lain, saya juga jadi korban tersilet silet karena penghakiman orang.
Waktu saya akhirnya bercerai, saya sempat sangat takut atas penghakiman orang atas status duda saya dan butuh waktu 10 tahun untuk berdamai dengan status tersebut. Saat saya merasakan palu vonis di toko buku dan di rumah saya sendiri atau dihakimi melalui telepon seperti di atas, hati saya pun berontak. You don't know what you are talking about. But that's what happens! Saat kita menghakimi, kita tidak tahu apa-apa tentang yang kita hakimi. Kita tidak tahu perasaan dan sejarah detil dan kompleks yang menyebabkan sesuatu terjadi. Dan dengan berani dan kurang ajarnya kita sudah main jadi hakim dan bahkan berani berlagak jadi Tuhan, yang menentukan ini salah, itu dosa!
Saya jadi teringat waktu naik sepeda Sabtu pagi dengan Pak Wong. Ketua Wilayah gereja Karawaci itu bertanya pendapat saya tentang dosa. Saya jawab, dosa itu bukan wilayah manusia, itu wilayah Tuhan. Sayangnya, kenyataannya, manusialah yang selama ini menetapkan rana dosa dan tidak dosa. Norma-norma diciptakan (oleh segelintir) manusia (yang akhirnya secara politis ditetapkan sebagai kaidah umum) untuk membuat hidup ini berjalan sesuai pola dan alur tertentu, agar kehidupan di dunia ini menjadi tertib dan teratur. Kalau melakukan ini benar kalau begitu dosa. Kalau begini masuk surga, kalau begitu masuk neraka. Bahkan kemudian ditetapkan bahwa kalau melakukan ini pahalanya naik sekian, kalau begitu minus sekian. Jadilah, hidup kita ini seperti balance sheet, timbangan antara perbuatan baik dan buruk, macam utang piutang. Kenyataannya norma yang dipakai manusia tidaklah selalu berbanding lurus dengan penilaian Ilahi. Karena itu, meskipun sudah dicap sampah masyarakat dan dicap sebagai pelacur, Yesus masih membuat garis di tanah dan memberi kesempatan bagi mereka yang tidak pernah berdosa untuk menjadi pelempar batu pertama guna menghakimi Maria Magdalena. Tak satu pun berani. Bahkan kepada Maria Magdalena lah Yesus menampakkan diriNya pertama kali setelah bangkit.
Lalu saya diam lagi. Selama ini saya terkenal sebagai Master Komplen yang punya angan angan membuat situs www.tukangkomplen.com Pasti laku! Lalu saya bertanya pada diri sendiri. Tukang komplen itu sama nggak ya dengan tukang menghakimi? Saya menemukan jawabannya, tidak mesti sama. Komplen belum tentu menghakimi, tapi justru protes untuk mendapat keadaan yang lebih baik. Cuma kadang beda tipis. Komplen bisa jadi berlanjut menghakimi.
Dari perenungan malam ini, dan dari pengalaman dihakimi, saya ditunjukkan untuk tidak menghakimi. Lagian saya bukan Tuhan. Siapa saya berani menghakimi Julia Perez itu begini begitu. Kenal saja tidak, tahunya karena dicekoki infotainment setiap pagi saat olah raga sepeda statis. Gitu saja rasanya sudah akrab banget dan sok tau dan merasa berhak untuk ikut campur...
Lalu saya kemudian menawar, oke berhenti jadi hakim, tapi boleh dong tetap jadi tukang komplen, asal tidak menghakimi? Tiba tiba saya diingatkan akan sebuah ayat di alkitab. Sayangnya ayat yang saya kutip di handphone ikut raib dengan hang nya telepon genggam canggih itu. Namun saya masih ingat intinya. Jangan menghakimi orang karena ukuran yang kita pakai untuk menghakimi, akan dipergunakan juga untuk menghakimi kita....
"Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu." - Matius 7:2, Markus 4:24, Lukas 6:38
(Terima kasih Andreas yang sudah memberikan informasi tentang ayat yang saya cari ini)
No comments:
Post a Comment