Friday, April 30, 2010

30 April 2010 : Kosong

Saya baru saja mewawancarai seorang calon karyawan yang diajukan SDM dan keluar-keluar saya benar-benar kesal rasanya. Yang bersangkutan adalah seseorang yang awam sama sekali di konsultan kehumasan. Karena saya tidak bisa mengorek pengalamannya di bidang ini, jadilah saya tanya yang remeh temeh. Jawabannya tidak meyakinkan dan tidak mengeluarkan aura smart. Lalu saya memberi kesempatan dia bertanya. Ia bertanya mengenai klien apa saja yang kami tangani. Saya tanya balik, sudah lihat website kami belum? Dia jawab sudah. Lalu apa yang Anda lihat? Saya cuma buka sekilas sih Pak. Saya bilang semua yang Anda tanyakan itu dapat Anda temukan di website kami.

Sambil meneruskan tanya basa basi padahal semakin lama semakin besar niat untuk mengusir dia dari ruangan, saya bertanya pada diri sendiri. Ini anak bagaimana sih? Niat nggak sih ngelamar? Kalau dia niat, kok dia tidak mempelajari perusahaan yang ingin dimasukinya? Bagaimana kalau dia sudah masuk ternyata terkejut-kejut karena bukan jenis perusahaan yang ingin digelutinya? Saya jadi ingat ketika bertemu dengan sebuah calon klien untuk pertama kalinya. Bahkan dalam masa penjajakan ini saya ditanya apakah saya sudah sempat melihat website mereka. Dalam hati, boro-boro, mengatur jadwal saja sudah setengah mati. Tapi di sana saya merasa ditampar. Hari gini, apa susahnya sih google sebentar? Tidak sampai lima menit, dan kita tahu semua tentang siapa yang akan kita ajak bicara. Kalau itu tidak sempat, ya keterlaluan juga kitanya.

Zaman sekarang, kita dituntut untuk berlaku kompetitif. Kita dituntut siap dan tahu tentang siapa dan apa yang akan kita bicarakan sebelum bertemu dengan orang yang ingin mengajak kita bicara. Kalau Anda belum pernah melakukannya, cobalah cari tahu siapa dan apa yang akan dibicarakan terlebih dahulu, paling tidak latar belakang mereka, dan lawan bicara Anda akan luar biasa terkesannya pada Anda. Apalagi kalau kita melangkah lebih jauh, melakukan survey dan analisa, dan bisa memberikan masukan awal berdasarkan survey tersebut. Tak perlu survey yang njelimet, dipstick survey pun sudah cukup. Saya ambil contoh, kita semua tahu kalau Indonesia ini miskinnya minta ampun soal data. Karena itu ketika calon klien saya ingin membahas mengenai ruam popok, saya penasaran dan melakukan dipstick survey, iseng-iseng tanya pada orang kantor yang punya anak. Ternyata 6 dari 10 anak orang kantor pernah terkena ruam popok. Saya memberanikan diri untuk mengambil kesimpulan ringkas bahwa 1 dari 2 anak Indonesia punya kecenderungan terkena ruam popok dan menjadi angle yang ampuh sebagai pesan bagi ibu Indonesia agar tidak memandang sebelah mata terhadap ruam popok. Ide dan angle ini dibeli oleh klien, dan ketika dicari data klinisnya ternyata tidak terlalu jauh, 1 dari 3 anak Indonesia rentan terkena ruam popok. Tapi paling tidak dengan penggambaran ini, klien tahu bahwa saya sudah membuat pekerjaan rumah saya : melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar menerima data soal kondisi yang menjadi concern calon klien kami. Angle ini lah kemudian yang diangkat sebagai ganti angle asal dari regional yang hanya mengangkat fakta bahwa kulit bayi lebih tipis dari kulit orang dewasa. Kalau soal fakta begitu saja, orang akan bertanya: so what? Survey kecil-kecilan ini tidak susah dilakukan, namun tetap saja tak terpikirkan bahkan oleh klien saya untuk dilakukan. Mereka nyatanya menghargai usaha lebih kami dalam mengeduk lebih dalam informasi dan situasi yang dihadapi sehingga keluar solusi yang lebih jitu. Coba kalau kami hanya iya iya saja menelan informasi yang ada, dan dengan malasnya menjadikan hal itu sebagai pesan komunikasi. Hasilnya akan jauh berbeda dalam meningkatkan awareness ibu mengenai masalah ruam popok dan solusinya.

Kalau selama ini saya mengalaminya dari segi bagaimana orang lain menilai kesiapan saya di mata mereka, siang ini saya diajak mencoba dari kaca mata saya. Siang ini saya dibukakan mata, bahwa betapa menjengkelkannya bicara dengan orang yang tidak siap "tempur". Mungkin saja orang itu pintar, tapi kalau tak siap, ia akan terlihat bodoh. Siang ini saya kembali diyakinkan bahwa orang yang fully prepared paling tidak sudah memenangkan lebih dari separuh peperangan. Kesiapan kita dinilai sebagai kesungguhan dan niat kita dalam mengerjakan sesuatu. Sesuatu yang membedakan kita dengan orang yang sekedar mau uang dan senangnya saja. Kesiapan ini juga membedakan kita dengan sangat kentara apakah tong kita berisi penuh air dengan bunyi yang mantap, atau kosong dan bunyi nyaringnya hanya membuat kuping sakit saja...

Thursday, April 29, 2010

29 April 2010 : Katrol

Seharian saya bepergian dengan Wakil Menteri Perindustrian. Semalam saya ditelepon sekretaris Beliau mengatakan bahwa Pak Wamen ingin ditemani ke acara peringatan ulang tahun sebuah perusahaan di Bogor. Tadinya saya bertanya, saya ini cuma diminta menjadi penunjuk arah, atau benar-benar menemani? Pagi ini, saya tidak sekedar menemani, Beliau bahkan dengan santainya bilang mau ikut mobil saya saja. Dan jadilah kami mengobrol ngalor ngidul bahkan bersama-sama menikmati lagu instrumental rohani. Pulangnya, mobil saya ketambahan seorang direktur kementerian. Ketika ditanya oleh pihak pengundang, mereka terkagum-kagum dan bilang, "Wow! You must be really proud that a person of such high rank goes with your car." Saya sih menyingkat pembicaraan saja dengan mengatakan, "yes" padahal buat saya sama sekali bukan suatu yang "big deal".

Saya lalu berpikir, mengapa begitu banyak orang yang ingin dianggap penting dan ingin dekat-dekat dengan orang penting? Suatu saat saya menemani Presiden dan Ibu Negara serta beberapa menteri kabinet berjalan kaki pagi dari Monas ke Bunderan HI. Pada kesempatan itu, seorang presiden direktur pihak sponsor berkesempatan menyambut Beliau dan berjabat tangan dengannya. Dalam kesempatan bertemu berikutnya, Beliau secara khusus menanyakan fotonya dengan Presiden, dan ketika didapatkan, diframe dan digantungkan di tempat terpenting di kantornya. Saya sendiri, tanpa meminta diberi oleh pihak istana dan fotonya sekarang tersimpan rapi di laci kerja rumah sebagai kenang-kenangan akan acara yang fenomenal itu, karena berhasil mengumpulkan lebih dari 10.000 orang untuk berjalan bersama Presiden dan Ibu Negara. Ketika foto saya muncul di koran-koran berdekatan dengan Presiden sedang melambaikan tangan, heboh lah kenalan dan seisi kantor. Saya? Senang sih, tapi biasa saja tuh rasanya.

Saya sering bertemu dan bersama-sama dengan selebriti dan setiap kali bersama mereka puluhan orang berdesakan ingin berfoto dengan idola mereka masing-masing. Saya sendiri tak ada satu pun foto dengan mereka. Karena komentar si klien tadi, saya jadi berpikir, iya ya, kenapa ya? Jangan-jangan ada yang salah dengan saya? Padahal, kalau mau mengoleksi foto dengan orang terkenal, dinding rumah saya bisa berubah jadi wall of fame tersendiri. Mulai dari Presiden, Menteri, Anggota DPR sampai selebriti. Lalu muncullah jawabannya, saya menganggap mereka sama dengan saya. Tentu mereka istimewa, namun bila bertemu dari pribadi ke pribadi dan saling menyelami kepribadian masing-masing, kita semua sama saja. Presiden ada sisi manusiawinya. Selebriti juga. Saya banyak pengalaman lucu yang bersifat sangat pribadi dengan mereka yang tidak bisa saya ceritakan di sini saking pribadinya. Tapi justru karena itulah, saya tidak lantas membuat mereka seperti dewa. Kalau buat bangga-banggaan saat ketemu teman, saya tidak mau, karena saya menganggap teman-teman saya sama pentingnya dengan siapa pun yang saya jumpai. O iya, saya ada sih, satu-satunya foto yang saya pajang bersama kepala negara adalah foto saya dengan Presiden Obama. Saya pasang di dinting kamar kerja pribadi buat lucu-lucuan, karena fotonya dengan presiden lilin, alias di Madamme Tussauds, museum lilin...

Saya mengerti, sebuah gambar atau foto berbicara lebih keras dari kata-kata. Kalau ada foto salaman dengan Presiden, orang langsung keder dan merasa wah, saya tidak boleh main-main dengan orang ini, dia kenal Presiden lho. Padahal, kalau Anda sudah berkali-kali bertemu Presiden dan setiap kali salaman diabadikan, Anda akan tahu bahwa gaya Beliau ya sama saja, yang beda hanya latar belakang foto dan mungkin bajunya. Anda tentu juga tahu ada majalah elit yang menampilkan foto-foto mejeng sosialite kita. Mungkin Anda tidak percaya bahwa ada saja orang yang rela menyogok sang fotografer agar bisa dimuat di halaman mejeng itu, supaya bisa bilang, "Jeng, jeng, aku kemarin itu keluar di majalah ini lho..." Dan teman-teman arisannya menjadi sirik karena fotonya berjejeran dengan orang-orang tersohor di negeri ini.

Menjadi pentingkah saya gara-gara sekali salaman dan jalan dengan Presiden? Sekali ditumpangi wakil menteri? Berkali-kali ngobrol pribadi dengan Menteri? Dan cekakak cekikik dengan selebriti? Jawaban saya : tidak. Sama sekali tidak. Buat saya yang terpenting adalah apakah karya yang saya lakukan dapat memberikan manfaat dan dampak positif bagi kehidupan sekitar kita. Kalau dalam memperjuangkan karya, saya bertemu dengan orang-orang berpengaruh yang mendukung dan berjuang dengan saya melakukan sesuatu bagi bangsa ini, maka pertemuan dengan mereka itu dalam rangka tujuan yang lebih besar dari sekedar bangga-banggaan atau memanfaatkan.Karena itu saya sebal sekali kalau ada anggota keluarga atau teman yang bilang, "Kamu kan kenal dan dekat sama ini, tolongin dong mintain ini itu buat anak saya supaya bisa ini itu..." Jangan harap saya mengabulkan permintaannya. Pertemanan dan perkenalan saya bukan untuk dijual.

Saya jadi kasihan pada mereka yang ingin menjadi "seseorang" dengan bersalaman atau hanya foto bareng dengan selebriti. Ini justru menunjukkan bahwa secara spirit mereka "bukan siapa-siapa" dan "tidak penting". Padahal saya selalu percaya bahwa each of us is beautiful in our own way. Teman saya pernah mengeluhkan bahwa adiknya payah dalam pelajaran dan mencari nafkah, namun saya menemukan bahwa sang adik justru orang yang paling care di keluarganya, and that's something. Jika Anda merasa butuh katrol untuk menaikkan harkat, just drop the idea. Tutuplah mata Anda dan renungilah bahwa Anda ini adalah ciptaan Tuhan yang spesial dan karenanya Anda sama penting dan berharganya dengan orang lain. Tidak ada orang yang lebih tinggi atau lebih rendah di mata Tuhan kecuali dalam hal ibadah. Jadi berhentilah rendah diri atau tidak percaya diri. Kalau Anda penting di mata Tuhan, siapa lagi yang berani menganggap Anda tidak penting? Lain kali, kalau ada orang berkata sombong dia ketemu ini dan dugem dengan itu, dengarkan saja dengan enteng, seenteng kalimat yang masuk kuping kiri, keluar kuping kanan....

Wednesday, April 28, 2010

28 April 2010 : Penjara Otak

Saya baru saja memaksa kerabat yang sedang terkena demam berdarah untuk minum air rebusan angkak. Susahnya bukan main. Saya sendiri baru pertama kali ini mencicipinya dan rasanya sih agak aneh walaupun tidak parah-parah amat. Ini bukan pertama kali baginya terkena demam berdarah, dan selama ini ia tidak pernah bisa menghabiskan segelas air angkak. Ia bilang, biasanya ia menunda beberapa jam, dan akhirnya tidak terminum. Kemarin malam, ketika sedang dinner dengan keponakan saya Vanessa dan calon suaminya Alex, teman saya yang semula lahap menelan escargot mendadak mau muntah setelah saya jelaskan bahwa escargot itu bahasa awamnya bekicot. Orang yang sama pernah mengomentari kegemaran saya makan sayur dan taoge. Ia yang seumur hidupnya cuma mengenal daging berkata bahwa taoge itu bau.

Saya jadi geregetan. Segitu kuatnya persepsi di otaknya untuk berbagai hal sehingga sudah menolak lebih dahulu hal yang sebetulnya tidak apa-apa. Saya bilang kepada teman saya soal sayuran : bukan sayurannya yang tidak enak, sayurannya tidak kenapa-napa. Kamu yang menolak dan menyingkirkan sayurannya. Soal bekicot: saat kamu mencicipinya pertama kali, kamu bilang suka dan rasanya gurih enak. Sesaat mendengar bahwa yang ditelan itu bekicot, kamu muntah muntah. Jadi, sebetulnya kamu suka, hanya saja bayangan di otak kamu yang memuntahkan bekicot itu. Soal angkak : angkak itu obat. Tak ada obat yang enak. Jadi jangan dipikir, telan saja. Kalau kita menunda melakukan sesuatu, besar kemungkinan kita tidak menyelesaikannya. Dan itu juga kejadian pada saya. Berapa banyak buku yang tadinya saya baca dengan semangat, tetapi karena saya menunda-nunda menyelesaikan membaca, hingga saat ini pembatas buku dari semua buku yang tertunda itu belum juga bergerak mundur.

Balik lagi soal sayur, escargot dan angkak. Untuk kasus angkak, kerabat saya malam ini membuat sejarah dengan menghabiskan segelas air angkak. Saya hanya mengancam, "You'd better finish the whole damn glass now or you will be hospitalized!" Tadinya saya sudah hampir mati akal. Dirayu-rayu tak mempan juga, sampai akhirnya saya mengeluarkan jurus pamungkas : mengancam!

Tapi mungkin itu yang diperlukan otak kita. Pecut. Selama hidup kita tentu memiliki berbagai persepsi yang terbentuk mengenai berbagai hal. Sayangnya persepsi ini kemudian membelenggu kita dari mengerjakan sesuatu yang seharusnya bisa kita lakukan bila belenggu itu dilepas. Saya ini takut ketinggian dan saya pikir saya bakal mati ketika menaiki gondola berbentuk kursi yang membuat saya bergelayutan diterpa angin dan hujan di ketinggian pengunungan pinus di Rotorua, New Zealand. Kenyataannya, saya masih hidup dan bisa mengetik blog ini malam ini. Banyak lagi hal yang saya pikir tak mungkin saya lakukan karena terhambat persepsi otak.

Malam ini saya menyaksikan, dengan sedikit lecutan dan ancaman, saya telah membebaskan seseorang dari persepsi otak mengenai pahitnya air angkak dan menerimanya sebagai obat yang membantunya menghindari siksaan masuk rumah sakit.
Saya belajar mengenai bagaimana membebaskan diri dari persepsi otak yang berkarat. Seperti kerak gigi yang makin lama makin menebal, kita perlu mengikis habis kerak-kerak di otak agar senyum kita bersih kesat dan putih cemerlang. Intinya, we can let ourselves do anything we want if we set ourselves free. Ya, bebas dari penjara pikiran!

Saya jadi ingat mengenai perubahan paradigma yang ada di pelajaran Stephen Covey dalam 7 habits of the most effective people. Dikisahkan disebuah Minggu siang yang hening di atas kereta masuklah seorang bapak dengan beberapa anak kecil. Anak mereka ributnya setengah mati, dan sang ayah bersikap tak acuh saja. Kegaduhan si anak sudah sedemikian mengganggunya sehingga seorang penumpang menegur sang ayah. Sang ayah dengan mata kuyu mengangkat kepalanya dan memohon maaf kepada penumpang sekitarnya, "Maaf, pikiran saya sedang kacau sekali. Kami baru pulang dari rumah sakit, dan ibunya anak-anak baru saja meninggal karena penyakit yang dideritanya." Seketika itu juga, luluhlah hati semua penumpang. Tiba-tiba kekesalan terhadap anak-anak bengal itu menjadi simpati yang mendalam. Paradigm shift. Perubahan paradigma.

Sekarang giliran kita yang melakukan perubahan paradigma. Saya masih merasa tertantang untuk mengubah paradigma teman saya mengenai sayuran. Di kasus escargot, akhirnya ia menyadari bahwa ia terbelenggu oleh gambaran bekicot yang masuk ke mulut, padahal kenyataannya ia menikmati gurihnya escargot yang berlumur minyak bawang putih yang super nikmat itu. Saya sendiri, harus melepaskan berbagai belenggu dalam pikiran saya mengenai berbagai hal agar dapat lebih lepas meraih berbagai pencapaian dan kebahagiaan. Malam ini saya dibukakan mata, bahwa kalau pikiran saya lebih terbuka dan mau menerima, saya akan lebih mudah merasa nyaman dan bahagia, karena sekali lagi, buat saya bahagia itu adanya di hati dan pikiran. Kalau hati dan pikiran kita seperti semak belukar, tentu sulit untuk mendapatkan keindahan yang ada di dalamnya. Maka kita perlu menyiangi rumput dan semak belukar itu, agar dapat melihat keindahan yang terpancar di dalamnya.

Dibutuhkan sebuah kejutan atau lecutan yang dapat membuat orang sadar kemudian memutar balikkan persepsinya. Dalam hal kasus di kereta, kabar kematian sang isteri menjadi geledek di siang hari bolong bagi penumpang yang lain yang serta merta mengganti kesebalan menjadi rasa kasihan.

Saya masih harus menemukan berbagai pecut untuk bermacam-macam pikiran yang menghambat saya untuk melakukan atau meraih banyak hal. Berbagai "ancaman" dan "geledek" yang meluruhkan berbagai ketakutan untuk melakukan berbagai hal. Namun dalam hati saya tiba-tiba terdengar nyanyian:

Set our mind free and we can reach a whole lot more
Set our mind free and we will see happiness instantly...

Malam ini saya belajar untuk keluar dari penjara otak...

Tuesday, April 27, 2010

27 April 2010 : Less is Beautiful

Pagi ini saya melanjutkan film "Everybody's fine" yang tersisa semalam. Saya cukup terkejut karena di paruh kedua film ini memberikan pelajaran lain dalam hidup saya. Dikisahkan bahwa semua anak-anak Frank secara tidak sadar berusaha untuk menjadi "orang" seperti yang diharapkan ayah mereka. Mereka ingin membuat bangga ayah mereka. Kenyataannya, apa yang dicita-citakan sang ayah tidak selalu mudah diraih. Seorang anak lakinya malah akhirnya meninggal overdosis karena merasa tidak dapat menjadi seperti yang diharapkan. Sang Ayah menyesali dengan berkata,"padahal saya hanya ingin menjadi seorang ayah yang baik..."

Saya bergidik. Saya ingat apa yang terjadi pada diri saya sendiri. Ibu dan ayah saya luar biasa inginnya bahwa ke lima anak mereka bisa menjadi dokter. Buat mereka, dokter adalah pekerjaan yang paling mulia di dunia. Selain mulia, menurut versi mereka dokter menempati urutan atas dalam perolehan respek di masyarakat yang menempatkan pengguna jas putih ini di urutan atas dalam status sosial. Begitu gencarnya mereka menanamkan cita-cita dokter dalam diri kami, sehingga tanpa sadar kami dipacu untuk menjadi dokter. Sebagai anak, tak ada satu pun niat kami mengecewakan orang tua, bahkan kami ingin membanggakan mereka. Apa yang terjadi kemudian?

Kakak tertua saya sekolah kedokteran hingga tingkat 5 di Trisakti dan menjadi kebanggaan keluarga sampai ia menyatakan capai dan ingin melanjutkan studi kedokterannya di Belgia. Di sana ia harus mengulang beberapa mata pelajaran utama, dan mungkin karena muak, ia justru banting stir diam-diam mengambil desain interior. Ia tak ada kabar soal hal ini. Kami yang di Indonesia selalu berpikir semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja, hingga paman saya yang ahli jantung dari Belanda berlibur ke Indonesia dan dengan sangat hati-hati memberitahu bahwa si sulung gagal jadi dokter. Ia kini menjadi desainer interior yang handal. Kakak kedua saya cukup membangkang. Walau pun wanita, ia lebih memilih menjadi insinyur elektro dari pada dokter. Kakak laki-laki saya adalah pewujud cita-cita orang tua. Ia menjadi dokter spesialis akupunktur yang sangat mumpuni. Kakak ke empat saya menjadi dokter namun kemudian menolak panggilan spesialisasi kejiwaan meskipun terus didesak oleh ibu saya. Kini giliran anak-anaknya yang dicekoki jadi dokter. Satu cucunya sudah menjadi dokter dan kini sedang didorong menjadi dokter spesialis jantung, mengikuti jejak kakak ibu. Saya sendiri, sengaja membangkang dengan tidak mengerjakan soal ujian dengan benar, dan memilih jurusan keguruan sebagai ungkapan pembangkangan saya. Sekali lagi saya akhirnya jadi dokter... andus.

Film pagi ini menjadi semacam flashback buat saya. Selama ini saya memperhatikan orang tua-orang tua yang ambisius. Saya bisa mengerti, semua orang ingin yang terbaik bagi anaknya, namun kita sering lupa bahwa yang terbaik menurut versi kita belum tentu sama dengan versi mereka. Kita bermimpi setinggi langit, namun yang benar-benar tahu kemampuan masing-masing adalah si anak sendiri. Karena itu kalimat Frank yang mengatakan bahwa selama ini dia selalu "aim high" dan sekarang ia sadar seharusnya yang dilakukan adalah "expect less" sangat membekas di benak saya. Kita tak sadar bahwa mimpi kita dengan kuatnya menancap di otak anak, dan secara tidak sadar anak akan berjuang untuk merebutkan simpati dan rasa bangga ayah dan ibu nya. Saya mengalaminya. Tak peduli saya ini lulus summacumlaude dan berhasil dalam karir, saya selalu saja merasa bahwa di mata orang tua, saya ini hanya lulusan fak ecek-ecek dibanding dokter, dan karir saya jauh lebih tidak berharga dibandingkan apa yang dikerjakan kakak saya yang dokter. Padahal orang tua saya tidak pernah berkata demikian atau memandang saya sebelah mata. Itu hanya perasaan saya. Bahwa apa pun yang saya lakukan tidak bisa membuat mereka bangga, sebangga kalau saya ini dokter. Jangan salah, kami anak-anak mereka, dan yang jelas saya sendiri sangat mencintai dan menghormati orang tua kami. Kalau saya tidak mendapat tekanan seperti yang mereka berikan, saya juga tidak bisa seperti sekarang ini. Namun soal kebanggaan, jujur saja sampai saat ini saya masih berjuang ingin merebut dan mendapatkan kebanggaan dari orang tua saya yang selalu memimpikan anak-anak dan cucu mereka menjadi dokter.

Pagi ini kata "expect less" menancap tajam di otak saya. Saya hanya ingin share kepada Anda yang membaca, jangan membebani anak dengan cita-cita dan mimpi-mimpi Anda, dan jangan hanya ingin berpikir yang baik-baik saja. Harapan muluk Anda tanpa Anda sadari memberikan tekanan dan stress yang luar biasa besarnya pada anak-anak Anda, dan parahnya : Anda tidak menyadari bahwa Anda telah melakukan hal itu kepada buah hati Anda. Anda toh tahu bahwa dalam hidup ini tidak ada yang semuanya baik-baik saja. So why put those perfect images to this imperfect life? Be realistic, appreciate, love and accept them as they really are. And they, in return, will appricate and accept themselves as they really are. Mereka juga akan bersikap jauh lebih terbuka dan dekat pada Anda tanpa beban karena tahu Anda menerima dan mencintai mereka apa adanya, sesuai kemampuan mereka, lengkap dengan kekurangan dan kelebihan. Believe me. I've been there!

Sekarang, coba jujur pada diri sendiri : apakah Anda termasuk orang tua yang seperti Frank atau orang tua saya? Kalau jawabannya ya, maka belum terlambat untuk segera menemui anak-anak Anda dan mengatakan bahwa Anda ingin mereka menjadi yang terbaik seperti yang mereka inginkan, dan bahwa Anda berjanji akan menjadi pendukung yang paling setia agar mereka bisa mewujudkan mimpi-mimpinya sendiri. Katakan sekarang juga, dan rasakan perbedaan yang Anda dapatkan dari dukungan Anda itu...

Monday, April 26, 2010

26 April 2010 : Surprise!

Karena sudah seharian tidur di mobil, mata saya jadi cukup melek saat perjalanan pulang. Jadi saya memutuskan untuk menonton "Everybody's Fine" yang dibintangi Robert De Niro, Drew Barrymore, Kate beckinsale dan Sam Rockwell.

Dikisahkan Frank (De Niro)yang ditinggal mati oleh isterinya tengah asyik mempersiapkan kedatangan keempat anaknya untuk merayakan akhir pekan bersama, namun harus kecewa karena satu per satu menyatakan sibuk dan membatalkan kunjungan mereka. Merasa kesepian, Frank yang dalam pengawasan dokter tiba-tiba punya inisiatif cemerlang : kalau mereka tidak bisa datang, sayalah yang akan mendatangi mereka. Niatnya memberi kejutan, malah ia yang terkejut-kejut sendiri. Kehidupan anak-anaknya jauh dari apa yang diceritakan mereka selama ini dan jauh dari sempurna.

Saya pribadi paling benci kejutan! I hate, and I don't like surprises. Mereka yang tinggal atau bekerja cukup lama dengan saya tentu paham betul mengenai yang satu ini. Saya akan murka bila ada sebuah kejadian yang disembunyi-sembunyikan dan akhirnya saya tahu lewat jalur lain atau lewat orang lain. Pembantu saya paham, kalau mau pergi, lebih baik pamit kepada saya, dari pada saya tiba-tiba menelpon ke rumah tapi tak ada orang. Kalau ada yang pecah, lebih baik saya segera diberitahu daripada tahu belakangan secara tak sengaja. Saya biasanya tak akan melarang pembantu saya pergi. Saya cuma senang bila diberitahu terlebih dahulu sehingga tahu "what to expect". Karenanya, untuk hal yang kecil-kecil pun, saya lebih senang bila tahu terlebih dahulu. Kalau orang lain sebal bila diberitahu alur cerita sebuah film, saya malah senang tahu terlebih dahulu bagaimana akhir filmnya.

Pengalaman saya tentang surprises adalah seperti yang terjadi di film. Berapa banyak teman saya yang bercerita ingin memberi kejutan pulang lebih awal, dan yang terkejut-kejut mereka sendiri melihat pasangannya bergelut in action dengan orang lain. Di majalah cosmopolitan baik yang women maupun men, berapa banyak cerita konyol karena pesta surprise yang berakhir dengan surprise yang memberi surprise. Khususnya di film tadi, sang ayah yang sangat tahu diri menjadi mengerti ia tidak diharapkan kedatangannya di tengah-tengah keluarga anaknya karena pada saat itu mereka tidak bisa tampil at their best seperti yang biasa mereka tunjukkan saat berkunjung ke rumah orang tua mereka. Betapa hatinya tercekat melihat anak laki yang dibanggakan sebagai conductor orkestra ternyata "hanya" seorang penabuh perkusi. Saya juga tak bisa membayangkan betapa hancur hatinya mengetahui secara tak sengaja bahwa anak perempuan yang membanggakan apartemennya yang cantik dan luas di Las Vegas ternyata hanya meminjam sesaat dari temannya. Namun ia cukup bijak tak mengatakannya. Ia cuma bilang hanya bisa menginap semalam.

So, lesson learned dari film tadi, saya tidak mau membuat kejutan. Kalau saya mau datang ke tempat seseorang, saya lebih baik telepon terlebih dahulu. Kalau saya berniat mengadakan pesta untuk seseorang, saya lebih baik mengatakannya kepada yang bersangkutan. Supaya ia siap, supaya ia at his or her best. Dengan demikian, niat saya membahagiakan orang, memang benar-benar diterima dengan bahagia dan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan. Buat saya, kalau sesuatu harus terungkap, biar lah hal itu terungkap bukan pada saat saya ingin memberikan kejutan bahagia yang kemudia berubah total menjadi trauma hidup yang tak berkesudahan. Demikian pula sebaliknya. Saya juga tak suka diberi kejutan. Siapa tahu kejutan yang Anda siapkan setengah mati itu justru tidak berkenan, atau bila Anda bikin surprise party, ternyata orang yang ingin Anda bahagiakan itu sudah ada janji dengan orang lain karena memang tidak berjanji? Yang tadinya mau senang-senang, jadi sakit hati, kan?

Jadi, jangan sok punya ide cemerlang karena gambaran seru dan bahagia bisa jadi terbalik jadi beneran seru karena berantem hebat dan kecewa berat ...

25 April 2010 : Itungan

Siang ini saya makan ala kadarnya di area istirahat tol Tangerang - Jakarta. Untuk minum, saya pesan es teh manis. Namun, seperti kebiasaan aneh orang kita, cara pembuatan es teh manisnya dilakukan dengan menyeduh air panas dengan gula dan teh, kemudian ditambahkan air biasa dan es. Otomatis es nya melumer segera menetralisir panasnya air sehingga yang tersajikan adalah teh manis biasa yang agak dingin, sedangkan cuaca siang sangat terik dan minum sesuatu yang sedingin es tentu sangat melegakan tenggorokan. Karena kurang dingin, saya jadi minta di es batu. Yang terjadi kemudian adalah saya diinterogasi, untuk apa es batunya seolah-olah mau bilang : "Pak nambah es batu itu jadi nambah cost buas saya lho!". Untung otak saya lagi waras, saya menjelaskan maksud dan tujuan. Sang waitress harus berkonsultasi dulu berulang kali dengan atasannya sebelum akhirnya setengah rela menerima gelas yang telah saya seruput sedikit agar ada ruang untuk ditambah es.

Saya jadi jengkel dan heran. Ih, diminta tambah es saja pelit amat sih? Toh kalau dia memberikan es batu gratis tak akan bangkrut restorannya. Di saat orang ribut mendengungkan customer service, ini malah tidak memedulikan kenyamanan konsumen. Saya jadi memerhatikan bahwa sikap seperti ini tidak hanya terjadi di restoran itu. Beberapa hari lalu saya membeli sebuah meja kerja baru di sebuah jaringan toko penyedia furnitur ternama. Meja yang saya beli harganya IDR 1,999,000. Sebagai pemegang kartu member, saya mendapat kemudahan pengiriman barang gratis bila mencapai pembelian dua juta rupiah. Maka kali ini, saya harus murka dulu untuk menggantikan selisih seribu rupiah sehingga akhirnya mendapat pengantaran gratis.

Saya jadi berpikir. Konsep layanan konsumen itu apa ya? Kalau dibilang visinya adalah mendahulukan konsumen, tentu tidak berlaku karena yang ada adalah aturan kaku yang justru tidak memanjakan konsumen. Saya lalu teringat ketika mengobrol dengan dr Munawar dan isterinya Ibu Futikah. Beliau membuka sebuah rumah sakit jantung swasta pertama di Indonesia dan pasiennya datang dari penjuru negeri. Saya lalu bertanya, kalau pasiennya terkena serangan jantung, sedang yang tak bersangkutan tak punya uang, apakah akan diterima? Jawab Beliau mantap, nyawa harus diselamatkan terlebih dahulu. Saya terharu. Saya masih ingat jelas ketika pembantu saya sudah batuk darah dua ember dan mukanya sudah seperti mayat, bagian administrasi Rumah Sakit justru sibuk menanyakan tanggal ulang tahun dan ngotot minta DP puluhan juta sebelum bersedia menangani korban. Saya akhirnya lagi-lagi harus murka besar dan membayar sejumlah DP yang cukup bagi Rumah Sakit itu untuk sudi menanganinya. Luar Biasa. Rumah yang justru bikin orang tambah sakit. Sakit hati dan sakit jiwa.

Dari pengalaman pribadi ini saya belajar untuk lagi-lagi PUNYA HATI dan WELAS ASIH pada klien saya. Saya tidak mau semena-mena karena scope pekerjaan saya yang tertera di kontrak adalah A,B,C makan saya ogah melakukan lebih padahal kliennya sudah megap-megap. Cingcai kata orang Cina. Tidak itungan kata orang Jawa. Sejauh kita mampu dan bisa membantu, kenapa tidak? Yesus mengajarkan, memberi dan kau akan mendapatkan. Saya bayangkan, harga es nya tak sampai lima ratus rupiah, namun restoran itu telah kehilangan pelanggan yang menghabiskan ratusan ribu lebih.

Saya punya sebuah kata-kata yang luar bisa inspiratif untuk customer service namun saya harus membongkar lagi file yang saya miliki karena kata-kata itu saya peroleh dari Pak Ken Sudarto selama kerja di Matari. Beliau menerapkannya dengan sepenuh hati, dan menjadi panutan bagi saya. Begini katanya:

WHAT IS A CLIENT?

A CLIENT is the most important person in any business
A CLIENT is not dependent on us - we are dependent on him
A CLIENT is not an interruption of our work - he is the purpose of it
A CLIENT does us a favor when he calls - we are NOT doing him a favor by serving him
A CLIENT is a part of our business - not an outsider
A CLIENT is NOT a cold statistic - he is a flesh-and-blood human being with feelings and emotions like our own
A CLIENT is NOT someone to argue or match wits with
A CLIENT is a person who brings us his wants - it is our job to fill those wants
A CLIENT is deserving of the most courteous and attentive treatment we can give him
A CLIENT is the lifeblood of this and every other business!

Saturday, April 24, 2010

24 April 2010 : Saya! Saya! Saya! Saya! Saya!

Saya ini kadang-kadang lemot alias lemah otak. Saya lambat dalam mencerna sesuatu hal, seperti kejadian kemarin. Tak pernah terlintas dalam benak untuk mencuatkan hal ini dalam blog, namun tadi pagi-pagi saat merenung dan menghisap udara segar dan tiba-tiba pikiran ini melintas berbagai hal yang terjadi, saya tiba-tiba tersadar.

Kemarin siang seorang account executive yang akan segera saya promosikan menjadi account manager menelepon saya dan meminta maaf akan keteguhan hatinya mengundurkan diri. Kemarin, saya menerimanya dengan lapang dada dan mengatakan agar silaturahmi bisa terjalin selamanya. Saya bahkan berbesar hati berdiskusi padanya untuk mencari calon penggantinya karena dengan 10 account yang saya tangani, saya tak akan mampu berjalan "pincang".

Detik ini saya masih merelakannya. Saya tak pernah menahan siapa pun yang sudah tak mau bersama saya lagi, baik dalam hal pribadi maupun kerja. Tapi sekarang, kerelaan saya tiba-tiba ada embel-embelnya. Saya baru saja fight for her untuk dikirim ke Selandia Baru mengikuti sebuah perjalanan yang membuat dia lebih paham mengenai seluk beluk bisnis klien dan untuk itu saya harus mempertahankan argumen untuk tidak memilih orang lain. Tahun lalu saya juga mengajak dia ke Singapura untuk lebih mengenal seluk beluk bisnis dan mengerti cara kerja konsultan lain di kawasan ASEAN agar wawasannya terbuka. Saya bersama rekan BOD yang lain telah menangkap potensinya, dan meskipun kesalahan kami lelet mengambil langkah, akan segera mempromosikannya bersama beberapa orang, dan sudah memproyeksikan jenjang karir berbagai karyawan potensial hingga akhirnya mereka bisa menikmati menjadi bagian utuh sebagai shareholder perusahaan yang termasuk tiga besar di negara ini, satu-satunya yang pure-local, sementara yang lainnya adalah multinational.

Soal rencana karir, memang saya sebelumnya tidak bisa membocorkannya karena hal itu adalah langkah manajemen yang harus diumumkan secara resmi. Namun keputusan saya memilih dia mewakili perusahaan ke New Zealand dan Singapura, saya sudah sampaikan dan tekankan mengapa ia yang saya pilih. Kenyataannya, ia tidak menghargai dukungan saya maupun perusahaaan apa pun alasannya, dan tidak melihat potensi besar di balik gesture itu. Menurut saya, orang seperti ini tidak tahu rasa menghargai dan dihargai. Kalau ia menghargai mengapa ia yang dikirim, ia tidak akan keluar segera setelah ia pulang dari luar negeri yang sebetulnya diproyeksikan agar ia dapat menjalankan tugasnya lebih baik setahun kedepan menangani klien yang telah membawa perusahaan kami mendapatkan honorary mention di PR Awards se Asia Pasifik di Hong Kong awal tahun ini. Kalau ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tentu dia akan bertanggung jawab memberikan warning terlebih dahulu dan menyilakan saya memilih orang lain yang nantinya bisa lebih berguna bagi perusahaan ini.

Kenyataannya tidak. Yang dipikirkan hanyalah dirinya sendiri. Saya! Saya! Saya! Saya! Saya! Bahkan ketika ia mengajukan pemikirannya untuk keluar kesebuah institusi yang menurut saya dan partner saya Isma tidak akan membuahkan hasil karir apa-apa untuknya, dan kami berdua berusaha meyakinkan bahwa jenjangnya menuju ke tingkat berikutnya sudah di depan mata, ia sudah tak bisa melihatnya lagi. Memang hak nya, tapi detik ini saya sungguh merasa kecewa. Kerabat saya yang usianya jauh muda saja, ketika saya ceritakan mengenai hal ini, ia langsung menukas, "Hanya ada satu kata lima huruf bagi orang yang seperti itu : c u l a s." Saya kaget! Saya membelanya dan berkata, ia tak seperti itu. Lalu kerabat saya menanyakan arti kata culas. Saya menjawab, culas adalah orang yang memanfaatkan keadaan dan orang lain untuk kepentingan pribadinya dengan tindakan yang merugikan orang lain. Dia bilang : see? Tapi saya tetap membelanya dan mengatakan bahwa account executive saya tidak seburuk itu.

Kejadian ini membuat saya mengerti mengapa partner kerja saya begitu enggan mengirim karyawan kantornya untuk melakukan perjalanan luar negeri. Dulu saya selalu menganggap tindakan pilih-pilih mereka itu adalah tindakan "reward" padahal kepergian ke luar negeri untuk klien ini bukanlah jalan-jalan namun tugas. Saya juga akhirnya mengerti mengapa kerabat muda saya yang lulus program pelatihan di sebuah bank swasta itu terikat kontrak dua tahun dan penalti 250 juta jika karyawan barunya melanggar kontrak kerja tersebut. Mungkin karena sadar dan paham banyak orang culas di dunia ini, ia juga memagari diri dan menculasi karyawannya.

Saya tetap tak mau seperti itu. Saya tidak mau mengikat orang yang sudah tak mau terikat lagi pada saya. Saya pernah ditempatkan pada posisinya. Mantan boss saya almarhum Ken Sudarto merasa begitu dikhianati ketika saya mengundurkan diri secara mendadak. Ia memaki saya dengan makian paling kasar dan mengatakan bahwa saya tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih karena sudah didik setengah mati dari tidak tahu apa-apa menjadi seorang yang mumpuni di bidang komunikasi. Namun kasus saya berbeda. Pemicu saya keluar dari perusahaan itu adalah setelah kerja siang sore malam hingga dini hari dan kehilangan ratusan weekend bagi perusahaan, suatu hari saya kena musibah. Di suatu Jumat malam, saya menemukan pembantu saya kabur membawa barang-barang dan kunci rumah, sehingga saya harus segera mengganti anak kunci pintu utama kalau tidak mau barang saya menjadi ludes kembali di hari berikutnya atau keselamatan saya terancam bila mantan pembantu saya mau macam-macam. Kebetulan Sabtu itu saya masuk kantor untuk membantu mantan boss saya itu mempersiapkan diri untuk keluar negeri. Dari pagi sampai siang saya dianggurin. Beliau sibuk sendiri haha hihi dengan berbagai orang. Mungkin dikira saya ini miliknya jadi bisa "kembali" ke saya kapan saja. Karena hari menjelang sore dan saya takut tidak ada lagi tukang kunci yang buka, dan untuk itu berarti saya harus menunggu sampai hari berikutnya atau hari Senin, setelah makan siang saya menghadap Beliau, "Pak, kalau Bapak butuh saya, let's work it out now, karena saya sedang kena musibah dan khawatir tak ada tukang kunci lagi." Beliau langsung mengatakan pulang saja. Saya bilang terima kasih. Tapi detik berikutnya Beliau mendatangi meja saya dan berteriak, "Lain kali saya tidak mau hal semacam ini terjadi lagi, kecuali keluarga kamu ada yang mati!" Detik itu juga saya sakit hatinya setengah mati. Saya sudah berlaku apa saja buat perusahaan ini dan untuk Beliau, dan inilah balasan yang saya dapat. Saya memutuskan keluar dari perusahaan periklanan itu saat itu juga. Kejadian ini tidak pernah saya ceritakan sebelumnya pada orang lain. Saya hanya berkilah bahwa ketika di usia 25 tahun menjadi Assistant to the Chairman, saya tak bisa lagi bergaul dengan teman seusia yang masih doyan dugem. Dan karena kerja, kerja, kerja, saya lalu menyadari bahwa saya ini kerja untuk hidup, bukan hidup untuk kerja, and that is why I quit. Memang hal itu menjadi salah satu penyebab, namun makian mendiang bos adalah pemicu yang paling jitu. Bukan karena saya tidak tahu berterima kasih atau menghargai upaya atasan atau perusahaan saya, tapi justru karena merekalah yang tidak tahu berterima kasih dan menghargai saya.

Lalu balik lagi ke akar pembahasan, bagaimana saya akan bersikap setelah ini? Akan lebih ketatkah saya memberi reward dan pengetahuan kepada karyawan saya? Jawabnya tidak. Saya tidak tahu dengan partner saya yang lain, namun saya tetap pada pendirian saya, tak mau menahan orang yang sudah tak mau dengan saya lagi. Percuma. Saya hanya berharap siapa tahu blog ini membuka mata orang lain untuk menjadi lebih punya hati dan menghargai arti dihargai dan menghargai. Karena kualitas orang yang sejati terpancar dari kemampuan kita menghargai arti dihargai dan menghargai.

Akan halnya account executive saya yang siap melayang, saya dengan tulus mengucapkan selamat jalan dan semoga sukses. Semoga dalam kehidupan berikutnya ia belajar dan memahami arti menghargai dan dihargai. Karena itu yang membedakan apakah orang itu berkualitas atau tidak.

Friday, April 23, 2010

23 April 2010 : Menguji Janji

Pagi ini saya membuat seseorang berjanji untuk melakukan sesuatu dan saya mengatakan bahwa saya ingin memastikan bahwa ia tidak janji sekedar janji. Sebelum sore tiba, ia telah memenuhi janjinya.

Buat saya, memenuhi janji itu penting. Dalam hidup ini, saya sering mendapat janji-janji indah yang tak pernah terpenuhi dan itu rasanya pahit sekali. Saya pernah melakukan "balas dendam" juga dengan sengaja mengumbar janji dan tak menepatinya, namun masa itu segera berlalu karena saya belajar bahwa hal itu tak ada gunanya juga. Puasnya tidak seberapa, rasa bersalahnya membuat saya makin stress. Karena sering mendapat ingkar janji, kadar kepercayaan saya terhadap orang menjadi rendah sekali. Saya enggan dipinjami barang atau uang karena menurut saya, janji yang diungkapkan tidak dapat dipercaya. Saya pernah mengatakan di blog ini, bahwa bagi saya rupanya kalau orang meminjam barang, begitu benda itu di tangannya, benda itu dianggap hak miliknya. Karena itu, buat saya, kalau saya sudah merelakan suatu barang dipinjam, dalam hati saya sudah merelakan kalau yang terburuk terjadi.

Di luar itu semua, kadar kerpercayaan saya menjadi lebih rendah lagi bila itu menyangkut janji-janji cinta. Berkali-kali saya mendapat janji, malah sampai sumpah-sumpah yang berakhir dengan pengingkaran, bahkan perselingkuhan. Karena sering dimainkan janji, saya jadi mempermainkannya juga, meski dalam hati saya tahu itu tidak benar. Kemudian saya menghentikannya dan mulai mencari janji sejati.

Membuat janji itu mudah, tinggal diucapkan saja, dan seringkali tak ada konsekuensi hukumnya, karena tak ada dokumen legal atas janji yang diucapkan. Karena itu, dalam keadaan mendesak, gampang saja, tinggal janji, dapatkan yang kita mau, lalu tinggalkan tak usah menepati janji dan membiarkan orang yang kita sumpal mulutnya dengan janji-janji kita gigit jari. Lalu, dengan mudah kita mengumbar janji yang lain kepada korban berikutnya.

Saya sendiri sering heran, sesering saya ditipu oleh janji palsu, sesering itu pula saya mempercayai berbagai janji yang dilontarkan pada saya. Namun, begitu menyadari, sesering itu pula saya kecewa dan merasa dikecewakan.

Maka, buat saya, janji itu sesuatu yang penting dan merupakan pangkal saya percaya atau tidak pada seseorang. Karenanya saya merasa sangat lega, ketika janji yang diucapkan itu ditepati bahkan jauh sebelum tenggat waktu yang telah kami sepakati bersama. Buat saya itu sangat berarti dan memberi secercah harapan bahwa janji-janji berikutnya bisa jadi dapat saya andalkan.

Membangun kepercayaan buat saya tidak lah mudah. Kalau percaya itu sulitnya bukan main, maka jatuh curiga justru kebalikannya : mudah sekali. Begitu ada yang tidak beres, lenyap seketika rasa percaya ini. Namun saya toh tidak bisa curiga terus-terusan. Saya harus membangun pelahan-lahan rasa percaya itu, hingga saya bisa yakin bahwa kepercayaan saya tidak disalahgunakan atau dipermainkan, dan saya merasa aman terhadap janji yang dibuat seseorang.

Sebenarnya, ini adalah janji yang kesekian yang ditepatinya dalam beberapa waktu ini. Dan penepatan janji ini semakin meneguhkan rasa percaya saya padanya. Namun tentu sebuah kepercayaan tidak bisa dibangun dengan satu dua penepatan saja. Penepatan janji itu merupakan proses yang tak pernah ada akhirnya. Karenanya hari ini saya menyadari untuk menyudahi menguji soal janji dan meletakkan pondasi kepercayaan. Sebuah dasar yang dibangun oleh berbagai pemenuhan janji berikutnya.

Hari ini saya belajar untuk percaya dan memupuk rasa percaya kepada seseorang.

Thursday, April 22, 2010

22 April 2010 : Smile!

American Idol Gives Back malam ini menampilkan seorang gadis berusia 7 tahun yang tinggal kulit dan tulang karena penumonia dan AIDS. Bobotnya hanya seberat bayi usia satu tahun. Dengan napas yang sulit dan penuh sakit, ia ditemani seorang selebriti yang meliput kehidupannya untuk mendapat simpati masyarakat dunia agar menyumbang. Sang selebriti yang melihat penderitaan si anak menangis meleleh-leleh, namun sang anak masih saja bisa tertawa dan tersenyum.

Senyum sang anak melekat di benak saya hingga saat ini. Gadis cilik yang seharusnya cantik itu terlihat tua keriput. Ada kesakitan di wajahnya, namun ia tetap tersenyum.
Saya jadi terpukul. Hidup saya ini kurang apa dibandingkan si gadis. Namun, sedikit saja dihempas angin, saya sudah ternangis-tangis. Mengeluh-keluh. Bahkan marah-marah pada Tuhan, serasa saya orang yang paling menderita di dunia ini. Teman saya tadi mengaku menangis karena tiba-tiba ia diputuskan pindah ke luar kota, padahal ia baru seumur jagung menjalin kasih setelah sekian lama sendiri.

Teman saya merasa disudutkan dan tidak diberi pilihan. Saya bilang salah. Ia berhak memilih jalan. Sering kali kita ini merasa bahwa kita tidak bisa memilih, padahal pilihan itu justru adanya di tangan kita. Saya menyarankan agar ia mengambil keputusan menurut prioritasnya. Karena mau tertekan atau tidak tertekan, begitu ia mengiyakan atas keputusan sepihak boss nya, itu akan tetap menjadi keputusannya. Kalau ia sudah mengambil keputusan yang sebenarnya bukan pilihannya, lalu hubungan dengan sang kekasih yang sudah susah payah didapatkannya bubar, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun, betapa pun dendamnya ia. Maka saya menganjurkan agar sekali lagi dipikirkan masak-masak. Kalau ia tidak merasa nyaman atas keputusan yang diambil orang lain atas hidupnya, suarakan dan pertahankan keputusannya. Lama setelah ia mengobrol dan curhat, ia baru bisa tenang dan tersenyum kembali. Begitu ia tersenyum, dunia seolah berubah menjadi cerah dan optimis kembali. Ia menemukan harapan dan kepercayaan dirinya.

Malam ini, saya kembali lagi di antara teman saya dan si bocah kecil di Afrika. Sebuah masalah. Yang satu menghadapinya dengan tangis. Yang satu menghadapinya dengan tersenyum. Dan yang menjadi pemenang adalaah ia yang tersenyum, apa pun hasilnya.

Saya sering menghadapi masalah dengan menangis dan marah-marah. Sekarang saya berpikir, bagaimana ya kalau saya menghadapinya dengan senyuman? Apakah bisa menjadi lebih baik? Senyuman memancarkan harapan dan optimisme sekaligus kesabaran dan rasa tetap bersyukur. Ketika kita tersenyum, dunia sekitar seolah memberi respons atas senyuman kita dan tiba-tiba melunakkan segala kemarahan dan hati yang keras. Dan semuanya berubah menjadi lebih baik.

Saya juga pernah membaca bahwa senyuman merupakan olah raga muka yang sangat efektif dan membuat kita lebih awet muda. Juga senyuman adalah obat yang mujarab menyirnakan stress yang mengakibatkan pemicu penyakit jantung dan memendeknya usia kita.

Saat saya mengatakan saya mau tersenyum sebanyak dan sesering mungkin, saya mendengar lagi lagu smile karangan Charlie Chaplin :

smile, though your heart is aching
smile, eventhough it's breaking
when there are clouds in the sky you'll get by
if you smile through your fear and sorrow
smile and maybe tomorrow
you'll see the sun will coming through
if you just smile....

dan saya teringat lagi kalimat indah :
"smile and the whole world smiles with you"...

Mulai sekarang, saya mau tersenyum untuk menggantikan cemberut dan marah-marah saya. Mungkin tidak selalu ingat, tapi paling tidak saya akan mulai berusaha. Smile!

21 April 2010 : Meraih Mimpi

Malam ini saya menjadi orang yang pertama yang mendapat kehormatan dari seorang kerabat muda akan sebuah rahasia yang tak pernah dibagikannya dengan orang lain. Ia mengeluarkan sebuah album bercover foto indah jejak dua kaki di pasir menuju pantai berkilau cahaya emas sang surya. Dia membuka perkenalan saya dengan album ini dengan mengatakan, "This is my dream book."

Album setebal 22 halaman itu berisi berbagai topik yang ingin dicapainya dalam hidup ini. Diawali dengan profil dirinya, ia kemudian membuka lembaran berikutnya dengan halaman kosong yang akan diisinya seputar kebesaran Tuhan dalam hidupnya, lalu mimpinya bagi keluarga, karir, cinta, pendidikan, persahabatan, rumah idaman, mobil, tempat-tempat dunia yang ingin dikunjunginya, pendidikan bagi anaknya kelak, kegiatan sosial yang ingin ditekuninya, mimpinya memiliki usaha keluarga. Sisa albumnya disisakan untuk diisi dengan kisah sukses hidupnya dan keluarganya, lalu ditutup dengan rencana pensiun dan bagaimana ia ingin meninggalkan jejak bagi dunia ini selepas kepergiannya di dunia ini. Di ujung bawah lembar terakhir, ia menuliskan : "Everybody should smile like me: hahaha" Album yang tadinya kosong itu, pelahan-lahan diisinya seiring dengan terpenuhinya satu per satu mimpi-mimpi yang direkam dalam buku mimpi itu.

Melihat album yang dikemas mengharukan, serius tapi juga lucu itu, saya sungguh terpesona atas keluarbiasaan visi seorang muda berusia 23 tahun yang lulus magna cumlaude dari sebuah universitas ternama yang diraihnya dari hasil beasiswa penuh dan kini meraih lulusan predikat terbaik program pelatihan paling bergengsi di negeri ini dari perusahaan tempat ia bekerja.

Untuk usia sebelia itu, ia sudah punya dreambook. Saya yang dua kali lipat usianya? Saya memang punya mimpi, tapi terus terang tidak sedetil dia. Saya cuma bilang dalam hidup ini saya mau hidup simply happy with the one that I love and who loves me as much as I love the person. Tapi sedetil apa bahagianya, tak pernah saya gambarkan dengan jelas. Saya juga punya mimpi ingin ke sini dan ke situ dan sedikit-sedikit sudah saya penuhi, namun tak ada yang tercatat seperti ini.

Mungkin, saya harus membuat my own dream book. Terutama karena saya sudah mulai memikirkan untuk pensiun 10 - 15 tahun lagi. Mau melakukan apa saya setelah itu? Berapa dana yang saya targetkan untuk saya raih sebelum saya menutup kebiasaan bekerja dari jam 9 sampai 17 itu? Punya usaha apa? Rumah yang bagaimana? Mobil seperti apa? Keluarga macam apa? Kegiatan sosial apa yang akan saya lakukan untuk berbagi berkah pada sesama? Apa yang akan saya sumbangkan pada bangsa dan negara ini? Juga pada keluarga dan orang-orang terkasih?

Malam ini saya belajar tentang visi. Sebuah visi yang jelas dan terarah. Saya benar-benar terinspirasi oleh konsep dreambook yang dibuat dengan sederhana namun menyimpan mimpi seorang muda yang luar biasa cemerlang. Saya akan membuat dreambook versi saya. Namun hari sudah larut, mungkin sebaiknya saya malam ini bermimpi dulu, sebelum membuat buku mimpi hidup saya ...

Tuesday, April 20, 2010

20 April 2010 : Tanpa

Hari ini waktu berjalan begitu cepatnya hari ini dengan jadwal yang saling berkejaran. Pagi-pagi saya sudah ada event di hotel Nikko, belum selesai acaranya saya sudah harus berada di sebuah resto high end di Grand Indonesia untuk santap siang bersama media. Karena fine dining, acara tersebut molor hingga saya harus terbirit-birit mengejar acara selanjutnya di FX. Pulang dari situ, saya sudah teler.

Mungkin saking sibuknya dan saking padatnya acara, saya sampai tak bisa lagi memilah apa yang saya pelajari hari ini. Seperti film kartun yang di fast forward atau seperti kereta api lewat. Kita tahu puluhan gerbong melintas cepat di depan mata, namun tak dapat melihat wujud detilnya.

Malam ini saya sudah merasa putus asa, rasanya saking cepatnya semua berlalu, saya jadi tidak belajar apa-apa. Namun ketika mau mematikan lampu kamar kerja, saya iseng menyobek kalender harian yang sudah berhari-hari saya diamkan. Dan muncullah kata-kata ini :

"Marry not the one you can live with, but the one you cannot live without."

Wow. Saya tertegun. Benar juga ya. Rasanya selama ini saya selalu membuat berbagai kriteria pasangan yang pada intinya akan membuat saya merasa nyaman dan aman sepanjang hayat bila bersamanya seumur hidup, namun malam ini saya ditunjukkan bahwa lebih penting mencari seseorang yang tanpanya saya tak bisa "hidup". Saya lalu membayangkan, iya juga ya, kalau mencari orang yang I can live with, tanpa cinta pun hal itu bisa terjadi, hanya karena saya suka uang dan statusnya, atau kalau pun cinta, hidup saya pasti adem ayem saja. Tapi apa ya itu yang saya cari? Kalau adem ayem terus, lama-lama bisa bosan dan jangan-jangan membuat saya tergoda mencari sensasi lain...

Lalu saya merenungkan yang cannot live without. Bisa jadi hidup dengan orang seperti ini membuat kita termehek-mehek. Saya ingat lagu Celine Dion dan Pavaroti "I hate you then I love you". Tapi yang jelas hidup dengan seseorang yang tanpa nya kita tak bisa hidup, membuat hidup kita jauh lebih menarik dan exciting, dan dijamin takkan pernah membosankan. Kita sudah sedemikian "sibuk" dan terfokusnya dengan orang ini, sehingga tidak punya waktu dan interest lagi untuk tergoda-goda. Hasilnya, kehidupan kita bersamanya dijamin akan penuh warna dan makna, karena kebersamaan bersamanya menjadi momen penting setiap saat.

Saya lalu kembali lagi pada kalimat singkat itu, dan mengamini makna yang tertera. Saya mau hidup dengan seseorang yang tanpanya saya tak bisa hidup, jadi perjalanan hidup saya bukan hanya sekedar hidup, tapi "hidup". Penuh cinta, warna dan makna.

Saya juga merenung, just when I thought my day will just past without learning something, I found a precious line to learn my life from. Saya menjadi semakin yakin bahwa there's always something to learn in a day. And today is about choosing to live with someone you cannot live without for the rest of your life ...

19 April 2010 : Detil atau Global?

Hari ini saya mengikuti meeting terlama, terpanjang dan paling menyiksa dalam sejarah tahun 2010. Lama karena pertemuannya mulai sekitar jam 14:30 sampai dengan jam 20:30, panjang karena satu topik dibahas dan dibolak balik sampai berjam-jam, dan menyiksa karena bahan yang dibahas sebagian besar dipersiapkan oleh orang lain, jadi sepanjang rapat itu, meskipun sudah dibrief oleh rekan yang membuat, tetap saja saya seperti orang bego, terutama karena pekerjaan yang dibuatnya dibongkar total, dan saya sama sekali tidak siap dengan segala data dan alur detil presentasi itu! Mau menambah daftar ke bete an saya? Saya tidak mengalokasikan waktu segini banyaknya buat meeting ini karena harus mempersiapkan diri untuk tiga event besar esok pagi!

Yang membuat saya semakin frustrasi adalah si klien sendiri. Begitu sampai di slide pertama, bagian pendahuluan, ia sudah mengubah hingga titik koma. Dua slide presentasi dihabiskannya dalam waktu dua jam. Mau mati rasanya. Saya makin mendongkol ketika waktu menunjukkan pukul 18:30, padahal saya ada janji bertemu jam 19:00. Untung yang diajak janjian sangat mengerti keadaan saya dan mau menanti makan malam bersama selewat pukul 10 malam. Saya jadi sedikit terhibur, dan mengikuti jalannya rapat dengan lebih baik, meskipun kurang dari setengah hati.

Saya sangat frustrasi akan kedetilan sang direktur wilayah asia pasifik. Selama ini sebagai seorang senior consultant dan direktur, saya hanya memberi arahan dan melihat garis besarnya saja, setelah itu, tanggung jawab manajer saya untuk memperhatikan detilnya. Namun hari ini saya menghadapi orang yang sangat detil. Saya bisa mengerti sih, ia harus melakukannya karena boss nya, sang presiden direktur Asia Pasifik orangnya lebih detil lagi. Jadi kalau ada salah ketik sedikit, sudah mencak-mencak. Namun dengan berjalannya waktu, dan karena kedetilan sang direktur, saya yang tadinya cuma punya gambaran samar-samar tentang sang klien, menjadi tahu mendetil mengenai berbagai fakta yang sebelumnya belum terungkap. Saya juga jadi tahu jalan pikiran sang presiden direktur melalui direktur yang satu ini. Ketika semua detil itu dirangkum menjadi satu, tiba-tiba terlihatlah sebuah komposisi strategi dan penjelasan yang indah. Perhatian saya tiba tiba juga tidak lagi separuh hati.

Saya lalu berpikir, mana yang lebih penting - detil atau global? Saat sang direktur menutup rapat dan meminta maaf serta berterima kasih atas "kesabaran" saya menemaninya berjam-jam, saya melihat urutannya sebagai berikut : global - detil - global. Artinya, sang direktur telah melihat sekilas proposal yang dibuat teman saya, dan melihat gambaran yang jauh lebih indah dari proposal itu. Lalu berdasarkan gambaran besar itu, ia membongkar semua isi proposal dan menata ulang semua unsur yang ada didalamnya agar membentuk gambaran itu. Di akhir sesi, ia melihat lagi segalanya dari jauh agar terlihat bentuk indahnya, dan menambahkan satu dua sentuhan akhir agar sempurna.

Saya jadi membayangkan karya pematung atau pelukis. Ia melihat bayangan indah di kepalanya, dan menuangkan dalam bentuk detil di kanvas atau di bahan pahatan sehingga keluarlah wujud nyata lukisan dan patung yang ada di benaknya. Di akhir karya, ia melihat dari jauh dan memberi sentuhan akhir sebelum ia menyatakan karya agung itu tuntas. Saya juga melihat gambar-gambar indah hasil cetakan, yang kalau kita perhatikan secara detil mengandung jutaan titik warna yang membentuk sebuah rupa. Global - detil - global.

Malam ini saya berterima kasih karena sudah diberi pelajaran luar biasa oleh sang klien. Bukan saja tentang bisnis yang ditekuninya, atau visi perusahaan serta presiden direkturnya, namun tentang bagaiman kita seharusnya bersikap terhadap sebuah hal : global - detil - global. Ups! Saya harus segera menyudahi tulisan ini karena masih harus mempersiapkan diri menghadapi tiga event sekaligus besok pagi!

Sunday, April 18, 2010

18 April 2010 : Menggenggam tangan

Kalau Anda datang ke rumah sekarang, Anda akan menemukan seprei bernuansa coklat lembut berornamen bunga dan bulatan geometris membentang di tempat tidur saya. Bunga-bunga itu terdiri dari kelopak-kelopak geometris yang tidak saling berhubungan namun membentuk sebuah lingkaran rapi.

Pagi ini, ketika membangunkan kerabat muda yang sedang menginap dan ingin ikut ke gereja, sambil duduk di tempat tidurnya dan setengah ngelindur, ia bertanya, "Coba tebak, berapa jumlah kelopak di bulatan bunga sarung duvet kamu." Saya yang juga setengah mengantuk, menjadi melek dan bertanya, "Ha? Pertanyaan macam apa itu? Jadi kamu menghitung jumlah kelopak? This is so weird!" Saya langsung loncat dan mencoba menghitung jumlah kelopak di duvet kamar. Tapi ia tak kalah sigap menghalangi. Dia bilang tak boleh dihitung! Saya bilang curang! Akhirnya dia memberi jawabannya : 19. Baik yang besar dan kecil, kelopaknya 19! Lalu ia mulai menganalisa kenapa kok 19? kenapa begini kenapa begitu? Sambil terbahak sakit perut saya bilang: gak penting deh! Dia lalu mempertanyakan mengapa bisa untuk ukuran bunga yang besar dan yang kecil menggunakan pola yang sama dan berjumlah 19? Adakah maknanya? Saya jawab lagi, "Aduuuuuh kamu itu, kalau saya sih mikirnya simpel saja : desainernya membuat pola dan mendesain dengan komputer, kenapa kamu mikirnya senjlimet itu?"

Pembicaraan konyol sambil antri kamar mandi itu kemudian seolah sirna dan saya menangkap nuansa bahasan lain dalam benak saya. Saya takjub atas kesadaran bahwa setiap orang itu unik. Kerabat saya yang satu ini luar biasa cemerlangnya dalam hal hitung menghitung dan detil. Dalam sekejap mata ia bisa menghitung berbagai jumlah benda, dari yang belasan sampai puluhan. Sebaliknya, saya ini orang visual dan hanya menangkap yang garis besar saja. Kalau bekerja, saya ini bagusnya di bagian konsep, sedang detil pelaksanaannya lebih baik dikerjakan orang lain yang lebih teliti. Saya lalu menyimpulkan, bahwa apa yang dilakukan kerabat saya itu bukan iseng, tapi otomatis: melihat sesuatu yang bisa dihitung, otak berhitungnya langsung bekerja. Mungkin sebagai pengantar sebelum ke gereja, Tuhan ingin saya melihat dan takjub atas kebesaranNya dalam menciptakan kekhususan di setiap orang yang berbeda.

Kemarin, saat mengobrol, saya di tanya oleh seorang teman. Mengapa saya tidak tanya ini dan itu saat berkenalan dengan orang baru? Saya lalu berpikir, iya, kenapa ya? Akhirnya saya menemukan : saya ini bukan tipe orang yang bertanya. Seakan dibimbing, saya kemudian menelusuri hubungan romantis dengan berbagai orang dalam hidup ini. Beberapa kali saya mendengar keluhan kesannya saya tidak punya minat untuk mengetahui seluk beluknya lebih lanjut, dan menanyakan keberminatan saya pada mereka. Saya kini bisa menjawab : saya berminat, saya hanya bukan tipe penanya. Jadi, saya harus memberitahu kepada pasangan, kalau ada apa-apa, jangan punya keinginan mentest apakah saya peduli dengan mengharap saya bertanya. Langsung saja nyatakan apa yang ada di benaknya.

Seorang teman mengaku ia pernah menyatakan kefrustrasiannya atas "kedinginan" saya. Ia bilang, ia sebenarnya ingin mengajak saya berlibur berdua ke Bali yang berakhir ia berangkat sendiri. Saya bilang, lho, kamu tak pernah mengajak kok? Dia bilang, memang sih, tapi dia sudah pernah mencoba memberi hint, sengaja nyeletuk bahwa besok itu long weekend, tapi saya malah bilang mau ada teman dari luar kota yang akan datang dan melewati long weekend bersama. Tapi saya bilang, apa pun yang jadi kesimpulan dia, dia tak pernah menyatakan ide liburan ke Balinya pada saya. Siapa tahu begitu mendengar, saya langsung mengatur ulang jadwal dan malah pergi dengannya? Saya lalu mengulang pesan yang sudah berulang-ulang saya katakan ke berbagai teman, "Makanya, jangan dipikir, dikerjakan..." Saya lalu menceritakan bahwa saya ini bukan seorang penanya, dan ia segera menangkap. Ia bilang sekarang ia bisa mengerti missing link yang kemarin-kemarin menjadi tanda tanya buatnya, namun sekarang everything starts to make sense. Ia bilang, ia kini tahu bagaimana harus menghadapi saya. Suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya dengan orang lain di hidup saya.

Pagi-pagi ini saya dibuat takjub atas sebuah demonstrasi kecil oleh Tuhan yang membuktikan kekuatan keunikan setiap orang, dan bahwa kemampuan kita menyelami dan memahami keunikan itu adalah kenikmatan dan anugerah yang luar biasa yang jika bisa kita kuasai akan menjadikan kunci keberhasilan dalam berkomunikasi dengan orang lain, siapa pun dia.

Saat mau menutup blog ini, tiba-tiba saya mendapat kiriman cerita dari sepupu saya Yola:

Seorang gadis kecil dan ayahnya sedang meniti jembatan. Ayahnya cemas dan berkata pada anaknya, " Sayang, pegang tangan ayah , dong, jadi kamu tak terjatuh ke sungai." Anaknya berkata, "Tidak, yah. Ayahlah yang menggenggam tanganku." Apa bedanya?" tanya ayahnya bingung. "Besar," jawab si gadis. "Jika saya memegang tanganmu dan sesuatu terjadi padaku, bisa jadi aku melepaskan genggamanku. Tetapi jika ayah menggenggam tanganku, aku tahu pasti apa pun yang terjadi, ayah tak akan pernah melepaskan tanganku."

Sebuah pesan yang singkat namun membawa berjuta makna. Saya jadi diingatkan untuk menggenggam tangan orang yang saya cintai lebih dari hanya mengharapnya menggengam tangan saya. Meskipun saya bukan orang yang penanya, saya disemangati untuk tidak menyia-nyiakan waktu, saya mau menyelami dan memahami pasangan saya, sehingga saya tahu bagaimana harus berlaku agar ia tahu bahwa saya sangat mencintai dan menyayanginya...

17 April 2010 : Berantem Sama Orang Lain

Siang ini saya bersantap dengan seseorang yang bisa melihat karakter orang. Beliau mengatakan bahwa saat ini jiwa saya sedang mencari cara untuk berdamai dengan diri saya sendiri dan menekan emosi. Saya mengamini. Benar sekali. Menekan emosi adalah salah satu hal yang terpenting yang ingin saya taklukkan saat ini. Selama ini sulit rasanya mengontrol emosi. Kalau sudah meledak, susah diremnya. Meskipun ledakannya singkat, namun menurut teman dan karyawan saya, dampak yang dirasakan bertahan lama. Alias, saya nya sudah cengar cengir, orang yang kena dampratan masih sakit hati tidak hilang-hilang.

Saya ingin seperti seorang teman saya yang luar biasa sabarnya. Apa pun dihadapinya dengan senyumnya yang luar biasa menawan. Orang yang sudah mengepul otaknya bisa langsung leleh di hadapannya. Tak salah bila sebuah bank raksasa memilihnya duduk di risk management yang membuat dia berurusan dengan debitur macet. Dia bilang, sudah tidak zamannya lagi pakai debt collector berwajah sangar untuk klien-klien perusahaan yang pinjamannya macet miliaran Rupiah.

Kemarin, saat saya sedang menyetir dan mengumpat atas kelakuan pengguna jalan yang tidak bertanggung jawab, ia mengingatkan. Sarannya, biarkan saja, toh teriakan kita tidak ada gunanya. Lagi pula, tak ada untungnya berurusan dengan orang seperti itu. Meminjam prinsip karma, dia bilang nanti toh dia akan berurusan dan berantem juga ... dengan orang lain. Saya pikir-pikir, iya benar juga ya. Orang sebrengsek dia, pasti banyak yang jengkel padanya. Jadi kalau bukan saya, pasti ada orang lain yang rela menggulung lengan bajunya untuk meninju orang itu. Jadi, buat apa saya membuang-buang energi yang tak penting?

Persoalannya selama ini menyalurkan energi itu penting dan enak. Ada kenikmatan tersendiri kalau bisa meleledakkan amarah. Bahayanya, ini bisa menjadi kecanduan dan kebiasaan yang pada akhirnya justru membuat kesal dan mendatangkan banyak musuh.

Malam ini, saya bertemu dan bersantap malam bersama sekelompok teman. Mereka membahas ada seorang gadis yang merasa kesal karena salah seorang teman di kelompok ini punya pacar baru dan tidak memilihnya. Ia lebih kesal lagi setelah tahu bahwa teman-temannya sedang makan malam dengan cowok yang ditaksirnya ini bersama sang kekasih, tanpa mengajak dia. Ia kemudian murka dan memaki-maki teman-temannya. Terjadi perang mulut lewat speaker telepon. Semua kata-kata mutiara dan kebun binatang keluar semua. Yang tak habis pikir, si gadis gemuk yang menurut saya seperti kuda nil ini kemudian berteriak memanggil ayah dan ibunya untuk membantu. Dan si orang tua tolol yang tidak tahu sebab musababnya langsung mendamprat siapa pun juga yang didapatkannya. Mula-mula si ibu mendamprat teman saya yang cantik sampai ia ternangis-nangis. Karena tidak puas, ia menelpon si cowok idaman anaknya.

Saya merasa ini sudah kelewatan, saya langsung punya ide iseng untuk mengerjai ibu gila itu. Saya langsung menjawab panggilan teleponnya dan menuruti alur makian ibu itu dengan makian-makian yang tak kalah anehnya - yang kalau didengar ulang pasti membuat Anda geleng-geleng dan tertawa terbahak - dengan nada marah tapi kalau lihat aslinya, sambil cengar cengir. Kesal karena jawaban saya sama gilanya, telepon itu disambar lagi oleh anaknya yang menangis histeris keras sambil teriak-teriak. Saya bilang, teriakannya kurang kencang dan terdengar sumbang. Bagaimana kalau teriakannya itu ditambahi nada dangdut supaya lebih ngetril? Saya yakin dia shock berat mendengar pujaan hatinya yang selama ini sangat santun, menjadi naga neraka bersembur api yang tak pernah dibayangkan sama sekali. Lalu, ibunya menyambar kembali dan melanjutkan teriakan-teriakan anaknya, mungkin karena pita suara anaknya sudah robek karena meraung-raung sejadi-jadinya. Bisa jadi akhirnya mabok karena marah-marahnya bertaut dengan marah-marah tak jelas, telepon dimatikan. Mungkin juga karena sadar, pulsa teleponnya sudah tersedot percuma atau memang pulsanya habis. Dalam hati saya geli, karena kalau ia sadar, bukan cuma pulsanya yang tersedot, tapi semua energinya terbuang percuma karena tak sadar bahwa yang dihadapinya bukan sasaran amarah tapi orang iseng.

Saya tidak punya urusan dengan gadis dan orang tua yang gila itu. Tapi saya pikir, orang-orang seperti itu perlu diberi terapi kejut dan sesekali dihajar juga. Lalu, sambil menyetir pulang, saya lalu mereview rentetan kejadian unik hari ini. Di awal hari, saya diingatkan untuk mengontrol emosi dan saya juga menangkap esensi membiarkan orang yang menyebalkan berantem dengan orang lain. Dan malam ini saya langsung diberikan test case nya. Kalau teori di atas diterapkan dengan kejadian malam, maka si kuda nil berhasil membangkitkan amarah ibunya lewat cerita-cerita mengarang bebas untuk mendamprat teman-teman yang dianggap mengkhianatinya. Dan saya jadi alat untuk teman-teman saya mendamprat mereka. Lama-lama, kok ya seperti wayang ya? Kenapa kita tidak bisa mendamprat langsung saja? Setelah saya pikir lagi, saya lalu menghapus kalimat yang baru saja dibuat. Ah, ini kan karena saya sedang muncul jahil dan super isengnya saja.

Pada intinya inspirasi yang saya dapat hari ini adalah, kendalikan emosi kita. Karena hal yang membuat kita kesal akan mendapat ganjarannya sendiri secara alami. Jadi tak perlu kita yang buang tenaga melakukannya. Lebih baik energi kita dibakar dalam bentuk lain yang bersifat positif dan membangun. Saya lalu ingat osteoblas dan osteoklas. Unsur tulang yang membangun dan menghancurkan tulang tubuh kita dalam pengetahuan osteoporosis. Kalau osteoblas kita melambat sedang osteoklasnya aktif, lama-lama tulang yang telah terbangun tergerogoti dan akhirnya rapuh, lalu patah menjadi osteoporis. Jadi penting untuk menjaga keaktifan osteoblas. Begitu juga dengan emosi kita. Ada emosi positif dan negatif. Saya harus memupuk dan mengaktifkan emosi positif saya, karena kalau tidak emosi negatif akan merajai dan membuat keropos jiwa kita. Tiba-tiba saya berhenti. Jangan-jangan si kuda nil dan orang tuanya itu bukan cuma keropos, tapi sudah tak punya jiwa karena semua sudah dilahap habis oleh emosi negatifnya. Hiiiii! Apakah tadi saya ngomong sama setan ya?

Friday, April 16, 2010

16 April 2010 : Selongsongan

Hampir setiap pagi saya mengobrol secara virtual dengan seorang teman sekolah saya. Topiknya macam-macam, terkadang membahas juga isi blog saya. Seperti pagi ini. Dari membahas topik kemarin, tiba-tiba ia menceritakan soal temannya yang selalu berkata bahwa hubungan dengan isterinya baik-baik saja, tidak ada masalah, tapi selingkuhannya banyak - bahkan isteri orang juga disatroninya. Lalu teman saya bertanya, kalau seperti itu bagaimana ya? Saya menjawabnya sambil bercanda : ya tentu saja baik, selama isterinya tidak tahu. Dia menimpali sambil tertawa : iya... atau pura pura tidak tahu hahaha... dan saya menukas : soalnya isterinya ternyata juga banyak selingkuhannya ya! Hahahaha

Lalu pembicaraan jadi lebih serius. Dia bilang kalau begitu berarti relationshipnya sudah nggak ada ya? Saya menjawab mungkin yang ada cuma selongsongannya saja. Teman saya lalu mengambil kesimpulan, jadi kalau seperti itu apa saatnya berpisah saja? Sudah tidak ada isinya tinggal selongsongan saja, buat apa?

Saya menjawab, justru di situ poin nya. Orang kan nyaman dengan kemapanan, kebiasaan, kenyamanan, status atas apa yang dimilikinya : rumah, anak, bisnis, segala selongsongan yang enggan dilepas. Karena nyaman, ya dia tak akan melepaskannya. Tapi dasar manusia serakah, masih ingin lebih. Jadilah ia nekad dan berpetualang. Ingin dapat nyaman dan nikmat. Mungkin tadinya yang nyaman itu nikmat, tapi seperti kata seorang rekan, "Biar doyan, kalau makan sup setiap hari ya bosan juga... sekali-sekali boleh lah makan sayur asem." Masalahnya kalau akhirnya lebih sering jajan di luar daripada makan di rumah. Rumah akhirnya ya jadi selongsongan dan status saja. Status untuk menjawab pertanyaan, tinggalnya di mana? ooo di... (alamat yang ada di ktp). Kalau mau mengenalkan pasangan? Bawa isteri resmi. Padahal secara kenyataannya ia gelandangan ber-rumah. Punya rumah tapi tidurnya menginap kanan kiri di hotel, motel atau tempat selingkuhannya. Dan ia malas membawa selingkuhannya karena tampangnya tidak secanggih isterinya, tapi goyangannya maut sekali. Jadi, selongsongan diperlukan, karena pada dasarnya manusia itu ogah rugi, mau memiliki semuanya...

Lalu saya mulai bertanya pada diri sendiri : Pertama : saya punya rumah dengan fasilitas lengkap mulai dari pembantu yang setia dan canggih memasak, ruang relaksasi lengkap dengan berbagai sarana pijat, home theater di setiap ruangan, kamar mandi dengan berbagai fasilitas mulai rain shower hingga bath tub yang membuat saya terlelap di sana, sampai kamar tidur yang membuat istirahat sempurna dan kebun belakang dengan kolam koi serta meja kursi untuk makan malam romantis ada semua. Juga lingkungan sekitar yang indah dan asri. Pertanyaannya adalah apakah rumah saya ini selongsongan atau rumah tempat tinggal saya ya? alias a House or a Home?

Saya berkesimpulan rumah saya is a home. Home yang sebenarnya kurang banyak dimanfaatkan, karena kenyataannya dalam 24 jam, saya lebih banyak di luar rumah. Selepas kerja dan di jalan, saya lebih sering makan di restaurant atau di mall, saya lebih sering memanfaatkan jasa spa ketimbang pijat di kursi yang nyaman di rumah. Kecuali soal tidur, nothing beats my bedroom! Membayangkan hal ini, saya jadi ingin terbang pulang sekarang, menikmati kenyamanan rumah!

Lalu soal pasangan : Biar tidak lagi melirik kanan kiri, lapar mata minta sup dan sayur lodeh, harus cari pasangan yang seperti apa ya? Yang pertama, buat saya pasangan itu yang harus bisa diperkenalkan dengan bangga dengan semua orang : "Perkenalkan, ini pasangan saya." Kalau saya malah ingin menyembunyikan dia, berarti saya bukan cinta, tapi cuma suka satu bagian saja dari dia. Lalu, pasangan saya harus seseorang yang bisa diajak serius, tapi juga bisa diajak fun. Yang selalu punya fresh idea about something, sesekali senang juga kalau dia bisa memberikan pleasant surprises. Pleasant, bukan kejutan gila!

Yang jelas hari ini saya jadi punya ide menyebut suatu hubungan yang cuma tinggal "kulit"nya sebagai "selongsongan". Membayangkan selongsongan saja sudah malas dan tidak menarik. Tidak punya jiwa. Karena itu, saya tidak mau punya "selongsongan". Saya mau punya "Rumah". "Home". Karena di dalam sebuah "home" bukan hanya ada kenyamanan dan kenikmatan, namun yang terpenting ada jiwa (soul), ada kehangatan, ada cinta, dan ada kedamaian ...

Thursday, April 15, 2010

15 April 2010 : Menghadapi Reaksi

Sama dengan Raul, pasangan selingkuh Krisdayanti, sejak beberapa hari yang lalu teman saya mulai membuat sebuah pengakuan kepada teman-temannya. Bedanya ia tidak berselingkuh dan tidak membuat konferensi pers. Ia hanya ingin membawa kabar bahagia bahwa setelah sekian lama sendiri, kini ia sudah bertemu dengan pujaan hatinya. Selama ini meskipun sendiri, ada saja yang datang dalam hidupnya dan ia pun mmm apa istilahnya ya ... : keep options open. Ia tidak mengiyakan namun tidak juga menolak. Bukan maksudnya menjadi playboy, namun ia hanya ingin benar-benar mengenal dan mentest perasaannya terhadap si calon, apakah ia sungguh-sungguh cinta atau tidak. Maka ketika kini ia bertemu dengan orang yang cocok di hati dan sudah mantap dengan pilihannya, ia merasa perlu memberi tahu yang lain agar tahu posisi yang sebenarnya dan dengan demikian ia pun menarik diri dari kancah perburuan untuk hidup damai dengan pasangan barunya.

Reaksi yang didapatnya, sungguh beragam. Yang paling indah adalah mendapat selamat dan restu, dan temannya ikut berbahagia. Namun ada yang langsung menghapus kontak di facebook dan di bbm. Hari ini ia mendapat reaksi singkat memberi selamat kemudian pamit, sign out. Teman saya lalu berpikir reaksi apa lagi yang akan didapatnya, padahal ia belum memberitahu banyak orang lagi, termasuk sahabat-sahabat dekatnya. Ia lalu menanyakan kepada saya, "Memang kalau orang yang dapat pacar itu terus kehilangan teman-temannya juga ya?"

Ditanya seperti ini, saya lalu menganalisa, bisa jadi, karena memang "teman-teman"nya yang kemudian memupus hilang itu sebenarnya bukan "teman" tapi lebih ke mereka yang masuk daftar "candidate" alias "calon". Kalau sudah begini, agak sulit untuk bisa mempertahankan silaturahmi karena sudah pasti yang tereliminasi akan merasa kecewa, kecuali mereka berjiwa besar dan bisa menerima esensi persaingan dan kenyataan hidup. Bisa jadi mereka justru sakit hati merasa dipermainkan, padahal sesungguhnya tidak begitu adanya. Sama-sama menjajagi kemungkinan. Maksudnya mungkin iya bisa terus atau mungkin tidak bisa terus juga.Selama belum ada komitmen apa pun, tak ada yang bisa disalahkan. Terkadang salah kita sendiri yang berkhayal terlalu jauh. Kita ini sering lupa : bukan berarti sebuah kencan dan mengobrol panjang membuat kita jadi pacaran kan? Itu merupakan sebuah proses perkenalan dan penjajagan. Setelah itu, masih ada tahapan membahas bersama dan saling berjanji untuk mengubah status dari sendiri menjadi berpasangan. Kita sering lupa bahwa tahap ini harus dilewati sehingga kita terlalu cepat mengambil kesimpulan atau terlalu banyak berharap.

Jadi bagaimana harus menghadapi berbagai reaksi ini? Saya akhirnya berkesimpulan ya sudah, biasa-biasa saja. Kalau pun ada yang reaksinya negatif dan mengundurkan diri, ya sudah. Berarti mereka bukan your true friends. Bagi mereka yang ikut bahagia dan mendoakan, ya bersyukurlah, mereka lah your true friends.

Dari pengalaman saya sendiri, saya juga kehilangan beberapa teman ketika berpacaran atau bahkan menikah dulu, namun tak sedikit juga yang masih menjadi sahabat melalui berbagai badai kehidupan. Merekalah sahabat sejati saya. Kita tentu tak bisa menyenangkan semua pihak. Ada yang tidak menyukai pasangan saya karena perhatian saya menjadi jauh berkurang karena lebih "fokus" memperhatikan si dia. Wajar saja. Yang jelas kita tidak boleh dan tidak bisa terpaku hanya pada reaksi negatif saja. Kita masih punya saudara dan teman-teman dekat yang bisa dikabari berita bahagia ini dan ikut mendukung serta bahagia bersama kita.

Hari ini saya belajar bahwa tak semua orang bisa ikut merasakan dan mendukung apa yang kita rasakan. Tentu kita harus mengevaluasi mengapa hal itu terjadi. Kalau keengganan itu muncul dari semua orang, boleh lah curiga apa ada yang tidak beres. Namun kalau itu muncul dari segelintir orang saja, rasanya kita bisa memastikan bahwa apa yang kita rasakan itu tidak salah. Dalam hal teman saya yang telah menemukan cinta sejatinya ini, dan membuatnya lebih bercahaya dari masa-masa sebelumnya, saya kemudian menyarankan untuk lebih memfokuskan diri pada kerabat dan teman yang sudah begitu banyak memberikan tanggapan positif dan mendukung pertalian ini. Semoga awal yang baru seumur jagung ini menjadi permulaan dari masa bahagia yang abadi....

Wednesday, April 14, 2010

14 April 2010 : Duda Intern

Kisruh asmara Krisdayanti dan Raul yang melibatkan isteri Raul, Tata dan kakak Krisdayanti, Yuni Shara bertambah ruwet saja. Kemarin Raul muncul di hadapan wartawan dan mengatakan secara intern dia adalah duda. Hari ini isterinya memberi komentar yang sangat masuk akal, "Mana ada istilah duda intern?" Ya, saya juga bingung dengan istilah baru itu. Saya belum pernah mendengar istilah duda intern.

Kalau dilihat dari bahasa komunikasi, secara implisit Raul berkata bahwa ia belum cerai secara hukum, alias masih terikat tali pernikahan dengan isterinya Tata. Terlepas apakah mereka sudah tidak ada kecocokan dan tidak lagi serumah, tapi ia masih suami Tata. Bagi pemirsa seperti saya, saya mendapat kesan bahwa Raul mencoba membenarkan apa yang dilakukannya dan bermain aman dengan kata-kata yang dipilih dan diulangnya berkali-kali. Sekilas terdengar nyata bahwa ia adalah duda, namun bila kita cermat kita tahu ia belum berstatus duda. Saya tidak yakin ia berhasil membohongi pemirsa dengan baik karena ketika kami membicarakannya di kantor, semua rekan saya setuju mengartikan istilah duda intern itu sebagai belum bercerai. Yang saya "heran" adalah mereka yang "percaya" bahwa dia ini sudah duda. Menurut saya, ini lagi-lagi pembenaran naif terhadap sebuah kenyataan yang sebaliknya. Membenarkan sebuah perilaku yang di mata masyarakat tidak dapat diterima dan bisa membuat reputasi seseorang menjadi jatuh berkeping.

Saya berpikir, manusia tentu tak lepas dari khilaf dan salah. Namun kalau saya diposis Raul, apa yang akan saya lakukan? Situasinya adalah teman selingkuh saya sudah mengatakan penyesalan dan rasa bersalahnya, dan kakak teman selingkuh saya dituntut karena mengutip pernyataan "bohong" saya di depan keluarganya. Saya kemudian menjadi kunci penentu. Yang dilakukan Raul adalah membela teman dan keluarga selingkuhannya, namun membela dengan cara yang salah dan tak mau disalahkan.

Mungkin niatnya adalah mengutarakan kejujuran dengan bermain di rana abu-abu sebuah kejujuran. Namun ia lupa, bahwa penghakiman orang itu tidak pernah di rana abu-abu. Orang akan menilai apakah ia bersalah, atau benar. Istilah intern justru menjebaknya ke arah bersalah. Meskipun dari aksi dan reaksi semua yang terlibat dalam perseteruan itu orang mengambil kesimpulan bahwa memang sudah tidak ada kecocokan antara mereka berdua, orang tetap mengambil kesimpulan bahwa Raul adalah seorang pengecut. Dia bukan seorang yang gentleman. Dan kesimpulan itu tergambar dari ungkapan yang dilontarkannya sendiri : duda intern. Dalam tatanan masyarakat, tidak ada istilah duda intern. Seseorang bisa dikatakan duda bila secara hukum ia sudah dinyatakan sah bercerai dari isterinya, atau ditinggal mati oleh isterinya. Dengan kata lain, ia terjerumus oleh permainan kata nya sendiri.

Balik lagi kepada pertanyaan tadi, kalau saya jadi Raul, saya mungkin akan mengakui bahwa kehidupan keluarga saya sudah berakhir, meskipun belum berstatus resmi bercerai. Bahwa di tengah ketidakcocokan itu takdir membawa saya bertemu dengan seseorang yang dapat mengisi hati dan menjadi pasangan yang sejati bagi saya. Dan bahwa orang yang baru ini sama sekali bukan penghancur rumah tangga saya karena ia datangnya setelah semuanya hancur. Dan saya akan melaksanakan proses perceraian sama seperti rencana sebelum bertemu belahan hati yang baru. Menurut saya, orang akan memperoleh kesan yang berbeda. Di sini saya belajar, bahwa yang namanya kejujuran itu tidak ada area abu-abu. Selama nuansanya masih abu-abu, aroma ketidakjujuran tercium kuat di sana.

Hari ini saya belajar untuk tidak bermain-main dengan kejujuran. Saya belajar untuk mengatakan kejujuran secara hitam putih, alias apa adanya. Karena dari kejujuran itu terpancar ketulusan hati kita, dan ketulusan melahirkan pengertian dan simpati... Bagaimana dengan Anda? Kalau Anda menjadi Raul, apa yang akan Anda lakukan dan katakan?

Tuesday, April 13, 2010

13 April 2010 : Buah Sepele dan Gengsi

Saya baru pulang mengobrol dengan salah satu ahli jantung terbaik di negeri ini. Kami bercerita ngalor ngidul dengan santainya. Sang dokter bercerita malam tadi ada seorang dokter jantung yang masih berusia 44 tahun meninggal dunia karena serangan jantung dan terlambat penanganannya. Awalnya ia merasa tidak enak dan mengobati sendiri penyakitnya. Saat semakin nyeri dan tak tertangani, ia masih mencoba mengatasi sendiri. Ia lalu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading padahal rumahnya ada di Kota Wisata, padahal ada sebuah rumah sakit jantung yang sangat handal yang lebih dekat.

Konon ia perokok berat, sebuah pantangan yang selalu dianjurkan seorang dokter, apa lagi dokter jantung. Ia juga bermasalah dengan rekan-rekan sejawatnya sampai pernah di bawa ke dewan kedokteran untuk mendamaikan konfliknya. Mungkin juga karena itu, ia kemudian enggan memilih rumah sakit yang lebih dekat, padahal salah satu kunci keberhasilan penanganan penyakit jantung adalah kecepatan penanganan di rumah sakit yang memiliki fasilitas memadai. Sesampainya di Kelapa Gading kondisinya sudah sedemikan buruknya sehingga tak tertolong. Ia memilih gengsi dari nyawanya.

Meskipun takdir, buat saya ini sebuah kematian yang konyol dan tak bertanggung jawab. Pertama, soal tanggung jawab : sebagai seorang dokter ia seharusnya tidak merokok. Bagaimana ia bisa mempertahankan harkat profesinya kalau ia tidak memberi contoh dari dirinya sendiri? Ke dua soal menyepelekan : Ia bermain-main dengan hidupnya saat ia mencoba mengecilkan penyakitnya dengan menjadi dokter bagi dirinya sendiri. Kita ini sering merasa begitu hebat dan pintarnya sehingga menyepelekan hal penting dan kritis. Ke tiga soal gengsi : ini adalah sebuah bukti, gengsi tidak membawa hasil apa-apa bahkan mengantarkannya pada kematian. Seandainya ia melepas gengsi, mungkin saat ini ia masih bernapas. Ke empat soal make friends not foe : Seorang petinggi negara ini pernah memberi wejangan kepada pejabat yang ditunjuknya untuk membuat zero enemy. Saat menonton drama Sie Jien Kui, ia merangkul musuh-musuhnya dan membangun kekuatan bersama yang tak terkalahkan. Kalau saja ia tidak membuat musuh kanan kiri, mungkin ia sudah terselamatkan. Sebetulnya ia bisa terselamatkan, namun karena kelakuannya sendiri ia mungkin segan dan takut untuk meminta bantuan orang yang sudah pernah diinjaknya.

Maka hari ini saya belajar tentang:

1. Tanggung Jawab. Saya harus bertanggung jawab atas apa pun yang saya lakukan dalam hidup ini. Apa yang terucap harus sama dengan apa yang terungkap dalam tindakan.
2. Jangan pernah menyepelekan hal apa pun. Menyepelekan adalah awal kesombongan dan kesombongan tidak menghasilkan apa-apa kecuali kegagalan dan kehancuran.
3. Buang gengsi jauh-jauh. Gengsi juga tidak membawa hasil apa pun, malah berakhir pada kehancuran.
4. arti persahabatan. Bertemanlah sebanyak mungkin, bahkan dengan lawan dan musuh.

Semoga kejadian ini menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Monday, April 12, 2010

12 April 2010 : Asal Kesal

Hari ini di luar jadwal, saya menunggu teman selama dua jam dengan minim berita. Dari yang sabar, saya kemudian menjadi resah dan kesal karena tidak dapat update. Apa yang terjadi? Kalau dia tidak dapat bertemu sebaiknya dia mengabari saya. Tapi saya memegang teguh janji untuk menantinya. Dari janji makan bersama, akhirnya saya mengemil sendirian, dan saya sudah menjelajah seluruh mall lebih dari dua kali. Akhirnya ia berkabar sambil minta maaf dan mengatakan ia segera tiba. Tapi lebih dari satu jam, ia tak kunjung datang. Karena sudah kenyang, otak saya jadi lebih beres, dan berpikir lebih tenang. Saya jadi kasihan padanya yang belum makan, dan mengatakan don't rush, take your time.

Ketika bertemu, saya tertegun. Di matanya menembang air mata. Ia bercerita telah mengalami pelecehan seksual di luar batas dari atasannya. Ia sengaja ditahan tak boleh pulang dan dibebani kerja ekstra. Awalnya atasannya menyentuh pahanya, dan ia tepis. Ia mengingatkan bossnya bahwa ia sudah punya pacar, tapi bosnya malah bilang, alaaa... tidak ada yang tahu apa yang kita perbuat. Ketika sang atasan mencoba bertindak lebih lanjut melewati batas, ia secara refleks menggebuk sang pecundang dengan buku file di tangannya. Ia pun segera menyambar tas dan menuruni anak tangga kantor dari lantai atas. Sambil menangis, ia sempat keseleo dan terus berlari, menemui saya.

Saya kemudian meyakinkannya bahwa ia aman bersama saya, dan ia harus melakukan sesuatu atas tindakan yang keterlaluan itu. Saya berjanji membantunya. Sambil menenangkan dia, saya menarik napas. Untuk kejadian yang keterlaluan itu, dan untuk sikap saya yang juga keterlaluan. Memang benar, seyogyanya dalam etiket melakukan janji, bila kita terlambat kita selayaknya memberitahu orang yang berjanjian dengan kita. Namun kalau kejadiannya seperti di atas, dan kalau hal itu terjadi pada saya, pasti saya juga tidak akan sempat atau menyempatkan diri untuk mengabari orang lain.

Saya mengutuki diri sendiri yang terlalu mementingkan diri sendiri padahal teman saya sedang dalam bahaya. Maka, detik itu juga saya menyadari untuk segera berhenti berprasangka. Bila sebuah janji tak tertepati, saya tidak boleh buru-buru berkhayal terlalu jauh. Saya justru harus berempati padanya. Kalau pun tak terjadi apa-apa, dan ia hanya "terjebak" dalam pekerjaannya, paling tidak ia belum sempat makan. Saya yakin tak seorang pun suka terjebak dalam pekerjaan.

Malam ini, saya berjanji untuk tidak asal kesal dan berprasangka. Ketika janji meleset, saya justru akan memberikan simpati yang lebih kepada yang terlambat.

Semoga persoalan yang dialaminya cepat dapat diatasi. Saya akan mendukung, menjaga dan mendampinginya setiap saat. Dalam situasi seperti ini, tentu akan menenangkan dan nyaman bila tahu ada seseorang yang peduli dan ikut berjuang bersama...

Sunday, April 11, 2010

11 April 2010: Masih Banyak Waktu

Pagi ini ketika saya mengikuti acara Menteri Kesehatan dalam Puncak Acara Hari Kesehatan Sedunia ke 62, kami panitia mengundang beberapa selebriti untuk berbagi kisah dan pesan kesehatan. Saya yang ditugasi untuk mengumpulkan selebriti yang berpola hidup sehat dan peduli masalah kesehatan & lingkungan, dalam waktu singkat akhirnya dapat memperoleh dukungan dari Soraya Haque sebagai MC, Ade Rai, Adrian Maulana, Olga Lydia dan Elsa Nasution.

Dalam pesannya Adrian Maulana mengatakan kalau orang itu suka baru sadar dan mengejar kesehatannya setelah ia kena penyakit atau divonis hidupnya tinggal beberapa bulan. Baru ia sadar. Baru ia berusaha. Saat sekarang sedang sehat, kita sering takabur. Buat apa atur makanan, buat apa olah raga, masih ada esok. Tapi mengapa juga harus menunda? Mengapa kita tidak menjaga sekarang selagi sehat? Mengapa harus melakukannya setelah semuanya sudah telanjur?

Saya yang sedang menunggui tas Olga dan Elsa di bawah panggung, seperti disambar kata-kata Adrian. Selama ini sih saya setuju sekali dengan apa yang dikatakannya, hanya kali ini kok sambaran itu melantur ke hal lain dalam hidup saya? Saya jadi ingat ketika teman saya berkata tidak suka dengan kalimat "kita masih punya banyak waktu". Kekasihnya selalu bilang demikian, kenyataannya sekarang kekasihnya sudah berpulang dan banyak hal yang tak keturutan untuk dilakukan karena kalimat tersebut, sedang ia tak punya waktu lagi dengannya. Maka ketika tadi saya mengatakan kalimat "kan masih punya banyak waktu", saya ditegur. Dan saya kini bisa memahami bagaimana setiap detiknya waktu itu berharga.

Saya jadi ingat email lama yang bilang bahkan perbedaan sedetik bisa mengubah hidup. Saya kemudian menarik napas dalam dan menghitung berapa banyak waktu yang saya buang selama ini untuk berbagai hal yang kelihatan penting namun ternyata mengorbankan waktu yang seharusnya saya manfaatkan untuk hal yang benar-benar penting dalam hidup saya. Saya lalu teringat kembali film Remember Me yang membuat Ayah Tyler sadar akan kekeliruannya lebih mementingkan rapat bisnis daripada menghadiri pameran karya lukis putri bungsunya. Ia baru tersadar saat sang puteri trauma akibat rambutnya dikerjai habis oleh teman-teman sekolahnya dan Tyler membela sang adik sampai murka pada sistem pendidikan di sekolah adiknya yang menyeretnya ke penjara. Maka sang ayah mulai menjemput puterinya untuk diantar ke sekolah bahkan bersabar menunggunya bersolek selama setengah jam lebih, meluangkan waktu bersama melihat pameran seni dan mengubah gadis kecil yang tak percaya diri menjadi remaja puteri yang penuh pancaran bahagia dan percaya diri.

Saya tidak lagi mau membuang waktu. Every second in this life counts. Malam ini saya sudah berjanji akan memberikan waktu terbaik saya pada orang yang saya cintai di atas segala kepentingan, selagi masih ada waktu - bahkan di atas segala hal lain yang saya anggap penting. Sudahkah Anda memberikan waktu untuk orang-orang yang Anda cintai? Saya sengaja tidak menambahkan kata "cukup", karena kini saya paham bahwa tidak pernah ada kata "cukup waktu" bagi orang-orang yang kita cintai...

10 April 2010 : Remember Me

Robert Pattison membintangi film Remember Me di tengah-tengah syuting film Twilight Saga yang melambungkan namanya. Film yang berujung di kejadian 11 September 2001 saat Gedung Kembar WTC runtuh diterjang pesawat teroris itu tak sedikitpun mengindikasikan bahwa film itu akan berakhir di sana. Sepanjang film diceritakan perjalanan hidup Tyler yang anak orang berada menjalani hidupnya sebagai pemberontak keluarga dan berjuang untuk menyadarkan dan membuka mata ayahnya yang selalu sibuk bekerja agar menghargai waktu kebersamaan dengan keluarganya, yang pada akhirnya membuahkan hasil manis ketika ia sendiri tak dapat merasakan kembali mesranya sebuah keluarga yang ia perjuangkan keutuhannya.

Judul film itu sendiri rasanya muncul ketika film itu berakhir dengan kematian Tyler dalam musibah 11 September. Sepanjang hari kemudian muncul di benak saya. Remember Me. Remember Me. Remember Me. Lalu angan saya mengembara : kalau saya mati nanti, saya mau dikenang sebagai apa ya? atau.... kalau saya mati nanti, orang akan mengenang saya sebagai apa ya...?

Terus terang hingga tulisan ini ditulis, saya masih bingung mau menjawab apa karena selama ini saya belum pernah benar-benar memikirkan dan memformulasikannya. Saya bahkan belum berani menulis di sini daftar calon jawaban saya karena setelah sempat saya ketik dan hapus lagi, saya merasa kok gambarannya muluk sekali sedang sampai saat ini saya belum berbuat apa-apa untuk menjadi orang yang ingin saya dikenang.

Saya lalu mengingat lagi jalan cerita film di atas. Tyler memang punya angan-angan agar ayahnya sadar arti kehadirannya bagi keluarga dan bukan sekedar melimpahinya dengan harta harta harta. Namun ia tak pernah sekali pun ingin dicatat dalam sejarah bahwa ia adalah pahlawan. Kalau Anda sempat menonton film ini, Anda mungkin punya mixed-feeling terhadap Tyler. Ia hidup di lingkungan jorok padahal keluarganya tinggal di lingkungan terhormat. Namun ia punya prinsip. Ketika lingkungannya penuh kebrengsekan, ia tetap teguh dengan prinsip-prinsipnya dan tetap menyadari untuk tidak melangkah melewati norma-norma yang dipegangnya.

Maka saya berpikir, mungkin memang penting punya visi bagaimana saya ingin dikenang dalam hidup ini karena hal itu akan menentukan arah dan prioritas hidup serta self-positioning dalam hidup kita, namun yang tak kalah pentingnya adalah apakah kita ini memiliki prinsip dan norma hidup untuk kita pegang teguh di tengah gelombang godaan yang luar biasa besarnya di sekitar kita. Saya lalu berpikir lagi, dari semua prinsip hidup yang kita punya, tentu ada yang menonjol yang akan dikenal orang. Apakah itu? Tukang komplen? Orang yang tahu arti persahabatan? Heart-breaker? Tukang Muarah-Muarah? Orang yang care?

Hari ini saya digoda untuk memikirkan saya mau dikenang sebagai apa ya kalau saya meninggal nanti? Nanti? Mungkin kejauhan. Lebih baik saya bertanya sekarang : apa yang di benak orang ketika nama saya disebut? Mungkin Anda bisa membantu untuk mengatakannya secara jujur pada saya, tanpa perlu takut saya sakit hati karena kejujuran Anda membuat saya mampu bercermin tentang siapa saya ini. Karena saat kita bercermin, kita jadi tahu kelebihan dan kelemahan wajah kita, lalu bisa kita koreksi sehingga menampilkan wajah terbaik kita. Kali ini tidak pakai deadline, karena cermin kan tidak ada kadaluwarsanya. Tapi, sambil membantu saya, Anda mungkin juga bisa mulai berpikir : "Apa yang ada di benak orang ketika nama saya (Anda) disebut?"

Saturday, April 10, 2010

9 April 2010 : Naik Kelas

Malam ini saya kembali duduk menjadi pendengar yang baik karena kehadiran saya dibutuhkan bukan untuk menjadi pembicara yang bawel. Teman saya bercerita tentang kisah hidupnya dan hubungan dengan keluarganya. Saya tidak bisa berkata-kata karena sesungguhnya saya tidak tahu juga harus berkata apa, karena tak ada kata nasihat yang tepat. Semuanya berjalan seperti mestinya, ia hanya butuh seseorang menumpahkan beban yang ditanggungnya selama ini.

Ia banyak bercerita tentang hubungannya dengan mendiang pasangannya dan dari sana saya berkesimpulan meskipun dalam ucapan dia sudah mengikhlaskan kepergiannya, jauh dilubuk hati ia masih bergantung pada kekasihnya. Saat ia bercerita, tiba-tiba saya merasa bahwa kami senasib. Kami sama-sama tidak tahu cara mengikhlaskan meskipun sangat paham secara teori akan pentingnya mengikhlaskan.

Saya merasa kami berdua terjebak oleh keinginan kami sendiri. Saya menyadari bahwa setiap orang memiliki tugas dan peran yang harus dijalaninya terhadap orang lain. Yang menjadi masalah adalah, saya telah membebani orang yang saya kasihi dengan tugas lain sesuai kehendak saya. Saya menjadikannya tempat nyaman untuk bersandar. Begitu nyamannya sehingga ketika tiba waktunya untuk pergi, saya tidak merelakannya. Saya bilang saya ikhlas dan merelakan. Itu karena kenyataannya dia sudah tidak ada lagi bersama saya, jadi mau tidak rela dan tidak ikhlas juga percuma. Namun lain di bibir, lain di hati. Sejujurnya saya tidak pernah benar-benar melepaskannya. Karena itu, dari waktu ke waktu saya masih berandai-andai sehingga saya lupa bahwa saya ini hidup di waktu yang sudah berbeda dengan keadaan saat saya mematok hati ini. Saya hidup di masa sekarang, namun hati saya tertinggal di masa lalu. Mungkin itulah sebabnya kehadiran berbagai orang yang semestinya dapat mengisi hidup menjadi terlewatkan begitu saja, karena semuanya menjadi tidak sesuai.

Tiba-tiba pula, saya melihat bahwa kehidupan ini seperti orang yang sedang belajar sekolah. Saya punya guru favorit di SD, dan guru tersebut telah membawa saya lulus SD. Tugasnya selesai sampai di sana, dan saya harus lanjut ke SMP. Meskipun dia tetap di hati, saya tentu tidak dapat membawanya untuk membimbing saya melewati jenjang SMP. Di sana sudah menanti guru lain yang akan membawa saya lulus SMP, dan begitu seterusnya. Tiba-tiba kami berdua paham dengan analogi itu, bahwa kekasih kami masing-masing telah menyelesaikan tugasnya, dan ketika kami sudah lulus, sekarang kami ditunggu oleh pendamping yang akan membawa kami ke jenjang yang lebih tinggi dalam kehidupan ini. Jadi misalnya, ia memiliki tugas untuk menjadikan saya orang yang mengerti tentang tanggung jawab dan kehidupan, kini tugas 'orang lain' yang akan membawa saya mengerti tentang kesetiaan dan hakikat cinta. Anda bisa bersyukur bila menemukan satu orang untuk semuanya, namun tak semua orang seberuntung Anda.

Saat saya berbagi pandangan ini kepada teman saya, kami berdua akhirnya memiliki pengertian yang berbeda tentang "letting go" dan jadi tahu bagaimana melakukannya. Selama ini kami hanya mengerti namun tidak tahu bagaimana caranya. Semua saran dan tulisan di buku serasa hanya sebagai teori saja, namun kenyataannya tidak tahu cara melepas masa lalu.

Malam ini kami berdua melepas masa lalu kami masing-masing dan siap menghadapi masa depan dengan pengertian yang baru. Kami berdamai dengan diri kami sendiri tentang masa lalu. Jika Anda memiliki masalah yang sama, semoga sharing ini dapat membantu Anda juga dalam melepas dengan ikhlas. Kita ini sudah naik kelas, dan kita tak menyadarinya. Kita terlalu menyesali mengapa kita tidak diajar oleh guru yang sama, padahal guru yang baru sudah menanti kita, untuk bersama-sama menapaki jenjang hidup yang lebih tinggi...


*Teman saya bertanya lalu bagaimana nasib hubungan dengan mantan, saya menjawab,"lho, kamu kan masih respek sama guru SD mu tapi sekarang yang diikuti guru SMP. Gitu...."

Friday, April 09, 2010

8 April 2010 : Dari hal kecil

Hari ini saya mendapat banyak pesan singkat yang memberikan banyak inspirasi. Pagi hari saya mendapatkan pesan berikut :

From Disney we learned :

- Why was Snow White given a red delicious looking apple with poison?
To show that not all people are as kind as what they pretend to be.

- Why did Cinderella have to run away when the clock stroke midnight?
To remind us that everything has limitations even dreams.

Why did Ariel (little mermaid) decide to exchange her fins with feet?
To show that anyone is willing to give up anything just to be happy.

- Why did Belle (Beauty) get in love with the Beast?
- To show us that beauty is NOT everyhting. We have to look at the personality first.

Saya tak pernah berpikir akan belajar dari detil sekecil ini dari film-film kartun favorit saya. Saya tak pernah membayangkan makna apel, dan mengapa apel cantik yang menjadi kiasan. Saya tak pernah memikirkan mengapa harus jam dua belas menjadi patokan. Namun kiriman pagi ini menyadarkan saya bahwa selama ini saya terlalu terpatok pada alur cerita utama sampai tak memperhatikan bahwa di setiap detil ada maknanya. Saya lalu juga menyadari bahwa dalam hidup ini saya terlalu terpaku pada garis besar jalan hidup, sehingga tidak peka bahwa setiap detil yang mewarnai hidup saya punya makna yang sama berartinya, bahkan kadang memberikan pelajaran dan anugerah yang lebih besar dari jalur utama hidup ini. Sering saya menemui orang yang mengaku hidupnya biasa-biasa saja. Dengan kiriman pagi ini, saya ingin mengatakan mereka salah. Mereka terlalu terfokus pada kebiasaan hidup sehari-hari, sehingga lupa akan detil yang mewarnai keseharian mereka, yang tanpa disadari telah memberikan nikmat dan makna hidup yang jauh dari biasa. Saya juga kemudian berpikir, jangan-jangan, apa yang selama ini kita pikir pelajaran utama, malah kalah utama dari hal kecil-kecil yang luput dari perhatian kita karena kita salah mengukur. Bisa jadi ukuran besar kecil kita berbeda dengan ukuran besar kecilnya Tuhan.

Menyinggung soal pelajaran dari Beauty and the Beast yang mengajari kita melihat kepribadian di atas kecantikan, malam ini saya duduk mendengarkan cerita panjang seorang kawan. Ia menceritakan bahwa pasangannya bukan tipe orang yang ia sukai, namun dengan berjalannya waktu ia menemukan bahwa pasangannya adalah pasangan hidup yang luar biasa dan tak tergantikan. Mendengar ceritanya pun, saya merasa saya bukan tandingan pasangan hidupnya yang tahu arti mencintai dan berjuang bagi pasangannya. Saya merasa kecil, dan belum apa-apa dibandingkan apa yang diceritakannya. Saya tiba-tiba merasa kerdil dan tiba-tiba melihat kata "pasangan hidup" sebagai raksasa yang begitu tinggi untuk dijangkau. Setelah pengalaman hidup yang begitu berliku, bisa kah saya mengatakan diri siap menjadi pasangan yang baik? Saya betul-betul merasa belum ada apa-apanya. Seperti kalah sebelum maju perang.

Namun, saat saya sedang memukuli kepala saya secara virtual, saya juga dikirimi Tuhan kata bijak dari seorang penulis puisi humanis terkenal Maya Angelou :

"You may encounter many defeats, but you must not be defeated.
In fact, the encountering may be the very experience
which creates the vitality and the power to endure"

"Kita mungkin sering mengalami kekalahan, namun kita tidak boleh terkalahkan.
Justru, dengan menghadapinya dapat menjadi pengalaman berharga
yang memberikan vitalitas dan kekuatan untuk bertahan."

Membaca kata-kata itu, saya lalu bangkit. Saya mungkin tidak sempurna, namun saya punya semangat untuk menjadi yang terbaik.

Tuhan, terima kasih atas semua hal kecil yang Engkau berikan padaku hari ini, karena melalui berbagai hal kecil inilah, hidupku diteguhkan dan semangatku dibangunkan. Semoga dengan hal kecil ini aku dibukakan mata dan hati agar menjadi peka atas berbagai hal kecil yang memberikan makna lebih bagi hidup ini.