Saya baru saja mewawancarai seorang calon karyawan yang diajukan SDM dan keluar-keluar saya benar-benar kesal rasanya. Yang bersangkutan adalah seseorang yang awam sama sekali di konsultan kehumasan. Karena saya tidak bisa mengorek pengalamannya di bidang ini, jadilah saya tanya yang remeh temeh. Jawabannya tidak meyakinkan dan tidak mengeluarkan aura smart. Lalu saya memberi kesempatan dia bertanya. Ia bertanya mengenai klien apa saja yang kami tangani. Saya tanya balik, sudah lihat website kami belum? Dia jawab sudah. Lalu apa yang Anda lihat? Saya cuma buka sekilas sih Pak. Saya bilang semua yang Anda tanyakan itu dapat Anda temukan di website kami.
Sambil meneruskan tanya basa basi padahal semakin lama semakin besar niat untuk mengusir dia dari ruangan, saya bertanya pada diri sendiri. Ini anak bagaimana sih? Niat nggak sih ngelamar? Kalau dia niat, kok dia tidak mempelajari perusahaan yang ingin dimasukinya? Bagaimana kalau dia sudah masuk ternyata terkejut-kejut karena bukan jenis perusahaan yang ingin digelutinya? Saya jadi ingat ketika bertemu dengan sebuah calon klien untuk pertama kalinya. Bahkan dalam masa penjajakan ini saya ditanya apakah saya sudah sempat melihat website mereka. Dalam hati, boro-boro, mengatur jadwal saja sudah setengah mati. Tapi di sana saya merasa ditampar. Hari gini, apa susahnya sih google sebentar? Tidak sampai lima menit, dan kita tahu semua tentang siapa yang akan kita ajak bicara. Kalau itu tidak sempat, ya keterlaluan juga kitanya.
Zaman sekarang, kita dituntut untuk berlaku kompetitif. Kita dituntut siap dan tahu tentang siapa dan apa yang akan kita bicarakan sebelum bertemu dengan orang yang ingin mengajak kita bicara. Kalau Anda belum pernah melakukannya, cobalah cari tahu siapa dan apa yang akan dibicarakan terlebih dahulu, paling tidak latar belakang mereka, dan lawan bicara Anda akan luar biasa terkesannya pada Anda. Apalagi kalau kita melangkah lebih jauh, melakukan survey dan analisa, dan bisa memberikan masukan awal berdasarkan survey tersebut. Tak perlu survey yang njelimet, dipstick survey pun sudah cukup. Saya ambil contoh, kita semua tahu kalau Indonesia ini miskinnya minta ampun soal data. Karena itu ketika calon klien saya ingin membahas mengenai ruam popok, saya penasaran dan melakukan dipstick survey, iseng-iseng tanya pada orang kantor yang punya anak. Ternyata 6 dari 10 anak orang kantor pernah terkena ruam popok. Saya memberanikan diri untuk mengambil kesimpulan ringkas bahwa 1 dari 2 anak Indonesia punya kecenderungan terkena ruam popok dan menjadi angle yang ampuh sebagai pesan bagi ibu Indonesia agar tidak memandang sebelah mata terhadap ruam popok. Ide dan angle ini dibeli oleh klien, dan ketika dicari data klinisnya ternyata tidak terlalu jauh, 1 dari 3 anak Indonesia rentan terkena ruam popok. Tapi paling tidak dengan penggambaran ini, klien tahu bahwa saya sudah membuat pekerjaan rumah saya : melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar menerima data soal kondisi yang menjadi concern calon klien kami. Angle ini lah kemudian yang diangkat sebagai ganti angle asal dari regional yang hanya mengangkat fakta bahwa kulit bayi lebih tipis dari kulit orang dewasa. Kalau soal fakta begitu saja, orang akan bertanya: so what? Survey kecil-kecilan ini tidak susah dilakukan, namun tetap saja tak terpikirkan bahkan oleh klien saya untuk dilakukan. Mereka nyatanya menghargai usaha lebih kami dalam mengeduk lebih dalam informasi dan situasi yang dihadapi sehingga keluar solusi yang lebih jitu. Coba kalau kami hanya iya iya saja menelan informasi yang ada, dan dengan malasnya menjadikan hal itu sebagai pesan komunikasi. Hasilnya akan jauh berbeda dalam meningkatkan awareness ibu mengenai masalah ruam popok dan solusinya.
Kalau selama ini saya mengalaminya dari segi bagaimana orang lain menilai kesiapan saya di mata mereka, siang ini saya diajak mencoba dari kaca mata saya. Siang ini saya dibukakan mata, bahwa betapa menjengkelkannya bicara dengan orang yang tidak siap "tempur". Mungkin saja orang itu pintar, tapi kalau tak siap, ia akan terlihat bodoh. Siang ini saya kembali diyakinkan bahwa orang yang fully prepared paling tidak sudah memenangkan lebih dari separuh peperangan. Kesiapan kita dinilai sebagai kesungguhan dan niat kita dalam mengerjakan sesuatu. Sesuatu yang membedakan kita dengan orang yang sekedar mau uang dan senangnya saja. Kesiapan ini juga membedakan kita dengan sangat kentara apakah tong kita berisi penuh air dengan bunyi yang mantap, atau kosong dan bunyi nyaringnya hanya membuat kuping sakit saja...
No comments:
Post a Comment