Monday, May 31, 2010

31 Mei 2010 : Menguasai

Sambil menangis, seorang ibu yang terkena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)selama 17 tahun bertutur kepada Oprah Winfrey bagaimana sampai akhirnya ia tidak tahan dan menembah sang suami 11 kali hingga roboh. Sang isteri kemudian menghadapi dakwaan namun ia mengatakan apa pun yang terjadi nanti, hidupnya diyakini lebih baik dari yang dialaminya bersama sang suami. Kedua anaknya pun lega, dan mengatakan mereka 150% yakin tidak merasa kehilangan ayahnya karena selama ini hidup dalam ketakutan.

Ibu ini menuturkan bahwa suaminya seorang polisi dan setelah sekian lama hidup bahagia, sang suami mulai bersikap kasar. Awalnya masih selalu minta maaf dan merayu pakai bawa bunga mawar segala, namun lama kelamaan rayuan pun memupus dan yang tinggal adalah kemarahan dan kemurkaan. Tak ada lagi kebebasan. Hubungan dengan teman pun diputus, bahkan dengan keluarga pun dipangkas.

Saya lalu menangkap esensi pembicaraan panjang ini : Kalau pasangan sudah menguasai, maka kita harus hati-hati. Awalnya, kita sering menganggap tindak menguasai ini sebagai sesuatu yang romantis. Saking sayangnya dia kepada kita. Namun lama-lama kita ini terisolasi, dan saat terisolasi tak ada lagi ruang untuk minta tolong pada orang lain. Di sinilah kesempatan KDRT terjadi. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang jauh dari hidup kita. Begitu banyak orang yang tanpa sadar dikuasai pasangannya dan merasa baik-baik saja. Status terikat membuat kita pasrah bahwa hidup kita tidak bisa sebebas dulu lagi dan membiarkan persahabatan kita dengan orang lain rontok satu per satu. Kadang, tanpa sadar kita rela tidak bertemu dengan orang yang tidak disukai pasangan kita karena merasa bahwa pasangan lebih penting dari orang lain. Akhirnya semuanya jadi abu-abu. Kita tidak mengetahui secara pasti apakah kita sudah dikuasai atau malah kita yang menyerahkan diri dikuasai.

Tapi ada satu hal lagi yang harus jadi perhatian kita. Bagaimana kalau secara tidak sadar menjadi pihak yang menguasai? Karena kecemburuan kita, kita jadi memanipulasi agar pasangan tidak dekat-dekat dengan semua orang yang mengandung bahaya bagi kedekatan kita dengannya. Kita jadi overprotective meskipun akhirnya yang diproteksi bukan pasangan tapi sebenarnya kita sendiri.

Petang ini saya menyaksikan bahayanya menguasai dan dikuasai. Tak jarang akhirnya kedua hal ini berujung pada kekerasan dan bahkan kematian. Sang ibu juga berpesan, begitu sadar ada upaya menguasai diri, segera tinggalkan hubungan itu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Tidak gampang juga keluar dari jerat yang memabokkan itu. Buktinya, ia sendiri terjerat 17 tahun sebelum tak tahan dan menembakkan peluru sebanyak 11 kali ke tubuh sang suami. Tapi selama itu ia membiarkan kejadian kekerasan berulang tanpa memberitahu seorang lain pun dalam lingkungannya, bahkan keluarganya.

Tapi menguasai itu enak. Seolah menjadi seorang yang punya kuasa terhadap seseorang itu nikmat. Dan disitulah bahayanya, karena kenikmatan itu bagaikan candu, yang semakin lama semakin ingin lebih. Jadilah ini soal kecanduan. Dan seperti rokok, mestinya hal ini bisa dicegah sejak awal. Jadi, begitu ada hasrat menguasai, kita harus berani tegas menghindari dan menolaknya. Begitu juga bila ada kecenderungan dikuasai. Kalau soal rokok kita bisa menghindari area merokok, mungkin begitu juga yang harus kita lakukan dengan hal ini. Kalau tak ingin terkena kekerasan dan mati konyol, sekarang juga kita harus menghindari menguasai dan dikuasai. Ingat, perokok pasif bahaya matinya justru dua kali lipat perokok aktif. Karena itu hindari pula dikuasai. Sebagai gantinya, mencintai dan dicintai. Menyayangi dan disayangi.

Hari ini saya belajar menggantikan menguasai dan dikuasai dengan mencintai dan dicintai, menyayangi dan disayangi...

No comments: