Tuesday, April 27, 2010

27 April 2010 : Less is Beautiful

Pagi ini saya melanjutkan film "Everybody's fine" yang tersisa semalam. Saya cukup terkejut karena di paruh kedua film ini memberikan pelajaran lain dalam hidup saya. Dikisahkan bahwa semua anak-anak Frank secara tidak sadar berusaha untuk menjadi "orang" seperti yang diharapkan ayah mereka. Mereka ingin membuat bangga ayah mereka. Kenyataannya, apa yang dicita-citakan sang ayah tidak selalu mudah diraih. Seorang anak lakinya malah akhirnya meninggal overdosis karena merasa tidak dapat menjadi seperti yang diharapkan. Sang Ayah menyesali dengan berkata,"padahal saya hanya ingin menjadi seorang ayah yang baik..."

Saya bergidik. Saya ingat apa yang terjadi pada diri saya sendiri. Ibu dan ayah saya luar biasa inginnya bahwa ke lima anak mereka bisa menjadi dokter. Buat mereka, dokter adalah pekerjaan yang paling mulia di dunia. Selain mulia, menurut versi mereka dokter menempati urutan atas dalam perolehan respek di masyarakat yang menempatkan pengguna jas putih ini di urutan atas dalam status sosial. Begitu gencarnya mereka menanamkan cita-cita dokter dalam diri kami, sehingga tanpa sadar kami dipacu untuk menjadi dokter. Sebagai anak, tak ada satu pun niat kami mengecewakan orang tua, bahkan kami ingin membanggakan mereka. Apa yang terjadi kemudian?

Kakak tertua saya sekolah kedokteran hingga tingkat 5 di Trisakti dan menjadi kebanggaan keluarga sampai ia menyatakan capai dan ingin melanjutkan studi kedokterannya di Belgia. Di sana ia harus mengulang beberapa mata pelajaran utama, dan mungkin karena muak, ia justru banting stir diam-diam mengambil desain interior. Ia tak ada kabar soal hal ini. Kami yang di Indonesia selalu berpikir semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja, hingga paman saya yang ahli jantung dari Belanda berlibur ke Indonesia dan dengan sangat hati-hati memberitahu bahwa si sulung gagal jadi dokter. Ia kini menjadi desainer interior yang handal. Kakak kedua saya cukup membangkang. Walau pun wanita, ia lebih memilih menjadi insinyur elektro dari pada dokter. Kakak laki-laki saya adalah pewujud cita-cita orang tua. Ia menjadi dokter spesialis akupunktur yang sangat mumpuni. Kakak ke empat saya menjadi dokter namun kemudian menolak panggilan spesialisasi kejiwaan meskipun terus didesak oleh ibu saya. Kini giliran anak-anaknya yang dicekoki jadi dokter. Satu cucunya sudah menjadi dokter dan kini sedang didorong menjadi dokter spesialis jantung, mengikuti jejak kakak ibu. Saya sendiri, sengaja membangkang dengan tidak mengerjakan soal ujian dengan benar, dan memilih jurusan keguruan sebagai ungkapan pembangkangan saya. Sekali lagi saya akhirnya jadi dokter... andus.

Film pagi ini menjadi semacam flashback buat saya. Selama ini saya memperhatikan orang tua-orang tua yang ambisius. Saya bisa mengerti, semua orang ingin yang terbaik bagi anaknya, namun kita sering lupa bahwa yang terbaik menurut versi kita belum tentu sama dengan versi mereka. Kita bermimpi setinggi langit, namun yang benar-benar tahu kemampuan masing-masing adalah si anak sendiri. Karena itu kalimat Frank yang mengatakan bahwa selama ini dia selalu "aim high" dan sekarang ia sadar seharusnya yang dilakukan adalah "expect less" sangat membekas di benak saya. Kita tak sadar bahwa mimpi kita dengan kuatnya menancap di otak anak, dan secara tidak sadar anak akan berjuang untuk merebutkan simpati dan rasa bangga ayah dan ibu nya. Saya mengalaminya. Tak peduli saya ini lulus summacumlaude dan berhasil dalam karir, saya selalu saja merasa bahwa di mata orang tua, saya ini hanya lulusan fak ecek-ecek dibanding dokter, dan karir saya jauh lebih tidak berharga dibandingkan apa yang dikerjakan kakak saya yang dokter. Padahal orang tua saya tidak pernah berkata demikian atau memandang saya sebelah mata. Itu hanya perasaan saya. Bahwa apa pun yang saya lakukan tidak bisa membuat mereka bangga, sebangga kalau saya ini dokter. Jangan salah, kami anak-anak mereka, dan yang jelas saya sendiri sangat mencintai dan menghormati orang tua kami. Kalau saya tidak mendapat tekanan seperti yang mereka berikan, saya juga tidak bisa seperti sekarang ini. Namun soal kebanggaan, jujur saja sampai saat ini saya masih berjuang ingin merebut dan mendapatkan kebanggaan dari orang tua saya yang selalu memimpikan anak-anak dan cucu mereka menjadi dokter.

Pagi ini kata "expect less" menancap tajam di otak saya. Saya hanya ingin share kepada Anda yang membaca, jangan membebani anak dengan cita-cita dan mimpi-mimpi Anda, dan jangan hanya ingin berpikir yang baik-baik saja. Harapan muluk Anda tanpa Anda sadari memberikan tekanan dan stress yang luar biasa besarnya pada anak-anak Anda, dan parahnya : Anda tidak menyadari bahwa Anda telah melakukan hal itu kepada buah hati Anda. Anda toh tahu bahwa dalam hidup ini tidak ada yang semuanya baik-baik saja. So why put those perfect images to this imperfect life? Be realistic, appreciate, love and accept them as they really are. And they, in return, will appricate and accept themselves as they really are. Mereka juga akan bersikap jauh lebih terbuka dan dekat pada Anda tanpa beban karena tahu Anda menerima dan mencintai mereka apa adanya, sesuai kemampuan mereka, lengkap dengan kekurangan dan kelebihan. Believe me. I've been there!

Sekarang, coba jujur pada diri sendiri : apakah Anda termasuk orang tua yang seperti Frank atau orang tua saya? Kalau jawabannya ya, maka belum terlambat untuk segera menemui anak-anak Anda dan mengatakan bahwa Anda ingin mereka menjadi yang terbaik seperti yang mereka inginkan, dan bahwa Anda berjanji akan menjadi pendukung yang paling setia agar mereka bisa mewujudkan mimpi-mimpinya sendiri. Katakan sekarang juga, dan rasakan perbedaan yang Anda dapatkan dari dukungan Anda itu...

No comments: