Kalau Anda datang ke rumah sekarang, Anda akan menemukan seprei bernuansa coklat lembut berornamen bunga dan bulatan geometris membentang di tempat tidur saya. Bunga-bunga itu terdiri dari kelopak-kelopak geometris yang tidak saling berhubungan namun membentuk sebuah lingkaran rapi.
Pagi ini, ketika membangunkan kerabat muda yang sedang menginap dan ingin ikut ke gereja, sambil duduk di tempat tidurnya dan setengah ngelindur, ia bertanya, "Coba tebak, berapa jumlah kelopak di bulatan bunga sarung duvet kamu." Saya yang juga setengah mengantuk, menjadi melek dan bertanya, "Ha? Pertanyaan macam apa itu? Jadi kamu menghitung jumlah kelopak? This is so weird!" Saya langsung loncat dan mencoba menghitung jumlah kelopak di duvet kamar. Tapi ia tak kalah sigap menghalangi. Dia bilang tak boleh dihitung! Saya bilang curang! Akhirnya dia memberi jawabannya : 19. Baik yang besar dan kecil, kelopaknya 19! Lalu ia mulai menganalisa kenapa kok 19? kenapa begini kenapa begitu? Sambil terbahak sakit perut saya bilang: gak penting deh! Dia lalu mempertanyakan mengapa bisa untuk ukuran bunga yang besar dan yang kecil menggunakan pola yang sama dan berjumlah 19? Adakah maknanya? Saya jawab lagi, "Aduuuuuh kamu itu, kalau saya sih mikirnya simpel saja : desainernya membuat pola dan mendesain dengan komputer, kenapa kamu mikirnya senjlimet itu?"
Pembicaraan konyol sambil antri kamar mandi itu kemudian seolah sirna dan saya menangkap nuansa bahasan lain dalam benak saya. Saya takjub atas kesadaran bahwa setiap orang itu unik. Kerabat saya yang satu ini luar biasa cemerlangnya dalam hal hitung menghitung dan detil. Dalam sekejap mata ia bisa menghitung berbagai jumlah benda, dari yang belasan sampai puluhan. Sebaliknya, saya ini orang visual dan hanya menangkap yang garis besar saja. Kalau bekerja, saya ini bagusnya di bagian konsep, sedang detil pelaksanaannya lebih baik dikerjakan orang lain yang lebih teliti. Saya lalu menyimpulkan, bahwa apa yang dilakukan kerabat saya itu bukan iseng, tapi otomatis: melihat sesuatu yang bisa dihitung, otak berhitungnya langsung bekerja. Mungkin sebagai pengantar sebelum ke gereja, Tuhan ingin saya melihat dan takjub atas kebesaranNya dalam menciptakan kekhususan di setiap orang yang berbeda.
Kemarin, saat mengobrol, saya di tanya oleh seorang teman. Mengapa saya tidak tanya ini dan itu saat berkenalan dengan orang baru? Saya lalu berpikir, iya, kenapa ya? Akhirnya saya menemukan : saya ini bukan tipe orang yang bertanya. Seakan dibimbing, saya kemudian menelusuri hubungan romantis dengan berbagai orang dalam hidup ini. Beberapa kali saya mendengar keluhan kesannya saya tidak punya minat untuk mengetahui seluk beluknya lebih lanjut, dan menanyakan keberminatan saya pada mereka. Saya kini bisa menjawab : saya berminat, saya hanya bukan tipe penanya. Jadi, saya harus memberitahu kepada pasangan, kalau ada apa-apa, jangan punya keinginan mentest apakah saya peduli dengan mengharap saya bertanya. Langsung saja nyatakan apa yang ada di benaknya.
Seorang teman mengaku ia pernah menyatakan kefrustrasiannya atas "kedinginan" saya. Ia bilang, ia sebenarnya ingin mengajak saya berlibur berdua ke Bali yang berakhir ia berangkat sendiri. Saya bilang, lho, kamu tak pernah mengajak kok? Dia bilang, memang sih, tapi dia sudah pernah mencoba memberi hint, sengaja nyeletuk bahwa besok itu long weekend, tapi saya malah bilang mau ada teman dari luar kota yang akan datang dan melewati long weekend bersama. Tapi saya bilang, apa pun yang jadi kesimpulan dia, dia tak pernah menyatakan ide liburan ke Balinya pada saya. Siapa tahu begitu mendengar, saya langsung mengatur ulang jadwal dan malah pergi dengannya? Saya lalu mengulang pesan yang sudah berulang-ulang saya katakan ke berbagai teman, "Makanya, jangan dipikir, dikerjakan..." Saya lalu menceritakan bahwa saya ini bukan seorang penanya, dan ia segera menangkap. Ia bilang sekarang ia bisa mengerti missing link yang kemarin-kemarin menjadi tanda tanya buatnya, namun sekarang everything starts to make sense. Ia bilang, ia kini tahu bagaimana harus menghadapi saya. Suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya dengan orang lain di hidup saya.
Pagi-pagi ini saya dibuat takjub atas sebuah demonstrasi kecil oleh Tuhan yang membuktikan kekuatan keunikan setiap orang, dan bahwa kemampuan kita menyelami dan memahami keunikan itu adalah kenikmatan dan anugerah yang luar biasa yang jika bisa kita kuasai akan menjadikan kunci keberhasilan dalam berkomunikasi dengan orang lain, siapa pun dia.
Saat mau menutup blog ini, tiba-tiba saya mendapat kiriman cerita dari sepupu saya Yola:
Seorang gadis kecil dan ayahnya sedang meniti jembatan. Ayahnya cemas dan berkata pada anaknya, " Sayang, pegang tangan ayah , dong, jadi kamu tak terjatuh ke sungai." Anaknya berkata, "Tidak, yah. Ayahlah yang menggenggam tanganku." Apa bedanya?" tanya ayahnya bingung. "Besar," jawab si gadis. "Jika saya memegang tanganmu dan sesuatu terjadi padaku, bisa jadi aku melepaskan genggamanku. Tetapi jika ayah menggenggam tanganku, aku tahu pasti apa pun yang terjadi, ayah tak akan pernah melepaskan tanganku."
Sebuah pesan yang singkat namun membawa berjuta makna. Saya jadi diingatkan untuk menggenggam tangan orang yang saya cintai lebih dari hanya mengharapnya menggengam tangan saya. Meskipun saya bukan orang yang penanya, saya disemangati untuk tidak menyia-nyiakan waktu, saya mau menyelami dan memahami pasangan saya, sehingga saya tahu bagaimana harus berlaku agar ia tahu bahwa saya sangat mencintai dan menyayanginya...
No comments:
Post a Comment