Monday, May 31, 2010

31 Mei 2010 : Menguasai

Sambil menangis, seorang ibu yang terkena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)selama 17 tahun bertutur kepada Oprah Winfrey bagaimana sampai akhirnya ia tidak tahan dan menembah sang suami 11 kali hingga roboh. Sang isteri kemudian menghadapi dakwaan namun ia mengatakan apa pun yang terjadi nanti, hidupnya diyakini lebih baik dari yang dialaminya bersama sang suami. Kedua anaknya pun lega, dan mengatakan mereka 150% yakin tidak merasa kehilangan ayahnya karena selama ini hidup dalam ketakutan.

Ibu ini menuturkan bahwa suaminya seorang polisi dan setelah sekian lama hidup bahagia, sang suami mulai bersikap kasar. Awalnya masih selalu minta maaf dan merayu pakai bawa bunga mawar segala, namun lama kelamaan rayuan pun memupus dan yang tinggal adalah kemarahan dan kemurkaan. Tak ada lagi kebebasan. Hubungan dengan teman pun diputus, bahkan dengan keluarga pun dipangkas.

Saya lalu menangkap esensi pembicaraan panjang ini : Kalau pasangan sudah menguasai, maka kita harus hati-hati. Awalnya, kita sering menganggap tindak menguasai ini sebagai sesuatu yang romantis. Saking sayangnya dia kepada kita. Namun lama-lama kita ini terisolasi, dan saat terisolasi tak ada lagi ruang untuk minta tolong pada orang lain. Di sinilah kesempatan KDRT terjadi. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang jauh dari hidup kita. Begitu banyak orang yang tanpa sadar dikuasai pasangannya dan merasa baik-baik saja. Status terikat membuat kita pasrah bahwa hidup kita tidak bisa sebebas dulu lagi dan membiarkan persahabatan kita dengan orang lain rontok satu per satu. Kadang, tanpa sadar kita rela tidak bertemu dengan orang yang tidak disukai pasangan kita karena merasa bahwa pasangan lebih penting dari orang lain. Akhirnya semuanya jadi abu-abu. Kita tidak mengetahui secara pasti apakah kita sudah dikuasai atau malah kita yang menyerahkan diri dikuasai.

Tapi ada satu hal lagi yang harus jadi perhatian kita. Bagaimana kalau secara tidak sadar menjadi pihak yang menguasai? Karena kecemburuan kita, kita jadi memanipulasi agar pasangan tidak dekat-dekat dengan semua orang yang mengandung bahaya bagi kedekatan kita dengannya. Kita jadi overprotective meskipun akhirnya yang diproteksi bukan pasangan tapi sebenarnya kita sendiri.

Petang ini saya menyaksikan bahayanya menguasai dan dikuasai. Tak jarang akhirnya kedua hal ini berujung pada kekerasan dan bahkan kematian. Sang ibu juga berpesan, begitu sadar ada upaya menguasai diri, segera tinggalkan hubungan itu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Tidak gampang juga keluar dari jerat yang memabokkan itu. Buktinya, ia sendiri terjerat 17 tahun sebelum tak tahan dan menembakkan peluru sebanyak 11 kali ke tubuh sang suami. Tapi selama itu ia membiarkan kejadian kekerasan berulang tanpa memberitahu seorang lain pun dalam lingkungannya, bahkan keluarganya.

Tapi menguasai itu enak. Seolah menjadi seorang yang punya kuasa terhadap seseorang itu nikmat. Dan disitulah bahayanya, karena kenikmatan itu bagaikan candu, yang semakin lama semakin ingin lebih. Jadilah ini soal kecanduan. Dan seperti rokok, mestinya hal ini bisa dicegah sejak awal. Jadi, begitu ada hasrat menguasai, kita harus berani tegas menghindari dan menolaknya. Begitu juga bila ada kecenderungan dikuasai. Kalau soal rokok kita bisa menghindari area merokok, mungkin begitu juga yang harus kita lakukan dengan hal ini. Kalau tak ingin terkena kekerasan dan mati konyol, sekarang juga kita harus menghindari menguasai dan dikuasai. Ingat, perokok pasif bahaya matinya justru dua kali lipat perokok aktif. Karena itu hindari pula dikuasai. Sebagai gantinya, mencintai dan dicintai. Menyayangi dan disayangi.

Hari ini saya belajar menggantikan menguasai dan dikuasai dengan mencintai dan dicintai, menyayangi dan disayangi...

30 Mei 2010 : Ronggowarsito

Sebuah transkrip jawa yang ditempel di WC lantai dua toko Mirota di Yogyakarta menarik perhatian saya :

"Lamun sarwa putus, kapinteran simpenen ing pungkur, bodhonira ketokna ing ngarsa yekti, gampang traping tindak tanduk, amawas pambekaning wong."

"Jika telah paham, simpanlah kepandaian di belakang, perlihatkan kebodohan di depanmu, memudahkan cara bersikap, memahami sikap orang lain."

Petikan ini diambil dari Serat Wedharaga yang diucapkan oleh R.Ng. Ranggawarsita.

Lama saya merenungkan. Kenapa kalau pandai malah disuruh disembunyikan. Bukannya orang selalu ingin menonjolkan kepintarannya supaya dianggap orang? Lha contohnya saja undangan kawinan. Gelar itu kan urusan akademis, tapi waduh, selalu tak pernah ketinggalan dipasang sampai titik komanya untuk urusan percintaan alias kawinan. Supaya bisa dibilang, waaah, anak mantunya hebat hebat yaaa.... Saya lalu pada satu kesimpulan untuk setuju dengan Ranggawarsita, kecuali untuk satu hal. Mungkin terjemahan bodhonira itu kurang tepat kalau diterjemahkan kebodohan. Mungkin, sekali lagi mungkin, lebih tepat kalau diterjemahkan bebas sebagai ketidaktahuan, ketidakmengertian.

Yang dibicarakan Ranggawarsita adalah pemahaman sikap orang. Beliau rupanya mau memberi kita tips agar bisa mengetahui isi hati dan sikap seseorang, sebaiknya kita tidak bersikap keminter, sok pandai atau menonjolkan kepandaian kita. Saya sendiri merasa pusing kalau bertemu seorang ahli, dan bicaranya bahasa teknis melulu. Saya sudah tahu sih, dia orang pintar, tapi menurut saya dia tidak pintar kalau tidak bisa menjelaskan keahliannya kepada saya orang yang dungu ini. Dari pengalaman hidup saya belajar, seseorang itu bisa dikatakan pintar atau pandai kalau bisa menjelaskan bidangnya pada seseorang yang paling sederhana sekalipun. Jadi, kalau kita pintar tapi tidak bisa menjelaskan dalam bahasa sederhana, kita ini belum bisa di cap benar-benar pintar. Saya sering bilang. "Prof, jangan pake bahasa dewa ya, pake bahasa manusia saja."

Tapi yang dibahas Ranggawarsita bukan sekedar bisa menjelaskan saja. Ia mengisyaratkan pentingnya pemahaman terhadap sikap seseorang sebelum kita bertindak sehingga kita tahu persis bagaimana harus mendekati dan berkomunikasi dengan orang tersebut. Saya merenungkan. Jadi, kalau saya bersikap rendah diri dan tidak sok pintar, kita jadi tahu bagaimana sebetulnya karakter seseorang. Apakah dia rendah diri, atau tinggi hati. Sombong atau sederhana. Baru kita menentukan bagaimana harus bersikap balik kepada orang tersebut. Selama ini saya suka mencari-cari jalan "masuk" agar bisa kemudian terkait dan tek tok dengan seorang stake holder. Kadang bisa langsung "nyantol" kadang chemistry nya saja sudah tidak dapat. Namun kalimat singkat ini bisa jadi bahan acuan saya. Mungkin selama ini saya terlalu menganggap saya ya saya, dan siapa pun mereka harus bisa menerima saya apa adanya. Namun malam ini saya disadarkan untuk mencapai tujuan itu, saya harus terlebih dahulu memahami lawan bicara saya, dan untuk itu tips nya adalah dengan merendahkan diri. Biarlah orang itu tahu "siapa kita" pada saatnya.

Untung saya ini orangnya beseran. Tukang kebelet pipis. Kalau tidak, saya tidak akan pernah membaca tulisan jawa yang bisa menjadi kunci sebuah strategi komunikasi yang luar biasa jitu. Merendah untuk memahami dan menang. Terima kasih Ranggawarsita, eh, terima kasih Mirota ...

29 Mei 2010 : Bebek

Sebuah acara pencari bakat di televisi menampilkan tiga penari asal Papua yang sangat berbakat dan membuat para juri terkagum-kagum. Salah seorang juri, seorang pembawa acara kawakan menanyakan apakah ada idola yang menjadi inspirasi bagi para pemuda itu saat membentuk kelompok tari dan menciptakan tarian-tarian yang sangat kreatif itu. Sang penari mengatakan, "tidak ada." Ketika dikonfirmasi ulang dari mana datangnya ide tarian itu, sang penari kembali menegaskan, "saya sendiri." Maka respons si juri dengan nada pandang terganggu adalah, "Sombong sekali."

Saya yang diam menonton pembicaraan ini kemudian menjadi sangat terusik dan mempertanyakan, "Sekarang, siapa yang sombong?" Memangnya orang tidak boleh punya ide sendiri dan kreasi sendiri? Mengapa orang harus punya inspirasi atau idola orang lain untuk bisa menciptakan? Saya sungguh kaget sekaligus kasihan mendengar komentar juri yang sok tahu itu. Kasihan karena orang-orang semacam ini lah yang justru tidak memacu masyarakat Indonesia untuk berkreasi dan menggali bakatnya. Orang seperti inilah yang justru mengerdilkan bangsa ini menjadi bangsa yang selalu berpikiran tidak bisa mencipta dan harus membebek orang lain yang dianggap lebih bisa dari kita. Sungguh ironis kata-kata itu keluar dari seorang juri Indonesia Mencari Bakat.

Tapi untung si juri bersikap seperti itu. Kalau tidak, saya tak pernah tersentak seperti ini. Malam ini saya dibukakan mata betapa bangsa kita ini dikerdilkan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi penyemangat terhadap Indonesia yang lebih maju dan bermartabat. Indonesia yang mencipta dan bukan hanya ikut saja.

Saya sedih terhadap pendidikan masyarakat kita yang dipacu untuk mengacu pada seorang idola. Seolah kita ini diajari untuk terinspirasi menjadi seorang ini atau itu. Seolah kita ini harus punya panutan. Saya heran kenapa di era yang justru mementingkan kreativitas, sang juri malah merasa heran ketika kita bisa karena diri kita sendiri, dan tidak ikut-ikutan menjadi orang lain. Saya tiba-tiba teringat kalau sedang pergi ke pasar seni di Bali atau di Jawa Barat atau di Malioboro. Yang dijual hal yang samaaa semua. Apakah yang seperti ini adalah hasil panutan? Buat saya malah menyebalkan. Kalau saja masing-masing pedagang datang dengan barang dagangannya yang unik, maka acara berbelanja justru akan semakin semarak, dan nilai jual dagangan kita juga semakin tinggi karena tak ada pembanding.

Malam ini saya dibukakan mata untuk tidak punya idola. Untuk memacu diri menjadi seorang mampu menciptakan sesuatu dalam hidup ini karena terinspirasi pengalaman dan pengetahuan hidup saya. Malam ini saya ditunjukkan jadi diri sendiri. Bukan menjadi orang lain atau ingin jadi orang lain.

28 Mei 2010 : Candi Hati

Ketika umat Buddha memperingati Hari Suci Waisak dengan mengunjungi Candi Borobudur dan Mendut, saya malah melakukan sebuah ziarah yang berbeda sesuai agama yang saya anut : Katolik. Saya pergi ke sebuah tempat terpencil, 17 km dari Yogyakarta ke arah selatan di daerah Ganjuran. Saya sendiri malam ini mengerti apa yang dimaksud dengan takdir suratan, destiny, karena saya tidak pernah mengenal tempat ini sebelumnya, dan tidak mengerti mengapa saya dituntun ke tempat ini.

Tepat lewat tengah malam saya memasuki pelataran Gereja Candi Hati Kudus Yesus di Ganjuran. Gereja ini didirikan oleh Schumutzers pada 16 April 1924 sebagai ungkapan syukur atas berkat melimpah yang diperoleh keluarga Schumutzers dan penduduk sekitar. Selain gereja yang sangat jawa tiu, merreka juga membangun 12 sekolah rakyat sebagai simbol 12 rasul Yesus. Sekolah-sekolah tersebut masih berdiri hingga sekarang. Saat ini gereja ini memiliki sekitar 7000 umat tersebar di 27 wilayah, sebagian besar adalah kaum petani. Di atas tanah seluas 2,5 hektar kawasan ini terdiri dari gereja induk bergaya joglo, pastoran, ruang pertemuan, bangunan candi dan pelatarannya, halaman parkir dan makam. Kawasan ini dibuka 24 jam.

Yang menarik dari kawasan Ganjuran ini adalah sebuah candi bergaya Jawa Hindu yang di dalamnya ditahtakan arca Kristus Raja dalam busana kebesaran Raja Jawa dengan tanganNya menunjuk Hati Kudus Yesus yang menyala. Di sebelah kiri candi terletak sederet keran yang mengucurkan Air Candi Ganjuran yang terkenal dengan sebutan Tirta Perwitasari. Mata air ini ditemukan ketika Gereja Ganjuran sedang kesulitan air bersih. Keberadaan sumber air itu diyakiuni sebagai wujud nyata Kebesaran Hati Kudus Yesus. Sejak saat itu berbagai mukjizat terjadi di sana.

Saat saya memasuki area itu, masih banyak orang tekun berdoa di pelataran terbuka ditemani cahaya bulan purnama. Satu per satu menanti giliran menapaki tangga sempit candi menuju ke tahta Kristus Raja dan berdoa khusuk di kaki Sang Raja. Yang membuat saya terpesona adalah ragam yang datang. Orang Cina berdoa membawa hio, islam berjilbab juga melakukan zikir di sana, pelaku kejawen lengkap dengan busana seperti panembahan senopati juga ada di sana, selebihnya umat katolik biasa dengan menggenggam rosario. Saya ikut mengantri di sana ingin tahu dari dekat arca yang begitu disakralkan penduduk setempat. Suasana dingin dan berbulan bulat menambah kesan suci tempat ini. Seorang ibu yang mendapat giliran tepat di depan saya menapaki tangga candi dan dari bawah saya bisa mendengar rintihan tangis duka karena suaminya sedang sakit keras.

Sambil menanti waktu tunggu yang panjang, saya membacakan berbagai doa penyerahan dan penyilihan dosa pada Hati Kudus Yesus. Saya akhirnya tiba di kaki Yesus dan terdiam. Saya kemudian menatap wajahNya dan seketika itu juga terjadilah pembicaraan batin yang tak dapat saya ungkapkan di sini. Saya merasa arca itu begitu hidup dan berkali-kali menunjukkan hati kudusnya pada saya. Saya yakin, begitu banyak orang yang datang ke sini sebelum dan sesudah saya untuk memohon pelepasan atas derita atau masalah atau minta berkah. Saya datang di sini sungguh sungguh "blank", bukan karena saya tidak punya permohonan apa-apa, namun karena saya tidak punya permohonan yang segitu pentingnya sehingga saya harus jauh-jauh datang ke sini untuk minta berkah. Saya merasa datang ke sini karena dipanggil. Selama ini saya tidak tahu sama sekali mengenai tempat ini. Seorang kenalan mengatakan bahwa saya harus ke Ganjuran dan belum 30 hari ia mengatakannya, saya ada di sini, melalui jalan berliku, tetapi akhirnya sampai juga. Jadi pasti ada sesuatu yang diinginkan dari saya di sini. Apa pun itu, sampai saat ini saya belum juga mengerti. Yang jelas saya mendapat berbagai pelajaran dan pemahaman:

1. Jangan fanatik. Saya begitu terkagum menyaksikan begitu beragamnya umat yang datang.
2. Pasrah dan Percaya. Jangan menentang panggilanNya. Ikuti jalannya dengan tulus dan ikhlas. Saya sendiri heran bagaimana saya sampai ke sebuah tempat yang sebulan lalu saya bahkan tak pernah mendengarnya.
3. Hati Kudus. Semua fasilitas yang ada di tempat ini, termasuk air dan candinya terpusat pada satu hal : Hati yang Kudus. Sebuah peneladanan yang mulai sekarang harus saya cerna dan pahami maknanya, serta menjalani teladanNya.

Ganjuran, sebuah misteri Ilahi yang luar biasa dampaknya bagi kehidupan keimanan saya akan Hati Kudus Yesus yang sudah selama bertahun-tahun ini saya doakan. Ketika disebut namanya pertama kali dan mencaritahu ada apa di Ganjuran, saya terkejut. Gereja Hati Kudus Yesus untuk seorang yang selama ini berdoa kepada Hati Kudus Yesus. Kalau selama ini bertemunya lewat doa, maka kini secara spiritual kami dipertemukan melalui sebuah gereja dan candi yang diperuntukkan bagi Hati Kudus Yesus...

Thursday, May 27, 2010

27 Mei 2010 : Tiga Prinsip Sri Muljani

Sambil makan siang saya membaca secara detil sebuah email yang diforwardkan beberapa hari lalu. Isinya transkrip lengkap pidato mantan Menteri Keuangan Sri Muljani di akhir jabatannya dalam sebuah acara di sebuah hotel berbintang di Jakarta. Transkripnya panjang dan luar biasa jujur. Sebuah pidato yang menyihir dari awal hingga akhir dan dibawakan dengan sangat relaks. Di akhir pidatonya, Beliau mengatakan ada tiga prinsip yang melandasi hidupnya, "Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang."

Saya mencoba merenungkan berapa kali saya mencoba mencuri-curi mengkhianati kebenaran. Berapa kali saya juga sudah mengingkari nurani saya demi tercapainya sesuatu. Berapa kali saya membiarkan harga diri dan martabat saya terinjak, berpura-pura bermuka badak, yang penting tujuan saya tercapai. Bukan hanya dalam memuluskan pekerjaan, tapi juga dari hal yang terkecil dalam hidup ini. Saya tidak akan merinci, tapi yang jelas pernah, dan beberapa kali. Kenyataan bahwa saya masih ingat detil bagian yang mana saja yang melanggar ke tiga prinsip tersebut membuktikan bahwa hati nurani saya tidak menyetujui perbuatan tersebut.

Saya mengaku sulit menjaga dan mempertahankan ketiga prinsip Ibu Sri, terutama kalau dibayangkan betapa besar dan kencang tekanan dan godaannya. Saya salut dan kagum, untuk orang seperti Beliau yang bisa saja menutup jejak dengan baik seahli mengatur keuangan negara, Beliau tetap berpijak pada prinsipnya. Pada akhirnya kita semua bisa melihat betapa seorang yang teguh prinsip seperti Ibu Sri dapat keluar dari badai masalah yang begitu rumitnya dengan langkah seorang pemenang dan disegani baik kawan maupun lawan, sedang ratusan orang lainnya, bahkan sesama menteri kini berada di balik jeruji karena tak dapat mempertahankan ketiga pilar penting tersebut.

Hari ini saya belajar betapa pentingnya menjaga nilai dan prinsip hidup. Kini saya harus belajar mempertahankannya. Untuk tidak menghianati kebenaran, tidak mengingkari nurani, dan menjaga martabat dan harga diri. Sehingga nantinya ketika keluar dari kehidupan ini: untuk menang.

Wednesday, May 26, 2010

26 Mei 2010 : Akibat Pasrah

Masih ingat cerita dua hari lalu soal maruk? Hari ini sang narasumber menghubungi sendiri Account Executive saya yang cantik. Isinya bahwa ia bercerita bahwa beberapa hari yang lalu manajemennya melaporkan soal angka-angka dan tiba-tiba hari ini ia mendengar kabar bahwa kami membatalkan rencana kerja sama. Permbatalan ini mengejutkan baik pihak manajemen dan sang narasumber. Mungkin mereka tak mengira kami seserius ini soal kemarukan. Mungkin mereka pikir ini cuma gertak sambal aksi tawar menawar kami. Mereka salah, ini soal prinsip. Sialnya, sang narasumber sendiri tidak mengerti duduk permasalahan yang sesungguhnya seperti apa. Ia minta ditelepon malam ini untuk mendengarkan langsung mengenai misi dan program kampanye yang sebenarnya tidak membawa brand sama sekali dan bertujuan meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat sekaligus menumbuhkan industri lokal. Account Executive saya meminta arahan. Saya bilang telepon saja, jelaskan kronologisnya, namun keputusan telah diambil, mungkin belum berjodoh.

Dugaan saya ternyata benar, segala negosiasi tak masuk akal yang mengatasnamakan si narasumber dilakukan oleh pihak manajemennya tanpa sepengetahuan sang narasumber. Giliran batal, mereka panik. Saat ingin ditangani sendiri oleh sang narasumber, semuanya sudah terlambat. Ini adalah sebuah contoh pembelajaran yang nyata buat saya. Gara-gara mencoba maruk, hilanglah deal besar yang sudah ditangan. Dan ini gara-gara pasrah pada manajemen. Setelah saya pikir-pikir, sang narasumber tidak menjalankan fungsi manajerialnya dengan baik pada manajemennya. Ia lupa prinsip PODCC seorang manajer : Planning Organizing Directing Coordinating dan Controlling. Mungkin, di tahap PODC nya sudah, namun justru pada taraf Controlling lah yang tak dijalankan dengan baik. Buktinya, negosiasi tak masuk akal ini sudah berjalan beberapa hari, namun ia baru mengetahui dampaknya sore ini. Kalau ia setiap harinya melakukan koordinasi dan kontrol apa yang sudah dilakukan manajemennya, tentu ia takkan kehilangan momentum berharga ini. Yang tak ia duga lagi adalah melayangnya kesempatan ini berarti melayang juga kesempatan baginya dengan seluruh anggota salah satu industri strategis di negeri ini karena kemarin saya harus menjelaskan mengapa kerja sama dengannya dibatalkan, dan mereka semua setuju.

Saya hari ini belajar bahwa seberapa besar percaya kepada tim, kontrol tetap perlu dijaga, karena kalau tidak saya tidak punya kendali dan pengetahuan terhadap apa yang sedang terjadi. Mungkin manajemennya bermaksud baik, menjaga posisi dan citra sang narasumber, namun menjaga yang kelewat angkuh dan gegabah, justru membuat runyam reputasi dan pundi-pundi sang narasumber. Kesimpulannya, menaruh kepercayaan (baca: pasrah) itu perlu, namun kendali dan kontrol harus tetap dijaga ...

Tuesday, May 25, 2010

25 Mei 2010 : Pensiun

Biasanya saya langsung membuang email sampah, namun hari ini saya justru asyik membacanya. Email promo dana pensiun ini menarik perhatian saya. Katanya :

- Pernahkah terbayang apa yang akan terjadi dengan Anda di usia 55?
- Pernahkah berpikir seperti apa Anda saat pensiun kelak?
- Di mana posisi perusahaan Anda saat Anda sudah pensiun?
- Pensiun mungkin kata yang tidak asing bagi kita sebagai karyawan. Namun adakah
Anda siap bila masa itu datang?

Faktanya ...
- Data menunjukkan 65% pensiunan di Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
-60% dari para pensiunan hanya mengandalkan Jamsostek sebagai pengaman saat mereka
pensiun.
- Lebih parah lagi hanya 21% yang tahu berapa besar uang pensiun yang harus
dibutuhkan saat mereka pensiun kelak.

Pertanyaannya ...
- Dimanakah Anda saat ini?
- Apakah Anda hanya mengandalkan Jamsostek bagi pengaman Anda saat pensiun?
- Tahukah Anda, berapa besar uang pensiun yang akan Anda dapat?
- Cukupkah untuk membiayai hidup Anda saat pensiun?

- Bagaimana mempersiapkan dana pensiun dan mengelola uang saat Anda sudah tidak
bekerja lagi?
- Investasi apa saja ang tepat untuk mempersiapkan pensiun Anda?
- Bagaimana memulai usaha, mencari ide untuk memulai usaha Anda setelah pensiun?

Namun yang paling mendasar adalah :

- Kapan sebaiknya kita mempersiapkan diri menghadapi pensiun?

Promo ini bertemakan "Pensiun sukses Pensiun terencana" dan jawaban mereka atas pertanyaan terakhir adalah sejak hari pertama kita bekerja atau sejak kita menerima gaji pertama, alias sedini mungkin.

Mungkin Anda seperti saya, terhenyak. Selama ini tak terpikir buat saya untuk memikirkan soal pensiun. Dalam angan, saya akan bekerja seumur hidup. Namun sebuah peristiwa di pinggir sungai Clarke Quay di Singapura membuat saya berpikir sebaliknya.

Saat santai jalan di festival jajan Singapura, saya tertarik akan sebuah iklan tukang ramal, dan iseng meramal nasib masa depan. Sang Bapak mengatakan bahwa hidup saya akan panjang, dan butuh perencanaan matang menghadapi usia panjang itu. Memang sih, ramalannya mengatakan bahwa unless I srew up in life, my life will be just fine. Namun sebaiknya saya mulai berpikir soal masa tua.

Mulai saat itu saya jadi lebih banyak berpikir tentang masa depan. Meski demikian, saya belum pernah duduk secara serius memikirkannya secara detil. Malam ini saya seperti diberi pertanda untuk merancang masa depan dengan lebih baik melalui sebuah email sampah dan daftar pertanyaannya yang bisa menjadi acuan kerangka berpikir masa depan saya.

Setelah sedikir berpikir ekstra, saya mulai punya gambaran. Secara kasar, saya ingin pensiun di usia 55 tahun, atau kalaupun molor ya di usia 60. Meskipun demikian, bukan berarti saya berhenti bekerja. Saya ingin menjadi independent communications consultant, bidang yang telah saya geluti lebih dari 20 tahun. Namun tidak dalam bentuk perusahaan seperti sekarang ini, dimana saya juga duduk sebagai pemegang saham. Bisa saja saya tetap sebagai konsultan senior di perusahaan saya, namun tidak harus terikat kantor 5 hari seminggu, dari jam 9 pagi hingga 5 sore. Base kerja saya adalah rumah. Jadi, saya hanya pergi meeting bila dibutuhkan, dan meetingnya tidak harus di kantor, bisa di mall atau mana saja. Sebagai seorang konsultan independen, saya berangan bisa menentukan sendiri klien apa yang ingin saya tangani, dan berapa banyak klien yang ingin saya kerjakan. Selain itu saya ingin punya sebuah usaha sampingan yang fun dan tidak perlu terlalu "serius" menanganinya. Usaha cafe misalnya. Saya juga ingin mengembangkan hobi menulis menjadi sesuatu yang produktif. Saya juga ingin punya kegiatan yang bisa memberi manfaat bagi bangsa dan negara ini, paling sedikit bagi sesama sekitar saya. Tentu saya tidak bisa melakukan semua ini tanpa dana. Karena itu, saya sedang memikirkan sebuah dana pensiun yang nantinya akan menjadi dana abadi saya. Artinya tidak akan diusik-usik untuk kebutuhan sehari-hari saya, sehingga bila tidak punya klien satu pun saya masih bisa menikmati hidup layak dan nyaman. Jadi, kegiatan tadi merupakan bonus buat saya. Buat beli TV Plasma 3D terbaru, jalan-jalan keliling dunia, beli properti baru, tanpa perlu mengutak atik dan memusingkan biaya hidup harian. Dengan semua angan ini, saya pun jadi terpikir untuk membuat surat waris sehingga harta sedikit yang saya miliki tak jadi sumber pertikaian antar pihak-pihak yang sok merasa berhak padahal sama sekali tak punya hak. Dana saya pun harus cukup menghidupi sakit penyakit dan biaya kematian saya sendiri. Saya cukup sering melihat karena tak punya persiapan sakit dan meninggal, seseorang menjadi sangat terlunta dan sengsara justru di akhir hayatnya.

Hm, tampaknya gambaran di atas sepertinya cukup menjadi garis haluan masa depan saya kelak. Sebuah masa depan yang cukup santai namun dipenuhi kegiatan-kegiatan yang saya minati dan nikmati tanpa harus ada yang membatasi dan mengatur-atur. Tentu, di saat segar bugar seperti sekarang ini, jarang saya memikirkan masa tua. Namun, email tadi memang benar. Seperti Stephen Covey dalam bukunya the 7 habits of highly effective people yang menempatkan "Begin with the end in mind" pada habit yang pertama. Persiapan pensiun memang harus dimulai sejak hari pertama kita bekerja. Makin awal kita mempersiapkan, makin ringan langkah kita. Saya sudah kehilangan 22 tahun kerja tanpa mempersiapkan hari tua dengan cermat. Untung, saya sadar sekarang, sehingga masih punya 10 tahun dari tenggat waktu usia 55 yang saya tetapkan sendiri. Bagaimana dengan Anda? Apa jawaban Anda terhadap junk mail yang berguna ini? Seberapa siapkah Anda? Kalau belum, this can be your wake up call. Our wake up call.

Monday, May 24, 2010

24 Mei 2010 : Maruk!

Malam ini saya dibuat geram sekaligus tidak percaya setelah menerima email Account Executive saya. Bukan kepada anggota tim saya yang penuh dedikasi itu, tapi terhadap isinya. Sebagai konsultan komunikasi, terkadang kami menyarankan kepada klien untuk menggunakan jasa seseorang untuk menjadi narasumber sebuah kampanye. Sudah beberapa kali kami memilih dengan cermat dan hasilnya memuaskan. Hubungan kerja dengan para narasumber itu pun akhirnya menjadi hubungan pertemanan yang berjalan langgeng. Namun kali ini saya dibuat terperanjat oleh seorang calon narasumber. Setelah menyepakati suatu angka tertentu, maka tim saya membuat draft kontrak untuk saya tanda tangani. Tapi kali ini mata saya tertumbuk pada sebuah klausul aneh yang datangnya dari entah sang calon sendiri atau manajernya. Klausul aneh itu menyebutkan bahwa di luar imbalan jasa yang telah disepakati, kami masih harus memberinya biaya transportasi dalam kota sebesar 5 juta rupiah dan untuk luar kota 7,5 juta Rupiah. Saya keberatan. Dan malam ini saya mendapat laporan akhirnya diturunkan sejuta-sejuta. Biaya transportasi itu harus dibayar pada hari H setiap acara.

Saya tidak mempermasalahkan klausul lainnya, yang buat saya cukup wajar. Tapi untuk yang satu ini... waduh, saya benar-benar tak habis pikir. Maunya apa ya? Aji mumpung? Mumpung masih beken? Mana ada orang yang sudah dibayar untuk jasanya minta dibayar juga untuk transpor nya. Lagi pula uang transpor dalam kota 5 juta itu buat naik apa? Helikopter? Taksi termahal pun tak akan sampai 5 juta. Mobil tercanggih terboros pun juga tak sampai segitu. Lalu, kalau ke luar kota, ia toh sudah dibayari transportasi udara dan hotelnya, masih minta pula segitu besarnya? Anda bekerjapun dibayar untuk melakukan pekerjaan tanpa dihitung uang transpor ke dan dari kantor kan? Selama 46 tahun hidup saya bekerja dengan begitu banyak pihak yang jauh lebih senior dan kondang, tak pernah saya mengalami seperti ini maruknya.

Sebagai orang yang menandatangani kontrak itu, saya langsung menyarankan kepada klien saya untuk membatalkan kontraknya. Saya paling benci orang maruk. Orang yang tidak punya integritas untuk pekerjaannya. Yang belum apa apa cuma memikirkan uang-uang-uang dan apa saja yang bisa dijadikan uang. Malam ini saya jadi tertantang untuk membuktikan bahkan kepada klien saya dan konstituen lainnya bahwa tanpa dia program kami akan sama suksesnya. Saya jadi ingat pesan seorang rektor universitas terkemuka di Australia kepada pengusaha yang mau bekerja sama dengannya, namun ini itu dihitung secara detil sehingga sang rektor merasa pihaknya dijadikan mesin uang. Beliau menukas pendek : Remember, God loves the needy, not the greedy! (Ingat! Tuhan cinta orang yang membutuhkan, bukan yang serakah!)

Saya tak habis pikir bagaimana jalan pikiran sang calon, atau sang manajer. Jangan dipikir semua celah bisa dijadikan uang! Saya benar-benar baru kali ini mengalami seperti ini dan menjadi pembelajaran terpenting di hari ini : Jangan jadi orang itungan, apa-apa dihitung. Jadilah orang yang tulus dan ikhlas. Kalau mau menerima sebuah pekerjaan, setelah sepakat imbalan yang pantas, kerjakan dengan hati tulus dan ikhlas. Miliki semangat, passion yang keluar dari hati untuk mengerjakan pekerjaan yang harus kita jalankan. Ketulusan itu membuat kita menjadi makhluk yang "sincere". Sincerity inilah yang dihargai dan dihormati semua pihak.

At the end of the day, jangan pernah merasa paling top. Anda bukanlah orang yang tidak tergantikan. Begitu nama Anda dicoret, banyak orang lain rela menggantikan posisi yang ditinggalkan, dengan hasil yang mungkin lebih baik dari yang Anda pikir bisa lakukan. Saya sudah membuktikannya untuk sebuah kampanye. Tadinya terpikir seorang calon narasumber. Namun karena alur negosiasinya alot dan detil, dan sebenarnya kerumitan itu terjadi karena ia sendiri yang meminta, kerja sama kami batal. Di saat yang sudah rawan waktu itu, kami kemudian bertemu dengan seorang yang lain. Dengan narasumber yang rendah hati, tulus dan kooperatif ini, program komunikasi kami berjalan dengan jauh lebih baik dan membuahkan hasil berlipat ganda bagi klien kami dibanding tahun sebelumnya. Program kami pun mendapat penghargaan internasional atas dukungan total darinya.

Jadi hari ini saya diajari : Jangan Maruk. Jangan itungan. Jangan aji mumpung. Jangan Sok Paling Hebat dan Tak Tergantikan. Tulus. Ikhlas. Rendah Hati. Kooperatif. Be passionate in whatever you do. Tidak hanya di pekerjaan, namun juga di kehidupan sehari-hari. And remember again, God loves the needy, not the greedy ...

Sunday, May 23, 2010

23 Mei 2010 : Mata Hati

Malam ini saya mendapat berita bahwa Andi Mallarangeng terpental dari bursa Ketua Partai Demokrat bahkan di putaran pertama karena hanya memperoleh 16% suara dibanding Anas Urbaningrum dan Marzuki Ali. Kursi Ketua akhirnya jatuh pada Anas setelah di putaran kedua mengalahkan Marzuki.

Buat saya, berita ini cukup mengejutkan sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan hati seberapa efektifnya pesan politik yang disampaikan Andi secara gembar-gembor baik melalui billboard sampai iklan berhalaman-halaman di surat kabar nasiona, seolah-olah ia sedang bertanding untuk menjadi pemimpin nomor satu di negara ini. Ia juga sudah menerbitkan buku. Saya tidak mengikuti secara detil apa yang ditulisnya, namun dari pesan yang disampaikan di surat kabar, kira-kira Andi Mallarangeng membanggakan bahwa ia adalah orang yang paling tahu pokok pikiran Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebagai seorang yang berkecimpung di bidang komunikasi, saya dari awal mempertanyakan keefektifan pesan yang disampaikan Andi. Saya juga mempertanyakan keefektifan media yang dipilihnya. Kalau sekedar menciptakan awareness, ya, pasti semua orang pernah melihatnya. Tapi apakah pesan itu bisa mengantarnya menjadi orang nomor satu di partai biru itu? Kenyataan hari ini membuktikan tidak. Saya merasa Andi lupa untuk fokus dan mengurus satu-satunya konstituen yang terpenting dalam arena ini : khalayak internal partainya. Aburizal Bakrie membuktikan bahwa ia fokus mengelus kader partainya ketimbang memusingkan hujatan dan opini masyarakat luas sehingga ia mulus menjadi orang nomor satu beringin. Saya lalu mempertanyakan apakah pesan yang dibuat Andi itu mengena ke target utama yang memiliki hak pilih. Apakah pesan-pesannya diterjemahkan sebagai orang yang mengerti kebutuhan partai dan dapat membawa partai ke tingkat yang diinginkan atau tidak? Bagaimana pencitraan Andi menurut konsituen pemilih? Apakah citra nya sesuai yang diharapkan pemilih? Apakah program komunikasinya membawanya ke citra yang diharapkan?

Saya bukan orang yang tepat mengulas mengenai strategi komunikasi politik. Selama ini saya hanya mengamati apa yang dilakukan oleh pemimpin negeri ini, apa yang dilakukan para pemimpin Amerika saat pemilihan lalu yang menempatkan Obama si anak Menteng menjadi orang nomor satu negara adidaya itu. Saya juga menikmati tontonan film mengenai bagaimana sebuah kampanye distrategikan dalam film The American President, dan Commander in Chief. Saya cuma mengamati segala sesuatunya dari kaca mata awam yang sehari-hari bekerja di bidang komunikasi.

(Namun) Malam ini saya belajar, bahwa komunikasi strategis yang efektif tidak selalu memerlukan gembar-gembor dan gemerlap media massa yang menjangkau jutaan orang. Komunikasi yang strategis itu first and most of all concentrates on our key target audience and how to reach as well as to influence them to do favor for us. Dan hal ini berlaku bukan cuma di politik atau dunia kerja. It works exactly the same in personal life. Ada hal-hal yang perlu glitter, ada hal-hal yang lebih efektif bila disampaikan secara polos. Ada hal yang lebih efektif bila disampaikan melalui ramainya orang membicarakan hal tersebut, ada hal yang hanya bisa dicapai dengan menembus langsung ke akar hati nurani seseorang.

At the end of the day, ketulusan itu tidak bisa dicapai dengan make up tebal. Ketulusan itu terpancar secara sederhana dari hati. Dan target audience kita bisa merasakannya langsung melalui mata hatinya ...

22 Mei 2010 : Lapar Mata

Hari ini makan siang saya seru habis. Bersama teman-teman saya nongkrong di sebuah depot makan sederhana dan mencicipi seantero jajanan yang ada di sekitar warung tersebut. Saya yang sudah mulai menggemuk lagi tahu diri, cuma pesan seporsi soto daging dan mencoba sebuah combro yang super lezat dan pedas. Satu hal yang saya pelajari, ternyata teman-teman laki saya makannya jauh lebih sedikit dari teman-teman wanita yang cantik-cantik dan kurus-kurus. Mereka bisa makan berporsi-porsi!

Seorang teman baru membuat mata saya terbelalak dan melongo berat. Begitu datang, ia langsung pesan ini itu anu ina una ..... wow! Saya cuma menelan ludah, bagaimana ya makanan sebanyak itu masuk ke dalam perutnya. Benar ia tinggalnya di luar negeri dan cuma mampir ke Jakarta dalam hitungan hari, jadi kemungkinan besar dia kangen makan ini itu. Tapi yang terjadi adalah setelah dicicipi paling banyak dua sendok, ia sudah menyingkirkan seporsi penuh anu untuk ditukar dengan porsi ini. Cicip dua sendok ini, ganti dengan piring itu. Sisanya mubazir dan tak tersentuh hingga acara makan-makan jajan pasar pun berakhir hampir menyentuh setengah juta.

Saya jadi kehilangan selera dan berpikir. Kalau cuma mau icip-icip saja, kenapa tidak minta cicip teman yang pesan hal yang sama? Toh kami ini semua teman dekat. Mungkin ia sungkan, karena baru kenal beberapa orang, termasuk saya, tapi dengan yang lain toh tidak masalah? Saya jadi ingat waktu terakhir ke Surabaya, kami pergi bersama temannya ke sebuah warung masakan Jawa Timur. Saking kangennya masakan Jawa Timur yang otentik maka saya, ibu, Herlin, suami isteri teman Herlin dan teman saya Tausy kalap memesantahu gunting, tahu campur Lamongan, Rujak Cingur, Rujak Gobet, Rujak Buah, Semanggi, Kupang, Bubur Madura, Es Shanghai, dan berbagai macam makanan khas Jawa Timur yang lain. Meskipun semuanya dipaksa ludes, pulangnya perut mau meledak. Malam hari, kejadiannya hampir mirip lagi, untung kali ini ketambahan Gita dan Gatot yang baru kami jemput dari Australia.

Kita ini memang tukang lapar mata. Saya sendiri selama ini juga kerja nya lapar mata, walaupun dalam bentuk yang berbeda. Saya paling tidak tahan dengan perangkat elektronik, CD, DVD, baju dan pernak pernik lucu. Tapi karena pembelajaran beberapa bulan yang lalu, Jumat malam kemarin saya bisa dengan bangga keluar dari sebuah acara Midnight Sale di Grand Indonesia hanya membeli satu macam saja : Bath Foam Lavender Marks & Spencer yang memang persediaannya sudah habis.

Kejadian siang ini membuat saya berpikir, bagaimana cara mengatasi lapar mata ini. Kalau kemarin-kemarin saya bisa membatasi dengan bertanya, "Mau ditaruh mana?" maka sekarang saya berpikir beberapa pertanyaan :

- Untuk makananan : Gendut! Sudah Naik 3 kilo! Kalau ingin, makan sesendok saja dari teman!
- Untuk baju : Masih ada beberapa baju yang belum dipakai! Ini kan mirip baju dan corak yang sudah ada! dan DAUR ULANG!
- Untuk CD dan DVD : Masih banyak yang belum didengar dan ditonton!
- Buku : Yang kemarin-kemarin saja belum dibaca!

Tapi di luar semua pertanyaan itu, tiba-tiba saya terinspirasi. Kalau kejadiannya lapar mata, ya solusinya matanya saja yang dikenyangkan! Alias kalau makanan, nikmati saja gambar di menu, atau gambaran yang ada di angan-angan. Kalau soal baju, pegang dan coba saja dan nikmati bahwa kita paling tidak sudah pernah pakai bajunya. Kalau perlu, potret saja dengan handphone pas di kamar ganti. Soal buku dan majalah, lihat saja di tempat, baca-baca saja di sana, karena sering kali kita ini cuma lapar mata, suka nya cuma satu halaman, seluruh buku harus dibeli. Soal CD dan DVD juga begitu, masuk saja di internet, karena sering kali cuma mau dengerin satu lagu, belinya harus se album....

Hm. Rasanya ide saya yang baru ini bisa lebih mujarab dari sekedar bertanya. Lapar Mata dijawab dengan Kenyang Mata. Mau langsung dicoba besok ah, mumpung harus belanja bulanan dan mau ke Highland Gathering ....

Saturday, May 22, 2010

21 Mei 2010 : Forever After

Serial Film Shrek menutup semua episode makhluk hijau itu di babak ke empat dengan judul Forever After alias selamanya. Dikisahkan Shrek hidup berbahagia dengan isterinya yang cantik dan tiga anak kembarnya yang aktif lucu dan dikelilingi oleh teman-temannya yang meriah. Kehidupan surga ini berulang-ulang dialaminya dari hari ke hari sehingga ia merasa bosan. Ia merasa kehidupannya jadi monoton dan kehilangan "sparkle". Ia merasa kehilangan kehidupan masa lalu nya yang penuh warna, fun dan care-free. Di mana tidak ada yang meneriaki untuk mengurus anak atau pipa bocor. Di mana ia bisa relaks di spa lumpur tanpa ada yang mengganggu. Di mana ia bisa having fun, menakut-nakuti penduduk, sementara sekarang ia hanya jadi bagian atraksi harian sebuah tour ke negeri antah berantah. Kejenuhannya memuncak dan berganti menjadi perangai pemberang alias tukang marah-marah. Sedikit hal saja menjadi sensitif, dan akhirnya meledaklah kemarahannya.

Ia juga bingung menghadapi sikap uring-uringannya. Sebenarnya kalau diteliti tak ada yang salah dengan hidupnya. Semuanya berjalan manis. Namun disitulah letak kejenuhannya. Tidak ada sparkle. Maka ia ingin "cuti" sejenak dari kehidupan nyamannya dan mencuri satu hari untuk having all the fun. Saat ia menyadari bahwa having fun, apa pun bentuknya dan se sebentar apa pun "fun" nya itu, bila dilakukan sendiri, hasilnya membuat runyam. Ia kehilangaan arah hidup, isteri, anak, teman, harta dan bahkan kehidupannya sendiri.

Film yang disajikan dengan tawa sakit perut dan mata menggoda si kucing yang tak terlupakan itu menyimpan pesan dan peringatan yang serius : Jangan (Pernah Coba-Coba) Main-Main atau Hidupmu Hancur Sama Sekali!

Kita ini sering tergoda, ah, sekaliii ini saja, gak ada yang tau kok. Tapi sekali tergoda, jerat setan takkan pernah terlepas lagi hingga kita menyadari bahwa tubuh kita tinggal kulit dan tulang saja. Apa pun jenis godaan itu : mau rokok, narkoba, minuman keras sampai cicip-cicip soal seks. Tahukah Anda kalau kanker serviks yang menjadi salah satu pembunuh utama kaum wanita itu didapat dari sang lelaki? Ya, lelaki lah yang membawa virus HPV penyebab kanker karena petualangan seksnya yang mungkin saja cuma sekali cicip tapi membawa petaka. Jadi, sekarang perempuan berhati-hatilah, jangan dikira dengan satu pasangan cukup aman takkan terkena kanker serviks, kita tak pernah tahu sejarah kehidupan seks pasangan kita. Dan suami, jangan dipikir sekali main dengan teman kantor atau pelacur tak akan ada bekasnya...

Saya sendiri sudah mengalami. Niatnya curhat, jadinya kecantol, dan saat kondisi sudah begitu mengikatnya, hubungan dengan kekasih menjadi bubar. Sudah bubar dengan kekasih, sang teman curhat melayang juga. Dan mantan saya, mungkin jenuh dapat sajian sup setiap hari, sehingga sekali-sekali ingin sayur lodeh.

Saya lalu mengevaluasi. Hidup saya sekarang ini sudah sempurna. Saya bisa melihat melalui Shrek IV bahaya kesempurnaan hidup yang bisa membawa kejenuhan. Saya diingatkan untuk mengantisipasi kejenuhan itu, sekaligus mendapat warning agar jangan pernah terpikirkan apa lagi iseng untuk having fun atau sekedar flirting karena awal yang seharusnya buat senang senangan saja itu akan berakhir dengan kehancuran.

Jadi sekarang, kalau ada hal yang menggoda, atau ada pikiran yang lewat untuk membangunkan gairah baru yang hilang karena monoton, saya ingat Shrek. Lebih baik membangun gairah baru bersama kekayaan yang ada, dari pada main-main di rumput tetangga yang selalu tampak lebih hijau. Padahal kalau diperhatikan kebun tetangga itu hijaunya bukan karena rumput nya ternyata banyak lumut dan tanaman benalu lainnya...

Saya disadarkan sekarang, selagi ada waktu dan kesempatan ... saat saya masih memiliki segalanya, agar saya tak kehilangan semuanya, selamanya ...

Thursday, May 20, 2010

20 Mei 2010 : Seperti Pedagang Batik

Sebetulnya pagi ini saya sudah berniat membuat blog untuk hari ini karena terinspirasi dengan kejadian semalam dan pagi ini, yang membuat saya menyimpulkan bahwa saya harus belajar untuk tidak terbiasa "meledak duluan" sebelum tahu hasil akhirnya. Namun niat tersebut keburu urung karena saya terinterupsi dengan berbagai pekerjaan yang tak kunjung padam. Dari sibuk kanan kiri, lalu sudah waktunya pergi meeting ke klien, saya akhirnya terdampar di daerah Tanah Abang, mengubek pasar dan toko mencari batik yang tepat untuk sebuah acara kementerian. Bukannya saya kerajinan untuk mencari batik sendiri, namun waktunya sudah terlalu mepet gara-gara cara orang menjual batik.

Sesungguhnya panitia sudah memilih batik yang akan digunakan sebagai seragam. Pilihan itu datangnya dari tim saya sendiri, sehingga semua berasumsi bahwa batik yang ditawarkan mencukupi kuota yang dibutuhkan : 200 batik lengan panjang. Nyatanya setelah terbuang seminggu, keluarlah berita bahwa untuk memenuhi permintaan 200 lembar batik @ 2, 5 meter dibutuhkan waktu 2 bulan! Tim saya pun mulai cari-cari lagi. Dapat lagi. Tapi butuh waktu lama lagi untuk memesannya. Jadi, kami malah buang-buang waktu padahal acara sudah kurang seminggu lagi, itu pun dikurangi hari libur nasional! Jadilah saya mengubek Tanah Abang, supaya keputusannya bisa langsung di tempat dan tidak makan waktu. Nyatanya janji-janji palsu supplier berlaku juga untuk pedagang setempat. Sudah janji surga stock nya ada, ketika diminta betulan dia bilang tak ada dan butuh waktu berhari-hari untuk memesannya. Yang menyebalkan adalah, sambil bilang stock nya tak ada, mereka mencari jalan menjual barang yang ada di depan mata yang jelas-jelas tidak terpilih.

Saya lalu berpikir, kenapa sih kita ini sering seperti itu? Kerjanya seperti main-main, dan coba-coba melulu. Kata siapa tahu, jadi kata kunci peluang. Siapa tahu bisa mengalihkan minat ke apa yang kita mau atau miliki. Pikiran saya malah makin melantur. Dalam sebuah hubungan, kita ini sering berlagak seperti pedagang batik. Di depan, janjinya muluk-muluk dan terlihat indah, namun bila sang pembeli sudah benar-benar kesengsem, kita mencoba memelintir dan mencari jalan agar pembeli ini "menurut" kehendak kita, bukan kehendaknya sendiri. Saat memikat orang, kita ini banyak janji dan bercerita yang baik-baik serta berlaku yang manis-manis. Saat yang diincar sudah terjerat, kita mencoba menyetir dia sesuai dengan keinginan kita, tanpa lagi mempedulikan kebutuhan dan keinginan dia.

Saya sering kali mengalami sekaligus melakukan hal seperti ini. Mantan saya mencoba mengubah saya, dan saya pun demikian. Saya terlalu menganggap enteng dan berpikir, ah... setelah jadi pasangan, gampang laaah, nanti dia dipoles ini itu, juga diajari ini itu, sehingga ia bisa diubah jadi ini dan itu. Kenyataannya, pasangan kita bukan tanah liat yang bisa diubah sesuai kemauan kita. Seliat-liatnya tanah liat pun akan patah kalau terlalu dipaksa. Keinginan dan anggapan bisa mengubah seseorang seperti yang keinginan kita bisa jadi sumber mala petaka dalam sebuah hubungan. Saya sendiri pernah mengeluh kok sudah sekian lama berpacaran, mantan saya tidak bisa berubah. Padahal saya sudah tahu dari awal kalau ada beberapa hal darinya yang saya tidak sreg, cuma karena saya menganggap kekurangannya hanya kurang dari 40% dari keseluruhan pribadi yang saya sukai, ya sayang mentolerirnya sementara, sampai nanti, dalam bayangan - saya akan mengubahnya menjadi 100% orang yang saya sukai. Kenyataannya berbicara sebaliknya. Yang kurang dari 40% itu lama lama menjadi borok yang mengikis 60% keindahan yang ada.

Saya tahu, teori juga mengatakan bahwa kita tidak bisa memilah-milah karakter orang yang kita cintai. Cuma mau ambil (sifat) bagian yang kita sukai, yang lainnya disingkirkan. Pepatah bilang, cintai seseorang seutuhnya. Memang benar begitu. Tapi antara teori dan kenyataan, wah susah dipraktekkan mana yang benar. Selama ini, saya termasuk orang yang gatal rasanya ingin mengatur dan menyetir seseorang yang karakternya kurang berkenan menjadi berkenan. Bilangnya sih menerima pasangan apa adanya, namun secara alam bawah sadar, masiiiiih saja ingin mengutik utik, coba-coba untuk mengubah.

Sama seperti di tukang batik, perubahan itu haruslah datang dari si pembeli sendiri. Mau dirayu seperti apa, kalau tak berminat, si pembeli tak akan mengorder, dan si penjual tidak bisa memaksa. Begitu juga denga sebuah hubungan. Perubahan itu haruslah datangnya dari diri pasangan. Mau diarahkan seperti apa pun, kalau pasangannya tidak mau berubah, ya tidak bisa dipaksakan. Tinggal kitanya saja, mau tidak menyadari bahwa kita telah memilih seorang yang punya 60% karakter yang kita sukai dan 40% yang tidak kita sukai, dan 60 + 40 itu sama dengan 100% orang yang kita pilih jadi pasangan kita.

Hari ini saya diingatkan kembali soal hal ini. Soal menerima yang 60% dan menerima yang 40% sebagai kesatuan paket orang yang saya klaim saya cintai ...

Wednesday, May 19, 2010

19 Mei 2010 : Terima Kasih

Saya mendapat kiriman teks yang menarik melalui bbm. Begini bunyinya :

Thanks to those who HATE me
you are only making me a stronger person!

Thanks to those who LIE to me
you only make me see the truth
and the truth about what kind of person you are!

Thanks to those who talk SHIT about me
you only make me popular and show others
you have no life of your own!

Thanks to those who CARE about me
you only make me feel special!

Thanks to those who WORRY about me
you only make me realise someone cares!

Thanks to those who ENVY me
you only make my self esteem grow!

Thanks to those who LEFT me
you only make me stronger and
think twice about making the same mistake again!

Thanks to those who STAY
you make me realize who my true friends really are!

Thanks to those who LISTEN
you only make me express my true feelings!

Thanks to those who LIVE me
you only make me love more

God Bless You.


Komentar awal saya, wah bagus. Tapi kemudian saya merenungkannya lebih dalam dan belajar dari kata-kata indah ini:

Apa pun yang dilakukan orang kepada kita, selalu ada pelajaran yang dapat dipetik yang membuat kita menjadi orang yang lebih bijak dan baik, dan untuk itu, kita harus berterima kasih. Mau dijahati seperti apa atau dikasihi, selalu saja ada hal positif yang bisa kita pelajari.

Kata-kata di atas ditutup dengan mohon berkat bagi orang yang sudah menyakiti maupun mereka yang sudah mendukung dan menyayangi kita.

Saya masih harus belajar keduanya. Saya masih harus belajar dan mengingatkan diri ketika saya disakiti dan dizolimi orang, bahwa saya juga dapat memetik pelajaran dari perlakuan yang saya terima, meskipun rasanya untuk saat ini sakit luar biasa, dan karena saya memperoleh harta pelajaran hidup yang tak ada duanya, saya harus bersyukur bertemu, dan memperoleh perlakuan seperti itu, karena kalau tidak, saya tidak bisa memetik manfaat dari kelakuannya.

Saya juga masih harus belajar mendoakan dan meminta berkat bagi siapa pun yang saya hadapi. Kalau yang saya kasihi, oke lah mudah, namun mereka yang sudah menjahati, waduh, otak saya belum mampu mencerna mengapa saya harus berterima kasih, bahkan mendoakan yang terbaik bagi mereka. Tapi, kalau dipikir lagi, belajar itu memang bukan hal yang menyenangkan. Obat, juga bukan hal yang sedap dan enak ditelan. Meskipun tidak enak, toh kita merekomendasikan obat pahit itu kepada kerabat kalau ada yang sakit, karena khasiatnya yang hebat. Meskipun sangat alergi dengan dokter gigi, toh saya berterima kasih pada mereka karena sudah menyembuhkan cenat cenut sakit gigi saya. Jadi, kalau itu saya lakukan, mengapa saya tidak bisa mendoakan dan berterima kasih pada orang yang sudah menyakiti saya? Kalau saya tidak disakiti dan dikhianati mantan saya dulu, saya tak akan mengerti kualitas seperti apa yang saya cari dari seorang kekasih, dan saya juga tak akan menyadari tingkah laku apa yang harus saya buang agar hubungan mendatang menjadi langgeng. Jadi, alih-alih mengutuk, seharusnya saya berterima kasih atas kelakuan buruknya.

Saya jadi teringat baru saja diculasi orang dekat. Selama ini semua sms dan teleponnya sudah masuk daftar black list. Namun karena bbm ini saya jadi berpikir, mungkin seharusnya saya menelponnya kembali karena ia sudah memberikan pelajaran hidup tentang keculasan dan penzoliman.

Berterima kasih dan bersyukur. Belajar dari semua perlakuan yang kita dapat. Mendoakan minta berkat bagi semua orang yang kita jumpai. Itulah ketiga hal besar yang harus saya pelajari dan kuasai dalam hidup ini...

Tuesday, May 18, 2010

18 Mei 2010 : Seperti Native Speaker

Pagi ini saya menjadi moderator untuk peluncuran Oxford Advanced Learner's Dictionary edisi mutakhir, yang ke delapan. Dalam paparannya, pakar linguistik Nany Lukman menjelaskan beda seorang penutur jati atau yang lebih dikenal dengan istilah native speaker dan pemelajar bahasa asing menyerap sebuah kata. Seorang penutur jati mempelajari sebuah kata dalam kondisi lengkap, artinya sebuah kata diperkenalkan padanya dalam bentuk rangkaian kata yang menciptakan sebuah kalimat utuh. Dengan demikian, si penutur jati mengenal kata itu dalam nuansa, situasi, kondisi dan latar belakang budaya yang utuh dimana sebuah kata digunakan dalam sebuah kalimat utuh. Pemelajar bahasa asing sebaliknya terlalu terpaku dalam mempelajari kata per kata sehingga kehilangan ruh saat menggabungkan kata yang satu dengan kata yang lain. Sering kali ketika meneliti ulang kata-kata yang digabungkan itu tidak ada yang salah, namun bila dipadu, bisa jadi kurang tepat. Ibu Nany kemudian memberi contoh kalimat "According to me" yang kalau diteliti satu satu tak ada yang salah, frasa ini janggal dan tidak digunakan oleh seorang penutur jati. Kepekaan terhadap sebuah kondisi tertentu juga menjadi penyebab mengapa seorang pemelajar bahasa asing kurang tajam mengungkapkan kondisi sebuah kejadian. Misalnya, sebuah kejadian yang "very important" bisa dipertegas lagi dengan rujukan, "crucially important" dan sebagainya.

Dari penjelasan yang sangat teknikal ini, sebetulnya intinya adalah seorang yang mendapat paparan yang utuh akan dapat menangkap ruh pelajaran dengan lebih baik dari seorang yang belajarnya sepotong-sepotong.

Pikiran saya lalu menerawang lebih jauh dari sekedar belajar bahasa. Selama hidup saya sering memperhatikan kita ini sering menjalani hidup seperti pemelajar bahasa asing. Menerima informasi sepotong sepotong tapi sok mau merangkainya menjadi sebuah pemahaman yang bermakna bagi hidup ini. Bisa diduga, akibatnya tindakan yang kita ambil dalam hidup ini hasilnya juga tidak maksimal karena tidak ada ruh nya. Saya lalu merasa bahwa cara seperti ini adalah pola belajar yang salah. Seharusnya saya memandang, mempelajari dan menjalankan hidup seperti seorang penutur jati, yang mempelajari hidup ini secara menyeluruh dan tidak setengah-setengah sehingga kita punya pemahaman utuh tentang bagaimana hidup ini harus dijalani.

Sekarang, saya berjanji untuk belajar "hidup" secara utuh. Yang tidak setengah-setengah, yang tidak nanggung. Yang kalau punya tujuan ditekuni dan dilaksanakan dengan sepenuh hati jiwa dan raga sehingga hasilnya maksimal dan punya ruh.

Hari ini saya belajar untuk menjadi penutur jati dalam kehidupan saya ...

Monday, May 17, 2010

17 Mei 2010 : Gara-gara ditolak!

Tim Thomas Cup Indonesia kalah 0-3 dari Cina di babak final. Sebelumnya tim Indonesia masuk final juga tidak. Beberapa teman menyatakan kekesalannya melalui facebook. Saya sih dari awal sudah tak mau berharap apa-apa dari tim nasional kita.

Tanpa sengaja, siang ini saya membaca berita di internet mengenai pelatih Lin Dan, pebulu tangkis nomor satu dari Cina. Sang pelatih adalah orang asal Indonesia kelahiran 13 Maret 1942 yang akrab dipanggil Oom Tong. Namanya Tan Hsien Hu atau Tong Sin Fu. Oom Tong lah yang melatih para pahlawan bulu tangkis kita termasuk mengantar Alan Budikusuma dan Susi Susanty meraih emas Olimpiade. Saya lalu bertanya dalam hati, tega benar Oom Tong meninggalkan Indonesia dan membela musuh bebuyutan kita di bulu tangkis. Ternyata dugaan saya salah besar. Sebetulnya Oom Tong cinta Indonesia. Sayangnya permohonan warga negaranya ditolak oleh Pemerintah Indonesia di tahun 1998. Begitu tahu disia-siakan Indonesia, Oom Tong langsung diminta untuk melatih tim nasional Cina dan menjadikan tim naga ini tertangguh di dunia. Oom Tong tidak hanya dihormati oleh negaranya, tapi juga oleh atlet-atletnya. Lin Dan menganggapnya seperti kakek yang memberikan arahan tidak hanya di bidang olah raga, namun juga filosofi hidup, hal yang paling penting dalam menciptakan bobot atlet yang bermartabat, yang sudah terkikis dari hati atlet kita.

Komentar para pembaca? Wah, semuanya memaki ketololan pemerintah Indonesia. Saya juga tidak mengerti apa alasan pemerintah menolak kewarganegaraan orang yang lahirnya saja di Indonesia, sudah membela bangsa ini melalui tangan dinginnya mencetak atlet yang mengharumkan nama bangsa ini di kancah Olimpiade. Saya tak tahu apakah teman-teman saya berteriak lebih keras lagi kalau mereka tahu akan hal ini. Namun dari kejadian ini saya belajar dan diingatkan sekali lagi agar saya tidak sombong. Seakan puas rasanya kalau sudah bisa menolak, menindas orang, padahal roda kehidupan ini berputar. Orang yang kita sia-siakan bisa jadi menjadi pahlawan dan orang paling terkenal di dunia ini karena keharuman namanya. Tak jarang bunga tak langsung mekar. Kuncup yang kita sia-siakan bisa jadi dipungut orang lain dan mekar dengan indah, keharumannya semerbak keseantero ruangan.

Hari ini saya diingatkan kembali untuk menghormati semua orang tak peduli bagaimana pun penampilan dan gayanya. Kita tak pernah tahu kapan lagi kita berjumpa dengannya dan dalam kapasitas apa. Saya jadi ingat kejadian pengangkatan Menteri Kesehatan di awal Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Seorang yang sudah dibuang, dicopot dari jabatannya, tanpa diduga-duga melesat naik diangkat menjadi Menteri Kesehatan salah satu negara berpenduduk terbesar di dunia. Saya juga ingat kejadian saat saya harus menjadi salah satu juri penentu akhir bagi tender iklan sebuah perusahaan telekomunikasi raksasa. Saat semua peserta rapat menunggu, dan saya bersama direksi keluar dari lift, mata saya bertubrukan dengan salah seorang pimpinan finalis perusahaan iklan : mantan bos yang sudah memaki-maki saya dan menolak berhubungan dengan saya karena saya ini "mantan karyawan"nya.

Yang jelas, tips hari ini adalah : jangan pernah memandang sebelah mata orang lain. Kita tak pernah tahu kapan kita akan bertemu dengan dia lagi, dan dalam kapasitas apa...

Sunday, May 16, 2010

16 Mei 2010 : Kembali Ke Zaman Dulu

Ketika ditanya Oprah apakah menggunakan telepon genggam selagi menyetir, aktor Jerry Seinfeild mengaku sudah berhenti beberapa saat lalu saat temannya meninggal akibat kecelakaan saat menelepon sambil menyetir. Sambil menerawang ia bertanya, "What's wrong with 1985?" Maksudnya, ketika itu kita baik-baik saja, menyetir tanpa gangguan telepon dan semuanya berjalan lancar tanpa ada telepon genggam.

Dunia teknologi memang melesat begitu cepatnya sehingga apa yang tak terpikirkan zaman dulu bisa dilakukan sekarang ini. Video conference lewat telepon genggam, menyelusuri internet dan mengakses data secara mobile, sampai menonton acara televisi kesayanganpun dapat dilakukan dari perangkat segenggaman tangan. Kini saya juga tidak perlu lagi repot pergi ke toko kaset atau cd untuk memperoleh keseluruhan koleksi lagu yang saya inginkan. Dengan memori 48 giga byte di telepon genggam, saya bisa memuat ribuan lagu yang dapat diputar nonstop selama berhari hari. Juga menonton film dapat saya lakukan melalui layar kecil itu.

Kata-kata Jerry tadi membuka pikiran saya dan membenarkannya. Saya membayangkan sekarang ini saya sudah tidak pernah lagi bertamu seperti yang saya lakukan ketika diajak ibu bertamu ke rumah teman-temannya dulu, lalu disuguhi kue dan sirup dingin. Rumah sekarang bahkan sudah tidak punya lagi ruang tamu karena sudah semakin jarangnya kita bertamu. Kalau diingat, menyenangkan mengingat ibu saya bergossip dan ketawa ketiwi di sela-sela kesibukannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Sekarang sudah jarang ada tetangga antar mengantar kue dan makanan. Boro-boro melakukan itu, kenal saja tidak. Toko CD menjadi semakin sepi karena semakin banyak orang mengunduh dari toko maya. Saya sendiri beberapa bulan lalu dicela oleh seorang telemarketer setelah saya ngotot tetap minta billing statement kartu kredit saya dikirim melalui pos. Sang telemarketer sampai berkali-kali menegaskan apakah saya tidak mendukung gerakan lingkungan melalui program paperless yang digaungkan si bank. Saya menjawab, "Mbak, mbak kan tidak mau saya telat bayar kan? Kalau dikirim lewat email itu saya gampang lupa, karena setelah di klik di blackberry, tagihan itu akan tertimbun email yang lainnya dan segera terlupakan. Nanti kalau terlambat, saya juga yang disalahkan dan di blacklist!" Saya ingat betul waktu itu sempat dihubungi oleh seorang wealth management untuk mengelola keuangan saya melalui jual beli saham. Saya kok tidak sreg, dan untuknya tidak sreg karena jeda beberapa hari, pasar modal dunia runtuh berkeping-keping, bahkan sampai sekarang pun masih berjuang untuk pulih.

Saat Jerry berkata seperti itu, saya jadi membayangkan, ketika semua semakin jarang membaca koran karena langsung di update secara online di blackberry, saya kehilangan nikmatnya kebiasaan membuka koran first thing in the morning. Ketika marak online delivery, saya kok jadi kehilangan nikmatnya membuka buku menu dan menunggu pesanan makanan di restaurant yang rame sambil mengobrol bersama teman. Ketika dunia pertelevisian sudah begitu maju dan canggih, bahkan dengan perangkat televisi 3D terbaru, siaran 2D pun bisa langsung diubah menjadi 3D, saya masih saja kehilangan nikmatnya menonton di layar lebar bioskop.

Saya sama sekali tidak menolak perkembangan teknologi. Saya bahkan sedang mengincar sebuah televisi 3D berlayar paling lebar untuk menggantikan televisi plasma yang sudah lumayan lebar di kamar tidur saya. Namun, hidup tanpa teknologi pun tidak membuat kita mati. Bahkan sekali-sekali tak bersentuhan dengan teknologi, nikmatnya bukan main. Saya membayangkan pasti saya akan merasa lebih manusiawi dan tidak sekedar menjadin robot waktu.

Maka saya berencana, suatu weekend, saya mau bangun, baca koran dan mematikan tv, lalu naik sepeda onthel mengelilingi Karawaci, tanpa bawa jam tangan dan telepon genggam, setelah itu seharian jalan-jalan dengan meninggalkan blackberry di rumah dan hanya menggunakan telepon genggam kalau benar-benar ada emergency saja. Kemudian nonton bioskop, makan di rumah makan yang sudah eksis dari dulu dan mengunjungi teman sambil chit chat di rumahnya. Siapa tahu muncul sirop dan kue, hmmm nikmatnya kembali ke masa lalu ...

15 Mei 2010 : Adil

Sabtu-Sabtu saya menyaksikan sebuah keluarga ribut. Karena masalahnya menyangkut uang, saya jadi tak berani bercerita detil mengenai kejadiannya. Namun begini, kalau Anda punya anak lima, dan idealnya masing masing anak punya harta 1, namun kejadiannya adalah satu anak -1, tiga anak +1 dan seorang lagi +2, apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan memberikan +1 dengan cuma-cuma pada si minus? Bagaimana kalau Anda sendiri hidupnya pas-pasan? Apakah Anda akan meminta si +2 membagikaan +1 kepada si minus agar semuanya rata masing-masing punya 1? Bagaimana kalau yang minus empat dan Anda sendiri juga minus? Akankah +1 yang dimiliki seorang anak akan dituntut untuk dibagikan ke semuanya agar jadinya +1 dibagi 6, termasuk untuk Anda dengan dalih kasihan saudara-saudara kamu dan kamu juga harus berbakti pada orang tua? Bagaimana kalau yang minus memang malas bekerja sedangkan yang plus dua kerjanya mati-matian?

Ternyata hari ini saya baru menemukan jawaban yang selama ini saya cari-cari tidak ketemu. Konsep adil orang tua kebanyakan ternyata tidak sama dengan konsep adil saya dan si anak +2. Kalau si orang tua kaya raya, tidak jadi masalah dan problema ini tidak akan mencuat karena sang orang tua dapat dengan mudahnya secara diam-diam menutup kekurangan anak yang lain, tanpa peduli alasannya apa. Masalahnya baru muncul kalau orang tuanya juga tidak punya sehingga semua kepala berpaling pada si +.
Ketika si + berontak karena merasa juga berhak menikmati keringat darah yang sudah dikeluarkan, maka ia justru dianggap angkuh, pengkhianat, pelit dan sombong. Lama-lama saya berpikir prinsip adil orang tua yang seperti ini kok seperti ideologi komunis ya?

Saya melihatnya dari sisi yang lain. Kalau seseorang bekerja sudah setengah mati dan penuh keniatan, ia berhak menikmatinya. Sebagai seorang keluarga memang ia harus membantu bila ada yang emergency dalam keluarganya sehingga keluarganya tidak jadi mati karena ketiban masalah, namun bukan kewajiban dia untuk membuat semua anggota keluarga menikmati kemakmuran yang sama. Sering kali kekurangan yang dialami si minus berpangkal dari dirinya sendiri. Yang malas, yang kurang atau tidak berusaha, yang tidak bersungguh-sungguh, yang mau enak tanpa keluar darah dan peluh, yang memilih jalan pintas yang keliru, yang merasa bahwa kalau aku jatuh toh banyak bantal yang bakal menadah. Masalahnya yang begini ini justru yang teriaknya paling kencang dan tengil. Mereka sering kali memanfaatkan kekurangannya untuk menarik perhatian agar disumbang. Yang paling menjengkelkan kalau aksi kucingnya sengaja dipertontonkan di depan orang tua sehingga sang orang tua menjadi tak tega dan kemudian mengaum pada anak yang lebih mapan. Buat saya ini justru tidak adil dan tidak mendidik.

Saya sering teriak soal tidak mendidik ini. Saya banyak mengalami hal tidak mendidik yang ditunjukkan orang tua, baik pada anaknya sendiri, keluarga sampai cucunya. Melihat salah seorang anaknya punya kedekatan dengan seorang menteri, ada orang tua yang minta agar si anak ini mendapatkan rekomendasi bagi anggota keluarga yang lain agar bisa dapat jalan pintas di pekerjaannya. Sang anak marah besar dan merasa bahwa kedekatan dengan menteri bukan untuk digunakan untuk hal-hal KKN. Ia dengan tulus membantu sang menteri untuk kesejahteraan rakyat. Ia juga menasihati orang tuanya agar si anggota keluarga yang mau ditolong itu berusaha dengan halal, karena itu merupakan pelajaran hidup yang paling berharga baginya, sehingga ia bisa memahami dan menghargai arti perjuangan hidup.

Saya jadi ingat. Hidup saya sendiri penuh perjuangan. Ketika suatu saat ayah dan ibu memutuskan membelikan mobil kepada salah seorang anaknya, saya bertanya, "Kok saya tidak dibelikan?" Jawab mereka, kamu bisa beli sendiri. Kemarin ketika kakak saya datang dan kebetulan ada kerabat yang ulang tahun, malah ia minta saya menraktir. Saya bilang lha yang ulang tahun siapa? Soal saya yang menraktir is one thing, soal ulang tahun is another thing. Lagian makan-makannya juga bukan di tempat yang mewah, dan sekali ini menraktir kami-kami yang saudara dekat juga tidak akan melarat. Ini adalah konsep yang keliru dari kakak dan orang tua saya. Konsep kasihan dan adil yang keliru dan sama sekali tidak mendidik.

Saya cuma mau bicara keadilan dari segi siapa yang berusaha ya pantas menikmatinya terlebih dahulu. Saya jadi ingat prinsip perusahaan. Ketika sebuah usaha menjadi sukses dan berbuah lebat, mereka kemudian membuat program Corporate Social Responsibility. Pada prinsipnya program ini adalah program Gives Back oleh sebuah perusahaan. Bukan untuk cari uang, tapi memberikan kembali kemakmurannya kepada masyarakat yang telah memberikan kemakmuran baginya. Prinsip inilah yang seharusnya diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Bahwa semuanya harus berusaha dengan segenap jiwa raganya dengan halal dan ketika mencapai kemakmuran, ia tidak lupa untuk berbagi kemakmurannya dengan orang-orang dan masyarakat yang telah memberi kemakmuran baginya. Bukan konsep komunis, yang belum apa-apa sudah minta dibagi rata. Kita lihat saja bahwa konsep ini tidak berjalan. Bertahun-tahun Cina menjadi melarat karena konsep ini, karena konsep bagi rata ini akhirnya membuat yang berusaha ya jadi ikutan melarat, sedangkan yang malas bisa dengan ongkang ongkang kaki makan ubi rebus dan pakai baju seragam yang sama dengan yang berusaha. Kita tidak ingin mengajarkan prinsip dan model kehidupan yang seperti ini kan kepada keluarga dan anak cucu kita?

Maka saya tiba-tiba mungkin jadi mengerti mengapa seorang teman saya yang menjadi tenaga kerah biru sedang si Bapak yang ningrat dan Ibu ketua perkumpulan paling bergengsi di dunia serta kakaknya menjadi vice president di perusahaan terbesar di negeri ini tidak mendapat bantuan seperti layaknya apa yang dilakukan orang tua atau keluarga lain di negara ini. Tadinya saya tidak mengerti, kok tega ya Bapak Ibu dan Kakaknya yang punya status hebat itu tidak membantu adiknya. Namun saya sekarang mengerti dan menghormati apa yang mereka lakukan. Mendidik anaknya untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Sebagai orang yang sudah berani mengambil keputusan menikah, adalah tanggung jawabnya untuk memenuhi nafkah keluarganya sendiri. Adalah justru aib bila kita yang sudah berani sesumbar mau menikah tidak bisa menopang kehidupan isteri dan anak kita, justru karena kita kurang berusaha. Kelakuan seperti ini sungguh tidak bertanggung jawab.

Maka, pelajaran mengenai tanggung jawab adalah salah satu warisan keadilan yang terbesar yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Warisan lainnya adalah soal kasih, bersyukur dan takut akan Tuhan.

Anda punya prinsip keadilan keluarga yang seperti komunis? Cepat berubah, karena Cina juga sudah lama meninggal prinsip ini dan lihatlah hasilnya, pertumbuhan ekonomi Cina sekarang adalah yang paling pesat dan terbesar di dunia, meninggalkan Anerika, Jepang dan Eropa....

Saturday, May 15, 2010

14 Mei 2010 : Rukun

Ini merupakan kelanjutan kemarin. Hari ini saya memenuhi janji bertemu dengan ibu setelah pertemuan sebelumnya dikacaukan oleh seorang anggota keluarga dekat yang motifnya tidak jelas. Yang membuat frustrasi adalah, dalam janji makan malam hari ini, si pengacau itu masuk dalam rombongan yang harus saya jamu. Saya mengungkapkan rasa kekesalan dan frustrasi kepada kakak tertua dan dia juga jadi kebingungan. Satu sisi dia mengerti perasaan saya, satu sisi dia kasihan pada ibu kalau pertemuan malam ini tidak jadi, karena kami memang sudah lama tak bertemu.

Saya sama sekali tidak ada masalah dengan ibu dan kakak-kakak saya, namun saya tidak mengerti mengapa ada saja orang usil yang mau mengusik kehidupan orang lain dan dengan kurang ajarnya mencoba ikut campur. Saya protes pada kakak saya melalui bbm :

- Kalau dia bisa bilang aku jangan datang sama ini itu, kenapa sekarang aku tidak boleh melakukan hal yang sama? Aku benar benar kecewa dan marah dengan keadaan. Not fair. Memangnya hidup dia itu bener?

Kakak saya yang sudah pusing dan mati akan menjawab :

+ yang menentukan benar dan tidaknya adalah Yang Di Atas. Masing-masing menanggung akibatnya sendiri. Aku nggak mau pusing, wasting time kann! Untuk aku, mum adalah my mother, kalian adik-adikku yang semua kucintai.

Jawab saya :

- That's right! That exactly it! So bilangin mereka jangan judge people!

Akhirnya saya capek juga. Saya bilang, "ya udah, aku cuma pengen curhat aja. Selama ini aku diam saja."

Kakak saya mencoba menenangkan dan menghibur. Saya jawab :

- Wah,kamu nih. Ini karena kejadiannya sama aku aja kamu gini, coba kamu yang mengalami, pengen tau deh.

Dia menjawab :

+ Adanya kejadian dengan ... (nama keluarga suaminya), aku nggak mau keluarga kita berantakan karena orang lain. Pelajaran bagi aku.

Saya seperti tersambar petir. Benar juga. Masalah ini timbul justru bukan dari saya, ibu dan kakak-kakak saya, tapi dari orang lain yang dengan kurang ajarnya kepoh! Saya lalu mengakui :

- Hm good point! Jadi diapain dong para ... (ups maaf sensor) ini! Hahaha

Kakak saya menggambarkan icon tertawa lebar.

Mempertahankan kerukunan antar saudara dalam sebuah keluarga tidak mudah. Namun setelah kami semua berkeluarga, mempertahankan kerukunan itu menjadi semakin tidak mudah lagi karena masuknya orang lain dalam kehidupan keluarga kita yang harus dianggap keluarga. Beruntung kalau orang lain ini memiliki visi yang sama dalam keluarga. Kalau tidak, dan apa lagi kalau anggota baru ini punya visi, misi dan nilai yang lain, waduh runyam jadinya, karena kemudian bisa jadi si penyusup ini bikin intrik-intrik yang menjadi percikan api yang bisa jadi bara besar dalam keluarga. Penyusup ini bisa jadi muncul dari luar keluarga inti, alias sepupu atau tante atau om atau siapa pun di luar lingkup keluarga ini bisa jadi pemicu.

Kalimat kakak saya yang menekankan keterlibatan dan campur tangan orang lain, kemudian saya renungi dan benarkan, bahwa ternyata intrik yang terjadi di keluarga datangnya justru lebih banyak dari orang lain. Relakah keutuhan kami dirusak orang lain? Tentu tidak.

Hari ini, saya jadi belajar. Untuk menjaga keutuhan keluarga ada beberapa hal yang harus saya lakukan, seperti malam ini ketika acara makan malam kami berjalan lancar dan baik-baik saja:

1. Kalau ada apa-apa, percayalah pada anggota inti keluarga. Jangan menelan apa yang dilakukan atau dikatakan orang lain tentang anggota keluarga kita. Tanyakan langsung pada anggota keluarga yang bersangkutan.
2. Untuk orang lain yang kepoh, mungkin tips terbaik adalah mengikuti pepatah kuno. Anjing Menggonggong, Kafilah berlalu. Biarkan saja, cuekin saja. Yang penting keutuhan dan kerukunan keluarga inti terjaga dan setiap anggota sadar akan kualitas si kepoh. Artinya semua tahu bahwa apa yang dilakukan dan digossipkan si kepoh sama sekali tak perlu digubris karena percaya dan yakin akan kebenaran anggota keluarga inti kita. Memang jadi capek juga karena harus selalu waspada akan susupan ular beludak di keluarga. Tapi mau diapakan lagi, bukannya kemarin saya sudah sadar bahwa di dalam keluarga, pasti ada (minimal) satu orang yang seperti itu. Seorang kerabat mengingatkan dengan bijak, biarlah karmanya ditanggung dia sendiri nantinya.

Any way, pelajaran paling berharga hari ini datangnya dari Herlin : Jangan biarkan keluarga kita (inti) tercerai karena orang lain! I love you my big sis, I owe you big for giving me this precious lesson! I love you too mom, Gita, Rachmat and Loan! You are the best family anybody can ask for! Don't let anybody interfere that.

Thursday, May 13, 2010

13 Mei 2010 : Paling Tidak Ada Satu

Sebuah pepatah mengatakan : There is always one in the family. Dari pengalaman hidup, saya ingin mengoreksinya : There is always AT LEAST one in the family. Ya, paling tidak ada satu anggota keluarga yang brengsek dan menyebalkan dalam setiap keluarga. Sama seperti film seri Dynasty yang terkenal di tahun delapan puluhan, ada Krystle yang berhati mulia dan ada Alexis yang selalu sirik dan berhati iblis. Sebenarnya bukan cuma di rumah tangga. Di setiap kantor dan perusahaan hukum ini juga berlaku. Ada saja yang tak senang melihat orang lain lebih berhasil dan bahagia ketimbang dirinya, padahal kalau mau jujur usaha yang dilakukan oleh orang yang disiriki memang berlipat kali lebih besar risiko dan pengorbanannya juga jauh lebih berlipat ketimbang cuma pengorbanan waktu dan tenaga. Ada saja yang kerjanya cuma bisa sirik sirik sirik dan maunya cuma menghancurkan, menghancurkan, menghancurkan. Atau yang terpikir hanyalah dirinya sendiri saja dan menjadi parasit bagi orang lain, kalau perlu berlagak sok lemah agar bisa selalu dikasihani dan ditolong.

Di keluarga saya juga. Saya saat ini sedang dizolimi oleh seorang anggota keluarga yang tampaknya sirik kalau saya bahagia. Sulit bagi saya untuk menceritakan apa yang sudah dilakukannya pada saya karena ia keluarga dekat dan terkait dengan keluarga inti, namun saya benar-benar kecewa dan sudah tiba pada kata-kata : That's it! No more this person in my life! Kalau pun Anda melihatnya hadir dalam acara keluarga saya, atau at least yang saya adakan atau yang saya tuan rumahi, itu hanya untuk menghormati ibu dan kakak-kakak saya saja. Tidak lebih dari itu.

Dalam skala yang berbeda, selalu saja ada orang yang jadi pain in the ass di dalam keluarga atau di pekerjaan. Itu hal lumrah. Dengan orang tadi, saya selama ini masih menghibur diri dengan mengatakan, "Ah, it's just her." Sudah biasa kepoh. Sudah biasa make up stories. Sudah biasa jadi drama queen seperti yang di sinetron-sinetron. Tapi hari ini, kekesalan saya sudah di puncaknya ketika ia mencoba mengusik kehidupan pribadi yang sama sekali tak ada urusannya dengan dia. Ia mencoba mencampuri dan sok mengatur-atur! And I have enough.

Malam ini saya begitu speechless sehingga tak bisa menulis banyak. Saya hanya belajar ternyata di setiap keluarga pasti ada minimal satu orang yang menyebalkan dan dari hasil diskusi dengan kakak-kakak saya, saya mengambil kesimpulan bahwa untuk orang seperti ini pantasnya hanya sekedar diakui saja keberadaannya dan mengatur jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi dan interaksi dengan mereka hanya sebatas protokoler kerumahtanggaan saja, tidak lebih. Hidup kita sebaiknya lebih terfokus pada hal-hal positif sehingga membawa kebaikan daripada terpaku pada ular-ular biduk yang hanya menggerogoti emosi dan ketenangan jiwa kita saja. Fuhhh!!!

Wednesday, May 12, 2010

12 Mei 2010 : Cakar-Cakaran

Sambil mengayuh sepeda statis menguras 300 kalori, pagi ini saya dibuat tertegun dengan pemberitaan kasus cakar-cakaran aktor Gary Iskak dan mantan kekasihnya yang berbuah saling melapor ke polisi. Saya takjub di antara saling berbalas makian, kok ya masih sempat-sempatnya memvideokan gaya Gary yang mengancam akan menyebarkan kelakuan sang mantan kepada wartawan, lengkap dengan kaos kutang yang sobek-sobek dan bekas cakaran kuku perempuan. Wow!

Ketika menguyah roti gandum, otak saya masih saja berkutat dengan tayangan itu. Apa sih yang ada di otak mereka? Sudah putus tapi masih berantem, cakar-cakaran lagi. Mengingat badan besar Gary yang macho ikutan cakar-cakaran dan dorong-dorongan? Nggak banget deh! Sang pembawa acara langsung menirukan gaya trio macan yang mencakar udara kosong. Aumm!

Tayangan tadi secara nyata menggambarkan banyak pasangan kalau sudah tidak cocok satu sama lain dan hubungan menjadi masam, larinya ke perang mulut, lalu ke fisik. Saya juga heran, begitu banyak orang yang merasa tak tahan dengan hubungannya masih juga tidak mau melepas pasangannya, bahkan cenderung menyiksa lahir batin. Seolah belum puwaz (bentuk puas yang benar-benar mantap!) kalau pasangannya belum hancur sebagai balasan atas kelakuan sang pasangan menghancurkan hidupnya.

Belum lagi tuntas heran soal Gary, saya mendapat email siraman rohani dari teman yang setia mengirimi saya kata-kata bijak setiap harinya. Judulnya saja sudah pas : Jangan Marah

Mazmur 37:1-20

1 Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan
iri hati kepada orang yang berbuat curang;
2 sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-
tumbuhan hijau.
3 Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di
negeri dan berlakulah setia,
4 dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu
apa yang diinginkan hatimu.
5 Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia
akan bertindak;
6 Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti
siang.
7 Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia; jangan marah
karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang
melakukan tipu daya.
8 Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah,
itu hanya membawa kepada kejahatan.
9 Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi
orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri.

Saya merenung. Sepertinya sulit buat manusia untuk melenggang pergi begitu saja dan menerima rentetan kejadian masam yang menimpa dirinya sebagai sebuah kejadian yang terjadi karena ulah dua belah pihak. Pasti ada yang dikorbankan untuk menjadi pecundangnya, yang salah, sementara kita sendiri tak mau mengakui kesalahan dan kekurangan kita. Coba kalau lihat dari segala sisi dan mau menyadari bahwa aksi cakar-cakaran tadi takkan bisa terjadi kalau tidak melibatkan dua orang. Pasti yang dicakar cuma angin. Saya rasa orang yang waras tidak akan sampai kejadian cakar-cakaran, karena orang benar, menurut alkitab, sadar bahwa kemarahan akan hanya membawa kejahatan. Maksudnya dari kepala mengepul, sampai jadinya baju compang-camping, badan tergores cakar, dan akhirnya masuk kantor polisi.

Jadi, saya harus lebih giat lagi berlatih. Jangan marah. Jangan marah. Jangan marah...

Tuesday, May 11, 2010

11 Mei 2010 : Bersih Rapi

Partner kerja saya memasuki ruangan kerja saya untuk mengobrol sebelum pulang dan di tengah-tengah obrolan, Beliau tiba-tiba nyeletuk sambil memperhatikan sekeliling ruangan yang bersih, rapi dan tak nampak pekerjaan menumpuk, padahal saya menangani lebih dari 10 klien. "I am wondering how can keep your desk and room so neat and clean and still manage to have all things done?" Saya jadi ikut-ikutan melihat sekeliling ruangan. Dalam hati, saya jadi ikutan kagum, iya ya, kok bisa ya, punya lebih dari 10 klien yang programnya gila-gilaan, dan tak jarang menumpuk, tapi ruangan saya serasa sebuah living room rumah yang nyaman, lengkap dengan tanaman, poster, foto, berbagai macam perintilan asesoris lucu dan unik, serta penerangan berwarna kuning, dan seperangkat home theater.Selalu ada alunan instrumental pengantar kerja.

Sambil berpikir akhirnya saya nyeletuk, "hm, that's a good question, kemana ya larinya pekerjaan saya?" Saya lalu menunjuk, "all the files go there." Jari saya menunjuk ke atas, tempat tim saya bekerja. Kami lalu tertawa. Tapi dalam hati saya menelaah, kalau saya tidak bisa mendelegasikan pekerjaan dengan baik, tak mungkin saya bisa memainkan waktu agar semua pekerjaan tertangani. Meski sekarang saya tidak bisa sedetil dulu, saya masih ikut dari tahap brainstorming, sampai persiapan presentasi dan acara. Saya jarang sekali merepotkan sekretaris kecuali untuk urusan pengaturan jadwal, dan pengaturan perjalanan. Intinya, I'm in control of my life. And I think that's the key. Karena saya memosisikan diri sebagai pemegang kendali, maka semua hal yang berputar di sekeliling saya, saya kendalikan sesuai dengan keinginan. Penentuan jadwal meeting, misalnya, saya akan mengutak-atiknya sesuai dengan kerelaan saya. Kalau saya tak rela meeting yang dimulai malam hari, ya tidak saya ikuti. Meskipun menyangkut berbagai stakeholder penting, saya tetap menempatkan diri sebagai pemegang kendali hidup saya sendiri.

Tapi itu soal kerja. Soal pribadi, apakah demikian juga halnya? Soal urusan rumah, jawabnya ya, semua beres. Soal hubungan personal, ini lain cerita. Dunia saya di luar kerja, juga dilingkari oleh orang-orang yang berinteraksi dengan saya dalam konteks pribadi. Namun sampai sekarang saya masih merasa bahwa relationship control saya tidak berjalan dengan baik. Saya masih terlalu lama merespon interaksi dengan teman, sehingga seorang teman yang sudah rela menyediakan waktu berhari-hari mengantar saya keliling Lombok merasa diterlantarkan. Saya belum sempat menjelaskan bahwa bukan dia saja yang "terlantar" tapi banyak teman, termasuk keluarga. Lalu apa saja kesibukan saya di luar kerja sampai tak sempat memperhatikan teman? Terus terang, saya tidak tahu, tapi yang jelas, saya merasa terseret oleh waktu yang mengalir deras dan tahu-tahu, saya sudah tak bertemu dengan teman dekat saya hampir setahun. Seolah-olah, kalau diambil analogi ruangan kerja saya, urusan hubungan pribadi dengan teman dan keluarga ini seperti tumpukan file yang terbengkalai dan berserakan di "meja kerja hubungan pribadi" saya.

Tiba-tiba saya digugah oleh sebuah istilah "relationship management". Bagaimana merawat sebuat hubungan. Kalau dinilai, angka saya dalam hal ini pasti buruk sekali. Entah mengapa saya merasa waktu untuk saya sendiri kok begitu kurangnya. Mungkin bisa jadi karena Jakarta ini begitu menyita waktu di jalan sehingga meskipun pulang tepat waktu, waktu saya habis di jalan. Atau mungkinkah karena jejaring teman dan keluarga saya terlalu luas sehingga tidak bisa mencakup semuanya? Semacam "overload pekerjaan" tapi ini "overload jejaring"? tapi hati saya menyanggah. Mana ada "overload jejaring"! Perlukah saya mengubah pola? Saya dengan mantap menjawabnya dengan "Ya."

Malam ini saya disadarkan untuk membereskan "meja kerja hubungan pribadi" saya supaya bisa sebersih dan serapi meja kerja kerja saya di kantor. Semua urusan tertangani dengan baik dan terkontrol rapi. Memang baru sekedar disadarkan, namun saya tahu saya harus melakukan suatu perombakan sistem manajemen hubungan pribadi sehingga bisa terbina rapi. Saya sedang putar otak bagaimana caranya. Anda punya saran?

Monday, May 10, 2010

10 Mei 2010 : Main Terima

Saya menerima sebuah kiriman email yang lucu, menggelitik namun juga mengenaskan. Judulnya : Why You Shouldn't Add Your Boss to Facebook. Ketika saya buka attachment nya, isinya adalah gambar layar facebook. Di sana empunya facebook menulis statusnya sebagai berikut :

OMG I HATE MY JOB!!! My boss is a total pervvy wanker always making me do shit stuff just to piss me off!! WANKER!

Malamnya, ia mendapat komentar dari Boss nya melalui jendela facebook yang sama. Begini isinya :

Hi! I guess you forgot about adding me on here?
Firstly, don't flatter yourself.
Secondly, you've worked here 5 months and didn't wok out that I'm gay? I know I don't prance around the office like a queen, but it's not exactly a secret.
Thirdly, that 'shit stuff' is called your 'job', you know, what I pay you to do. But the fact that you seem able to fuck-up the simplest of tasks might contribute to how you feel about it.
And lastly, you also seem to have forgotten that you have 2 weeks left on your 6 month trial period. Don't bother coming in tomorrow. I'll pop your P45 in the post, and you can come in whenever you like to pick up any stuff you've left here. And yes, I'm serious.

Saya tertawa membacanya, sekaligus membenarkan mengapa saya sama sekali tidak tertarik untuk sembarangan menambahkan orang untuk masuk di jejaring sosial saya. Di kotak request, ada lebih dari 90 orang meminta masuk di jejaring saya, namun saya diamkan saja. Make no mistake, hal ini sama sekali bukan karena saya sombong, tetapi saya hanya ingin konsisten menjaga kenyamanan privasi saya. Mereka yang tergabung dalam facebook saya adalah keluarga dekat dan teman-teman dekat. Beberapa teman yang pernah saya kenal di kantor lama tidak saya approve karena dulunya saya juga tidak dekat-dekat amat dengan mereka. Tak satu pun teman kantor yang sekarang masuk dalam daftar teman di facebook, karena saya ingin memisahkan kehidupan pribadi saya dengan kehidupan kerja. Mantan saya kemarin mengeluh kenapa ia juga tidak di approve. Saya bilang, kamu kan bisa bbm, telepon, sms saya kapan saja, tidak perlu lewat facebook..

Beberapa hari yang lalu, teman saya panik karena seorang perempuan psycho yang mengejar-ngejar dia namun tidak peduli masuk ke jaringan facebooknya dan meskipun tidak di add, si cewek gila ini menulis pesan menyeramkan di masing-masing teman yang ada di jejaringnya. Berkat kepekaan teman saya, langsung ketahuan siapa biang keroknya. Saya juga pernah membaca kasus pembunuhan akibat blind date yang dilakukan seorang gadis dengan kenalannya melalui facebook, dan ketika kencan pertama, ia diketemukan mati diperkosa.

Dari kejadian ini, saya heran melihat beberapa kawan dan orang yang facebook nya sampai penuh, mulai dari teman dekat sampai yang tidak dikenal.Teman saya juga ada yang asal approve, sehingga apa yang ditulisnya tersebar tidak jelas ke arah mana, dan tiba-tiba ia dikejutkan akan sebuah kejadian yang sama sekali tak diduganya berasal dari asal komentar di facebooknya.

Hari ini saya diberi bukti akan keputusan saya untuk tidak sembarangan meng approve orang masuk dalam jejaring saya. Terus terang saya tidak suka twitter karena tidak bisa mengontrol siapa yang akan mengikuti kita, tapi twitter menjadi begitu terkenal karena kita ini memang pada dasarnya narsis. Semakin banyak follower semakin berasa selebriti, padahal kita tidak menyadari bahwa semua sisi fun pasti ada sisi yang menakutkannya.

Hari ini saya diberi pelajaran untuk mengontrol semua alat komunikasi dan bukan sebaliknya, dikontrol mereka. Mungkin selagi happy dan menyenangkan, semuanya baik-baik saja dan terkesan meriah. Namun kalau sudah ada apa-apa, dampaknya sangat menakutkan karena hidup kita ada di genggaman alat elektronik dan tidak bisa mengontrolnya. Semua bisa berkembang di luar kendali kita dan memburu kita sampai titik yang mengerikan. Anda termasuk yang main approve? Saya sarankan diam-diam mulailah membersihkan jejaring Anda dari mereka yang bukan benar-benar peers Anda, termasuk orang-orang yang tak dikenal (dengan baik). Di facebook, kita ini 'telanjang'. Make sure anggotanya adalah orang-orang yang kita tak keberatan sama sekali melihat kita telanjang ...

Sunday, May 09, 2010

9 Mei 2010 : Pikiran - Hati - Perut

Pagi ini setelah kenyang menikmati mie instan koya, pembantu saya Atik menghampiri untuk minta izin pulang mengurus warisan dari buyutnya. Dia bilang kalau tidak diizinkan ya dia minta izin suaminya saja pulang mengurus.

Setelah saya tanya lebih detil, saya mengatakan sebaiknya dia yang mengurus karena ini adalah warisan dia. Saya mengatakan pada Atik, karena kemungkinan besar tanah warisan itu adalah tanah girik, maka sebaiknya dibuat surat tanah girik yang jelas dari kelurahan setempat dan menyarankan agar rembuk keluarga mengenai pemisahan tanah dan warisan tersebut disaksikan notaris. Bila yang lain tak mau, setidaknya Atik harus membuat akte notaris mengenai warisan yang didapatkan agar ia punya pegangan hukum atas tanah warisannya. Saya juga menyarankan agar ia membuat akta tanah hak milik atas warisannya agar nilai tanahnya bertambah baik.

Saya lalu bertanya selama ini tanahnya diapakan. Atik mengatakan bahwa selama ini ayahnya menggarap ladang. Saya tanya, lalu kamu dapat apa? Dia bilang ya tidak dapat apa-apa, kecuali kalau bapaknya datang dia dibawai beras. Saya bilang lagi, lain kali kalau diberi beras tolak saja, toh kamu sudah makan nasi tiap harinya di rumah ini. Saya lalu menegaskan bahwa sebagai pemilik tanah Atik seharusnya mendapatkan bagian dari hasil bumi yang dihasilkan dari tanah tersebut.

Lalu saya memberi masukan. Kalau tanah itu tidak diapa-apakan, mengapa tidak dijual saja tanahnya dan hasil penjualan didepositokan sambil menunggu anaknya Ririn selesai sekolah kebidanan. Ririn adalah anak yang cerdas dan memiliki visi. Jadi bagaimana kalau saling bagi tugas. Ririn harus menyelesaikan sekolahnya dengan baik, bekerja di rumah bidan dan belajar mengenai operasional rumah bersalin, lalu pada saatnya Atik dengan uang depositonya - dibantu saya - mendirikan rumah bersalin sederhana untuk dikelola Ririn. Saya bilang, yang namanya Rumah Bersalin harus ada fasilitas penunjangnya. Ada kantin, Ada kebersihan. Ada laundry nya. Masing-masing butuh orang untuk mengelolanya. Bayangkan kalau suaminya berkonsentrasi mengurus maintenance dan kebersihan geduhg, Atik berkonsentrasi pada kantin dan laundry, sedang Ririn di operasional. Seketika itu Atik bukan lagi seorang yang selama ini menjaga dan merawat rumah saya, namun seorang pemilik rumah bersalin, pemilik kantin dan pengusaha laundry. Bandingkan bila ia cuma berniat pensiun di desa di atas tanah warisannya. Tidak jadi apa-apa selain mantan pembantu.

Lalu ia bilang tapi dia ini tidak pintar dan sekolah tak lulus. Saya bilang, Pak Harto juga tak lulus SD, Lim Sioe Liong tidak lulus SD juga. Kok bisa jadi orang nomor satu di negeri ini? Terkaya pula. Saya mencontohkan Dr. Munawar, ahli jantung dan dokter kepresidenan yang tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam urusan jantung. Namun yang membangun Rumah Sakit Jantung Swasta Pertama dan sampai sekarang masih satu-satunya di negeri ini adalah isterinya yang tidak lulus sarjana karena keburu menikah. Hormat saya pada Ibu Futikah luar biasa besarnya dan karena semangat dan visinya, saya dengan senang hati rela membantu menyebarkan informasi mengenai kehebatan dan keluarbiasaan rumah sakit yang beroperasinya bukan melulu mengejar uang. Saya juga memberi contoh langganan pecel saya Yu Nanik yang sekarang punya 5 cabang pecel lele. Pembuat rujak cingur di jalan Sawo di Malang yang anaknya semua sekolah di luar negeri dari hasil jualan rujak, dan seorang ibu yang berprofesi pengurus jenazah yang kini puteri tertuanya punya beberapa toko di mall-mall strategis di Jakarta dan puteranya menjadi orang terpandang di sebuah perusahaan besar di Indonesia.

Saya bilang, yang terpenting adalah Pikiran, Hati baru masuk ke Perut. Saya sama sekali tidak mengecilkan pentingnya pendidikan, namun yang terpenting adalah cara berpikir kita, hati nurani kita. Kalau keduanya berjalan selaras, dengan sendirinya kedua unsur itu akan mengisi perut kita.

Hari ini saya menyemangati pembantu saya untuk memiliki visi yang jauh. Yang membuat tanah kebun sayur tidak sekedar sebagai warisan semata, namun sebagai asset yang bisa berkembang melampaui batas-batas tradisional dan menempatkan seorang pembantu rumah tangga menjadi seorang pengusaha. Setelah satu jam saya jelaskan, ia menangkap makna wejangan saya dan jadi memiliki visi kemana hidupnya bisa dibawa, lengkap dengan tahapan-tahapan rencana yang konkret.

Kalau saja ada seribu Atik yang memiliki kesempatan dan visi seperti ini, negara kita akan memiliki ketahanan ekonomi dan ketahanan bangsa yang luar biasa, yang takkan karam diterjang badai krisis perekonomian dunia sekalipun karena dasar pondasinya adalah perekonomian akar rumput. Sayang, kebanyakan orang di negeri ini salah mengurut unsurnya : Perut - Pikiran - Hati Nurani. Karena unsurnya cuma bisa masuk dua, maka alih-alih yang masuk pikiran dan hati yang kemudian membuahkan hasil bagi perut, yang ada cuma perut dan pikiran - minus hati. Jadinya yang terpikir cuma perut dan akal busuk bagaimana membesarkan perutnya sendiri saja ....

8 Mei 2010 : Pernah-Pernahan

Mantan saya berinteraksi melalui bbm. Dia bilang saya sombong. Kami bertemu sekilas kemarin malam ketika saya mau pulang bersama kawan makan malam dan dia selesai meeting di sebuah hotel. Lalu dia berceramah dan bagaimana saya harus berlaku soal cinta. Tepatnya bagaimana, saya sudah lupa karena segera saya hapus saking kesalnya. Jawaban saya, kayaknya ceramah kamu barusan lebih tepat ditujukan ke kamu deh. Dia jawab buat semua orang, semua orang pasti punya kekurangan. Saya balas : ngeles dotcom.

Saya geram betul. Saya lalu berteriak dan tanya dalam hati : mengapa kita selalu belagak jadi orang suci? Mudah benar menceramahi orang lain mengenai ini dan itu, padahal kita sendiri sejujurnya adalah orang yang kita sarankan untuk dihindari? Seolah olah kita adalah orang yang paling benar sedunia! Look who's talking!!! Tapi lama-lama emosi saya mengendur. Oke lah, saya mau komplen seperti ini, saya nya sendiri juga berlaku seperti dia sih. Memberi ceramah secara teoritis namun saya nya sendiri kelakuannya minus abis.


Lalu ia bercerita bahwa hari ini dia dan keluarganya sibuk mempersiapkan seserahan buat nikahnya adik lakinya, yang sudah bercerai dan sekarang akan menikah lagi. Dia menambahkan kurang lebih begini : sedangkan aku sekalipun belon pernah (menikah). hehehe. Iiiih, saya jadi kesal lagi! Saya langsung menukas : Nikah itu bukan buat pernah-pernahan lageeeeeeeeee!!!

Apa sih yang ada di otaknya? Leluconnya setelah itu rasanya very crispy alias garink abeez, dia bilang iya nikah gak pernah kawin sering kali ya! Arrrrrrggghhhhh!!!! Tapi memang begitu ya? Buat sebagian orang menikah itu paling tidak pernah dilakukannya dalam hidup ini. Demi status? Icip-icip? Jangan-jangan gara-gara mindset yang seperti ini banyak orang yang mudah cerai sekarang ini?

Saya pernah menikah, tapi saya tidak bangga dengan status pernah. Pernah artinya tidak lagi, alias sudah cerai, alias gagal! Jadi pernah kali ini bukan buat bangga-banggaan. Apanya yang mau dibanggakan wong kitanya gagal? Kalau pernikahan saya tahan sampai sekarang, maka bunyinya adalah "saya menikah" atau "I am married". Bukan "Saya Masih Menikah" tapi "Saya menikah". Itu saja.

Menikah adalah sebuah langkah yang luar biasa besarnya. Terkandung makna komitmen dan tanggung jawab yang besar dan bulat. Sebuah perhitungan dan komitmen masa depan. Menyangkut investasi uang, tenaga, dan kehidupan. Modal dan motivasinya bisa macam-macam. Cinta salah satunya. Uang juga bisa salah satu movitivasi lain. Saya tadi bilang kalau menikah itu adalah sebuah komitmen dan tanggung jawab yang bulat, karena saya pernah keliru, mengira berbagai hal yang mengganjal itu bisa diselesaikan dengan perjalanan waktu dalam pernikahan. Ternyata saya salah besar. Justru hal yang mengganjal itu semakin membesar setelahnya. Saya juga harus siap lahir batin dalam pernikahan. Saya sudah tidak lagi satu namun berdua. Tidak bisa seratus persen sesuka saya sendiri. Konsep "I" harus berubah menjadi "We". Saya dan pasangan saya dan anak-anak saya, kalau ada. Apakah saya hilang? Ternyata tidak juga, karena di unsur kita, atau kami, ada unsur saya nya.

Setelah cerai, saya jadi sadar kekeliruan terbesar saya adalah memisahkan unsur saya dari kita dan kami. Dulu saya mengeluh, setelah menikah kok rasanya saya tidak bisa ini lagi, saya tidak punya waktu untuk itu lagi, saya kehilangan jati diri saya. Gara-gara kesal terhadap kata pernah, sekarang saya disadarkan, bahwa sebetulnya saya selama ini tidak mengerti mengenai konsep bersatu. Bahwa kami dan kita itu tidak sekedar sekelompok manusia namun kelompok manusia yang terdiri dari masing-masing individu yang memiliki ikatan bersama.

Saya baru saja mengalami, saya kesal dan marah karena pasangan saya yang baru tahu cara menggunakan kursi pijat di ruang relaksasi melakukan kesalahan besar. Sambil menunggu saya mengetik blog ini, ia memilih pijat. Ia merebahkan sandaran kursi sampai menekan tembok, melukai dan membuat bekas di tembok yang di cat dengan warna khusus dan membuat kulit sandaran kursi terkelupas hingga di dasarnya. Dengan hati sangat dongkol saya memberhentikan pijatan kursi dan menarik kursi menjauhi tembok sehingga terlihat kerusakannya. Saya lalu naik ke ruang atas dan duduk memejamkan mata. Lalu saya sadar. Kerusakannya tidak seberapa dibandingkan rasa sayang dan cinta saya padanya. Lebih penting mana, kerusakan tembok dan kursi, atau kerusakan hatinya karena takut atas kesalahannya dan kemarahan saya? Saya yang sedang menulis blog ini langsung sadar. Kalau mau menikah, atau mau punya pasangan, ya harus juga menerima kenyataan bahwa sekarang dunia "We" saya isinya bukan cuma saya, tapi "saya dan pasangan". Nanti kalau punya anak ya dunia "We" saya adalah "saya, pasangan saya dan anak-anak saya". Karena dunia "we" saya berkembang, jadinya ya harus bisa mengakomodasi tambahan perkembangan itu. Saya lalu disadarkan bahwa sebuah kesempurnaan tercipta dari kemampuan kita menerima dan mensyukuri ketidaksempurnaan.

Seketika itu juga saya turun menjumpai kekasih saya. Ia sudah tidak lagi di kursi pijat, namun duduk terdiam di sofa nyaman. Saya segera memeluknya dan memohon maaf. Ia heran, bukannya ia yang salah. Saya jawab, ya ia salah, namun saya salah juga karena tidak memperlakukan dia sebagaimana mestinya. Yang terpenting adalah dia nya, bukan tembok dan kursi pijatnya. Seketika itu juga saya melihat bintang di matanya. Dalam hati saya berjanji tidak akan memperbaiki dinding dan kursi sebagai peringatan bagi saya kalau lupa bahwa dalam dunia "we" saya sekarang isinya "saya dan dia".

Saya tak tahu apakah mantan saya menangkap makna dari kalimat "nikah itu bukan soal pernah-pernahan". Saya sendiri "pernah", tapi tak pernah terpikir untuk "pernah-pernahan". Saya justru belajar dari kondisi "pernah" itu untuk nantinya "tidak pernah lagi". Hari ini saya sudah diberi pencerahan. Semoga mantan saya juga, lewat jalan hidupnya sendiri, karena dunia "we" saya sudah tidak termasuk dia lagi ...

Friday, May 07, 2010

7 Mei 2010 : Mendadak Pulang

Hari ini saya dihadapkan pada tiga berita duka. Berita yang terakhir saya terima pukul 16:42 yang mengabarkan bahwa tante saya yang di Amerika tutup usia. Tepat satu jam sebelumnya saya diberitahu ayahanda tercinta rekan kerja saya Ria juga tutup usia. Satu jam sebelumnya saya melayat mantan petinggi Volkswagen Indonesia, Bpk. Joseph Djuhadi di usia 46 tahun. Pak Joseph dan ayahanda Ria berpulang mendadak tanpa indikasi sakit sebelumnya.Dan kami yang mendengar terkejutnya bukan main.

Saya tidak tahu, mengapa tahun ini saya berkali-kali diingatkan soal kepulangan ke rumah Bapa. Tapi kali ini saya diperlihatkan secara lebih spesifik lagi bahwa waktu dipanggil bukanlah sesuatu yang bisa diramal atau direncanakan. Bisa jadi mendadak. Dan kalau dipanggil mendadak, mau tak mau kita mesti tunduk dan turut rencana Ilahi. Siapkah kita? Jawabnya ya harus siap. Lalu timbul di benak saya, bagaimana bisa siap kalau rencana kerja saja masih bertumpuk-tumpuk dan tak akan selesai dalam waktu dekat.

Lalu saya membuka email dan memperoleh ayat-ayat ini :


Mazmur 90

1 Doa Musa, abdi Allah. Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami
turun-temurun.
2 Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia
diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya
Engkaulah Allah.
3 Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata:
"Kembalilah, hai anak-anak manusia!"
4 Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin,
apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam.
5 Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti
rumput yang bertumbuh,
6 di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut
dan layu.
7 Sungguh, kami habis lenyap karena murka-Mu, dan karena
kehangatan amarah-Mu kami terkejut.
8 Engkau menaruh kesalahan kami di hadapan-Mu, dan dosa kami
yang tersembunyi dalam cahaya wajah-Mu.
9 Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemas-Mu, kami
menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh.
10 Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan
puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan;
sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.
11 Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu dan takut kepada
gemas-Mu?
12 Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami
beroleh hati yang bijaksana.
13 Kembalilah, ya TUHAN--berapa lama lagi? --dan sayangilah
hamba-hamba-Mu!
14 Kenyangkanlah kami di waktu pagi dengan kasih setia-Mu, supaya
kami bersorak-sorai dan bersukacita semasa hari-hari kami.
15 Buatlah kami bersukacita seimbang dengan hari-hari Engkau
menindas kami, seimbang dengan tahun-tahun kami mengalami celaka.
16 Biarlah kelihatan kepada hamba-hamba-Mu perbuatan-Mu, dan
semarak-Mu kepada anak-anak mereka.
17 Kiranya kemurahan Tuhan, Allah kami, atas kami, dan
teguhkanlah perbuatan tangan kami, ya, perbuatan tangan kami,
teguhkanlah itu.

Sambil perlahan membaca ayat-ayat ini, saya disadarkan bahwa saya sedang tidak diingatkan soal kematian mendadak, namun bagaimana bersikap siaga di setiap detik kehidupan saya sehingga selalu siap bila sewaktu-waktu dipanggil pulang. Dari sekian panjang ayat yang tertera, saya menangkap inti dari kehidupan ini adalah:

1. Bersyukur dan menikmati segala keadaan dan memahami setiap perbuatan Tuhan kepada kita sebagai ungkapan kasih Ilahi.
2. Setiap kata dan laku kita berkenan di hadapan Allah, dalam keadaan apa pun yang diberikan Allah kepada kita.

Dari dua resep ini, saya tahu saya masih jauh. Saya belum siap untuk pergi mendadak. Namun sekarang saya sudah diberi resepnya. Meskipun cuma dua, namun bukan hal yang mudah diterapkan. Saya masih banyak mengomel dan berkeluh kesah dalam hidup ini, tidak bisa menerima apa lagi menikmati keadaan yang diberikan, bahkan jika keadaan yang diberikan kepada saya sudah keadaan yang enak dan jauh lebih baik dari orang lain. Kata dan laku saya jauh dari perkenanan Allah. Hati saya masih sering tersalut kebencian, dendam, iri, dan amarah hingga jauh dari pengampunan, ketulusan dan kesabaran. Tapi layaknya sebuah resep masakan, saya ditunjukkan untuk mempelajarinya dan berusaha menerapkannya sehingga bisa meramu dan menciptakan hidup seperi yang tertera dalam resep. Memang pasti tidak bisa sempurna, namun saya harap pada akhirnya, hidup saya rasanya paling tidak mirip dengan rasa yang ditulis dalam resep...

Selamat jalan Papap Ria, Pak Joseph dan Sa-Ie (tante), beristirahatlah dalam kekal. Terima kasih, bahwa di akhir masa kalian di dunia ini, kalian masih memberi petunjuk siaga sehingga siap bila kapan saja dipanggil pulang mendadak.