Friday, May 07, 2010

7 Mei 2010 : Mendadak Pulang

Hari ini saya dihadapkan pada tiga berita duka. Berita yang terakhir saya terima pukul 16:42 yang mengabarkan bahwa tante saya yang di Amerika tutup usia. Tepat satu jam sebelumnya saya diberitahu ayahanda tercinta rekan kerja saya Ria juga tutup usia. Satu jam sebelumnya saya melayat mantan petinggi Volkswagen Indonesia, Bpk. Joseph Djuhadi di usia 46 tahun. Pak Joseph dan ayahanda Ria berpulang mendadak tanpa indikasi sakit sebelumnya.Dan kami yang mendengar terkejutnya bukan main.

Saya tidak tahu, mengapa tahun ini saya berkali-kali diingatkan soal kepulangan ke rumah Bapa. Tapi kali ini saya diperlihatkan secara lebih spesifik lagi bahwa waktu dipanggil bukanlah sesuatu yang bisa diramal atau direncanakan. Bisa jadi mendadak. Dan kalau dipanggil mendadak, mau tak mau kita mesti tunduk dan turut rencana Ilahi. Siapkah kita? Jawabnya ya harus siap. Lalu timbul di benak saya, bagaimana bisa siap kalau rencana kerja saja masih bertumpuk-tumpuk dan tak akan selesai dalam waktu dekat.

Lalu saya membuka email dan memperoleh ayat-ayat ini :


Mazmur 90

1 Doa Musa, abdi Allah. Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami
turun-temurun.
2 Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia
diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya
Engkaulah Allah.
3 Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata:
"Kembalilah, hai anak-anak manusia!"
4 Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin,
apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam.
5 Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti
rumput yang bertumbuh,
6 di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut
dan layu.
7 Sungguh, kami habis lenyap karena murka-Mu, dan karena
kehangatan amarah-Mu kami terkejut.
8 Engkau menaruh kesalahan kami di hadapan-Mu, dan dosa kami
yang tersembunyi dalam cahaya wajah-Mu.
9 Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemas-Mu, kami
menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh.
10 Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan
puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan;
sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.
11 Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu dan takut kepada
gemas-Mu?
12 Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami
beroleh hati yang bijaksana.
13 Kembalilah, ya TUHAN--berapa lama lagi? --dan sayangilah
hamba-hamba-Mu!
14 Kenyangkanlah kami di waktu pagi dengan kasih setia-Mu, supaya
kami bersorak-sorai dan bersukacita semasa hari-hari kami.
15 Buatlah kami bersukacita seimbang dengan hari-hari Engkau
menindas kami, seimbang dengan tahun-tahun kami mengalami celaka.
16 Biarlah kelihatan kepada hamba-hamba-Mu perbuatan-Mu, dan
semarak-Mu kepada anak-anak mereka.
17 Kiranya kemurahan Tuhan, Allah kami, atas kami, dan
teguhkanlah perbuatan tangan kami, ya, perbuatan tangan kami,
teguhkanlah itu.

Sambil perlahan membaca ayat-ayat ini, saya disadarkan bahwa saya sedang tidak diingatkan soal kematian mendadak, namun bagaimana bersikap siaga di setiap detik kehidupan saya sehingga selalu siap bila sewaktu-waktu dipanggil pulang. Dari sekian panjang ayat yang tertera, saya menangkap inti dari kehidupan ini adalah:

1. Bersyukur dan menikmati segala keadaan dan memahami setiap perbuatan Tuhan kepada kita sebagai ungkapan kasih Ilahi.
2. Setiap kata dan laku kita berkenan di hadapan Allah, dalam keadaan apa pun yang diberikan Allah kepada kita.

Dari dua resep ini, saya tahu saya masih jauh. Saya belum siap untuk pergi mendadak. Namun sekarang saya sudah diberi resepnya. Meskipun cuma dua, namun bukan hal yang mudah diterapkan. Saya masih banyak mengomel dan berkeluh kesah dalam hidup ini, tidak bisa menerima apa lagi menikmati keadaan yang diberikan, bahkan jika keadaan yang diberikan kepada saya sudah keadaan yang enak dan jauh lebih baik dari orang lain. Kata dan laku saya jauh dari perkenanan Allah. Hati saya masih sering tersalut kebencian, dendam, iri, dan amarah hingga jauh dari pengampunan, ketulusan dan kesabaran. Tapi layaknya sebuah resep masakan, saya ditunjukkan untuk mempelajarinya dan berusaha menerapkannya sehingga bisa meramu dan menciptakan hidup seperi yang tertera dalam resep. Memang pasti tidak bisa sempurna, namun saya harap pada akhirnya, hidup saya rasanya paling tidak mirip dengan rasa yang ditulis dalam resep...

Selamat jalan Papap Ria, Pak Joseph dan Sa-Ie (tante), beristirahatlah dalam kekal. Terima kasih, bahwa di akhir masa kalian di dunia ini, kalian masih memberi petunjuk siaga sehingga siap bila kapan saja dipanggil pulang mendadak.

No comments: