Saturday, April 24, 2010

24 April 2010 : Saya! Saya! Saya! Saya! Saya!

Saya ini kadang-kadang lemot alias lemah otak. Saya lambat dalam mencerna sesuatu hal, seperti kejadian kemarin. Tak pernah terlintas dalam benak untuk mencuatkan hal ini dalam blog, namun tadi pagi-pagi saat merenung dan menghisap udara segar dan tiba-tiba pikiran ini melintas berbagai hal yang terjadi, saya tiba-tiba tersadar.

Kemarin siang seorang account executive yang akan segera saya promosikan menjadi account manager menelepon saya dan meminta maaf akan keteguhan hatinya mengundurkan diri. Kemarin, saya menerimanya dengan lapang dada dan mengatakan agar silaturahmi bisa terjalin selamanya. Saya bahkan berbesar hati berdiskusi padanya untuk mencari calon penggantinya karena dengan 10 account yang saya tangani, saya tak akan mampu berjalan "pincang".

Detik ini saya masih merelakannya. Saya tak pernah menahan siapa pun yang sudah tak mau bersama saya lagi, baik dalam hal pribadi maupun kerja. Tapi sekarang, kerelaan saya tiba-tiba ada embel-embelnya. Saya baru saja fight for her untuk dikirim ke Selandia Baru mengikuti sebuah perjalanan yang membuat dia lebih paham mengenai seluk beluk bisnis klien dan untuk itu saya harus mempertahankan argumen untuk tidak memilih orang lain. Tahun lalu saya juga mengajak dia ke Singapura untuk lebih mengenal seluk beluk bisnis dan mengerti cara kerja konsultan lain di kawasan ASEAN agar wawasannya terbuka. Saya bersama rekan BOD yang lain telah menangkap potensinya, dan meskipun kesalahan kami lelet mengambil langkah, akan segera mempromosikannya bersama beberapa orang, dan sudah memproyeksikan jenjang karir berbagai karyawan potensial hingga akhirnya mereka bisa menikmati menjadi bagian utuh sebagai shareholder perusahaan yang termasuk tiga besar di negara ini, satu-satunya yang pure-local, sementara yang lainnya adalah multinational.

Soal rencana karir, memang saya sebelumnya tidak bisa membocorkannya karena hal itu adalah langkah manajemen yang harus diumumkan secara resmi. Namun keputusan saya memilih dia mewakili perusahaan ke New Zealand dan Singapura, saya sudah sampaikan dan tekankan mengapa ia yang saya pilih. Kenyataannya, ia tidak menghargai dukungan saya maupun perusahaaan apa pun alasannya, dan tidak melihat potensi besar di balik gesture itu. Menurut saya, orang seperti ini tidak tahu rasa menghargai dan dihargai. Kalau ia menghargai mengapa ia yang dikirim, ia tidak akan keluar segera setelah ia pulang dari luar negeri yang sebetulnya diproyeksikan agar ia dapat menjalankan tugasnya lebih baik setahun kedepan menangani klien yang telah membawa perusahaan kami mendapatkan honorary mention di PR Awards se Asia Pasifik di Hong Kong awal tahun ini. Kalau ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tentu dia akan bertanggung jawab memberikan warning terlebih dahulu dan menyilakan saya memilih orang lain yang nantinya bisa lebih berguna bagi perusahaan ini.

Kenyataannya tidak. Yang dipikirkan hanyalah dirinya sendiri. Saya! Saya! Saya! Saya! Saya! Bahkan ketika ia mengajukan pemikirannya untuk keluar kesebuah institusi yang menurut saya dan partner saya Isma tidak akan membuahkan hasil karir apa-apa untuknya, dan kami berdua berusaha meyakinkan bahwa jenjangnya menuju ke tingkat berikutnya sudah di depan mata, ia sudah tak bisa melihatnya lagi. Memang hak nya, tapi detik ini saya sungguh merasa kecewa. Kerabat saya yang usianya jauh muda saja, ketika saya ceritakan mengenai hal ini, ia langsung menukas, "Hanya ada satu kata lima huruf bagi orang yang seperti itu : c u l a s." Saya kaget! Saya membelanya dan berkata, ia tak seperti itu. Lalu kerabat saya menanyakan arti kata culas. Saya menjawab, culas adalah orang yang memanfaatkan keadaan dan orang lain untuk kepentingan pribadinya dengan tindakan yang merugikan orang lain. Dia bilang : see? Tapi saya tetap membelanya dan mengatakan bahwa account executive saya tidak seburuk itu.

Kejadian ini membuat saya mengerti mengapa partner kerja saya begitu enggan mengirim karyawan kantornya untuk melakukan perjalanan luar negeri. Dulu saya selalu menganggap tindakan pilih-pilih mereka itu adalah tindakan "reward" padahal kepergian ke luar negeri untuk klien ini bukanlah jalan-jalan namun tugas. Saya juga akhirnya mengerti mengapa kerabat muda saya yang lulus program pelatihan di sebuah bank swasta itu terikat kontrak dua tahun dan penalti 250 juta jika karyawan barunya melanggar kontrak kerja tersebut. Mungkin karena sadar dan paham banyak orang culas di dunia ini, ia juga memagari diri dan menculasi karyawannya.

Saya tetap tak mau seperti itu. Saya tidak mau mengikat orang yang sudah tak mau terikat lagi pada saya. Saya pernah ditempatkan pada posisinya. Mantan boss saya almarhum Ken Sudarto merasa begitu dikhianati ketika saya mengundurkan diri secara mendadak. Ia memaki saya dengan makian paling kasar dan mengatakan bahwa saya tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih karena sudah didik setengah mati dari tidak tahu apa-apa menjadi seorang yang mumpuni di bidang komunikasi. Namun kasus saya berbeda. Pemicu saya keluar dari perusahaan itu adalah setelah kerja siang sore malam hingga dini hari dan kehilangan ratusan weekend bagi perusahaan, suatu hari saya kena musibah. Di suatu Jumat malam, saya menemukan pembantu saya kabur membawa barang-barang dan kunci rumah, sehingga saya harus segera mengganti anak kunci pintu utama kalau tidak mau barang saya menjadi ludes kembali di hari berikutnya atau keselamatan saya terancam bila mantan pembantu saya mau macam-macam. Kebetulan Sabtu itu saya masuk kantor untuk membantu mantan boss saya itu mempersiapkan diri untuk keluar negeri. Dari pagi sampai siang saya dianggurin. Beliau sibuk sendiri haha hihi dengan berbagai orang. Mungkin dikira saya ini miliknya jadi bisa "kembali" ke saya kapan saja. Karena hari menjelang sore dan saya takut tidak ada lagi tukang kunci yang buka, dan untuk itu berarti saya harus menunggu sampai hari berikutnya atau hari Senin, setelah makan siang saya menghadap Beliau, "Pak, kalau Bapak butuh saya, let's work it out now, karena saya sedang kena musibah dan khawatir tak ada tukang kunci lagi." Beliau langsung mengatakan pulang saja. Saya bilang terima kasih. Tapi detik berikutnya Beliau mendatangi meja saya dan berteriak, "Lain kali saya tidak mau hal semacam ini terjadi lagi, kecuali keluarga kamu ada yang mati!" Detik itu juga saya sakit hatinya setengah mati. Saya sudah berlaku apa saja buat perusahaan ini dan untuk Beliau, dan inilah balasan yang saya dapat. Saya memutuskan keluar dari perusahaan periklanan itu saat itu juga. Kejadian ini tidak pernah saya ceritakan sebelumnya pada orang lain. Saya hanya berkilah bahwa ketika di usia 25 tahun menjadi Assistant to the Chairman, saya tak bisa lagi bergaul dengan teman seusia yang masih doyan dugem. Dan karena kerja, kerja, kerja, saya lalu menyadari bahwa saya ini kerja untuk hidup, bukan hidup untuk kerja, and that is why I quit. Memang hal itu menjadi salah satu penyebab, namun makian mendiang bos adalah pemicu yang paling jitu. Bukan karena saya tidak tahu berterima kasih atau menghargai upaya atasan atau perusahaan saya, tapi justru karena merekalah yang tidak tahu berterima kasih dan menghargai saya.

Lalu balik lagi ke akar pembahasan, bagaimana saya akan bersikap setelah ini? Akan lebih ketatkah saya memberi reward dan pengetahuan kepada karyawan saya? Jawabnya tidak. Saya tidak tahu dengan partner saya yang lain, namun saya tetap pada pendirian saya, tak mau menahan orang yang sudah tak mau dengan saya lagi. Percuma. Saya hanya berharap siapa tahu blog ini membuka mata orang lain untuk menjadi lebih punya hati dan menghargai arti dihargai dan menghargai. Karena kualitas orang yang sejati terpancar dari kemampuan kita menghargai arti dihargai dan menghargai.

Akan halnya account executive saya yang siap melayang, saya dengan tulus mengucapkan selamat jalan dan semoga sukses. Semoga dalam kehidupan berikutnya ia belajar dan memahami arti menghargai dan dihargai. Karena itu yang membedakan apakah orang itu berkualitas atau tidak.

1 comment:

Unknown said...

Hi Tjan, nice blogs... good for an autobiography in the future. Enjoy reading it. Hope you are well and will catch up with you when I am in town (again). Cheers, Suwito