Mantan saya berinteraksi melalui bbm. Dia bilang saya sombong. Kami bertemu sekilas kemarin malam ketika saya mau pulang bersama kawan makan malam dan dia selesai meeting di sebuah hotel. Lalu dia berceramah dan bagaimana saya harus berlaku soal cinta. Tepatnya bagaimana, saya sudah lupa karena segera saya hapus saking kesalnya. Jawaban saya, kayaknya ceramah kamu barusan lebih tepat ditujukan ke kamu deh. Dia jawab buat semua orang, semua orang pasti punya kekurangan. Saya balas : ngeles dotcom.
Saya geram betul. Saya lalu berteriak dan tanya dalam hati : mengapa kita selalu belagak jadi orang suci? Mudah benar menceramahi orang lain mengenai ini dan itu, padahal kita sendiri sejujurnya adalah orang yang kita sarankan untuk dihindari? Seolah olah kita adalah orang yang paling benar sedunia! Look who's talking!!! Tapi lama-lama emosi saya mengendur. Oke lah, saya mau komplen seperti ini, saya nya sendiri juga berlaku seperti dia sih. Memberi ceramah secara teoritis namun saya nya sendiri kelakuannya minus abis.
Lalu ia bercerita bahwa hari ini dia dan keluarganya sibuk mempersiapkan seserahan buat nikahnya adik lakinya, yang sudah bercerai dan sekarang akan menikah lagi. Dia menambahkan kurang lebih begini : sedangkan aku sekalipun belon pernah (menikah). hehehe. Iiiih, saya jadi kesal lagi! Saya langsung menukas : Nikah itu bukan buat pernah-pernahan lageeeeeeeeee!!!
Apa sih yang ada di otaknya? Leluconnya setelah itu rasanya very crispy alias garink abeez, dia bilang iya nikah gak pernah kawin sering kali ya! Arrrrrrggghhhhh!!!! Tapi memang begitu ya? Buat sebagian orang menikah itu paling tidak pernah dilakukannya dalam hidup ini. Demi status? Icip-icip? Jangan-jangan gara-gara mindset yang seperti ini banyak orang yang mudah cerai sekarang ini?
Saya pernah menikah, tapi saya tidak bangga dengan status pernah. Pernah artinya tidak lagi, alias sudah cerai, alias gagal! Jadi pernah kali ini bukan buat bangga-banggaan. Apanya yang mau dibanggakan wong kitanya gagal? Kalau pernikahan saya tahan sampai sekarang, maka bunyinya adalah "saya menikah" atau "I am married". Bukan "Saya Masih Menikah" tapi "Saya menikah". Itu saja.
Menikah adalah sebuah langkah yang luar biasa besarnya. Terkandung makna komitmen dan tanggung jawab yang besar dan bulat. Sebuah perhitungan dan komitmen masa depan. Menyangkut investasi uang, tenaga, dan kehidupan. Modal dan motivasinya bisa macam-macam. Cinta salah satunya. Uang juga bisa salah satu movitivasi lain. Saya tadi bilang kalau menikah itu adalah sebuah komitmen dan tanggung jawab yang bulat, karena saya pernah keliru, mengira berbagai hal yang mengganjal itu bisa diselesaikan dengan perjalanan waktu dalam pernikahan. Ternyata saya salah besar. Justru hal yang mengganjal itu semakin membesar setelahnya. Saya juga harus siap lahir batin dalam pernikahan. Saya sudah tidak lagi satu namun berdua. Tidak bisa seratus persen sesuka saya sendiri. Konsep "I" harus berubah menjadi "We". Saya dan pasangan saya dan anak-anak saya, kalau ada. Apakah saya hilang? Ternyata tidak juga, karena di unsur kita, atau kami, ada unsur saya nya.
Setelah cerai, saya jadi sadar kekeliruan terbesar saya adalah memisahkan unsur saya dari kita dan kami. Dulu saya mengeluh, setelah menikah kok rasanya saya tidak bisa ini lagi, saya tidak punya waktu untuk itu lagi, saya kehilangan jati diri saya. Gara-gara kesal terhadap kata pernah, sekarang saya disadarkan, bahwa sebetulnya saya selama ini tidak mengerti mengenai konsep bersatu. Bahwa kami dan kita itu tidak sekedar sekelompok manusia namun kelompok manusia yang terdiri dari masing-masing individu yang memiliki ikatan bersama.
Saya baru saja mengalami, saya kesal dan marah karena pasangan saya yang baru tahu cara menggunakan kursi pijat di ruang relaksasi melakukan kesalahan besar. Sambil menunggu saya mengetik blog ini, ia memilih pijat. Ia merebahkan sandaran kursi sampai menekan tembok, melukai dan membuat bekas di tembok yang di cat dengan warna khusus dan membuat kulit sandaran kursi terkelupas hingga di dasarnya. Dengan hati sangat dongkol saya memberhentikan pijatan kursi dan menarik kursi menjauhi tembok sehingga terlihat kerusakannya. Saya lalu naik ke ruang atas dan duduk memejamkan mata. Lalu saya sadar. Kerusakannya tidak seberapa dibandingkan rasa sayang dan cinta saya padanya. Lebih penting mana, kerusakan tembok dan kursi, atau kerusakan hatinya karena takut atas kesalahannya dan kemarahan saya? Saya yang sedang menulis blog ini langsung sadar. Kalau mau menikah, atau mau punya pasangan, ya harus juga menerima kenyataan bahwa sekarang dunia "We" saya isinya bukan cuma saya, tapi "saya dan pasangan". Nanti kalau punya anak ya dunia "We" saya adalah "saya, pasangan saya dan anak-anak saya". Karena dunia "we" saya berkembang, jadinya ya harus bisa mengakomodasi tambahan perkembangan itu. Saya lalu disadarkan bahwa sebuah kesempurnaan tercipta dari kemampuan kita menerima dan mensyukuri ketidaksempurnaan.
Seketika itu juga saya turun menjumpai kekasih saya. Ia sudah tidak lagi di kursi pijat, namun duduk terdiam di sofa nyaman. Saya segera memeluknya dan memohon maaf. Ia heran, bukannya ia yang salah. Saya jawab, ya ia salah, namun saya salah juga karena tidak memperlakukan dia sebagaimana mestinya. Yang terpenting adalah dia nya, bukan tembok dan kursi pijatnya. Seketika itu juga saya melihat bintang di matanya. Dalam hati saya berjanji tidak akan memperbaiki dinding dan kursi sebagai peringatan bagi saya kalau lupa bahwa dalam dunia "we" saya sekarang isinya "saya dan dia".
Saya tak tahu apakah mantan saya menangkap makna dari kalimat "nikah itu bukan soal pernah-pernahan". Saya sendiri "pernah", tapi tak pernah terpikir untuk "pernah-pernahan". Saya justru belajar dari kondisi "pernah" itu untuk nantinya "tidak pernah lagi". Hari ini saya sudah diberi pencerahan. Semoga mantan saya juga, lewat jalan hidupnya sendiri, karena dunia "we" saya sudah tidak termasuk dia lagi ...
No comments:
Post a Comment