Tuesday, January 05, 2010

5 Januari 2010: Menerima dan Menggandakan

Dalam hidup ini, saya sering sekali protes: kenapa saya dijadikan seperti ini? Kenapa tidak jadi seperti dia saja? Kenapa saya yang harus mengalami semua ini? Tuhan tidak adil! Memang enak ya jadi begini? Memang dikira senang mengalami seperti ini?

Jawaban Tuhan? Saya malah disodori cerita soal talenta. Kalau Anda Katolik atau Kristen, Anda tentu sudah kenal cerita ini. Namun kalau Anda bukan kutu buku kitab suci, atau bukan salah satu dari yang saya sebut di atas, saya akan ceritakan kisah yang mirip dengan kisah talenta itu.

Adalah seorang tuan yang memanggil tiga anak buahnya. Yang pertama diberi seratus ribu, yang kedua lima puluh ribu, dan yang ketiga sepuluh ribu saja. Ketiganya kemudian diutus untuk mengkaryakan uang yang didapat. Setelah sebulan, ketiganya dipanggil untuk melapor.

Yang seratus ribu datang dan mengatakan, "Tuan, Tuan mempercayakan seratus ribu kepada saya, dan sudah saya karyakan sehingga uang Tuan bertambah menjadi dua ratus ribu." Si Tuan mengangguk angguk dan berkata,"Baguuus, silakan lanjutkan!"

Yang lima puluh ribu datang dan mengatakan, "Tuan, Tuan sudah mempercayakan lima puluh ribu kepada saya, dan saya menggandakannya menjadi seratus ribu." Tuan mengangguk angguk dan berkata, "Baguuuuus, lanjutkan"

Giliran sepuluh ribu datang. Dengan sangat geram dan kasar ia menyodorkan selembar uang sepuluh ribu kembali pada tuannya sambil berkata,"Memang Tuan ini pelit dan pilih kasih! Tentu saja mereka berdua dapat berkarya karena uang yang diberikan lebih banyak! Jadi uang ini saya simpan saja, dan saya kembalikan kepada Anda!" Wah, si Tuan terhenyak dan marah besar! Katanya: "Dasar orang tidak tahu diri, sini, berikan uangnya kembali, dan pergilah kamu jangan kembali!"

Dan cerita pun usai.

Pelajaran yang dipetik dari sana? Dalam hidup ini, kita tidak bisa memilih, menjadi seratus ribu, lima puluh ribu atau sepuluh ribu. It's given. Dan kita tidak perlu memusingkan kenapa kita cuma diberi sepuluh ribu. Karena sudah ditentukan. Kalau pun kita memaksa menjadi si seratus ribu, bisa jadi kita tidak kuat menanggung bebannya sehingga malah tidak bisa berkarya. Jadi, yang perlu kita lakukan dalam tahap ini penerimaan keadaan yang diberikan, dan mensyukurinya. Karena kondisi yang kita punyai sekarang adalah kondisi yang terbaik bagi kita untuk belajar mengenai nilai hidup yang harus kita temukan dalam kehidupan sekarang.

Kedua, setelah menerima, kita harus mempertanggungjawabkannya. Kalau kita diberi kebutaan, kita harus menerimanya dan mempertanggungjawabkan keadaan kita sehingga kita bisa :

ketiga: Menggandakannya. Mengkaryakan kondisi kita sehingga menghasilkan buah berganda.

Teoritis? Mungkin, tapi contoh nyatanya adalah Andrea Bocelli. Ia tidak lahir buta. Ia buta di usia anak anak. Kalau dia kerjanya mengutuki kondisinya, sampai sekarang dia cuma jadi orang setengah tua buta yang tidak bermakna. Namun ia bangkit. Ia menerima keberadaannya dan berkarya.

Hal itu lah yang saya pelajari hari ini. Diam diam saya melakukan past regression. Sebuah pengalaman yang tak dapat digambarkan dengan kata kata. Saya diajak balik kekehidupan masa lalu saya untuk dapat mengerti maksud tujuan hidup saya saat ini, dan apa apa saja yang harus saya capai sebelum saya menutup mata selamanya. Saya juga diajak mengerti hubungan dan peran apa yang dibawa oleh beberapa orang yang bersinggungan dengan hidup saya. Tadinya saya sangat pesimistis dapat melalui semua ini, tapi pada akhir sesi, saya terkagum kagum atas hasilnya.

Saya menjadi lebih terpesona lagi ketika apa yang saya lihat dengan mata batin saya ternyata sama persis dengan yang dilihat oleh mata batin seorang wanita bertahun tahun yang lalu, saat saya tanpa diatur terlebih dahulu diajak Samuel Mulia teman saya, untuk makan bersama di sebuah cafe kecil di apartemennya. Saat itu dia merasa tergelitik untuk menyapa saja, dan di tengah pembicaraan ngalor ngidul, ia berhenti dan bertanya,"Maaf, boleh saya bicara dengan kamu soal suatu hal?"

Dia bilang dia melihat aura saya sangat terang dan mendamaikan. Dia bilang saya ini old soul. Ketika ditanya soal old soul, dia menjelaskan bahwa saya ini jiwa yang tua, yang sudah berkali kali mengalami kehidupan. Dan kehidupan kali ini bisa jadi kehidupan saya yang terakhir, kalau saya bisa berdamai dengan diri saya sendiri. Lalu dia bilang saya ini dulunya pendeta di Tibet. Dan ketika saya mendengarnya saya langsung tertawa, dan bilang pasti gara gara saya botak. Tapi dia menggeleng serius mengabaikan candaan garing saya. Ia mengatakan semakin dekat seseorang pada waktunya semakin dekat dia dengan image kehidupan sebelumnya.

Dan visi itulah yang saya lihat dengan mata batin saya. Saya melihat seorang pendeta tua yang bijak berbungkuskan jubah oranye, menapaki sebuah bangunan megah putih beraksen keemasan, dan ketika pintu kayu yang berukir emas itu dibuka, saya melihat sebuah ruangan putih besar yang sangat indah dan damai, dan di dalamnya terletak patung buddha emas yang melebihi ukuran manusia dengan lilin lilin yang menyala, dengan latar belakang langit biru yang sangat bersih dan cerah. Ruangan ini adalah bangunan satu satunya dan tertinggi, sehingga tak ada bangunan yang lain di sekitarnya yang mengalahkan ketinggiannya. Suasananya tenang dan begitu damai. Saya jadi duduk dan memandang berlama lama saking nyamannya. Lalu melalui mulut batin, sang pendeta kemudian menjabarkan mengapa ia memilih kehidupan sekarang ini bagi saya, dan apa tujuannya. Saya jadi memahami. Meski tahu jalan kehidupan yang ditetapkan tidak mudah. Tapi paling tidak saya menjadi lebih siap menghadapinya. Agar di akhir kehidupan ini, si Tuan bisa bilang, "Bagus. Lanjutkan..." Dan nantinya, saya untuk terakhir kalinya menengok ke dunia ini to say good bye and never return again...

No comments: