Saturday, April 10, 2010

9 April 2010 : Naik Kelas

Malam ini saya kembali duduk menjadi pendengar yang baik karena kehadiran saya dibutuhkan bukan untuk menjadi pembicara yang bawel. Teman saya bercerita tentang kisah hidupnya dan hubungan dengan keluarganya. Saya tidak bisa berkata-kata karena sesungguhnya saya tidak tahu juga harus berkata apa, karena tak ada kata nasihat yang tepat. Semuanya berjalan seperti mestinya, ia hanya butuh seseorang menumpahkan beban yang ditanggungnya selama ini.

Ia banyak bercerita tentang hubungannya dengan mendiang pasangannya dan dari sana saya berkesimpulan meskipun dalam ucapan dia sudah mengikhlaskan kepergiannya, jauh dilubuk hati ia masih bergantung pada kekasihnya. Saat ia bercerita, tiba-tiba saya merasa bahwa kami senasib. Kami sama-sama tidak tahu cara mengikhlaskan meskipun sangat paham secara teori akan pentingnya mengikhlaskan.

Saya merasa kami berdua terjebak oleh keinginan kami sendiri. Saya menyadari bahwa setiap orang memiliki tugas dan peran yang harus dijalaninya terhadap orang lain. Yang menjadi masalah adalah, saya telah membebani orang yang saya kasihi dengan tugas lain sesuai kehendak saya. Saya menjadikannya tempat nyaman untuk bersandar. Begitu nyamannya sehingga ketika tiba waktunya untuk pergi, saya tidak merelakannya. Saya bilang saya ikhlas dan merelakan. Itu karena kenyataannya dia sudah tidak ada lagi bersama saya, jadi mau tidak rela dan tidak ikhlas juga percuma. Namun lain di bibir, lain di hati. Sejujurnya saya tidak pernah benar-benar melepaskannya. Karena itu, dari waktu ke waktu saya masih berandai-andai sehingga saya lupa bahwa saya ini hidup di waktu yang sudah berbeda dengan keadaan saat saya mematok hati ini. Saya hidup di masa sekarang, namun hati saya tertinggal di masa lalu. Mungkin itulah sebabnya kehadiran berbagai orang yang semestinya dapat mengisi hidup menjadi terlewatkan begitu saja, karena semuanya menjadi tidak sesuai.

Tiba-tiba pula, saya melihat bahwa kehidupan ini seperti orang yang sedang belajar sekolah. Saya punya guru favorit di SD, dan guru tersebut telah membawa saya lulus SD. Tugasnya selesai sampai di sana, dan saya harus lanjut ke SMP. Meskipun dia tetap di hati, saya tentu tidak dapat membawanya untuk membimbing saya melewati jenjang SMP. Di sana sudah menanti guru lain yang akan membawa saya lulus SMP, dan begitu seterusnya. Tiba-tiba kami berdua paham dengan analogi itu, bahwa kekasih kami masing-masing telah menyelesaikan tugasnya, dan ketika kami sudah lulus, sekarang kami ditunggu oleh pendamping yang akan membawa kami ke jenjang yang lebih tinggi dalam kehidupan ini. Jadi misalnya, ia memiliki tugas untuk menjadikan saya orang yang mengerti tentang tanggung jawab dan kehidupan, kini tugas 'orang lain' yang akan membawa saya mengerti tentang kesetiaan dan hakikat cinta. Anda bisa bersyukur bila menemukan satu orang untuk semuanya, namun tak semua orang seberuntung Anda.

Saat saya berbagi pandangan ini kepada teman saya, kami berdua akhirnya memiliki pengertian yang berbeda tentang "letting go" dan jadi tahu bagaimana melakukannya. Selama ini kami hanya mengerti namun tidak tahu bagaimana caranya. Semua saran dan tulisan di buku serasa hanya sebagai teori saja, namun kenyataannya tidak tahu cara melepas masa lalu.

Malam ini kami berdua melepas masa lalu kami masing-masing dan siap menghadapi masa depan dengan pengertian yang baru. Kami berdamai dengan diri kami sendiri tentang masa lalu. Jika Anda memiliki masalah yang sama, semoga sharing ini dapat membantu Anda juga dalam melepas dengan ikhlas. Kita ini sudah naik kelas, dan kita tak menyadarinya. Kita terlalu menyesali mengapa kita tidak diajar oleh guru yang sama, padahal guru yang baru sudah menanti kita, untuk bersama-sama menapaki jenjang hidup yang lebih tinggi...


*Teman saya bertanya lalu bagaimana nasib hubungan dengan mantan, saya menjawab,"lho, kamu kan masih respek sama guru SD mu tapi sekarang yang diikuti guru SMP. Gitu...."

No comments: