Siang ini saya bersantap dengan seseorang yang bisa melihat karakter orang. Beliau mengatakan bahwa saat ini jiwa saya sedang mencari cara untuk berdamai dengan diri saya sendiri dan menekan emosi. Saya mengamini. Benar sekali. Menekan emosi adalah salah satu hal yang terpenting yang ingin saya taklukkan saat ini. Selama ini sulit rasanya mengontrol emosi. Kalau sudah meledak, susah diremnya. Meskipun ledakannya singkat, namun menurut teman dan karyawan saya, dampak yang dirasakan bertahan lama. Alias, saya nya sudah cengar cengir, orang yang kena dampratan masih sakit hati tidak hilang-hilang.
Saya ingin seperti seorang teman saya yang luar biasa sabarnya. Apa pun dihadapinya dengan senyumnya yang luar biasa menawan. Orang yang sudah mengepul otaknya bisa langsung leleh di hadapannya. Tak salah bila sebuah bank raksasa memilihnya duduk di risk management yang membuat dia berurusan dengan debitur macet. Dia bilang, sudah tidak zamannya lagi pakai debt collector berwajah sangar untuk klien-klien perusahaan yang pinjamannya macet miliaran Rupiah.
Kemarin, saat saya sedang menyetir dan mengumpat atas kelakuan pengguna jalan yang tidak bertanggung jawab, ia mengingatkan. Sarannya, biarkan saja, toh teriakan kita tidak ada gunanya. Lagi pula, tak ada untungnya berurusan dengan orang seperti itu. Meminjam prinsip karma, dia bilang nanti toh dia akan berurusan dan berantem juga ... dengan orang lain. Saya pikir-pikir, iya benar juga ya. Orang sebrengsek dia, pasti banyak yang jengkel padanya. Jadi kalau bukan saya, pasti ada orang lain yang rela menggulung lengan bajunya untuk meninju orang itu. Jadi, buat apa saya membuang-buang energi yang tak penting?
Persoalannya selama ini menyalurkan energi itu penting dan enak. Ada kenikmatan tersendiri kalau bisa meleledakkan amarah. Bahayanya, ini bisa menjadi kecanduan dan kebiasaan yang pada akhirnya justru membuat kesal dan mendatangkan banyak musuh.
Malam ini, saya bertemu dan bersantap malam bersama sekelompok teman. Mereka membahas ada seorang gadis yang merasa kesal karena salah seorang teman di kelompok ini punya pacar baru dan tidak memilihnya. Ia lebih kesal lagi setelah tahu bahwa teman-temannya sedang makan malam dengan cowok yang ditaksirnya ini bersama sang kekasih, tanpa mengajak dia. Ia kemudian murka dan memaki-maki teman-temannya. Terjadi perang mulut lewat speaker telepon. Semua kata-kata mutiara dan kebun binatang keluar semua. Yang tak habis pikir, si gadis gemuk yang menurut saya seperti kuda nil ini kemudian berteriak memanggil ayah dan ibunya untuk membantu. Dan si orang tua tolol yang tidak tahu sebab musababnya langsung mendamprat siapa pun juga yang didapatkannya. Mula-mula si ibu mendamprat teman saya yang cantik sampai ia ternangis-nangis. Karena tidak puas, ia menelpon si cowok idaman anaknya.
Saya merasa ini sudah kelewatan, saya langsung punya ide iseng untuk mengerjai ibu gila itu. Saya langsung menjawab panggilan teleponnya dan menuruti alur makian ibu itu dengan makian-makian yang tak kalah anehnya - yang kalau didengar ulang pasti membuat Anda geleng-geleng dan tertawa terbahak - dengan nada marah tapi kalau lihat aslinya, sambil cengar cengir. Kesal karena jawaban saya sama gilanya, telepon itu disambar lagi oleh anaknya yang menangis histeris keras sambil teriak-teriak. Saya bilang, teriakannya kurang kencang dan terdengar sumbang. Bagaimana kalau teriakannya itu ditambahi nada dangdut supaya lebih ngetril? Saya yakin dia shock berat mendengar pujaan hatinya yang selama ini sangat santun, menjadi naga neraka bersembur api yang tak pernah dibayangkan sama sekali. Lalu, ibunya menyambar kembali dan melanjutkan teriakan-teriakan anaknya, mungkin karena pita suara anaknya sudah robek karena meraung-raung sejadi-jadinya. Bisa jadi akhirnya mabok karena marah-marahnya bertaut dengan marah-marah tak jelas, telepon dimatikan. Mungkin juga karena sadar, pulsa teleponnya sudah tersedot percuma atau memang pulsanya habis. Dalam hati saya geli, karena kalau ia sadar, bukan cuma pulsanya yang tersedot, tapi semua energinya terbuang percuma karena tak sadar bahwa yang dihadapinya bukan sasaran amarah tapi orang iseng.
Saya tidak punya urusan dengan gadis dan orang tua yang gila itu. Tapi saya pikir, orang-orang seperti itu perlu diberi terapi kejut dan sesekali dihajar juga. Lalu, sambil menyetir pulang, saya lalu mereview rentetan kejadian unik hari ini. Di awal hari, saya diingatkan untuk mengontrol emosi dan saya juga menangkap esensi membiarkan orang yang menyebalkan berantem dengan orang lain. Dan malam ini saya langsung diberikan test case nya. Kalau teori di atas diterapkan dengan kejadian malam, maka si kuda nil berhasil membangkitkan amarah ibunya lewat cerita-cerita mengarang bebas untuk mendamprat teman-teman yang dianggap mengkhianatinya. Dan saya jadi alat untuk teman-teman saya mendamprat mereka. Lama-lama, kok ya seperti wayang ya? Kenapa kita tidak bisa mendamprat langsung saja? Setelah saya pikir lagi, saya lalu menghapus kalimat yang baru saja dibuat. Ah, ini kan karena saya sedang muncul jahil dan super isengnya saja.
Pada intinya inspirasi yang saya dapat hari ini adalah, kendalikan emosi kita. Karena hal yang membuat kita kesal akan mendapat ganjarannya sendiri secara alami. Jadi tak perlu kita yang buang tenaga melakukannya. Lebih baik energi kita dibakar dalam bentuk lain yang bersifat positif dan membangun. Saya lalu ingat osteoblas dan osteoklas. Unsur tulang yang membangun dan menghancurkan tulang tubuh kita dalam pengetahuan osteoporosis. Kalau osteoblas kita melambat sedang osteoklasnya aktif, lama-lama tulang yang telah terbangun tergerogoti dan akhirnya rapuh, lalu patah menjadi osteoporis. Jadi penting untuk menjaga keaktifan osteoblas. Begitu juga dengan emosi kita. Ada emosi positif dan negatif. Saya harus memupuk dan mengaktifkan emosi positif saya, karena kalau tidak emosi negatif akan merajai dan membuat keropos jiwa kita. Tiba-tiba saya berhenti. Jangan-jangan si kuda nil dan orang tuanya itu bukan cuma keropos, tapi sudah tak punya jiwa karena semua sudah dilahap habis oleh emosi negatifnya. Hiiiii! Apakah tadi saya ngomong sama setan ya?
No comments:
Post a Comment