Tuesday, May 04, 2010

4 Mei 2010 : Slipping Through My Fingers

Seorang teman muda mendapat kesempatan untuk berbicara di hadapan Direksi dan manajemen serta rekan-rekan seangkatannya karena ia lulusan terbaik sebuah program management trainee di tempat kerjanya. Ia bercerita bahwa angkatannya kali ini berbeda dengan dua angkatan sebelumnya. Lulusan kali ini terikat perjanjian kerja selama dua tahun sehingga setelah lulus, tak ada pilihan lain selain mengabdikan pengetahuan yang dimilikinya dilembaga yang sudah mengeluarkan ratusan juta dana untuk mendidik calon-calon pemimpinnya. Dua angkatan sebelumnya, bisa dihitung dengan jari jumlahnya, bahkan dengan jumlah jari satu tangan.

Saya mengatakan, kalau jumlah yang keluar sedemikian banyaknya, maka yang patut dipertanyakan adalah kemampuan perusahaan untuk mempertahankan karyawannya. Kalau perusahaan tahu bagaimana menghargai dan memperlakukan karyawannya dengan benar, tentu mereka tidak semudah itu tergiur dengan tawaran manis pihak kompetitor. Jadi, jangan buru-buru menyalahkan karyawan. Coba tengok apa yang sudah dilakukan oleh perusahaan untuk membuat karyawannya merasa nyaman lahir batin, karena kepuasan karyawan tidak hanya melulu datangnya dari uang. Tentu, ada saja kasus dimana perusahaan salah pilih, ternyata karyawannya aji mumpung dan punya hidden interest. Mau belajarnya saja, tapi sebenarnya tak sepenuh hati jatuh cinta pada pekerjaan yang ditawarkan. Kalau sudah begini, tentu dengan mudahnya ia main mata dan selingkuh, pindah ke lain hati pada kompetitor. Dengan sedikit saja iming-iming, ia akan melayang. Namun untuk sebagian besar orang yang pada dasarnya setia, tentu tak bisa hanya mengandalkan kesetiaannya saja. Kalau tidak diperlakukan secara benar dan semakin tidak nyaman, ya tentu akan mencari tempat lain yang lebih nyaman.

Saya lalu berpikir, apakah hal ini juga terjadi pada kehidupan pribadi. Ternyata jawabnya iya. Pantas saja terjadi begitu banyak perselingkuhan. Bisa jadi, semua ini bukan salah yang berselingkuh, namun salah kita yang tidak bisa me-maintain kekasih. Saat bara excitement dan rasa nyaman hilang, dijamin pasti tentu mudah bagi pasangan untuk pindah ke lain hati, apa lagi sekarang begitu banyak orang yang desperado siap menerkam siapa pun juga, termasuk orang yang sudah bersuami atau beristeri.

Kita ini sering merasa, bahwa kalau kita sudah berkomitmen sehidup semati, maka selamanya ia milik kita dan takkan mungkin terlepas lagi. Akhirnya, kita ini jadi suka take things for granted. Jadilah kita malas berkomunikasi karena menganggap dia toh sudah paham betul kebiasaan kita. Jadilah kita malas dandan dan tak menjaga diri, toh saya sudah laku. Kita juga sering tiba-tiba jadi pelit tak mau lagi keluar makan romantis berdua, karena merasa buang-buang uang sementara kalau cuma makan toh bisa di rumah saja.

Saya jadi teringat film "Dear John" yang baru selesai saya tonton tak lebih dari 5 jam yang lalu. Dikisahkan bahwa John mendapatkan pujaan hatinya yang cantik Savanah yang sudah rela menantinya menyelesaikan tugas militernya selama 12 bulan. Namun ketika telah berkumpul kembali, Savanah menjadi kecewa sekali mengetahui bahwa John tanpa sepengetahuannya telah mendaftar ulang untuk tugas militer selama dua tahun. Di tengah kecamuk perang, John kehilangan Savanah dan menyesalinya seumur hidup, cuma bisa menelan pahit kenyataan bahwa gadis pujaannya menikah dengan pria lain yang dikenalnya.

Sebelum menonton film itu di mobil, teman saya yang cantik bercerita bahwa sang mantan menyatakan ingin kembali lagi padanya karena menyadari ketololannya mengikuti kemauan keluarga yang menentangnya menikah dengan suku lain. Teman saya menolak kembali, dan kini ia sedang menikmati sebuah sensasi hubungan baru dengan seorang pria yang menurut dia "memperlakukannya like nobody else has done it to her"!

Lagi-lagi kesempatan melayang karena kita tidak menjaga kesempatan yang diberikan dengan baik. Saya juga kadang berandai-andai tentang hubungan dengan mantan isteri dan mantan pacar saya. Coba kalau saya begini, bagaimana ya ceritanya? Kalau begitu, kisahnya bagaimana ya? Tapi, tak ada gunanya berandai-andai untuk hal yang sudah lewat. Melalui kisah teman muda tadi, saya disadarkan bahwa seringkali kita lah penyebab orang-orang yang menjadi tumpuan harapan hidup dan hati menyelip keluar dari genggaman tangan kita. Dan kalau itu terjadi, kita harus bisa merelakan mereka pergi karena semua itu "hasil" dari perlakuan kita kepada mereka. Bisa saja kita culas dan menahan mereka seperti dalam agama Katolik yang sekali menikah, terperangkah seumur hidup dengan orang yang sama atas azas "apa yang telah disatukan Tuhan, tak boleh diceraikan oleh manusia" namun saya tak bisa membayangkan betapa hidup saya seperti neraka di penjarakan seperti itu. Saya cuma membayangkan betapa tersiksanya badan yang terbelenggu peraturan sedang jiwanya sudah melayang entah kemana.

Maka malam ini saya disadarkan pentingnya hubungan sebaik dan senyaman mungkin sehingga pasangan tidak tertarik melirik orang lain dan merasa bahwa cinta kita terlalu berharga, terlalu indah dan terlalu nyaman untuk ditinggalkan demi orang lain yang tidak jelas. Giliran Anda mengevaluasi, apakah Anda sudah melakukan program maintenance yang terbaik bagi pasangan sehingga ia tak sudi lagi melirik yang lain...

No comments: