Monday, May 03, 2010

3 Mei 2010 : Si Mata Hijau

Petang ini saya mendapat telepon dari seorang teman. Ceritanya teman saya ini sudah mantap dengan kekasihnya dan ingin melangkah ke jenjang selanjutnya : berkenalan dengan calon mertua sekaligus secara informal menyatakan meminang anaknya sebelum segala upacara adat dilakukan. Maka tiga minggu lalu, pertemuan itu terjadi dan sejak saat itu di tiga minggu berikutnya mereka selalu bersama-sama. Teman saya memang seorang yang sangat menghargai dan menghormati orang tua. Tidak hanya orang tuanya sendiri, tapi semua orang tua. Dan semakin dekatlah calon mertua dengan orang yang kemudian sudah dianggap sebagai menantunya.

Namun sore ini terjadi sebuah hal yang sama sekali di luar bayangan teman saya. Ia ditelepon oleh calon bapak mertua. Dalam kalimat pembukaan, sang calon mertua mengatakan bahwa ia senang punya menantu seperti teman saya. Detik berikutnya ia berkata ada hal yang ingin dibahas secara privat dengan calon menantunya dan wanti-wanti agar apa yang dibahas tidak diceritakan ke orang lain, termasuk anaknya sendiri. Ia kemudian bercerita bahwa beberapa bulan yang lalu ia operasi katarak dan kini tagihan kartu kreditnya sudah jatuh tempo. Maka ia minta kartu kredit itu dibayarkan sejumlah 10 juta Rupiah. Ia bahkan segera menawarkan untuk men sms nomor accountnya namun teman saya tak kalah cepat bereaksinya, "Baik Ayah, akan saya pikirkan terlebih dahulu dan segera mengabari Ayah." Ketika telepon terputus, beberapa detik kemudian berdering lagi, dan secara khusus si "ayah" meminta agar teman saya tak memberitahu kekasihnya, yang notabene anak si ayah.

Hal pertama yang dilakukan teman saya adalah "break his promise" dan menelepon saya. Komentar saya? I think his "dad-to-be" misjudged him. Sebagai seorang pria yang independen ia tak butuh approval atau blessing dari si "ayah" untuk menikahi anaknya. Apa yang dilakukannya selama ini adalah atas dasar asas ketimuran dan rasa hormatnya kepada orang tua sang kekasih. Ketika saya tanyakan apa yang akan dilakukannya, ia bilang ia akan "break another promise" dengan menceritakan hal ini kepada kekasihnya. Ia perlu tahu. Urusan ini memang urusan teman saya dengan calon mertuanya, tetapi sebagai pasangan hidup, kekasihnya perlu tahu meski teman saya akan menegaskan agar kekasihnya tidak terlibat dalam urusan dia dan sang mertua.

Saya lalu merenung dan tak habis berpikir, berani sekali sang calon mertua yang baru ketemu tiga kali dengan calon menantunya melakukan hal yang menurut saya sangat tidak tahu malu. Apakah tak terpikir oleh sang calon mertua bahwa tindakannya akan merusak hubungan dengan sang menantu? Apakah keterbukaannya kepada sang menantu karena matanya hijau bahwa sang menantu bisa dimanfaatkan kekayaannya? Kalau iya, wah, si Bapak salah besar!

Tapi kejadian seperti ini bukan satu di antara seribu. Kejadian seperti ini rupanya hal yang cukup mudah dijumpai dalam kehidupan kita. Saya juga pernah memberi catatan merah atas tingkah laku mantan mertua saya. Saat mengadakan pesta pernikahan, ide saya membiayai pernikahan sendiri ditolak mentah-mentah oleh orang tua saya dan mantan mertua karena tahu, kalau saya membiayai sendiri tentu model pestanya suka-suka saya dan daftar undangannya pun akan saya kontrol. Maka saya terpaksa pasrah ketika mereka menyepakati akan ada dua pesta. Sebuah pesta formal di Malang dengan undangan gabungan antara orang tua dan mertua, dan sebuah pesta di desa mertua karena Beliau adalah orang yang terpandang di sana. Pagi hari sebelum pesta desa dimulai, mantan ayah mertua menggiring saya untuk bicara pribadi. Beliau bilang, uang hadiah yang akan didapat hari itu dimintanya untuk menutup biaya pesta. Saya mengatakan ya, namun hati saya kecewa setengah mati. Bukan soal uangnya, namun saya merasa saya tidak dihargai sama sekali dan bahkan merasa dipakai untuk menghasilkan uang. Sejak saat itu meskipun saya menghormatinya sebagai ayah mertua, di luar itu nilainya sudah tidak ada. Kalau mereka tidak punya uang untuk pesta, jangan mengadakan pesta. Makna perkawinan itu jauh lebih suci ketimbang pamer pesta. Apa salahnya pesta sederhana sesuai kemampuan?

Saya tidak mengerti mengapa ada orang tega memanfaatkan koneksi yang baru didapatnya untuk kepentingan pribadi dan membuat koneksi barunya tersudut bagaikan kena buah simalakama, tidak membantu salah, membantu terasa dimanfaatkan abis....

Di akhir pembicaraan telepon, kami berdua sepakat, apa pun yang terjadi, jangan mau disudutkan dan dimanfaatkan keadaan. Kami berdua berpendapat bahwa teman saya harus menelepon kembali calon mertuanya dan menolak permintaan yang aneh itu demi terjalinnya tali silaturahmi, walaupun kami juga sama-sama tahu bahwa serapi-rapinya tali silaturahmi itu terjalin, tak akan pernah seerat dan sebaik sebelumnya. But that's fine. It's not my friend's fault. It's his dad-in-law-to-be's fault and he should bear it. Bahwa silaturahmi itu tetap berlangsung, itu karena rasa hormat harus tetap terjaga pada orang tua mana pun. Tapi rasa hormat itu berbeda dengan harus memenuhi kebutuhan mertuanya, karena sekali dituruti, maka akan ada ke dua, ke tiga dan seterusnya, dan dari jarang akan menjadi semakin sering. Dan orang seperti itu harus secara tegas ditunjukkan posisi tepatnya di mana.

Petang ini saya diberi pelajaran luar biasa tentang betapa banyaknya orang yang "punya mata gampang hijau" dan merasa "berhak" atas usaha dan kepemilikan kita, dan dengan lihainya membuat kita tersudut seolah harus mengiyakan. Dan untuk itu kita tidak boleh "kalah" dan merasa "harus disudutkan". Sebaliknya kita harus melakukan sesuatu agar orang lain menghormati dan tahu tempatnya, apa lagi dalam kasus teman saya ini, secara ofisial, si bapak belum jadi apa-apanya teman saya, cuma baru calon ...

No comments: