Sunday, May 02, 2010

1 Mei 2010 : Memburu Cinta

Kali ini saya menjadi pendengar yang baik dan mencerna apa yang diceritakan seorang kawan di hadapan keluarganya di tengah malam tenang tak berbintang dan tak berombak di sebuah resor pantai. Ia bercerita tentang perjuangan kekasihnya untuk mendapatkan cintanya.

Ia mengenal sang kekasih dari seorang mutual friend, saat ulang tahun sang teman. Bermula dari sana, sang kekasih menaruh hati padanya dan kemudian secara intens mendekatinya. Suatu saat ia diajak dinner dan diberi kejutan sebuah minuman yang di dalamnya tergeletak sebuah cincin. Sang kekasih mengatakan, kalau teman saya meneriman cintanya, ia diminta mencelupkan jarinya untuk mengenakan cincin tersebut, namun bila tidak, ia diminta untuk menyeruput habis minuman yang ada di gelas tersebut. Teman saya memilih yang kedua. Tak putus asa di sana, ia pun secara konsisten mengantarkan sebatang kotak setiap hari ke kantor teman saya setiap jam makan siang. Kalau teman saya berhalangan, supirnya akan menggantikan mengirim coklat. Sampai suatu saat, mereka kembali dinner. Sang pemburu cinta memesan tiga makanan dan mengajukan syarat. Kalau teman saya menerima, ia akan memilih roti canai kegemarannya, namun kalau menolak ia akan menghabiskan kwetiau. Kenyataannya teman saya memilih menghabiskan kwetiau. Tak disangka, mutual friend mereka juga tertarik pada teman saya, maka ketiganya dihadapkan pada sebuah moment of truth: teman saya diminta memilih, dan kali ini ia menyerah pada kegigihan sang pemburu. Pada akhirnya ia luar biasa cintanya pada sang kekasih, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, bahkan harus melawan gelombang ketidaksukaan orang tua dan teman-temannya - termasuk tetap gigih di samping kekasih walau tiga kali diselingkuhi.

Selama ia menceritakan kelanjutan kisahnya, saya jadi bertanya pada diri sendiri: akankah saya segigih itu? Setimpalkah yang diperjuangkan? Jawaban terhadap urusan setimpal, saya berani segera memastikan jawabannya adalah iya untuk sang pemburu : ia tahu ia memperoleh yang terbaik. Tapi bagi teman saya? Terus terang saya meragukannya. Namun balik lagi ke saya. Kalau sudah ditolak, apakah saya akan segigih itu?

Mungkin Anda akan kecewa dengan jawaban saya. Jawaban saya adalah tidak. Saya tentu tidak akan mengingkari peran takdir, namun kalau saya harus mengejar sampai tiga kali, mungkin tidak akan terjadi. Buat saya, saya kok tidak akan mengejar orang yang tidak berminat dengan saya ya. Saya lebih memilih pasangan yang dari awalnya sudah ada bara yang menyala terang. Buat saya bertemunya dua gelombang cinta pada saat yang bersamaan memberi sensasi luar biasa dan bisa dibilang seperti true love. Kalau dari true love itu kemudian kami berdua harus berjuang untuk mempertahankan dan memenangkannya, itu beda. Tapi kalau dari awal harus setengah mati memperjuangkannya, saya jadi curiga. Kenyataannya, setelah bercerita lebih dalam, teman saya akhirnya mengakui bahwa awal ia mencintai adalah karena kasihan mendengar perjuangan luar biasa yang harus dialami kekasihnya sejak ia kecil.

Make no mistake, saya bukan orang yang mudah menyerah. Namun bukan juga orang yang memaksakan kehendak. Suatu ketika saya dihadapkan bahwa orang yang telah mencuri pikiran dan hati saya lenyap berhari-hari dan ketika kemudian secara ajaib ia muncul kembali di tengah kegundahan hati dan traumanya karena semua orang yang dicintai meninggalkannya, saya bilang tapi saya bukan mereka, dan saya tidak akan segera mati juga kok, jadi would you please consider and give us a chance? Dan ketika akhirnya kami bertemu dan bertemu lagi sampai kami diusir secara halus oleh resto tempat kami mengobrol, dan akhirnya pindah tempat, ia menumpahkan segala gundah gulananya yang tak pernah bisa diungkapkan pada orang lain, secara otomatis saya menyediakan diri menjadi a shoulder to cry on, saat itu juga kami tahu kami tak terpisahkan lagi.

Saya lebih memilih sebuah persekutuan cinta yang punya gelombang dan letupan yang sama seperti yang pernah saya alami, ketimbang seperti yang dialami teman saya. Saya juga mempertanyakan keegosian sang pemburu ketika sudah mendapatkan buruannya lalu serta merta melupakan dan mencari buruan lain. Saya jadi membayangkan apakah sang pemburu hanya menganggapnya sebagai bagian koleksi buruan saja, padahal sang sasaran sudah merelakan seluruh hidupnya.

Kenyataannya, menyerah setelah diburu berkali-kali itu tidak seindah cerita di novel-novel atau sinetron Korea. Sebagai lelaki, saya bisa puas seperti sang pemburu. Namun, saat mendengar cerita teman saya, tiba-tiba saya ditempatkan di posisi yang berseberangan. Saya pribadi tentu tidak mau dan tidak bangga bila kekasih saya awalnya memilih saya karena kasihan. Saya juga menjadi mengerti bagaimana perasaan teman saya saat menemui berkali-kali sms mesra antara kekasih yang sudah berjuang luar biasa mendapat cintanya dan terakhir memergoki dengan mata kepala sendiri perselingkuhan orang yang dipasrahi cintanya.

Malam ini saya belajar banyak sekali tentang menghargai pasangan. Ternyata begitu banyak perasaan dari sudut pandang pasangan yang selama ini tak pernah saya bayangkan sebelumnya karena hati saya sudah tertutup kabut keegoisan diri. Sekali lagi, malam ini saya diingatkan, kalau mau bertindak harus diawali dengan pertanyaan : kalau saya di posisi pasangan saya, rasanya bagaimana ya? Saya juga diingatkan bahwa saat saya bilang cinta dan sayang kepada kekasih, apakah tindakan saya mencerminkan rasa cinta dan sayang saya? Karena seringkali apa yang kita lakukan itu jauh bertentangan dari kata cinta dan sayang yang sangat ringat keluar dari bibir kita...

No comments: