Malam ini saya mendapat berita bahwa Andi Mallarangeng terpental dari bursa Ketua Partai Demokrat bahkan di putaran pertama karena hanya memperoleh 16% suara dibanding Anas Urbaningrum dan Marzuki Ali. Kursi Ketua akhirnya jatuh pada Anas setelah di putaran kedua mengalahkan Marzuki.
Buat saya, berita ini cukup mengejutkan sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan hati seberapa efektifnya pesan politik yang disampaikan Andi secara gembar-gembor baik melalui billboard sampai iklan berhalaman-halaman di surat kabar nasiona, seolah-olah ia sedang bertanding untuk menjadi pemimpin nomor satu di negara ini. Ia juga sudah menerbitkan buku. Saya tidak mengikuti secara detil apa yang ditulisnya, namun dari pesan yang disampaikan di surat kabar, kira-kira Andi Mallarangeng membanggakan bahwa ia adalah orang yang paling tahu pokok pikiran Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebagai seorang yang berkecimpung di bidang komunikasi, saya dari awal mempertanyakan keefektifan pesan yang disampaikan Andi. Saya juga mempertanyakan keefektifan media yang dipilihnya. Kalau sekedar menciptakan awareness, ya, pasti semua orang pernah melihatnya. Tapi apakah pesan itu bisa mengantarnya menjadi orang nomor satu di partai biru itu? Kenyataan hari ini membuktikan tidak. Saya merasa Andi lupa untuk fokus dan mengurus satu-satunya konstituen yang terpenting dalam arena ini : khalayak internal partainya. Aburizal Bakrie membuktikan bahwa ia fokus mengelus kader partainya ketimbang memusingkan hujatan dan opini masyarakat luas sehingga ia mulus menjadi orang nomor satu beringin. Saya lalu mempertanyakan apakah pesan yang dibuat Andi itu mengena ke target utama yang memiliki hak pilih. Apakah pesan-pesannya diterjemahkan sebagai orang yang mengerti kebutuhan partai dan dapat membawa partai ke tingkat yang diinginkan atau tidak? Bagaimana pencitraan Andi menurut konsituen pemilih? Apakah citra nya sesuai yang diharapkan pemilih? Apakah program komunikasinya membawanya ke citra yang diharapkan?
Saya bukan orang yang tepat mengulas mengenai strategi komunikasi politik. Selama ini saya hanya mengamati apa yang dilakukan oleh pemimpin negeri ini, apa yang dilakukan para pemimpin Amerika saat pemilihan lalu yang menempatkan Obama si anak Menteng menjadi orang nomor satu negara adidaya itu. Saya juga menikmati tontonan film mengenai bagaimana sebuah kampanye distrategikan dalam film The American President, dan Commander in Chief. Saya cuma mengamati segala sesuatunya dari kaca mata awam yang sehari-hari bekerja di bidang komunikasi.
(Namun) Malam ini saya belajar, bahwa komunikasi strategis yang efektif tidak selalu memerlukan gembar-gembor dan gemerlap media massa yang menjangkau jutaan orang. Komunikasi yang strategis itu first and most of all concentrates on our key target audience and how to reach as well as to influence them to do favor for us. Dan hal ini berlaku bukan cuma di politik atau dunia kerja. It works exactly the same in personal life. Ada hal-hal yang perlu glitter, ada hal-hal yang lebih efektif bila disampaikan secara polos. Ada hal yang lebih efektif bila disampaikan melalui ramainya orang membicarakan hal tersebut, ada hal yang hanya bisa dicapai dengan menembus langsung ke akar hati nurani seseorang.
At the end of the day, ketulusan itu tidak bisa dicapai dengan make up tebal. Ketulusan itu terpancar secara sederhana dari hati. Dan target audience kita bisa merasakannya langsung melalui mata hatinya ...
No comments:
Post a Comment