Wednesday, April 28, 2010

28 April 2010 : Penjara Otak

Saya baru saja memaksa kerabat yang sedang terkena demam berdarah untuk minum air rebusan angkak. Susahnya bukan main. Saya sendiri baru pertama kali ini mencicipinya dan rasanya sih agak aneh walaupun tidak parah-parah amat. Ini bukan pertama kali baginya terkena demam berdarah, dan selama ini ia tidak pernah bisa menghabiskan segelas air angkak. Ia bilang, biasanya ia menunda beberapa jam, dan akhirnya tidak terminum. Kemarin malam, ketika sedang dinner dengan keponakan saya Vanessa dan calon suaminya Alex, teman saya yang semula lahap menelan escargot mendadak mau muntah setelah saya jelaskan bahwa escargot itu bahasa awamnya bekicot. Orang yang sama pernah mengomentari kegemaran saya makan sayur dan taoge. Ia yang seumur hidupnya cuma mengenal daging berkata bahwa taoge itu bau.

Saya jadi geregetan. Segitu kuatnya persepsi di otaknya untuk berbagai hal sehingga sudah menolak lebih dahulu hal yang sebetulnya tidak apa-apa. Saya bilang kepada teman saya soal sayuran : bukan sayurannya yang tidak enak, sayurannya tidak kenapa-napa. Kamu yang menolak dan menyingkirkan sayurannya. Soal bekicot: saat kamu mencicipinya pertama kali, kamu bilang suka dan rasanya gurih enak. Sesaat mendengar bahwa yang ditelan itu bekicot, kamu muntah muntah. Jadi, sebetulnya kamu suka, hanya saja bayangan di otak kamu yang memuntahkan bekicot itu. Soal angkak : angkak itu obat. Tak ada obat yang enak. Jadi jangan dipikir, telan saja. Kalau kita menunda melakukan sesuatu, besar kemungkinan kita tidak menyelesaikannya. Dan itu juga kejadian pada saya. Berapa banyak buku yang tadinya saya baca dengan semangat, tetapi karena saya menunda-nunda menyelesaikan membaca, hingga saat ini pembatas buku dari semua buku yang tertunda itu belum juga bergerak mundur.

Balik lagi soal sayur, escargot dan angkak. Untuk kasus angkak, kerabat saya malam ini membuat sejarah dengan menghabiskan segelas air angkak. Saya hanya mengancam, "You'd better finish the whole damn glass now or you will be hospitalized!" Tadinya saya sudah hampir mati akal. Dirayu-rayu tak mempan juga, sampai akhirnya saya mengeluarkan jurus pamungkas : mengancam!

Tapi mungkin itu yang diperlukan otak kita. Pecut. Selama hidup kita tentu memiliki berbagai persepsi yang terbentuk mengenai berbagai hal. Sayangnya persepsi ini kemudian membelenggu kita dari mengerjakan sesuatu yang seharusnya bisa kita lakukan bila belenggu itu dilepas. Saya ini takut ketinggian dan saya pikir saya bakal mati ketika menaiki gondola berbentuk kursi yang membuat saya bergelayutan diterpa angin dan hujan di ketinggian pengunungan pinus di Rotorua, New Zealand. Kenyataannya, saya masih hidup dan bisa mengetik blog ini malam ini. Banyak lagi hal yang saya pikir tak mungkin saya lakukan karena terhambat persepsi otak.

Malam ini saya menyaksikan, dengan sedikit lecutan dan ancaman, saya telah membebaskan seseorang dari persepsi otak mengenai pahitnya air angkak dan menerimanya sebagai obat yang membantunya menghindari siksaan masuk rumah sakit.
Saya belajar mengenai bagaimana membebaskan diri dari persepsi otak yang berkarat. Seperti kerak gigi yang makin lama makin menebal, kita perlu mengikis habis kerak-kerak di otak agar senyum kita bersih kesat dan putih cemerlang. Intinya, we can let ourselves do anything we want if we set ourselves free. Ya, bebas dari penjara pikiran!

Saya jadi ingat mengenai perubahan paradigma yang ada di pelajaran Stephen Covey dalam 7 habits of the most effective people. Dikisahkan disebuah Minggu siang yang hening di atas kereta masuklah seorang bapak dengan beberapa anak kecil. Anak mereka ributnya setengah mati, dan sang ayah bersikap tak acuh saja. Kegaduhan si anak sudah sedemikian mengganggunya sehingga seorang penumpang menegur sang ayah. Sang ayah dengan mata kuyu mengangkat kepalanya dan memohon maaf kepada penumpang sekitarnya, "Maaf, pikiran saya sedang kacau sekali. Kami baru pulang dari rumah sakit, dan ibunya anak-anak baru saja meninggal karena penyakit yang dideritanya." Seketika itu juga, luluhlah hati semua penumpang. Tiba-tiba kekesalan terhadap anak-anak bengal itu menjadi simpati yang mendalam. Paradigm shift. Perubahan paradigma.

Sekarang giliran kita yang melakukan perubahan paradigma. Saya masih merasa tertantang untuk mengubah paradigma teman saya mengenai sayuran. Di kasus escargot, akhirnya ia menyadari bahwa ia terbelenggu oleh gambaran bekicot yang masuk ke mulut, padahal kenyataannya ia menikmati gurihnya escargot yang berlumur minyak bawang putih yang super nikmat itu. Saya sendiri, harus melepaskan berbagai belenggu dalam pikiran saya mengenai berbagai hal agar dapat lebih lepas meraih berbagai pencapaian dan kebahagiaan. Malam ini saya dibukakan mata, bahwa kalau pikiran saya lebih terbuka dan mau menerima, saya akan lebih mudah merasa nyaman dan bahagia, karena sekali lagi, buat saya bahagia itu adanya di hati dan pikiran. Kalau hati dan pikiran kita seperti semak belukar, tentu sulit untuk mendapatkan keindahan yang ada di dalamnya. Maka kita perlu menyiangi rumput dan semak belukar itu, agar dapat melihat keindahan yang terpancar di dalamnya.

Dibutuhkan sebuah kejutan atau lecutan yang dapat membuat orang sadar kemudian memutar balikkan persepsinya. Dalam hal kasus di kereta, kabar kematian sang isteri menjadi geledek di siang hari bolong bagi penumpang yang lain yang serta merta mengganti kesebalan menjadi rasa kasihan.

Saya masih harus menemukan berbagai pecut untuk bermacam-macam pikiran yang menghambat saya untuk melakukan atau meraih banyak hal. Berbagai "ancaman" dan "geledek" yang meluruhkan berbagai ketakutan untuk melakukan berbagai hal. Namun dalam hati saya tiba-tiba terdengar nyanyian:

Set our mind free and we can reach a whole lot more
Set our mind free and we will see happiness instantly...

Malam ini saya belajar untuk keluar dari penjara otak...

No comments: