Thursday, May 20, 2010

20 Mei 2010 : Seperti Pedagang Batik

Sebetulnya pagi ini saya sudah berniat membuat blog untuk hari ini karena terinspirasi dengan kejadian semalam dan pagi ini, yang membuat saya menyimpulkan bahwa saya harus belajar untuk tidak terbiasa "meledak duluan" sebelum tahu hasil akhirnya. Namun niat tersebut keburu urung karena saya terinterupsi dengan berbagai pekerjaan yang tak kunjung padam. Dari sibuk kanan kiri, lalu sudah waktunya pergi meeting ke klien, saya akhirnya terdampar di daerah Tanah Abang, mengubek pasar dan toko mencari batik yang tepat untuk sebuah acara kementerian. Bukannya saya kerajinan untuk mencari batik sendiri, namun waktunya sudah terlalu mepet gara-gara cara orang menjual batik.

Sesungguhnya panitia sudah memilih batik yang akan digunakan sebagai seragam. Pilihan itu datangnya dari tim saya sendiri, sehingga semua berasumsi bahwa batik yang ditawarkan mencukupi kuota yang dibutuhkan : 200 batik lengan panjang. Nyatanya setelah terbuang seminggu, keluarlah berita bahwa untuk memenuhi permintaan 200 lembar batik @ 2, 5 meter dibutuhkan waktu 2 bulan! Tim saya pun mulai cari-cari lagi. Dapat lagi. Tapi butuh waktu lama lagi untuk memesannya. Jadi, kami malah buang-buang waktu padahal acara sudah kurang seminggu lagi, itu pun dikurangi hari libur nasional! Jadilah saya mengubek Tanah Abang, supaya keputusannya bisa langsung di tempat dan tidak makan waktu. Nyatanya janji-janji palsu supplier berlaku juga untuk pedagang setempat. Sudah janji surga stock nya ada, ketika diminta betulan dia bilang tak ada dan butuh waktu berhari-hari untuk memesannya. Yang menyebalkan adalah, sambil bilang stock nya tak ada, mereka mencari jalan menjual barang yang ada di depan mata yang jelas-jelas tidak terpilih.

Saya lalu berpikir, kenapa sih kita ini sering seperti itu? Kerjanya seperti main-main, dan coba-coba melulu. Kata siapa tahu, jadi kata kunci peluang. Siapa tahu bisa mengalihkan minat ke apa yang kita mau atau miliki. Pikiran saya malah makin melantur. Dalam sebuah hubungan, kita ini sering berlagak seperti pedagang batik. Di depan, janjinya muluk-muluk dan terlihat indah, namun bila sang pembeli sudah benar-benar kesengsem, kita mencoba memelintir dan mencari jalan agar pembeli ini "menurut" kehendak kita, bukan kehendaknya sendiri. Saat memikat orang, kita ini banyak janji dan bercerita yang baik-baik serta berlaku yang manis-manis. Saat yang diincar sudah terjerat, kita mencoba menyetir dia sesuai dengan keinginan kita, tanpa lagi mempedulikan kebutuhan dan keinginan dia.

Saya sering kali mengalami sekaligus melakukan hal seperti ini. Mantan saya mencoba mengubah saya, dan saya pun demikian. Saya terlalu menganggap enteng dan berpikir, ah... setelah jadi pasangan, gampang laaah, nanti dia dipoles ini itu, juga diajari ini itu, sehingga ia bisa diubah jadi ini dan itu. Kenyataannya, pasangan kita bukan tanah liat yang bisa diubah sesuai kemauan kita. Seliat-liatnya tanah liat pun akan patah kalau terlalu dipaksa. Keinginan dan anggapan bisa mengubah seseorang seperti yang keinginan kita bisa jadi sumber mala petaka dalam sebuah hubungan. Saya sendiri pernah mengeluh kok sudah sekian lama berpacaran, mantan saya tidak bisa berubah. Padahal saya sudah tahu dari awal kalau ada beberapa hal darinya yang saya tidak sreg, cuma karena saya menganggap kekurangannya hanya kurang dari 40% dari keseluruhan pribadi yang saya sukai, ya sayang mentolerirnya sementara, sampai nanti, dalam bayangan - saya akan mengubahnya menjadi 100% orang yang saya sukai. Kenyataannya berbicara sebaliknya. Yang kurang dari 40% itu lama lama menjadi borok yang mengikis 60% keindahan yang ada.

Saya tahu, teori juga mengatakan bahwa kita tidak bisa memilah-milah karakter orang yang kita cintai. Cuma mau ambil (sifat) bagian yang kita sukai, yang lainnya disingkirkan. Pepatah bilang, cintai seseorang seutuhnya. Memang benar begitu. Tapi antara teori dan kenyataan, wah susah dipraktekkan mana yang benar. Selama ini, saya termasuk orang yang gatal rasanya ingin mengatur dan menyetir seseorang yang karakternya kurang berkenan menjadi berkenan. Bilangnya sih menerima pasangan apa adanya, namun secara alam bawah sadar, masiiiiih saja ingin mengutik utik, coba-coba untuk mengubah.

Sama seperti di tukang batik, perubahan itu haruslah datang dari si pembeli sendiri. Mau dirayu seperti apa, kalau tak berminat, si pembeli tak akan mengorder, dan si penjual tidak bisa memaksa. Begitu juga denga sebuah hubungan. Perubahan itu haruslah datangnya dari diri pasangan. Mau diarahkan seperti apa pun, kalau pasangannya tidak mau berubah, ya tidak bisa dipaksakan. Tinggal kitanya saja, mau tidak menyadari bahwa kita telah memilih seorang yang punya 60% karakter yang kita sukai dan 40% yang tidak kita sukai, dan 60 + 40 itu sama dengan 100% orang yang kita pilih jadi pasangan kita.

Hari ini saya diingatkan kembali soal hal ini. Soal menerima yang 60% dan menerima yang 40% sebagai kesatuan paket orang yang saya klaim saya cintai ...

No comments: