Monday, January 11, 2010

11 Januari 2010 : Cukup!

Saya baru saja selesai mengadakan obrolan yang cukup berat melalui chatting ym bersama teman saya. Awalnya, saya hanya bermaksud menyapanya dan memberi selamat tahun baru, dan ia membalas dengan memberikan selamat natal dan tahun baru. Saya juga bermaksud berbasa basi saat menanyakan kabarnya, namun jawabannya membuat sesi chatting menjadi berkelanjutan.

Ia mengatakan kabarnya tidak baik. Ia sedang patah hati. Saya terkejut, padahal sebelum libur natal kemarin, dia menggebu gebu mengatakan telah menemukan hidup dan cintanya kembali setelah sekian lama merana sendirian. Ternyata setelah sebulan berlalu, baru terungkap bahwa sang kekasih bukanlah orang yang dikira dikenalnya. Teman saya pada akhirnya bahkan tidak tahu mana yang benar, mana yang karangan belaka. Si kekasih bilang ia tak ada yang punya, kenyataannya ia punya kekasih yang telah berlangsung 9 tahun, yang menurutnya telah hambar dan menyia nyiakannya. Ia bilang ia tinggal bersama tantenya, ternyata ia tinggal di rumah yang dicarinya bersama dengan kekasihnya. Ia bilang ia tak suka dibohongi, ia malah berbohong habis habisan pada teman saya. Ia bilang cinta pada teman saya namun sadar tak bisa memiliki karena teman saya dikatakannya berada jauh dari jangkauannya. Padahal teman saya hanya sejauh pelukannya. Ketika ditanya mengapa ia tidak jujur, padahal mereka berdua sudah janji untuk terbuka, sang kekasih berkilah ia takut bila ia jujur di awalnya, maka teman saya tidak mau lagi padanya.

Yang jadi perkara besar adalah karena teman saya sudah terlanjur jatuh cinta. Pesona sang kekasih sudah terlalu erat menjeratnya. Ia sampai rela berkorban demi sang kekasih untuk berhadapan dengan si 9 tahun. Padahal tak ada yang kurang dari teman ini. Ia adalah manusia yang indah : hatinya, tubuhnya dan uangnya. Ia adalah orang baik baik yang selama ini jauh dari trik trik licin. Namun mungkin faktor faktor ini juga lah yang menjadi gula yang memabukkan bagi sang kekasih. Pesona teman saya terlalu lezat untuk ditolak. Teman saya sadar ia terperangkap dan harus keluar dari kegilaan ini. Namun ia tak berdaya dalam tarik menarik antara akal sehat dan rasa rindunya. Ia sadar juga kalau kini ia menjadi selingkuhan orang. Ia juga tahu bahwa hal ini salah. Ia dalam keadaan desperate. Tahu harus keluar, tapi tak tahu bagaimana.

Saya jadi tak tahu harus berkata apa. Mau menasihati, tapi saya sadar, nasihat saya akan terdengar - sekali lagi - sangat teoritis. Karena saya tahu persis rasanya apa yang dialami teman saya. Tadinya saya mau bilang, kamu harus berhenti sekarang dan keluar dari lingkaran setan ini karena pacar kamu itu tidak akan pernah memilih kamu, tapi kata kata itu sudah meluncur sendiri dalam ketikannya. Saya cuma menjawab, ya saya tahu, karena saya pernah berada di posisi orang yang diselingkuhi. Ketika mantan saya bilang I'm in love with somebody else, dan tiga bulan kemudian memohon kembali lagi pada saya, dan dengan bodohnya saya terima kembali dengan alasan masih cinta and every person deserves a second chance, sekarang saya bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi selingkuhannya. Hancur pasti, karena ternyata coba coba ini hanya bara sesaat, dan setelah merasa tidak mendapat rasa nyaman seperti dalam pelukan saya, ia diludahkan begitu saja. Tapi mau dibilang apa, sebagai selingkuhan, buaian asmara licin itu luar biasa menghipnotis. Kekasih teman saya itu sudah lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa ia tahu ia tak berhak melarang, tapi ia terbakar cemburu hanya dengan membayangkan teman saya itu bersama orang lain. Dan teman saya lagi lagi hanya bisa meyakinkan bahwa ia tak akan semudah itu jatuh cinta dan beralih ke hati yang lain.

Butuh waktu untuk menguatkan diri, membiarkan otak sehat kita mengambil alih perasaan kita. Namun saya lega, karena teman saya yang berotak encer di bidang kerja itu, akhirnya cepat juga membiarkan otaknya yang cerdas bekerja di arena kehidupan pribadinya. Hari ini ia menyatakan pada saya CUKUP! Ia bilang memang butuh waktu untuk menata kembali perasaannya, namun keputusannya ini membuat ia kemudian mampu mulai bangkit dari keterpurukannya. Bangkit untuk tidak lagi peduli pada janji palsu. Bangkit dari ketakberdayaannya menunggu berjam jam sms dari sang kekasih yang tak kunjung datang. Bangkit untuk tidak lagi berharap saat si kekasih menjanjikan sesuatu. Ia berencana membiarkan dan memberi pelajaran bagi si kekasih. Dan saya tidak bisa berkomentar, karena nasihat apa pun, dalam keadaan seperti ini rasanya akan jadi angin lalu saja. Karena semua butuh proses. Saya percaya ia bisa mengatasinya, dan berhenti sebelum aksinya menjadi balas dendam, karena pada dasarnya ia adalah seorang yang baik. Saya hanya berharap ia cukup kuat untuk tetap bertahan menghadapi serangan licin yang akan menerpanya begitu sang kekasih menyadari akan kehilangan selingkuhannya. Karena saya yakin ia tidak akan menyerah begitu saja.

Saat akhirnya kami berpisah di dunia maya, ia meminta didukung doa dan berterima kasih pada saya, karena dengan curhatnya hari ini, dia dapat berpikir lebih jernih. Sebetulnya, saya tidak berbuat apa apa. Saya hanya menjawab singkat singkat dan menjadi pendengar yang baik. Diam diam dalam hati malah saya yang berterima kasih padanya karena saya ikut belajar bersama proses berpikirnya. Saya seolah diingatkan kembali pentingnya tahu kapan berkata cukup, dan ditunjukkan lagi bahwa semua itu butuh proses. Saya jadi ingat pembahasan saya dengan teman saya Anita, bahwa yang namanya cinta itu tidak bisa didikte tidak 100%, dan ya, saya lihat sendiri pada hari ini, bahwa kita tidak pernah tahu kita salah langkah sebelum terbakar. Karena kalau sedang hangat hangatnya kasmaran, angin peringatan dari teman dan saudara kita rasanya hanya jadi hembusan yang semakin membuat bara menghebat dan menguat, karena ingin membuktikan bahwa semua prakira mereka itu salah. Sampai kita akhir hangus dan kembali pada teman dan saudara untuk mengembalikan bentuk asli kita. Saya pribadi, sudah berkali kali hangus, sampai teman teman saya bosan rasanya menasihati dan menerima saya kembali dalam keadaan runyam. Semoga bila nanti cinta kembali mampir dalam hidup saya, saya sudah tahu bagaimana mengendalikan bara. Dan bila bara itu kelewat liar, sudah tahu kapan dan bagaimana harus memadamkannya sehingga saya tidak (perlu) jadi hangus lagi...

No comments: