Hari ini saya pergi melayat Om William Soeryadjaya. Saya memang tidak mengenal Beliau sebaik orang lain. Saya cuma (benar-benar)bertemu Beliau sekali, waktu acara natalan yang diadakan secara kekeluargaan di perusahaan yang melibatkan anaknya, Edwin Soeryadjaya. Dengan Edwin pun saya tak akrab. Meski pernah dinner di rumahnya, dan beberapa kali bersama-samanya, itu cuma karena Edwin adalah teman baik dan partner kerja kakak ipar saya Gatot. Waktu di acara natal itulah saya sempat didatangi Om Willem untuk mengobrol santai dan ngumpet dari perhatian orang banyak.
Tadinya saya sudah tidak mau pergi melayat. Tapi karena diajak teman, saya jadi berpikir lagi. Ya, kenapa tidak? Toh saya pernah bekerja di perusahaan patungan Edwin dan kakak ipar saya, meskipun itu sudah lebih sepuluh tahun silam. Lagian, kakak saya itu sekarang ada di Australia, jadi sewajarnyalah ada yang mewakili juga. Jadi kehadiran saya ya mewakili diri saya sendiri, sekaligus Gatot.
Rumah duka RSPAD dari jauh sudah penuh antrian mobil dan sudah berdiri tenda-tenda putih. Deretan tembok sudah tak tampak lagi karena terlapisi bunga krans. Kami beruntung karena mobil kami dapat tempat parkir yang tinggal satu, seolah disediakan bagi kami di tengah ratusan mobil yang lalu lalang sibuk mencari parkir.
Suasana di rumah duka sangat santai dan tidak formal, siapa pun bisa keluar masuk dengan bebas dan lega. Mungkin inilah yang mencerminkan semangat Om Willem yang tidak membeda-bedakan orang. Tapi saking semrawutnya orang di dalam, suasana hening yang sakral juga menjadi hilang, dan suasana seperti sedang dalam resepsi saja. Dengan rangkaian bunga putih di mana-mana dan indah, dan hidangan makan dan minum di setiap sudut. Di tengah tampak peti jenazah dan di sebelah kirinya duduk anggota keluarga. Barisan yang antri mau menyalami cukup panjang dan terdiri dari berbagai rupa orang yang sering kita lihat di media massa.
Melihat suasana seperti itu, teman saya memilih duduk dan minum saja. Dia bilang, "Kamu saja yang salaman sana, aku cukup sudah absen tanda tangan." Ha? Rayuan saya untuk menemani tidak mempan, dan karena saya melihat Edwin ada di antara keluarga, saya akhirnya memutuskan untuk ikut antri. Di depan saya Rahadi Ramelan, dan di belakang saya Mari Pangestu. Orang-orang itu bercampur dengan keluarga dan teman yang ingin berbela sungkawa sehingga saya merasa anggota keluarga itu sudah tak bisa lagi mengenali dengan baik orang-per-orang, dan seperti robot bersalaman. Saya sendiri bersalaman dengan Edwin tanpa kontak mata karena Edwin sudah sedemikian sibuknya menyuruh Ibu nya duduk supaya tidak capek.
Saya kembali ke ruang depan dan menemui teman saya sedang menikmati semangkuk bakso. Saya menyesal juga salaman di dalam. Sudah nggak dipedulikan - dan itu juga bukan salah mereka, saya rasa Edwin juga sudah lupa dengan saya karena sudah tak bertemu lebih dari sepuluh tahun, kecuali bila saya datang dengan Gatot. Di layar televisi, saya juga melihat bahwa Mari Pangestu pun juga disambut seadanya saja. Tapi ya, tentu lain ceritanya karena dia sekarang Menteri Perdagangan. Saya dulu pernah sering duduk meeting dan membantu CSIS dan Yayasan Panglaykim saat bekerja di Matari, namun itu dulu. Sebelum dia menikah. Saya sama sekali tidak menyalahkan keluarga Soeryadjaya : sudah berhari-hari bersalaman dengan ribuan orang, waduh, ya sudah tidak ada yang masuk otak. Saya juga mengalami ketika ayah saya meninggal. Itu pun belum ribuan, dan saya sudah sering bilang, "Yang manaaa ya? Kapan yaaa?"
Diam-diam saya jadi bertanya, kalau kenalnya gitu-gitu saja atau kalau kenalnya sudah duluuuuu sekali dan sekarang kemungkinan besar sudah dilupakan, perlu nggak ya mementingkan melayat? Toh kehadiran kita tidak penting-penting amat. Atau seperti teman saya saja? Dia dulu pernah jadi tim konsultan hukum Om Willem, dan dia merasa sudah dilupakan, jadi dia hanya merasa perlu absen. Tanpa perlu bertemu dengan siapa-siapa, toh tak ada yang kenal lagi dengannya. Dari pada sok antri ikut salam salam tapi tidak diperhatikan? Bukan salah mereka juga sih, salah saya yang sok merasa ada emotional attachment.
Tapi, saya jadi berpikir lagi, ya sudah, kalau tidak untuk Edwin, ya untuk saya sendiri saja. Pasti ada sesuatu yang menarik hingga saya diberi kemudahan untuk melayat. Saya merasa berhutang budi pada Om Willem yang sudah memberi saya pelajaran batin yang luar biasa soal keikhlasan dan rasa syukur. Jadi, tadi saya sudah pay respect and tribute dan berterima kasih dalam hati pada Beliau. Dan Beliau pasti tahu dan memperhatikan.
Selama ini kalau melayat, buat saya yang penting adalah absen, dan setor muka. Tadi saya sudah absen. Soal setor muka, walaupun sudah berhadapan, menurut saya gagal, karena tidak diperhatikan saking sibuk dan capeknya.
Jadi sebenarnya saya ini kalau melayat mau mendoakan yang meninggal, atau mau unjuk ikut duka cita pada keluarga yang saya kenal?
Kini saya punya jawab sekaligus rumusan :
-Kalau yang meninggal saya kenal, ya saya datang untuk yang meninggal.
-Kalau yang meninggal sanak keluarga dari kenalan saya, ya saya datang untuk kenalan saya.
-Kalau kenalnya sudah lamaaaaaa sekali dan sudah lamaaaaaa sekali juga tidak berhubungan, ya mendingan tidak usah datang saja... Kecuali kalau mau sok selebriti, karena yang meninggal orang yang terkenal sekali...
Dalam hal tadi, awalnya saya pikir Edwin bakal masih mengenali saya, ternyata dilihat pun tidak karena sibuk dengan ibunya. Jadi lain kali, saya akan pikir-pikir lagi, jangan-jangan kejadiannya ya seperti tadi : saya - Gatot = lupa, saya + Gatot = ingat. Sama seperti keluarga ibu di Makassar : saya - ibu = lupa...
Selamat jalan Om Willem, apa pun yang terjadi tadi, saya tidak menyesal melayat. Terima kasih untuk pelajaran hidup yang pernah Om bagikan dalam sebuah pertemuan singkat yang tidak terlupakan. Tidak semua orang punya kesempatan berbincang santai dan dalam satu pertemuan mendapat ilmu hidup langsung dari seorang Willian Soeryadjaya...
No comments:
Post a Comment