Thursday, April 01, 2010

1 April 2010 : Robek!

Siang tadi, teman SD saya mengirimkan foto-foto jadul - jaman dulu - salah satunya ketika kami masih SD kelas 4. Saya sih cuma kelihatan mata dan poni tebalnya saja. Yang menyolok adalah tampang guru yang tak pernah saya lupakan. Bukan karena saking favoritnya, tapi saking bencinya.

Namanya Ibu Ririn. Kejadiannya adalah di suatu siang, saya yang mencoba menyimak pelajaran diajak mengobrol oleh teman saya Paulus. Meski meladeni dengan hati-hati namun sialnya tertangkap juga. Saya dipanggil maju dan disuruh membawa buku pelajaran yang sedang dibahas. Di depan kelas dan semua mata memandang, buku catatan saya untuk pelajaran yang akan ulangan besok pagi disobek-sobek berkeping-keping. Siangnya saya mengangis lapor pada mendiang tante yang menjaga saya, karena saat itu ibu sedang di luar kota. Sambil terisak saya terpaksa menyalin semua catatan dari tetangga saya Ria. Setengah empat sore, bukunya sudah ditagih karena Ria juga harus belajar. Saya naik kelas, bahkan akhirnya lulus sarjana dengan summa cumlaude, namun saya tidak pernah melupakan kejadian itu ... dan kebencian saya yang sangat amat pada guru brengsek itu. Meskipun teman saya tadi memberi komplimen dia sebagai guru cantik, sejak saat saya naik kelas dan tidak berurusan dengannya, saya tidak pernah lagi mau bicara dan menyapanya, sampai sekarang!

Saya sendiri lulus sarjana pendidikan untuk menjadi seorang pengajar, dan dalam semua pelajaran yang saya terima saat kuliah soal belajar mengajar, tak satu pun ada pelajaran tentang punishment seperti yang dilakukannya. Bagi saya ia tipe guru yang buruk dan gagal menjalankan fungsinya sebagai pembimbing. Mungkin karena itu pula, sejak saat itu saya jadi tidak suka sekolah yang menurut saya terlalu otoriter: menilai kemampuan orang dari norma-norma standar yang belum tentu berlaku benar dalam kehidupan nyata. Karenanya orang tua saya sempat dipanggil oleh psikolog saat SMA karena hasilnya sangat aneh. Sang penyuluh membeberkan bahwa, "Anak ibu ini IQ nya 136, tapi kok aneh ya, minat sekolahnya rendah sekali."

Saya makin tidak suka sekolah ketika di SMA. Ketika semua bilang bahwa SMA itu masa terindah, buat saya SMA itu masa paling sengsara! Kepala sekolah dan orang tua saya memaksa saya masuk IPA, mungkin karena mereka melihat riwayat kakak-kakak saya yang berprestasi di IPA, dan hasil psikotes saya yang menyatakan otak saya cukup encer. Mereka bilang, IPA mendidik saya untuk berpikir analitis dan punya kesempatan untuk memilih masa depan. Buat saya itu salah besar. Hasilnya, tiga tahun didikan mereka menjadi tiga tahun yang paling sengsara dalam sejarah kehidupan saya bersekolah. Setiap kali mau ulangan, saya menjadi mules-mules tak karuan saking tak sukanya, dan tidak punya pilihan selain menjalani siksaan sekolah. Saya jadi benci fisika, saya jadi benci kimia, saya jadi benci matematika dengan segala goneometri, aritmatika, stereometri,aljabar, dan lain-lainnya! Saya jadi semakin benci sekolah! Kalau pun saya lulus summa cumlaude dengan indeks prestasi ujian akhir 4 yang berarti straight A, alias semua dosen penguji memberi saya nilai sangat memuaskan, itu karena saya hanya mau membuktikan kepada orang tua saya, bahwa saya mampu dan menyelesaikan tugas sekolah dengan baik, meskipun jurusan yang saya ambil sama sekali bukan yang mereka harapkan. Mereka ingin saya jadi dokter, saya - sekali lagi - jadinya dokter...andus.

Ibu saya adalah orang yang sangat disiplin dan mau semua yang terbaik buat anak-anaknya, termasuk dalam soal hal gizi. Kami diharuskan minum susu pagi sore. Yang jadi masalah adalah kata "harus", alias "tidak bisa tidak". Kalau kami lupa minum susu, waduh, itu jadi bencana dan petaka terbesar karena pasti akan diantar ke sekolah, dan di tengah-tengah pelajaran sekolah, pintu kelas akan diketuk oleh pembantu saya dan dengan suara lugunya yang lantang minta permisi kepada guru untuk memberikan susu yang lupa diminum. Di hadapan mata semua teman saya harus menghabiskan segelas susu yang terlupakan itu. Kejadian ini menjadi begitu traumatik, sehingga kalau di kelas teringat belum minum susu, tak akan ada satu pun pelajaran yang masuk di otak, bahkan ulangan tak bisa mengerjakan soal apapun karena terpikir bencana malu besar yang akan datang! Kini, ketika program komunikasi dan edukasi osteoporosis dan susu berkalsium tinggi yang saya rancang menjadi case study legendaris dalam ilmu komunikasi nasional dan kampanye minum susu yang saya pimpin berhasil meningkatkan konsumsi susu nasional, saya tidak pernah secara suka rela mau minum susu karena malas teringat trauma masa lalu. Dan itu tidak hanya terjadi pada saya. Trauma ini juga terjadi pada kakak-kakak saya. Ketika baru-baru ini kami tanyakan pada Beliau, Ibu dengan tertawa mengatakan, "Ya biar kapok, dan ingat terus minum susu!" Meski jadi bahan tertawaan saat kami kumpul keluarga, tapi yang namanya trauma ya tetap saja trauma. Untungnya trauma yang satu ini tidak begitu nyata terlihat dampaknya.

Maka, saat ingatan kembali ke masa SD bersama foto hitam putih yang dikirim teman saya Ninik, saya jadi memperhatikan bahwa kita sebagai orang dewasa harus ekstra hati-hati memberikan pendidikan kepada anak-anak. Kita tidak pernah tahu kelakuan kita yang bahkan sudah kita lupakan itu menancap dan menghasilkan goresan luka yang membekas hingga di masa dewasanya. Kadang-kadang, saking jengkelnya pada ulah si kecil, kita tak sadar menggunakan kata-kata kasar, atau bahkan memukulnya, atau menghukum dengan cara yang menurut kita membuat mereka kapok, namun tak sadar kapoknya itu membuahkan trauma besar dalam hidupnya.

Dengan kejadian yang saya alami secara pribadi, saya malam ini terhenyak menyadari bahwa pengalaman traumatik itu begitu dekatnya dengan kita, bahkan bisa berasal dari orang-orang yang paling dekat dengan kita. Kejadian buku disobek itu juga membuat saya teringat akan berbagai kisah di media tentang kejadian pahit yang menimpa murid karena ulah guru yang lebih parah dari apa yang saya alami dan menjadi lampu merah bahwa selain harus berhati-hati akan sikap kita kepada anak-anak, kita juga harus selalu waspada dan selalu awas akan institusi tempat kita menitipkan pendidikan anak-anak kita karena tak jarang anak mendapat perlakuan traumatik justru dari guru dan sekolahnya.

Saya sendiri tidak punya anak, namun masih punya satu keponakan yang masih berusia 6 tahun, dan akan berurusan lagi dengan anak-anak yang lebih kecil dari keponakan-keponakan saya yang sudah menikah. Selama ini, secara umum saya sih cukup dekat dengannya. I'm the only person at least in the family that he's willing to show his perfect English. And he waited for me for blowing his birthday cake candle last year. But it's getting tougher as he's getting older, so I'd better watch my mouth and my moves. Karena kalau tidak hati-hati, saya - Anda - kita bisa menjadi sumber traumatik itu...

No comments: