Siang ini saya menyempatkan diri berkeliling memperhatikan satu per satu peserta pameran bahan pangan. Awalnya saya tidak mengerti sama sekali mengenai hal ini, saya pikir bahan pangan ya beras, tepung, lada dan sejenisnya. Ternyata saya salah besar. Dunia yang satu ini termasuk pembuat rasa buatan, pengembang makanan, pengawet, penyedap, bahan fortifikasi, pewarna dan beribu lagi hal yang termasuk di dalamnya.
Dalam pameran tadi, saya melihat banyak stand yang memamerkan barang dagangannya dalam bentuk hasil akhir yang kita minum dan makan, dan ditawarkan untuk dicoba secara cuma-cuma oleh para pengunjung. Ada antrean panjang untuk menikmati ice cream - tadinya saya juga berminat mencoba tapi akhirnya menyingkir melihat kerumunan banyaknya peminat. Di samping itu banyak yang menyajikan aneka macam kue, makanan, dan minuman. Pokoknya, kalau Anda kelaparan, Anda akan kenyang sekenyang-kenyangnya dan tak bakal kehausan. Saya sendiri sempat mencoba mie kangkung yang disajikan dalam cup kecil. Rasanya luar biasa enak dan gurih. Teman saya bilang, "ya pasti enak, wong penyedapnya banyak."
Sepanjang menyusuri lorong, saya dibuat terkagum-kagum oleh perkembangan teknologi bahan pangan. Aneka aroma ada di sana, mulai buah-buahan hingga rasa masakan tradisional kita, namun tak satu pun ujud aslinya hadir di sana. Maksudnya ada bau jeruk nya, tapi buahnya sendiri tak tampak seiris pun. Di satu lorong menyediakan strawberry chocolate fondue, lengkap dengan fountain dan biskuit stik nya. Lezatnya luar biasa, tapi tak terlihat sedikitpun irisan strawberry atau batangan coklatnya, semuanya datang dari proses bahan kimia.
Selain tuntutan zaman untuk menghadirkan aroma dan rasa yang semakin lezat, perkembangan zaman juga telah mengubah gaya hidup manusia. Semakin banyak isteri bekerja membantu keuangan keluarga dan karenanya waktu untuk mempersiapkan hidangan dan minuman menjadi semakin hilang. Karenanya para ibu sering memilih makanan dan minuman siap saji yang bisa disimpan lama, dengan rasa yang bisa dijamin enak,sehingga tidak menimbulkan komplen dari suami dan anak-anak. Urusan mengiris bawang, memeras kelapa dan memasak yang lama, digantikan dengan serbuk bumbu yang praktis, yang kesemuanya dihasilkan dari proses kimia. Sama seperti kegemaran saya makan mie instant berbagai rasa: ada rasa ayam bawang, coto makassar, sop buntut dan sebagainya : semuanya datang dari sebuah sachet bumbu bubuk.
Melalui pameran ini saya berkesempatan melihat segala isi "perut" di balik sachet yang lezat, kotak minum yang menyegarkan, biskuit yang membuat ketagihan. Tiba-tiba saya membayangkan menelan semua bahan dasar itu. Tiba-tiba juga sirna bayangan coto makassar yang lezat, yang terbayang adalah berbagai unsur-unsur kimia yang masuk ke dalam tubuh saya. Meskipun belum ada klaim hubungan antara semua zat itu dan meningkatnya penyakit kanker, tapi saya tak bisa menghapus bayangan korelasi antara keduanya. Saya tiba-tiba bergidik sendiri. Saya segera meletakkan cup mie kangkung yang hampir habis, dan berjanji mulai sekarang berusaha mengurangi semaksimal mungkin makan makanan yang telah diproses.
Hari ini saya mendapat visi bahwa perkembangan teknologi selalu datang dengan berbagai unsur positif dan negatif. Telepon genggam yang praktis dituduh menyebabkan banyak penyakit melalui gelombangnya, selain juga membuat orang menjadi semakin terasing dari lingkungannya saking asiknya dengan chatting dan browsing. Sama seperti bisnis makanan dan minuman yang diproses, orang kini lebih menikmati sesuatu yang maya, ketimbang berbagai hal di sekitarnya yang nyata. Intinya, hari ini saya belajar, seindah-indahnya sesuatu yang dibuat manusia, lebih indah yang diciptakan Tuhan karena ciptaan Tuhan itu sempurna, ciptaan manusia pasti ada kurangnya...
Welcome to the world of Lawrence Tjandra where you celebrate life to its fullest. Come to see places I've been, read the articles published in media and share thoughts and views on diverse issues of life!
Thursday, September 30, 2010
Wednesday, September 29, 2010
29 September 2010 : Believe
Hari ini untuk pertama kali dalam hidup, saya menjadi seorang MC profesional. Seperti yang saya katakan sebelumnya, sebelum ini saya cuma MC dadakan atau MC untuk kawinan keponakan-keponakan saya. Itu pun tidak perlu banyak pikir dan persiapan karena saya tahu persis siapa yang ada di acara tersebut. Mungkin Anda akan menyanggah, tak akan sulit menjadi seorang MC karena saya sudah terbiasa menjadi moderator, mulai dari moderator jumpa pers klien sampai ke acara Menteri. Mungkin juga, tapi yang saya rasakan berdiri di depan hadirin dalam sebuah acara formal menjadi pemandu acara dua bahasa sendirian, lain rasanya. Apalagi yang kita hadapi adalah pejabat negara, Duta Besar Amerika Serikat, dan para CEO serta petinggi perusahaan raksasa dari 18 negara.
Seperti yang saya katakan semalam, saya memang membuat persiapan dan berlatih ratusan kali, namun tetap saja ada perubahan di detik-detik terakhir. Ada VVIP baru, ada tambahan acara baru, menerjemahkan secara spontan isi pidato pejabat dan sebagainya.
Nervouskah saya? Seharusnya ya, tapi tadi semuanya terasa sangat terkontrol. Saya sudah berdoa sebelum memulai kegiatan, dan pagi ini saya membaca kalimat ini :
If someone in your life does not know all that you are capable of, what you really need to do is rally yourself and set out to prove all that you are and all that you can do. You have enormous potential to tackle exactly what is open to you. As long as you believe it, others will eventually believe it too.
Saya yang awalnya panas dingin lalu jadi percaya diri. Kalau saya tidak percaya pada diri sendiri, siapa yang akan percaya pada saya? Saya lalu memenjamkan mata dan menarik napas sambil berpikir : pejabat negara dan duta besar dan para CEO juga manusia, sama seperti saya, jadi apa yang perlu ditakutkan dari mereka? Mengapa saya harus merasa keder berhadapan dengan mereka? Tiba-tiba segala kecemasan saya hilang, para petinggi seolah orang-orang yang sudah saya kenal sejak lama sehingga saya bisa tampil sangat relaks dan penuh percaya diri memimpin jalannya upacara sehingga acara berlangsung dengan baik dan saya dipuji karena dapat menguasai suasana bahkan dengan perubahan-perubahan mendadak, dan saya menanganinya dalam dua bahasa. Saya bahkan sempat bercanda dengan para pejabat tinggi itu saat gunting yang sedianya akan digunakan untuk upacara pembukaan tak kunjung tiba, dan suasana formal berubah menjadi hangat.
Hari ini saya belajar sebuah kunci sukses: If I believe in myself, others will (eventually) believe in me too. Dan rahasia kepercayaan diri saya hari ini adalah : I believe in myself because I believe in God.
Seperti yang saya katakan semalam, saya memang membuat persiapan dan berlatih ratusan kali, namun tetap saja ada perubahan di detik-detik terakhir. Ada VVIP baru, ada tambahan acara baru, menerjemahkan secara spontan isi pidato pejabat dan sebagainya.
Nervouskah saya? Seharusnya ya, tapi tadi semuanya terasa sangat terkontrol. Saya sudah berdoa sebelum memulai kegiatan, dan pagi ini saya membaca kalimat ini :
If someone in your life does not know all that you are capable of, what you really need to do is rally yourself and set out to prove all that you are and all that you can do. You have enormous potential to tackle exactly what is open to you. As long as you believe it, others will eventually believe it too.
Saya yang awalnya panas dingin lalu jadi percaya diri. Kalau saya tidak percaya pada diri sendiri, siapa yang akan percaya pada saya? Saya lalu memenjamkan mata dan menarik napas sambil berpikir : pejabat negara dan duta besar dan para CEO juga manusia, sama seperti saya, jadi apa yang perlu ditakutkan dari mereka? Mengapa saya harus merasa keder berhadapan dengan mereka? Tiba-tiba segala kecemasan saya hilang, para petinggi seolah orang-orang yang sudah saya kenal sejak lama sehingga saya bisa tampil sangat relaks dan penuh percaya diri memimpin jalannya upacara sehingga acara berlangsung dengan baik dan saya dipuji karena dapat menguasai suasana bahkan dengan perubahan-perubahan mendadak, dan saya menanganinya dalam dua bahasa. Saya bahkan sempat bercanda dengan para pejabat tinggi itu saat gunting yang sedianya akan digunakan untuk upacara pembukaan tak kunjung tiba, dan suasana formal berubah menjadi hangat.
Hari ini saya belajar sebuah kunci sukses: If I believe in myself, others will (eventually) believe in me too. Dan rahasia kepercayaan diri saya hari ini adalah : I believe in myself because I believe in God.
Labels:
'lawrence tjandra',
believe,
percaya
Tuesday, September 28, 2010
28 Agustus 2010 : Siap Lebih Baik
Hari ini saya duduk termangu di kantor. Saya belum pernah jadi MC profesional. Hanya MC di perkawinan keponakan-keponakan tercinta. Itu pun lancar karena tahu persis siapa audiencenya sehingga kelakar yang saya lontarkan pas persis karena tamunya hampir semua saya kenal. Tapi kini, sebuah perusahaan asing ngotot minta saya jadi MC diacara pembukaan sebuah pameran internasional yang untuk pertama kalinya mampir di Indonesia, dihadiri oleh pejabat tinggi negara, Duta Besar Amerika Serikat dan pengusaha dari 18 negara. Saya sudah ngotot juga tidak mau, tapi memaksa. Sudah saya kasih harga tidak masuk akal untuk seorang amatiran seperti saya, masih mau juga. Saya sudah bilang saya akan beri seorang MC yang biasa acara istana, masih tidak mau. Jadilah saya termangu-mangu. Mau ngomong apa saya ini? Saya dituntut untuk menyarikan dan menerjemahkan langsung pidato yang disampaikan. Saya sih terbiasa melakukannya sebagai moderator atau pendamping wawancara media asing, tapi sebagai MC? Waduh!
Saya lalu duduk di depan komputer untuk mengetik setiap kata yang rencananya akan saya ucapkan besok, mengganti, melafalkan, mencoret dan menyempurnakan, melatihnya lagi. Saat ini menjelang 1 jam sebelum pergantian hari, suara saya sudah agak serak saking seringnya mengulang-ulang. Tapi sekarang saya merasa sedikit lebih percaya diri. Dari yang duduknya termangu, kini agak tersenyum. Rupanya meskipun sering tampil di depan umum, kalau audience dan acaranya berbeda, bikin keder juga. Selama ini kalau menjadi MC dan moderator, saya cuma mempelajari rundown atau inti masalah yang akan dibahas, lalu saya mengoceh menyesuaikan dengan suasananya. Kalau situasinya berubah, saya bisa seketika itu juga mengubah susunan acara sehingga tak ada yang tahu, dikira semuanya mulus padahal di belakangnya ada kendala ini itu. Tapi kali ini saya tidak bisa seperti itu, karena saya tidak cukup pede untuk improvisasi, bisa-bisa saya keliru-keliru dan gemetaran.
Hari ini saya belajar tentang kebenaran sebuah pepatah : come prepared and you already win half of the battle. Separuh perjuangannya lagi ya besok pagi, ketika acaranya benar-benar berlangsung! Siapa tahu dengan berdoa, perjuangannya tinggal seperempat. Tapi, paling tidak persiapan saya malam ini membuat saya sedikit tenang...
Saya lalu duduk di depan komputer untuk mengetik setiap kata yang rencananya akan saya ucapkan besok, mengganti, melafalkan, mencoret dan menyempurnakan, melatihnya lagi. Saat ini menjelang 1 jam sebelum pergantian hari, suara saya sudah agak serak saking seringnya mengulang-ulang. Tapi sekarang saya merasa sedikit lebih percaya diri. Dari yang duduknya termangu, kini agak tersenyum. Rupanya meskipun sering tampil di depan umum, kalau audience dan acaranya berbeda, bikin keder juga. Selama ini kalau menjadi MC dan moderator, saya cuma mempelajari rundown atau inti masalah yang akan dibahas, lalu saya mengoceh menyesuaikan dengan suasananya. Kalau situasinya berubah, saya bisa seketika itu juga mengubah susunan acara sehingga tak ada yang tahu, dikira semuanya mulus padahal di belakangnya ada kendala ini itu. Tapi kali ini saya tidak bisa seperti itu, karena saya tidak cukup pede untuk improvisasi, bisa-bisa saya keliru-keliru dan gemetaran.
Hari ini saya belajar tentang kebenaran sebuah pepatah : come prepared and you already win half of the battle. Separuh perjuangannya lagi ya besok pagi, ketika acaranya benar-benar berlangsung! Siapa tahu dengan berdoa, perjuangannya tinggal seperempat. Tapi, paling tidak persiapan saya malam ini membuat saya sedikit tenang...
Labels:
'lawrence tjandra',
persiapan
Monday, September 27, 2010
27 September 2010 : Mitra yang Pongah
Sebenarnya sudah beberapa hari ini saya dongkol seleher dengan kelakuan orang-orang yang karena jabatannya berlaku sewenang-wenang. Saya jadi ingat parodi yang ditulis teman saya Samuel Mulia di Koran Kompas kemarin berjudul "Kamu tahu, Saya ini Siapa?" Ia mengatakan semakin tinggi kedudukan orang, ia dituntut semakin rendah hati. Karena pemimpin ada untuk melayani, bukan untuk dilayani. Saya setuju sekali dengan pendapatnya.
Saya cukup banyak berinteraksi dengan orang-orang yang seyogyanya menjadi pemimpin, dan karena jabatan dan kedudukannya mereka lalu merasa perlu untuk membuat batasan tersendiri, menjadikan mereka menara gading yang misterius, dan terpisah dari orang-orang yang seharusnya diayominya. Seorang pemimpin yang baik tidaklah mengerjakan semua beban tugasnya sendiri. Namanya juga pemimpin, jadi dia harus memimpin pasukannya. Kalau dia juga yang mengerjakan, maka dia pantas dipertanyakan kepiawaiannya dalam memimpin. Seorang pemimpin yang baik harus dapat menjalin kemitraan dengan semua pihak dan membagikan tugas sesuai dengan porsi masing-masing sambil mengakui hasil kerja masing-masing pihak agar setiap pihak merasa dihargai jerih payahnya, dan bukannya semua ditelan sendiri seolah-olah ini adalah hasil pekerjaannya sedang mitranya cuma bantu-bantu saja. Kelakuan ini merupakan kepongahan yang luar biasa dari seorang pemimpin. Apa lagi kalau si pemimpin ini lalu meminta imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan seorang mitra untuk membantu sang pemimpin menyelesaikan tugasnya. Jadi sudah dibantu masih minta upeti pula!
Hari ini, saya mendapat perlakuan yang tidak fair dan semena-mena. Saya bingung cara menghadapinya. Haruskah saya menyatakan kekecewaan saya dan menantang si penginjak, atau haruskah saya diam saja mengikuti semua kemauan yang didiktekan karena saya ini di pihak yang dituntut harus menurut?
Setelah saya pikir-pikir, saya tidak mengambil alternatif a atau b. Saya mengambil alternatif yang lain : menetapkan sebuah langkah yang seolah-olah mengikuti kemauan sang penginjak, namun kalau diperhatikan lagi, kali ini saya sudah tidak mengikuti semua tuntutannya. Karena dengan keluar dari lingkup sang penginjak, saya berada di zona independen dan bisa melakukan sesuatu sesuai prinsip sendiri sehingga bila ada pihak yang ingin ikut serta, mereka harus mengikuti peraturan yang saya buat. Kalau mau protes, silakan keluar dari arena ini.
Hari ini saya belajar bahwa sebutuh-butuhnya kita dengan orang lain, jangan sampai kita mau diperbudak oleh orang itu. Saya tetap seorang yang independen. Yang namanya bermitra berarti ada dua pihak yang berkedudukan setara, yang saling memberi keuntungan atas kebutuhan masing-masing dan bukannya satu bersikap sebagai raja yang otoriter, sementara yang lain dituntut bersikap menurut seperti pembantu. Kalau begitu, bukan mitra namanya.
Yang namanya bermitra tentu ada toleransi dan saling mengerti dimana satu pihak kadang mendapat keuntungan lebih besar dari yang lain, namun semuanya masih dalam taraf kesetaraan. Kalau kemudian mitra kita bersikap semena-mena sehingga kita tidak merasa nyaman lagi, kita tentu akan keluar dari kemitraan itu, dan bisa jadi kita akan memilih kemitraan lain yang memiliki visi dan misi yang sama. Jadi jangan dianggap mitra kita berhasil karena ada kita. Sejujurnya keberhasilan itu karena sinergi dua belah pihak, bukan karena satu pihak saja.
Jadi jangan pernah kita merasa menang karena kita berkuasa. Seharusnya kita malu sendiri, karena kekuasaan itu seharusnya dipakai untuk kebaikan semua pihak. Sebaiknya kita merasa menang karena tujuan pokok yang kita emban tercapai dengan baik dengan dukungan berbagai pihak yang memang memiliki komitmen untuk mewujudkan tugas pokok tersebut. Maafkan hari ini saya mengeluarkan uneg-uneg. Biasalah, orang yang terinjak terkadang tiba-tiba bisa menjadi bijak...
Saya cukup banyak berinteraksi dengan orang-orang yang seyogyanya menjadi pemimpin, dan karena jabatan dan kedudukannya mereka lalu merasa perlu untuk membuat batasan tersendiri, menjadikan mereka menara gading yang misterius, dan terpisah dari orang-orang yang seharusnya diayominya. Seorang pemimpin yang baik tidaklah mengerjakan semua beban tugasnya sendiri. Namanya juga pemimpin, jadi dia harus memimpin pasukannya. Kalau dia juga yang mengerjakan, maka dia pantas dipertanyakan kepiawaiannya dalam memimpin. Seorang pemimpin yang baik harus dapat menjalin kemitraan dengan semua pihak dan membagikan tugas sesuai dengan porsi masing-masing sambil mengakui hasil kerja masing-masing pihak agar setiap pihak merasa dihargai jerih payahnya, dan bukannya semua ditelan sendiri seolah-olah ini adalah hasil pekerjaannya sedang mitranya cuma bantu-bantu saja. Kelakuan ini merupakan kepongahan yang luar biasa dari seorang pemimpin. Apa lagi kalau si pemimpin ini lalu meminta imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan seorang mitra untuk membantu sang pemimpin menyelesaikan tugasnya. Jadi sudah dibantu masih minta upeti pula!
Hari ini, saya mendapat perlakuan yang tidak fair dan semena-mena. Saya bingung cara menghadapinya. Haruskah saya menyatakan kekecewaan saya dan menantang si penginjak, atau haruskah saya diam saja mengikuti semua kemauan yang didiktekan karena saya ini di pihak yang dituntut harus menurut?
Setelah saya pikir-pikir, saya tidak mengambil alternatif a atau b. Saya mengambil alternatif yang lain : menetapkan sebuah langkah yang seolah-olah mengikuti kemauan sang penginjak, namun kalau diperhatikan lagi, kali ini saya sudah tidak mengikuti semua tuntutannya. Karena dengan keluar dari lingkup sang penginjak, saya berada di zona independen dan bisa melakukan sesuatu sesuai prinsip sendiri sehingga bila ada pihak yang ingin ikut serta, mereka harus mengikuti peraturan yang saya buat. Kalau mau protes, silakan keluar dari arena ini.
Hari ini saya belajar bahwa sebutuh-butuhnya kita dengan orang lain, jangan sampai kita mau diperbudak oleh orang itu. Saya tetap seorang yang independen. Yang namanya bermitra berarti ada dua pihak yang berkedudukan setara, yang saling memberi keuntungan atas kebutuhan masing-masing dan bukannya satu bersikap sebagai raja yang otoriter, sementara yang lain dituntut bersikap menurut seperti pembantu. Kalau begitu, bukan mitra namanya.
Yang namanya bermitra tentu ada toleransi dan saling mengerti dimana satu pihak kadang mendapat keuntungan lebih besar dari yang lain, namun semuanya masih dalam taraf kesetaraan. Kalau kemudian mitra kita bersikap semena-mena sehingga kita tidak merasa nyaman lagi, kita tentu akan keluar dari kemitraan itu, dan bisa jadi kita akan memilih kemitraan lain yang memiliki visi dan misi yang sama. Jadi jangan dianggap mitra kita berhasil karena ada kita. Sejujurnya keberhasilan itu karena sinergi dua belah pihak, bukan karena satu pihak saja.
Jadi jangan pernah kita merasa menang karena kita berkuasa. Seharusnya kita malu sendiri, karena kekuasaan itu seharusnya dipakai untuk kebaikan semua pihak. Sebaiknya kita merasa menang karena tujuan pokok yang kita emban tercapai dengan baik dengan dukungan berbagai pihak yang memang memiliki komitmen untuk mewujudkan tugas pokok tersebut. Maafkan hari ini saya mengeluarkan uneg-uneg. Biasalah, orang yang terinjak terkadang tiba-tiba bisa menjadi bijak...
Labels:
'lawrence tjandra',
bermitra
Sunday, September 26, 2010
26 September 2010 : Keluar dari Tempurung
Pagi ini sepulang gereja saya memutuskan untuk menikmati hari Minggu dengan cara yang berbeda : pergi ke sebuah tempat yang belum pernah saya kunjungi. Anda boleh tertawa, tapi selama berpuluh tahun tinggal di Jakarta, saya belum pernah ke Pantai Indah Kapuk. Maka ke sanalah saya melaju.
Daerah utara Jakarta adalah tempat yang paling jarang saya sentuh, dan karenanya saya paling tidak mengerti mengenai karakter mereka. Saya tidak mengerti kebiasaan mereka, kesukaan mereka dan bagaimana mereka menjalani dan menikmati hidup. Orang-orang Jakarta Utara terutama yang keturunan Tionghoa adalah termasuk yang paling kaya di kawasan jabodetabek. Kalau selama ini Anda hanya kenal Menteng dan Jakarta Selatan sebagai daerah elite, Anda harus ke daerah yang bersinggungan dengan pantai. Berada di "kepala naga" tempat ini dipercaya memberikan hoki yang berlimpah. Lihat saja rumah-rumah di Pantai Mutiara yang luar biasa luas dan besarnya dan setiap halamannya terhubung dengan dermaga pribadi tempat menyimpan yacht ke pulau-pulau pribadi mereka. Mobil branded adalah hal yang biasa. Seorang kerabat saya pernah terkaget-kaget ketika awalnya heran masa rumah sebesar itu tidak punya mobil. Ternyata mobil mereka yang puluhan itu tersimpan dalam sebuah garasi hidrolik yang bisa berotasi. Jadi satu mobil punya satu nomor dan satu tempat penyimpanan. Jadi kalau si empunya ingin naik BMW, ia tinggal memencet tombol nomor 7 dan berputarlah mobil mereka hingga no 7 siap di depan pintu garasi. Sebegitunya kekayaan mereka.
Siang ini, saya tidak sampai bongkar-bongkar isi lemari dan menguntit apa yang mereka lakukan. Saya hanya berkeliling dan menikmati suasana baru yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Perumahannya, deretan pertokoan, bank, dan berbagai fasilitas yang mereka miliki, sampai sebuah lapangan golf, rekreasi air dan sebuah pusat yayasan Buddha yang aktif di bidang pendidikan. Tiba-tiba saya tertarik untuk berhenti di sebuah pasar swalayan. Salah satu teorinya adalah kita bisa mengenal kebiasaan mereka dari apa yang disajikan di pasar swalayannya. Menyusuri setiap rak, saya menemukan berbagai produk yang tidak lazim ditemukan di pasar swalayan di daerah lain di kota ini, seperti sebuah rak khusus peralatan sembahyang berupa aneka dupa dan asesoris lainnya. Lalu saya mengelilingi pasar basahnya dan melihat toko apa saja yang buka di sana, siapa saja yang belanja, apa saja yang dijual di sana, suasananya. Merasakan dan membayangkan tinggal di sana. Ketika keluar dari daerah itu, saya merasa saya jadi lebih kaya, karena hari ini belajar mengenai daerah yang letaknya cuma kurang dari 30 menit dari rumah jika menggunakan fasilitas jalan tol, padahal saya sudah tinggal permanen di Jakarta lebih dari 22 tahun.
Saya sering bilang buka mata buka hati, tapi hari ini saya merasa perlu membuka mata dan hati lebih besar lagi, karena ternyata masih banyak yang saya tidak mengerti dan ketahui dari daerah sekitar saya. Saya baru menyadari, kalau begitu mestinya tidak ada lagi kata bosan dan tidak tahu mau ke mana di akhir pekan. Biasanya saya bosan karena perginya dari mal ke mal itu itu juga, dan kalau ke mal yang lain pun ketemunya dengan toko dan produk itu itu juga. Padahal di luar itu, begitu banyak hal menarik yang bisa kita temui asal kita mau keluar dari kebiasaan dan lingkungan kita. Makanya tadinya saya heran, kok sudah jalan-jalan ke mall saya tidak merasa refresh ya, ternyata karena perginya ke tempat-tempat yang sama melulu. Jadi hari ini ketika saya pergi ke tempat "baru", saya merasa benar-benar refresh! Seperti berasa sedang di sebuah kota lain. Serasa ke luar negeri dalam waktu 30 menit, dan kembali ke rumah 3 jam setelahnya ketika mobil saya memasuki pintu exit toll di daerah perumahan saya... What an effective and fast way to refresh!
Daerah utara Jakarta adalah tempat yang paling jarang saya sentuh, dan karenanya saya paling tidak mengerti mengenai karakter mereka. Saya tidak mengerti kebiasaan mereka, kesukaan mereka dan bagaimana mereka menjalani dan menikmati hidup. Orang-orang Jakarta Utara terutama yang keturunan Tionghoa adalah termasuk yang paling kaya di kawasan jabodetabek. Kalau selama ini Anda hanya kenal Menteng dan Jakarta Selatan sebagai daerah elite, Anda harus ke daerah yang bersinggungan dengan pantai. Berada di "kepala naga" tempat ini dipercaya memberikan hoki yang berlimpah. Lihat saja rumah-rumah di Pantai Mutiara yang luar biasa luas dan besarnya dan setiap halamannya terhubung dengan dermaga pribadi tempat menyimpan yacht ke pulau-pulau pribadi mereka. Mobil branded adalah hal yang biasa. Seorang kerabat saya pernah terkaget-kaget ketika awalnya heran masa rumah sebesar itu tidak punya mobil. Ternyata mobil mereka yang puluhan itu tersimpan dalam sebuah garasi hidrolik yang bisa berotasi. Jadi satu mobil punya satu nomor dan satu tempat penyimpanan. Jadi kalau si empunya ingin naik BMW, ia tinggal memencet tombol nomor 7 dan berputarlah mobil mereka hingga no 7 siap di depan pintu garasi. Sebegitunya kekayaan mereka.
Siang ini, saya tidak sampai bongkar-bongkar isi lemari dan menguntit apa yang mereka lakukan. Saya hanya berkeliling dan menikmati suasana baru yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Perumahannya, deretan pertokoan, bank, dan berbagai fasilitas yang mereka miliki, sampai sebuah lapangan golf, rekreasi air dan sebuah pusat yayasan Buddha yang aktif di bidang pendidikan. Tiba-tiba saya tertarik untuk berhenti di sebuah pasar swalayan. Salah satu teorinya adalah kita bisa mengenal kebiasaan mereka dari apa yang disajikan di pasar swalayannya. Menyusuri setiap rak, saya menemukan berbagai produk yang tidak lazim ditemukan di pasar swalayan di daerah lain di kota ini, seperti sebuah rak khusus peralatan sembahyang berupa aneka dupa dan asesoris lainnya. Lalu saya mengelilingi pasar basahnya dan melihat toko apa saja yang buka di sana, siapa saja yang belanja, apa saja yang dijual di sana, suasananya. Merasakan dan membayangkan tinggal di sana. Ketika keluar dari daerah itu, saya merasa saya jadi lebih kaya, karena hari ini belajar mengenai daerah yang letaknya cuma kurang dari 30 menit dari rumah jika menggunakan fasilitas jalan tol, padahal saya sudah tinggal permanen di Jakarta lebih dari 22 tahun.
Saya sering bilang buka mata buka hati, tapi hari ini saya merasa perlu membuka mata dan hati lebih besar lagi, karena ternyata masih banyak yang saya tidak mengerti dan ketahui dari daerah sekitar saya. Saya baru menyadari, kalau begitu mestinya tidak ada lagi kata bosan dan tidak tahu mau ke mana di akhir pekan. Biasanya saya bosan karena perginya dari mal ke mal itu itu juga, dan kalau ke mal yang lain pun ketemunya dengan toko dan produk itu itu juga. Padahal di luar itu, begitu banyak hal menarik yang bisa kita temui asal kita mau keluar dari kebiasaan dan lingkungan kita. Makanya tadinya saya heran, kok sudah jalan-jalan ke mall saya tidak merasa refresh ya, ternyata karena perginya ke tempat-tempat yang sama melulu. Jadi hari ini ketika saya pergi ke tempat "baru", saya merasa benar-benar refresh! Seperti berasa sedang di sebuah kota lain. Serasa ke luar negeri dalam waktu 30 menit, dan kembali ke rumah 3 jam setelahnya ketika mobil saya memasuki pintu exit toll di daerah perumahan saya... What an effective and fast way to refresh!
Labels:
'lawrence tjandra',
refreshing
Saturday, September 25, 2010
25 September 2010 : Belajar Marah dengan Baik
Siang ini seorang teman menceramahi saya soal marah. Ia mengatakan bahwa sudah tabiat saya kalau marah meledak sesaat lalu sirna. Tapi meledaknya dengan suara lantang dan kepala ngepul, lalu semenit kemudian saya sudah cengar-cengir lagi seolah tak terjadi apa-apa padahal yang kena damprat masih sebal dan sakit hati. Bagi yang sudah mengenal saya luar dalam, mereka sudah maklum dengan gaya marah saya dan menganggapnya angin lalu saja. Tapi yang tidak terbiasa, bisa tidak terima dan sakit hati. Padahal, kemarahan saya kadang-kadang soal yang remeh temeh. Teman saya bilang ia maklum, karena saya orangnya keras, perfeksionis dan serba cepat, jadi kalau ada yang tidak bisa mengikuti irama, saya jadi tidak sabar.
Saya menerima semua masukan itu, dan saya membenarkannya. Lalu saya menganalisa, mungkin karena hidup saya ini keras sekali. Apa yang saya capai selama ini adalah hasil kerja keras dan banting tulang saya. Saya selalu mengalami pelecehan, cemoohan dan dipandang sebelah mata yang mengakibatkan saya bersumpah untuk bisa membuktikan bahwa saya bisa. Dan saya memang bisa. Selama ini saya selalu dituntut untuk berhasil atas berbagai tugas yang tidak masuk akal sekalipun, dan saya membuktikan bahwa saya bisa. Karenanya saya sering tidak bisa terima kalau orang itu tidak mau berjuang, tidak mau berusaha, tidak bisa bergerak cepat. Melalui berbagai tuntutan yang keras, saya belajar bahwa nothing is impossible dan impossible is nothing, mirip slogan perlengkapan olah raga.
Siang ini, teman saya menegur saya bahwa tidak semua orang ada di jalur itu. Untuk sebagian orang, impossible is impossible, and nothing you can do when something is impossible. Sebenarnya secara teori saya tahu, tapi nyatanya praktek hidup berbicara lain. Ketika saya dituntut berlari dengan kecepatan penuh, saya menuntut gerbong saya melakukan hal yang sama. Kalau tercecer, tentu saya tinggal. Kalau terlambat, akan saya pacu agar bisa berlari sama kencang. Sayangnya dalam sebuah gerbong, tidak semua penumpangnya punya pikiran yang sama, karena tujuan naik gerbong mungkin berbeda-beda. Karenanya, tidak selayaknya saya menyamaratakan perlakuan terhadap setiap individu. Kalau selama ini saya mengajarkan prinsip strategi komunikasi yang unik untuk setiap pemangku kepentingan, mengapa saya tidak menerapkannya juga untuk soal marah? Toh kemarahan itu merupakan salah satu alat untuk menyampaikan pesan.
Tiba-tiba, konsep tentang marah menjadi berubah. Saya segera sadar bahwa selama ini saya tidak memanfaatkan alat yang satu ini dengan benar. Tanpa sadar saya telah menyamaratakan penggunaan "marah" yang sama kepada semua orang, padahal menurut ilmu komunikasi yang baik, tidak bisa digebyar uyah, disamaratakan begitu saja. Teman saya menguliahi saya ada marah dengan pendekatan diberitahu saja sudah cukup, ada marah yang harus disentak, ada marah yang didiamkan saja, tergantung kondisi yang menerima. Intinya, demi kebaikan semua, saya harus mengubah strategi penggunaan saluran marah dengan hati-hati dan benar karena marah merupakan suatu alat yang sangat powerful dan besar dampaknya. Kalau sedikit-sedikit marah, lama-lama akan menjadi efek pantul, dengan kemarahan dari pihak lain yang lebih besar lagi. Maka marahnya harus disalurkan dalam bentuk berbeda-beda, halus, tersamar, tegas, keras, langsung, tergantung situasi kondisi dan siapa yang ditegur atau dimarahi.
Hari ini saya menyadari kebiasaan marah saya selama ini ngawur. Mulai sekarang, setiap akan marah, saya harus mengingatkan diri bahwa marah adalah sebuah alat komunikasi, jadi harus dipilih pendekatan yang tepat dengan waktu, tempat, situasi dan siapa yang akan dikenai pendekatan ini. Pokoknya, marah didekati dengan prinsip dasar komunikasi 5W1H : what, who, where, when, why dan how.
Terima kasih banyak untuk teman yang sudah mau berbaik hati memberikan masukan sangat berharga sehingga saya dapat menjadi manusia yang lebih baik. Jadi, kalau saya sedang marah, tolong bantu, tanyakan saja langsung : sudah yakin nih pakai pendekatan marah yang seperti ini? Sudah pakai prinsip 5W1H belum? Siapa tahu saya sedang lupa karena keburu naik darah...
Saya menerima semua masukan itu, dan saya membenarkannya. Lalu saya menganalisa, mungkin karena hidup saya ini keras sekali. Apa yang saya capai selama ini adalah hasil kerja keras dan banting tulang saya. Saya selalu mengalami pelecehan, cemoohan dan dipandang sebelah mata yang mengakibatkan saya bersumpah untuk bisa membuktikan bahwa saya bisa. Dan saya memang bisa. Selama ini saya selalu dituntut untuk berhasil atas berbagai tugas yang tidak masuk akal sekalipun, dan saya membuktikan bahwa saya bisa. Karenanya saya sering tidak bisa terima kalau orang itu tidak mau berjuang, tidak mau berusaha, tidak bisa bergerak cepat. Melalui berbagai tuntutan yang keras, saya belajar bahwa nothing is impossible dan impossible is nothing, mirip slogan perlengkapan olah raga.
Siang ini, teman saya menegur saya bahwa tidak semua orang ada di jalur itu. Untuk sebagian orang, impossible is impossible, and nothing you can do when something is impossible. Sebenarnya secara teori saya tahu, tapi nyatanya praktek hidup berbicara lain. Ketika saya dituntut berlari dengan kecepatan penuh, saya menuntut gerbong saya melakukan hal yang sama. Kalau tercecer, tentu saya tinggal. Kalau terlambat, akan saya pacu agar bisa berlari sama kencang. Sayangnya dalam sebuah gerbong, tidak semua penumpangnya punya pikiran yang sama, karena tujuan naik gerbong mungkin berbeda-beda. Karenanya, tidak selayaknya saya menyamaratakan perlakuan terhadap setiap individu. Kalau selama ini saya mengajarkan prinsip strategi komunikasi yang unik untuk setiap pemangku kepentingan, mengapa saya tidak menerapkannya juga untuk soal marah? Toh kemarahan itu merupakan salah satu alat untuk menyampaikan pesan.
Tiba-tiba, konsep tentang marah menjadi berubah. Saya segera sadar bahwa selama ini saya tidak memanfaatkan alat yang satu ini dengan benar. Tanpa sadar saya telah menyamaratakan penggunaan "marah" yang sama kepada semua orang, padahal menurut ilmu komunikasi yang baik, tidak bisa digebyar uyah, disamaratakan begitu saja. Teman saya menguliahi saya ada marah dengan pendekatan diberitahu saja sudah cukup, ada marah yang harus disentak, ada marah yang didiamkan saja, tergantung kondisi yang menerima. Intinya, demi kebaikan semua, saya harus mengubah strategi penggunaan saluran marah dengan hati-hati dan benar karena marah merupakan suatu alat yang sangat powerful dan besar dampaknya. Kalau sedikit-sedikit marah, lama-lama akan menjadi efek pantul, dengan kemarahan dari pihak lain yang lebih besar lagi. Maka marahnya harus disalurkan dalam bentuk berbeda-beda, halus, tersamar, tegas, keras, langsung, tergantung situasi kondisi dan siapa yang ditegur atau dimarahi.
Hari ini saya menyadari kebiasaan marah saya selama ini ngawur. Mulai sekarang, setiap akan marah, saya harus mengingatkan diri bahwa marah adalah sebuah alat komunikasi, jadi harus dipilih pendekatan yang tepat dengan waktu, tempat, situasi dan siapa yang akan dikenai pendekatan ini. Pokoknya, marah didekati dengan prinsip dasar komunikasi 5W1H : what, who, where, when, why dan how.
Terima kasih banyak untuk teman yang sudah mau berbaik hati memberikan masukan sangat berharga sehingga saya dapat menjadi manusia yang lebih baik. Jadi, kalau saya sedang marah, tolong bantu, tanyakan saja langsung : sudah yakin nih pakai pendekatan marah yang seperti ini? Sudah pakai prinsip 5W1H belum? Siapa tahu saya sedang lupa karena keburu naik darah...
Labels:
'cara marah yang baik',
'lawrence tjandra',
marah
Friday, September 24, 2010
24 September 2010 : Blong!
Hari ini saya lelah lahir batin. Saya bangun pagi-pagi, mulai meeting jam 9, lalu berkoordinasi internal sebentar, makan siang, meeting jam 15, 17 dan ada acara undangan klien yang berlangsung sampai jam 22.00. Di luar itu, saya disibukkan oleh telepon klien dengan permintaan yang sekejap harus ada. Lalu urusan persiapan acara besok dan permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dari berbagai pihak. Saya benar-benar habis energi.
Sudah begitu, pulang saya disuguhi pemandangan yang tidak menyedapkan. Meja kaca di ruang keluarga saya berembun sampai mau menetes. Saya minta lap kering, datangnya lap lembab. Sudah diminta untuk mengganti lapnya, masih saja ngotot mau dilap. Saya hilang kesabaran dan marah besar untuk hal yang sepele. Sebetulnya kalau energi saya penuh, mungkin saya cuma mengelus dada saja tapi karena energinya sudah hilang ya jadi tidak ada rem lagi, murka lah saya. Kemurkaan saya malam-malam begini, disambut disambut oleh pembantu yang mungkin juga sudah mengantuk menunggui saya. Padahal saya juga tidak pernah memerintahkan untuk menunggui. Kalau sudah tidur, saya jarang membangunkan, kecuali kalau sedang tidak pegang kunci.
Kekesalan dan kemarahan yang saya muntahkan malam ini adalah akumulasi kekesalan dan kelelahan yang menumpuk sampai membludak. Mungkin hal yang sama terjadi dengan pembantu saya, sudah lama jengkel dan malam ini sama-sama meletus. Setelah diceritakan dalam blog ini, karena energi negatifnya sudah keluar semua, otak mulai dingin lagi, dan menyesali rem yang blong ini. Terus terang, saya juga kaget dan juga tertampar dengan kemarahan saya malam ini. Saya bisa begitu marahnya ketika ditantang. Sebetulnya itu bakat terpendam : semakin ditantang, semakin menantang balik. Bukan hal yang baik, namun itulah kenyataannya, salah satu kekurangan saya.
Saya merasa menceramahi diri sendiri agar lebih menahan diri bukanlah saat yang tepat, karena kalau orang sudah di titik terendah, dan kelelahan serta uneg-uneg di dalam sudah melebihi leher, maka dengan senggolan sedikit, meletuplah lahar panas yang tersimpan dan terkocok dari dalam. Saya merasa, satu-satunya jalan adalah mengurangi tingkat stress sampai pada garis yang dapat ditolerir. Mungkin juga saya sudah sampai titik jenuh, mungkin juga pola liburan yang dikumpulkan di akhir tahun sudah tidak efektif lagi dengan bertambahnya waktu. Mungkin sudah saatnya saya membagi rata menjadi dua kali liburan dalam setahun, bukan seperti sekarang, mencuri-curi waktu untuk rehat sejenak keluar dari kesibukan tapi hasilnya tidak maksimal.
Malam ini saya ditampar untuk bangun! Supaya saya menyadari bahwa saya harus segera mengubah pola kerja saya. Karena di depan mata pekerjaan saya tak akan ada hentinya sampai akhir tahun ini, dengan kondisi pekerjaan yang tidak seperti di tahun-tahun lalu, dimana saya masih bisa mencicil dan mengetahui dari awal kendala yang akan terjadi. Tahun ini semuanya penuh kejutan.
Tadi, saya menuntut pembantu saya untuk minta maaf atas kekurangajarannya balik menyerang saya, padahal jelas-jelas dialah yang tidak mengikuti perintah saya untuk mengambil lap kering sehingga berujung pada pertengkaran. Kini saya merasa sayalah yang harus minta maaf bukan karena apa yang saya kesalkan padanya salah, namun karena kekurangtepatan cara saya menghadapi semua tekanan hidup yang ada di depan saya, tidak hanya soal kerjaan tapi masalah pribadi, sehingga meledak kemana-mana dan malah menghancurkan tatanan yang sudah rapi. Saya harus bebenah dan mengubah arah, kalau tidak mau jadi kehabisan energi.
Di tengah pergantian hari ini saya belajar : energy keeps our sanity. You lose it, you lose your sanity.
Sudah begitu, pulang saya disuguhi pemandangan yang tidak menyedapkan. Meja kaca di ruang keluarga saya berembun sampai mau menetes. Saya minta lap kering, datangnya lap lembab. Sudah diminta untuk mengganti lapnya, masih saja ngotot mau dilap. Saya hilang kesabaran dan marah besar untuk hal yang sepele. Sebetulnya kalau energi saya penuh, mungkin saya cuma mengelus dada saja tapi karena energinya sudah hilang ya jadi tidak ada rem lagi, murka lah saya. Kemurkaan saya malam-malam begini, disambut disambut oleh pembantu yang mungkin juga sudah mengantuk menunggui saya. Padahal saya juga tidak pernah memerintahkan untuk menunggui. Kalau sudah tidur, saya jarang membangunkan, kecuali kalau sedang tidak pegang kunci.
Kekesalan dan kemarahan yang saya muntahkan malam ini adalah akumulasi kekesalan dan kelelahan yang menumpuk sampai membludak. Mungkin hal yang sama terjadi dengan pembantu saya, sudah lama jengkel dan malam ini sama-sama meletus. Setelah diceritakan dalam blog ini, karena energi negatifnya sudah keluar semua, otak mulai dingin lagi, dan menyesali rem yang blong ini. Terus terang, saya juga kaget dan juga tertampar dengan kemarahan saya malam ini. Saya bisa begitu marahnya ketika ditantang. Sebetulnya itu bakat terpendam : semakin ditantang, semakin menantang balik. Bukan hal yang baik, namun itulah kenyataannya, salah satu kekurangan saya.
Saya merasa menceramahi diri sendiri agar lebih menahan diri bukanlah saat yang tepat, karena kalau orang sudah di titik terendah, dan kelelahan serta uneg-uneg di dalam sudah melebihi leher, maka dengan senggolan sedikit, meletuplah lahar panas yang tersimpan dan terkocok dari dalam. Saya merasa, satu-satunya jalan adalah mengurangi tingkat stress sampai pada garis yang dapat ditolerir. Mungkin juga saya sudah sampai titik jenuh, mungkin juga pola liburan yang dikumpulkan di akhir tahun sudah tidak efektif lagi dengan bertambahnya waktu. Mungkin sudah saatnya saya membagi rata menjadi dua kali liburan dalam setahun, bukan seperti sekarang, mencuri-curi waktu untuk rehat sejenak keluar dari kesibukan tapi hasilnya tidak maksimal.
Malam ini saya ditampar untuk bangun! Supaya saya menyadari bahwa saya harus segera mengubah pola kerja saya. Karena di depan mata pekerjaan saya tak akan ada hentinya sampai akhir tahun ini, dengan kondisi pekerjaan yang tidak seperti di tahun-tahun lalu, dimana saya masih bisa mencicil dan mengetahui dari awal kendala yang akan terjadi. Tahun ini semuanya penuh kejutan.
Tadi, saya menuntut pembantu saya untuk minta maaf atas kekurangajarannya balik menyerang saya, padahal jelas-jelas dialah yang tidak mengikuti perintah saya untuk mengambil lap kering sehingga berujung pada pertengkaran. Kini saya merasa sayalah yang harus minta maaf bukan karena apa yang saya kesalkan padanya salah, namun karena kekurangtepatan cara saya menghadapi semua tekanan hidup yang ada di depan saya, tidak hanya soal kerjaan tapi masalah pribadi, sehingga meledak kemana-mana dan malah menghancurkan tatanan yang sudah rapi. Saya harus bebenah dan mengubah arah, kalau tidak mau jadi kehabisan energi.
Di tengah pergantian hari ini saya belajar : energy keeps our sanity. You lose it, you lose your sanity.
Labels:
'lawrence tjandra',
sanity
Thursday, September 23, 2010
23 September 2010 : Putus!
Teman saya sedang pusing. Malam-malam ia menelpon untuk curhat bahwa kakaknya baru saja memvonis putus hubungan dengannya. Padahal ia tidak bersalah, ia malah menjadi korban penipuan kakaknya. Ceritanya, kakaknya mengajaknya berbisnis, dan karena yang meminta kakaknya, maka ia urun sumbang dana sebesar hampir 50 juta. Pagi tadi, kakaknya menelpon menanyakan soal Kredit Tanpa Agunan dan sang adik memperingatkan agar sangat berhati-hati dan menghitung benar bunga serta kemampuan membayar cicilan bulanan vs besar penghasilan. Dari sana, sang adik mengatakan bahwa akhir pekan ini ia cukup punya waktu luang, ingin melihat bisnis yang dipercayakan pada kakaknya. Ternyata jawaban yang didapat dari sang kakak seperti labirin. Singkat cerita, bisnis yang diceritakan adalah pepesan kosong dan uang 50 jutanya menguap begitu saja ditelan kantong sang kakak. Alih-alih ia yang marah, malah kakaknya yang marah besar. Katanya kok ia hitungan gitu dengan kakaknya, dan semua orang kan pasti pernah salah langkah. Ujung-ujungnya, sang kakak memvonis putus hubungan keluarga. Teman saya jadi emosional dan langsung mengiyakan ajakan putus tersebut, apa lagi ini bukan kali pertama ia dikadali kakaknya. Sudah ketiga kalinya. Namun, bagaimana pun juga sebagai adik ia merasa patah hati, kok tega-teganya kakaknya bertindak semena-mena seperti ini. Ia yang dikerjai, tapi ia yang sekarang seolah ditempatkan di kursi pesakitan.
Saya yang mendengarnya menjadi terheran-heran. Jangan-jangan ini akal sang kakak agar tidak perlu pusing-pusing mengakui ia telah mengorupsi uang adiknya dan tak punya kewajiban untuk memulangkan uangnya. Saya sih yakin, mau bagaimana pun, uang tak akan kembali, tapi sambil mendengar saya memutar otak, bagaimana ya caranya menghajar sang kakak, supaya sadar ia tidak bisa bertindak seenak-enaknya saja mentang-mentang ia anak tertua bisa bersikap sesuka hatinya pada sang adik.
Diam-diam saya jadi terusik berpikir mengapa orang suka memanipulasi hubungannya dengan orang-orang terdekatnya? Ancaman putus merupakan ancaman yang luar biasa kejamnya dan memiliki konsekuensi beban batin yang luar biasa mengingat hubungan yang tadinya dekat kemudian ditebas begitu saja. Serela-relanya kita memutuskan hubungan keluarga, pasti di lubuk hati terdalam ada rasa "gelo", rasa tak rela.
Tiba-tiba saya melihat semua ancaman ini dari sisi yang berbeda. Hidup kita ini memang penuh ancaman yang mencoba membuat kita seolah-olah tidak berdaya selain mengikuti ritme permainan dan kekuatan di luar diri kita sehingga mau tak mau kita harus ikut dalam arus yang kuat itu. Segala tekanan itu membuat kita lupa, bahwa kita adalah makhluk merdeka yang memiliki kebebasan untuk mengendalikan diri kita, dan bukannya dikendalikan oleh orang atau kekuatan lain. Orang-orang macam kakak teman saya adalah kekuatan yang merongrong yang mencoba menguasai dan mengendalikan kehidupan dan pola pikir adiknya sehingga sang adik merasa tidak berdaya dan bisa dianiaya seenaknya. Bukankah hal semacam ini banyak di sekeliling hidup kita?
Tiba-tiba lagi saya bangkit dan memiliki spirit untuk melawan, bukan dengan kekerasan namun dengan cara menunjukkan bahwa saya adalah pribadi yang menentukan, bukan ditentukan. Dengan kata lain : I control my life. Sehingga saya tidak akan membiarkan orang mempermainkan dan mengendalikan hidup saya. Saya yang pegang kemudi, dunia perlu tahu bahwa saya memegang kendali hidup saya dan tidak akan membiarkan ancaman apa pun mempengaruhi independensi saya.
Saya lalu punya jawaban buat teman saya : Ikuti saja kemauannya, pengen tau nih seberapa lama sih dia tahan jauh-jauh dari adiknya yang notabene belakangan ini menjadi sumber uang keluarga, toh teman saya tidak akan ada ruginya sama sekali - malah dapat berkah break, istirahat sejenak dari kakak perongrong. Kalau nantinya si kakak mendekat lagi karena diam-diam sadar atas kesalahannya, ambil hikmahnya, ulurkan tangan sebagai seorang adik yang menerima kembali kakaknya yang hilang dan memulihkan kembali silaturahmi keluarga yang sempat terhenti. Namun tentu saja lingkupnya sebatas itu saja, tidak lebih, tidak ada lagi acara berurusan soal uang dan hal lain di luar pakem pertalian keluarga. Semoga dengan aksi balas gertak kali ini kakaknya menjadi sadar bahwa adiknya bukan lagi seorang yang bisa ditekan-tekan dan dikadali seperti dulu, karena kali ini jurus kekuasaan ala kakak tertua sudah tak mempan lagi alias sirna keampuhannya...
Saya yang mendengarnya menjadi terheran-heran. Jangan-jangan ini akal sang kakak agar tidak perlu pusing-pusing mengakui ia telah mengorupsi uang adiknya dan tak punya kewajiban untuk memulangkan uangnya. Saya sih yakin, mau bagaimana pun, uang tak akan kembali, tapi sambil mendengar saya memutar otak, bagaimana ya caranya menghajar sang kakak, supaya sadar ia tidak bisa bertindak seenak-enaknya saja mentang-mentang ia anak tertua bisa bersikap sesuka hatinya pada sang adik.
Diam-diam saya jadi terusik berpikir mengapa orang suka memanipulasi hubungannya dengan orang-orang terdekatnya? Ancaman putus merupakan ancaman yang luar biasa kejamnya dan memiliki konsekuensi beban batin yang luar biasa mengingat hubungan yang tadinya dekat kemudian ditebas begitu saja. Serela-relanya kita memutuskan hubungan keluarga, pasti di lubuk hati terdalam ada rasa "gelo", rasa tak rela.
Tiba-tiba saya melihat semua ancaman ini dari sisi yang berbeda. Hidup kita ini memang penuh ancaman yang mencoba membuat kita seolah-olah tidak berdaya selain mengikuti ritme permainan dan kekuatan di luar diri kita sehingga mau tak mau kita harus ikut dalam arus yang kuat itu. Segala tekanan itu membuat kita lupa, bahwa kita adalah makhluk merdeka yang memiliki kebebasan untuk mengendalikan diri kita, dan bukannya dikendalikan oleh orang atau kekuatan lain. Orang-orang macam kakak teman saya adalah kekuatan yang merongrong yang mencoba menguasai dan mengendalikan kehidupan dan pola pikir adiknya sehingga sang adik merasa tidak berdaya dan bisa dianiaya seenaknya. Bukankah hal semacam ini banyak di sekeliling hidup kita?
Tiba-tiba lagi saya bangkit dan memiliki spirit untuk melawan, bukan dengan kekerasan namun dengan cara menunjukkan bahwa saya adalah pribadi yang menentukan, bukan ditentukan. Dengan kata lain : I control my life. Sehingga saya tidak akan membiarkan orang mempermainkan dan mengendalikan hidup saya. Saya yang pegang kemudi, dunia perlu tahu bahwa saya memegang kendali hidup saya dan tidak akan membiarkan ancaman apa pun mempengaruhi independensi saya.
Saya lalu punya jawaban buat teman saya : Ikuti saja kemauannya, pengen tau nih seberapa lama sih dia tahan jauh-jauh dari adiknya yang notabene belakangan ini menjadi sumber uang keluarga, toh teman saya tidak akan ada ruginya sama sekali - malah dapat berkah break, istirahat sejenak dari kakak perongrong. Kalau nantinya si kakak mendekat lagi karena diam-diam sadar atas kesalahannya, ambil hikmahnya, ulurkan tangan sebagai seorang adik yang menerima kembali kakaknya yang hilang dan memulihkan kembali silaturahmi keluarga yang sempat terhenti. Namun tentu saja lingkupnya sebatas itu saja, tidak lebih, tidak ada lagi acara berurusan soal uang dan hal lain di luar pakem pertalian keluarga. Semoga dengan aksi balas gertak kali ini kakaknya menjadi sadar bahwa adiknya bukan lagi seorang yang bisa ditekan-tekan dan dikadali seperti dulu, karena kali ini jurus kekuasaan ala kakak tertua sudah tak mempan lagi alias sirna keampuhannya...
Wednesday, September 22, 2010
22 September 2010 : Paris!
Beberapa waktu yang lalu, saya menerima pesan undangan sebuah majalah franchise yang baru terbit di Indonesia untuk acara santap siang bersama Paris Hilton berharga dua juta Rupiah sambil beramal bagi anak Indonesia yang terkena kanker. Waktu itu saya ternganga sambil mempertanyakan : Why Paris? dan apa pentingnya sih Paris? Ia "cuma" pewaris "kerajaan" Hilton yang suka pesta tidak penting dan cari sensasi sana sini, termasuk ketika adegan seksnya dengan partner yang jauh lebih tua beredar di seluruh dunia. Memang ia kemudian menghasilkan uang dari ulahnya, mengeluarkan parfum, tas, baju, album dan film, dan dinyatakan cukup cerdik dan jeli memanfaatkan kondisinya menjadi uang.
Beberapa hari lalu, Paris Hilton dinyatakan bersalah oleh pengadilan Amerika atas kepemilikan dan penggunaan narkoba dan mendapatkan hukuman percobaan satu tahun, 200 jam kerja amal dan denda. Saat itu, CNN Headline tega-teganya meluangkan waktu untuk membuat live breaking news hanya untuk meliput putusan sidang tersebut dan kebetulan kok ya saya sedang menontonnya. Apa pentingnya Paris sampai diliput live seperti itu? Waktu itu saya sambil tertawa bertanya dalam hati, waduh padahal Sabtu ini dia mau makan-makan di Indonesia, jadi nggak ya?
Ia kemudian ditolak di Bandara Narita Tokyo karena kasus narkobanya dan mutung, langsung pulang ke negerinya sambil membatalkan seluruh rangkaian perjalanannya ke Asia termasuk Indonesia. Maka lengkaplah ramalan saya, si pirang batal hadir. Ketidakhadirannya "diberitakan" pertama kali oleh teman saya melalui bbm. Saya tertawa. Ia bertanya, "Gimana ya orang yang sudah membayar dua juta?" Saya menjawab santai, "Lha kan bayarnya buat charity, ya relakan aja uangnya melayang." Malam ini, saya membaca di berita online, pihak yang bakal kedatangan Paris membuat pernyataan dan sebuah press conference resmi rencananya akan digelar untuk mengumumkan pembatalan kehadiran Miss Hilton.
Saya terkagum-kagum membayangkan Nona Hilton di Indonesia dikategorikan sebagai seorang selebriti yang patut dihargai dengan acara Meet and Greet. Buat saya, meet and greet adalah acara untuk bertemu dengan tokoh yang dikagumi atau diidolakan. Saya pribadi tidak pernah melakukannya dengan artis, tapi rela mengantri untuk foto dengan Mickey dan Minnie Mouse yang telah menemani jutaan anak di dunia selama puluhan tahun dengan kejenakaan mereka. Tapi Paris Hilton? Yang kerjanya pesta jetset hura-hura menghamburkan uang, kerjanya berurusan dengan polisi, pengguna narkoba pula, apa pantasnya diidolakan?
Saya merasa banyak orang salah kaprah soal idola. Orang-orang yang tak bersih sering kali dikagum-kagumi karena silau dengan pancaran sinar uang dan posisi yang dimilikinya. Saya juga tidak habis mengerti betapa banyak orang memberi dukungan kepada seorang pesakitan yang jelas-jelas karena perbuatannya yang tidak bertanggung jawab telah menyebabkan banyak generasi muda terperosok ke jalan yang salah karena salah mengidolakan, dan membuatnya seolah-olah seorang pahlawan. Ketika para teroris akan dieksekusi mati, media meliputnya sampai pada sejarah kehidupannya, sampai saya bingung sendiri : televisi ini sebenarnya mau menjadikannya seorang pahlawan atau bagaimana sih?
Sungguh, betapa seringnya kita ini salah mengidolakan orang hanya karena terpesona atas kilau gemerlap yang dihasilkannya. Padahal kalau kita mau jujur, kita akan menyadari bahwa sebenarnya wajah aslinya penuh bopeng dan koreng. Kalau sudah begitu, apakah kita masih bersedia mengidolakannya? Masih banyak orang yang patut kita jadikan idola dan disandingkan dengan anak-anak tak berdosa yang terkena kanker di negeri ini. Sosok yang berjuang dengan tulus, yang justru karena kepolosannya bersinar memancarkan cahaya damai dan kasih. Sosok yang seperti inilah yang patut dikagumi, dan di meet and greet kan.
Mungkin sekarang yang perlu dikoreksi adalah kategori dan definisi Idola. Sama seperti istilah selebriti di Indonesia yang sekarang ini kategori dan definisinya tak jelas. Asal masuk infotainment, langsung dicap selebriti. Asal terkenal, langsung jadi selebriti, dan langsung dicap banyak penggemar alias jadi idola. Padahal terkenalnya bisa jadi karena kasus yang menghebohkan, bukan karena prestasinya. Kasihan kan kalau kita salah mengidolakan, bisa jadi kita ikutan salah arah dalam hidup ini, lalu ikut jadi pesakitan. Sesuatu yang dikira benar, ternyata menjerumuskan. Jadi, Anda masih berpikir Paris itu idola? Buat saya sih ia benar kaya, cantik, punya gaya hidup jetset tapi kesemuanya itu tidak lantas ia menjadi idola saya. Semua yang dimilikinya diawali dan dipayungi warisan kekayaan keluarga. Tak ada prestasi yang membanggakan. Yang ada cuma urusan dengan polisi, dicabut SIM dan dinyatakan bersalah karena narkoba. Yang gini ini idola yang di meet and greet kan, dan dihargai dua juta? Untung Tuhan itu Maha-pengatur, dibatalkanNya kedatangan Miss Hilton. Kalau masih ngotot mengidolakan, ya silakan saja tapi lain kali, jangan lagi merendahkan martabat bangsa ah, cukup buat sendiri saja ...
Beberapa hari lalu, Paris Hilton dinyatakan bersalah oleh pengadilan Amerika atas kepemilikan dan penggunaan narkoba dan mendapatkan hukuman percobaan satu tahun, 200 jam kerja amal dan denda. Saat itu, CNN Headline tega-teganya meluangkan waktu untuk membuat live breaking news hanya untuk meliput putusan sidang tersebut dan kebetulan kok ya saya sedang menontonnya. Apa pentingnya Paris sampai diliput live seperti itu? Waktu itu saya sambil tertawa bertanya dalam hati, waduh padahal Sabtu ini dia mau makan-makan di Indonesia, jadi nggak ya?
Ia kemudian ditolak di Bandara Narita Tokyo karena kasus narkobanya dan mutung, langsung pulang ke negerinya sambil membatalkan seluruh rangkaian perjalanannya ke Asia termasuk Indonesia. Maka lengkaplah ramalan saya, si pirang batal hadir. Ketidakhadirannya "diberitakan" pertama kali oleh teman saya melalui bbm. Saya tertawa. Ia bertanya, "Gimana ya orang yang sudah membayar dua juta?" Saya menjawab santai, "Lha kan bayarnya buat charity, ya relakan aja uangnya melayang." Malam ini, saya membaca di berita online, pihak yang bakal kedatangan Paris membuat pernyataan dan sebuah press conference resmi rencananya akan digelar untuk mengumumkan pembatalan kehadiran Miss Hilton.
Saya terkagum-kagum membayangkan Nona Hilton di Indonesia dikategorikan sebagai seorang selebriti yang patut dihargai dengan acara Meet and Greet. Buat saya, meet and greet adalah acara untuk bertemu dengan tokoh yang dikagumi atau diidolakan. Saya pribadi tidak pernah melakukannya dengan artis, tapi rela mengantri untuk foto dengan Mickey dan Minnie Mouse yang telah menemani jutaan anak di dunia selama puluhan tahun dengan kejenakaan mereka. Tapi Paris Hilton? Yang kerjanya pesta jetset hura-hura menghamburkan uang, kerjanya berurusan dengan polisi, pengguna narkoba pula, apa pantasnya diidolakan?
Saya merasa banyak orang salah kaprah soal idola. Orang-orang yang tak bersih sering kali dikagum-kagumi karena silau dengan pancaran sinar uang dan posisi yang dimilikinya. Saya juga tidak habis mengerti betapa banyak orang memberi dukungan kepada seorang pesakitan yang jelas-jelas karena perbuatannya yang tidak bertanggung jawab telah menyebabkan banyak generasi muda terperosok ke jalan yang salah karena salah mengidolakan, dan membuatnya seolah-olah seorang pahlawan. Ketika para teroris akan dieksekusi mati, media meliputnya sampai pada sejarah kehidupannya, sampai saya bingung sendiri : televisi ini sebenarnya mau menjadikannya seorang pahlawan atau bagaimana sih?
Sungguh, betapa seringnya kita ini salah mengidolakan orang hanya karena terpesona atas kilau gemerlap yang dihasilkannya. Padahal kalau kita mau jujur, kita akan menyadari bahwa sebenarnya wajah aslinya penuh bopeng dan koreng. Kalau sudah begitu, apakah kita masih bersedia mengidolakannya? Masih banyak orang yang patut kita jadikan idola dan disandingkan dengan anak-anak tak berdosa yang terkena kanker di negeri ini. Sosok yang berjuang dengan tulus, yang justru karena kepolosannya bersinar memancarkan cahaya damai dan kasih. Sosok yang seperti inilah yang patut dikagumi, dan di meet and greet kan.
Mungkin sekarang yang perlu dikoreksi adalah kategori dan definisi Idola. Sama seperti istilah selebriti di Indonesia yang sekarang ini kategori dan definisinya tak jelas. Asal masuk infotainment, langsung dicap selebriti. Asal terkenal, langsung jadi selebriti, dan langsung dicap banyak penggemar alias jadi idola. Padahal terkenalnya bisa jadi karena kasus yang menghebohkan, bukan karena prestasinya. Kasihan kan kalau kita salah mengidolakan, bisa jadi kita ikutan salah arah dalam hidup ini, lalu ikut jadi pesakitan. Sesuatu yang dikira benar, ternyata menjerumuskan. Jadi, Anda masih berpikir Paris itu idola? Buat saya sih ia benar kaya, cantik, punya gaya hidup jetset tapi kesemuanya itu tidak lantas ia menjadi idola saya. Semua yang dimilikinya diawali dan dipayungi warisan kekayaan keluarga. Tak ada prestasi yang membanggakan. Yang ada cuma urusan dengan polisi, dicabut SIM dan dinyatakan bersalah karena narkoba. Yang gini ini idola yang di meet and greet kan, dan dihargai dua juta? Untung Tuhan itu Maha-pengatur, dibatalkanNya kedatangan Miss Hilton. Kalau masih ngotot mengidolakan, ya silakan saja tapi lain kali, jangan lagi merendahkan martabat bangsa ah, cukup buat sendiri saja ...
Tuesday, September 21, 2010
21 September 2010 : Sang Pemimpin
Di tengah kemacetan luar biasa sore ini di Jakarta, saya dan teman saya berandai-andai menjadi Gubernur DKI dan Presiden Republik ini. Sebetulnya pengandaian ini merupakan ulangan dari pembahasan saya dengan teman saya yang satu lagi di akhir pekan kemarin. Kami bahkan bertindak lebih jauh lagi, membandingkan program prioritas yang akan kami lakukan sebagai Gubernur DKI untuk mengatasi kemacetan, polusi dan berbagai masalah sosial di Jakarta yang semakin menggila.
Saya bilang, program prioritas saya sebagai Gubernur DKI untuk mengatasi kemacetan adalah membuat jalur niaga yang khusus disediakan bagi kendaraan niaga untuk memperlancar jalur distribusi tanpa membuat macet jalan umum dan tol yang selama ini kerap dipenuh sesaki dan dibuat macet oleh truk berbagai bentuk. Saya juga akan memberlakukan larangan kendaraan niaga kecuali kendaraan umum untuk memasuki jalur protokol dan tol dalam kota dari pukul 05:00 - 22:00 dan bagi pelanggar akan dikenakan biaya 10 kali lipat dari harga umum. Tentu saya akan membahasnya dengan pihak produsen dan distributor agar mereka bisa mengatur alur dan penjadwalan distribusi dengan lebih baik. Saya juga akan mengurangi jumlah kendaraan umum sampai 50% per trayek untuk mengurangi over-supply angkot dan bis dan mempersiapkan lapangan kerjaan lain bagi mereka yang terkena dampak kebijakan, sehingga tidak ada lagi tumpukan angkutan umum yang nge-tem dan menyempitkan jalur kendaraan yang sudah sempit. Semua perusahaan angkutan umum akan saya periksa kondisinya dan kendaraan umum yang sudah mencapai usia di atas 5 tahun dilarang beroperasi. Saya akan mengubah sistem transportasi bus trans Jakarta dan memindahkannya ke jalur kiri, bukan melintang di tengah jalan seperti sekarang ini mengingat kita menganut sistem setir kanan. Saya akan mempercepat pembangunan monorail dan MRT. Sistem 3 in 1 akan saya tiadakan dan gantikan dengan sistem pembayaran ekstra bila memasuki jam padat, misalnya jam 06:30 - 10:00, 16:30 - 19:00 kendaraan yang lewat dikenakan biaya IDR 30.000. Saya akan mengenakan pajak progresif kendaraan pribadi dimana semakin tua usia mobilnya semakin tinggi beban pajak yang ditanggung pemilik. Saya juga akan menerapkan sistem denda dan pidana untuk menjaga kebersihan dan ketertiban dengan ketat sehingga rakyat takut untuk merusak dan menggunakan dengan semena-mena fasilitas publik agar fasilitas yang tersedia terjaga kenyamanannya sehingga masyarakat perlahan-lahan percaya dan mau beralih menggunakan kendaraan umum. Penegakan hukum akan diberlakukan dengan tegas bagi masyarakat dan penegaknya sekaligus. Artinya bagi penegak yang ketahuan dan terlaporkan melakukan penyimpangan, bahkan untuk urusan tilang pun akan dikenakan sanksi pidana yang tidak main-main. Drastis dan sadis? Itu baru sebagian, namun bagi saya diperlukan sebuah keberanian dan ketegasan untuk mengubah sesuatu yang sudah runyam seperti ini. Saya yakin, lima tahun dari sekarang, masyarakat Jakarta akan mengubah kebiasaannya bertata kota. Tapi ini semua cuma berandai-andai, dan masih hanya satu bidang saja. Masih banyak bidang lain yang kami angankan dan candakan bersama. Namanya juga obrolan pengisi waktu yang sifatnya main-main...
Lalu sebagai Presiden, kami menyentuh masing-masing bidang dan apa yang harus menjadi prioritas negeri ini. Di bidang ekonomi, memperkuat ekonomi kerakyatan, di bidang kesehatan, pertanian, peternakan, agama, pemberdayaan perempuan, pendidikan, pariwisata, budaya, industri, perdagangan, pemajuan daerah tertinggal dan banyak lagi. Kami juga membicarakan betapa urgent nya merombak total sistem administrasi negara terutama di bidang (perencanaan dan pengucuran) pendanaan di masing-masing kementerian yang menyebabkan berbagai proyek menjadi macet atau terhamburkan. Setelah sekian lama berdiskusi, kami berhenti sendiri dan merasa takjub terhadap "pencapaian" kami "merancang" arah pembangunan negeri ini sambil bertanya : Kalau kami orang yang bodoh ini bisa membuat rancangan seperti ini, apakah yang sesederhana ini tak terpikir oleh pemimpin kita? Ataukah kita selama ini terjebak pada sistem birokrasi dan permainan politik yang rumit sehingga untuk mewujudkan kepentingan bangsa kita harus melalui segala kerumitan tersebut dan akhirnya yang tersisa hanyalah hasil ayakan yang terasa seperti hujan tepung, tak terasa saking halus dan sedikitnya yang bermanfaat bagi negara kita?
Dari diskusi ini, diam-diam saya belajar kriteria seorang pemimpin yang dapat diandalkan. Ia haruslah seorang yang memiliki integritas yang mendahulukan kepentingan masyarakat yang dipimpinnya. Seorang yang memiliki visi, misi dan nilai-nilai yang teguh dan tak tergoyahkan oleh buaian dan iming-iming harta dan kekuasaan, yang tujuan pengabdiannya hanyalah diperuntukkan bagi kesejahteraan bangsanya. Seorang yang memiliki jiwa pendobrak, pencerah dan berani membongkar semua sampah sehingga lahan yang tadinya tertimbun rongsokan terlihat keindahan aslinya. Seseorang yang bisa mengayomi dan menenteramkan semua lapisan masyarakatnya, yang mampu menjaga keharmonisan dan membela tanpa takut dianggap berpihak pada kalangan minoritas demi terjaganya stabilitas bangsa. Desi Anwar dalam sebuah tulisannya tertanggal 13 September 2010 mengatakan di ujung artikelnya :
The government needs to understand that when it comes to matters of religion and minority rights, even in democracies, it should not be left for the majority’s overriding sentiment to decide, but for the state to protect.
For it is in a country’s ability to protect its minorities that the integrity and legitimacy of the government lies.
Hari ini, dalam kemacetan dan keisengan saya berandai-andai jadi Gubernur dan Presiden, saya belajar mengenai nilai-nilai luhur seorang pemimpin. Tentu, saya masih sepersekiannya dari kualitas yang saya pelajari, namun paling tidak saya sekarang punya kriterianya. Terima kasih Bapak-Bapak Pemimpin, karena Anda saya belajar apa yang harus saya lakukan dan apa yang harus saya hindari sebagai seorang pemimpin. Atau siapa tahu Anda malah membaca blog ini dan jadi sama-sama terinspirasi ...
Saya bilang, program prioritas saya sebagai Gubernur DKI untuk mengatasi kemacetan adalah membuat jalur niaga yang khusus disediakan bagi kendaraan niaga untuk memperlancar jalur distribusi tanpa membuat macet jalan umum dan tol yang selama ini kerap dipenuh sesaki dan dibuat macet oleh truk berbagai bentuk. Saya juga akan memberlakukan larangan kendaraan niaga kecuali kendaraan umum untuk memasuki jalur protokol dan tol dalam kota dari pukul 05:00 - 22:00 dan bagi pelanggar akan dikenakan biaya 10 kali lipat dari harga umum. Tentu saya akan membahasnya dengan pihak produsen dan distributor agar mereka bisa mengatur alur dan penjadwalan distribusi dengan lebih baik. Saya juga akan mengurangi jumlah kendaraan umum sampai 50% per trayek untuk mengurangi over-supply angkot dan bis dan mempersiapkan lapangan kerjaan lain bagi mereka yang terkena dampak kebijakan, sehingga tidak ada lagi tumpukan angkutan umum yang nge-tem dan menyempitkan jalur kendaraan yang sudah sempit. Semua perusahaan angkutan umum akan saya periksa kondisinya dan kendaraan umum yang sudah mencapai usia di atas 5 tahun dilarang beroperasi. Saya akan mengubah sistem transportasi bus trans Jakarta dan memindahkannya ke jalur kiri, bukan melintang di tengah jalan seperti sekarang ini mengingat kita menganut sistem setir kanan. Saya akan mempercepat pembangunan monorail dan MRT. Sistem 3 in 1 akan saya tiadakan dan gantikan dengan sistem pembayaran ekstra bila memasuki jam padat, misalnya jam 06:30 - 10:00, 16:30 - 19:00 kendaraan yang lewat dikenakan biaya IDR 30.000. Saya akan mengenakan pajak progresif kendaraan pribadi dimana semakin tua usia mobilnya semakin tinggi beban pajak yang ditanggung pemilik. Saya juga akan menerapkan sistem denda dan pidana untuk menjaga kebersihan dan ketertiban dengan ketat sehingga rakyat takut untuk merusak dan menggunakan dengan semena-mena fasilitas publik agar fasilitas yang tersedia terjaga kenyamanannya sehingga masyarakat perlahan-lahan percaya dan mau beralih menggunakan kendaraan umum. Penegakan hukum akan diberlakukan dengan tegas bagi masyarakat dan penegaknya sekaligus. Artinya bagi penegak yang ketahuan dan terlaporkan melakukan penyimpangan, bahkan untuk urusan tilang pun akan dikenakan sanksi pidana yang tidak main-main. Drastis dan sadis? Itu baru sebagian, namun bagi saya diperlukan sebuah keberanian dan ketegasan untuk mengubah sesuatu yang sudah runyam seperti ini. Saya yakin, lima tahun dari sekarang, masyarakat Jakarta akan mengubah kebiasaannya bertata kota. Tapi ini semua cuma berandai-andai, dan masih hanya satu bidang saja. Masih banyak bidang lain yang kami angankan dan candakan bersama. Namanya juga obrolan pengisi waktu yang sifatnya main-main...
Lalu sebagai Presiden, kami menyentuh masing-masing bidang dan apa yang harus menjadi prioritas negeri ini. Di bidang ekonomi, memperkuat ekonomi kerakyatan, di bidang kesehatan, pertanian, peternakan, agama, pemberdayaan perempuan, pendidikan, pariwisata, budaya, industri, perdagangan, pemajuan daerah tertinggal dan banyak lagi. Kami juga membicarakan betapa urgent nya merombak total sistem administrasi negara terutama di bidang (perencanaan dan pengucuran) pendanaan di masing-masing kementerian yang menyebabkan berbagai proyek menjadi macet atau terhamburkan. Setelah sekian lama berdiskusi, kami berhenti sendiri dan merasa takjub terhadap "pencapaian" kami "merancang" arah pembangunan negeri ini sambil bertanya : Kalau kami orang yang bodoh ini bisa membuat rancangan seperti ini, apakah yang sesederhana ini tak terpikir oleh pemimpin kita? Ataukah kita selama ini terjebak pada sistem birokrasi dan permainan politik yang rumit sehingga untuk mewujudkan kepentingan bangsa kita harus melalui segala kerumitan tersebut dan akhirnya yang tersisa hanyalah hasil ayakan yang terasa seperti hujan tepung, tak terasa saking halus dan sedikitnya yang bermanfaat bagi negara kita?
Dari diskusi ini, diam-diam saya belajar kriteria seorang pemimpin yang dapat diandalkan. Ia haruslah seorang yang memiliki integritas yang mendahulukan kepentingan masyarakat yang dipimpinnya. Seorang yang memiliki visi, misi dan nilai-nilai yang teguh dan tak tergoyahkan oleh buaian dan iming-iming harta dan kekuasaan, yang tujuan pengabdiannya hanyalah diperuntukkan bagi kesejahteraan bangsanya. Seorang yang memiliki jiwa pendobrak, pencerah dan berani membongkar semua sampah sehingga lahan yang tadinya tertimbun rongsokan terlihat keindahan aslinya. Seseorang yang bisa mengayomi dan menenteramkan semua lapisan masyarakatnya, yang mampu menjaga keharmonisan dan membela tanpa takut dianggap berpihak pada kalangan minoritas demi terjaganya stabilitas bangsa. Desi Anwar dalam sebuah tulisannya tertanggal 13 September 2010 mengatakan di ujung artikelnya :
The government needs to understand that when it comes to matters of religion and minority rights, even in democracies, it should not be left for the majority’s overriding sentiment to decide, but for the state to protect.
For it is in a country’s ability to protect its minorities that the integrity and legitimacy of the government lies.
Hari ini, dalam kemacetan dan keisengan saya berandai-andai jadi Gubernur dan Presiden, saya belajar mengenai nilai-nilai luhur seorang pemimpin. Tentu, saya masih sepersekiannya dari kualitas yang saya pelajari, namun paling tidak saya sekarang punya kriterianya. Terima kasih Bapak-Bapak Pemimpin, karena Anda saya belajar apa yang harus saya lakukan dan apa yang harus saya hindari sebagai seorang pemimpin. Atau siapa tahu Anda malah membaca blog ini dan jadi sama-sama terinspirasi ...
Monday, September 20, 2010
20 September 2010 : Sensi
Kalau saya rangkum, hari ini saya berurusan dengan tema "sensitif", tidak hanya saya sendiri namun orang-orang di sekeliling saya.
Saya :
Pagi ini saya mengirim messenger kepada seorang mitra kerja untuk melaporkan dua hal yang berkaitan dengannya dan minta masukannya namun sampai saya menulis blog ini, masih juga belum mendapat jawaban darinya. Pesan saya jelas sudah diterima bahkan telah dibacanya karena Blackberry memberi fasilitas bagi pemiliknya untuk bisa memantau apakah pesan yang dikirimnya sudah terkirim dan bahkan sudah terbaca. Kemungkinannya adalah Beliau memang sibuk sekali, sehingga setelah membaca pesannya, karena butuh jawaban jawaban kapan bisa bertemu, Beliau menyimpan jawabannya sampai di depan buku agenda sekretarisnya. Tapi mungkin saya sedang sensi hari ini, jadi saya bertanya-tanya cemas. Ada apa ya dengan Beliau? Apakah ada kata atau tindakan saya yang salah? Atau karena saya tidak datang di rapat Jumat lalu? Jangan-jangan ada yang tidak berkenan dan Beliau ngambek. Saya jadi tidak tenang. Saya membaca ulang berkali-kali pesan Bbm saya untuk memastikan tidak ada yang salah, dan ternyata semuanya memang baik-baik saja. Saya sih dijadwalkan akan bertemu Beliau dua hari lagi, tapi rasa tidak tenang masih bergayut di hati. Ada apa ya...?
Anggota tim saya :
Saya mendapat laporan ada anggota tim yang menangis sore ini saking kesalnya dengan saya. Ihwalnya karena ia mengirim sebuah draft dan saya menyuruhnya mendiskusikan dengan anggota tim yang lain. Lalu sore hari ini, ia melihat saya mendiskusikannya dengan anggota tim yang lain itu, dan langsung ia mendongkol. Saya sendiri mungkin kurang sensitif, dan saya harus minta maaf padanya soal ini. Tapi saya punya alasan tersendiri : dengan adanya perubahan struktur tim, sebentar lagi ia tak akan memegang klien ini dan tanggung jawabnya akan beralih pada temannya. Karena itu saya ingin melibatkannya di setiap tahapan yang dilalui. Saya mengirimkan pesan untuk mendiskusikan draft di pagi hari, karena itu ketika siangnya saya menerima draft dari teman kerjanya, saya otomatis menganggapnya draft tersebut adalah hasil karya berdua. Ternyata tidak. Dan tim saya yang satu itu menjadi dongkol, merasa tidak saya hargai jerih payahnya, merasa tidak saya percaya, merasa saya cuma menempatkannya sebagai juara administrasi saja. Padahal tak ada maksud sama sekali untuk melakukannya. Saya tahu kok dia yang membuat, dan saya sangat menghargai usahanya, dan usahanya sudah cukup baik, tinggal diputar kanan kiri sedikit saja sudah jadi, tapi ya itu tadi, kalau sudah sensi, mana ada akal sehat yang jalan. Adanya kita dikuasai emosi, kekecewaan, kecemasan atau amarah ...
Sambil mencoba mengatur keresahan saya atas tidak dijawabnya pesan saya selama seharian, saya meneliti soal sensi. Kesimpulan saya : sensi itu adalah produk ketidakpercayaan diri yang datangnya dadakan, tiba-tiba, dengan begitu saja. Begitu ada sesuatu hal yang menyenggol topik sensitif, langsung naiklah voltase emosi kita. Entah dalam bentuk marah atau kecemasan, yang jelas dua-duanya belum tentu jelas kebenarannya namun membawa dampak negatif terhadap mood kita. Padahal kalau otak kita dingin-dingin saja, semua issue sensitif itu pun tak akan jadi soal. Saya lalu bertanya dalam hati, bagaimana yang mengatasi sensi ini? Apakah kita selalu harus berasumsi semuanya tidak seperti yang kita duga atau rasakan? Bahwa semuanya baik-baik saja atau All is Well seperti kata Rancho dalam film 3 idiots sehingga kepercayaan diri kita tumbuh?
Salah satu resep untuk menumbuhkan kepercayaan diri adalah mengatakan jangan berprasangka. Tapi pengalaman saya mengatakan memang mudah bilang jangan berprasangka, tapi prakteknya sih sama sekali sulit. Rasanya kalau sedang cemas atau marah karena sensi, sepertinya ada malaikat dan setan di sisi pundak kita. Setannya mengipasi emosi, yang malaikatnya menonton saja, sambil harap-harap cemas. Makin keras kipasnya, makin kencang hembusan emosinya : makin cemas, makin marah. Mungkin saking kencangnya mengipas, lama-kelamaan setannya capek juga, dan waktu capek inilah yang dimanfaatkan si malaikat untuk menghembuskan angin dingin ke otak.
Lalu saya mengambil kesimpulan, bahwa kalau sedang sensi, yang harus dilakukan adalah melakukan invervensi persepsi, semacam terapi kejut yang mengatakan : tidak, semua yang kamu cemaskan tidak beralasan, jangan berprasangka! sambil memberi waktu untuk bisa berpikir jernih, menumbuhkan rasa percaya diri.
Tapi itu sekali lagi teori. Prakteknya, cemas saya tak hilang juga tuh, setelah tahu semua do and don'ts nya. Sama seperti sms teman yang mengabarkan ia kena cacar air di usia setua ini dan menyuruh saya menanyakan kepada kakak saya yang dokter siapa tahu ada obat cespleng yang menghilangkan kegatalan dan keperihan yang dideritanya, padahal ia sudah dapat obat yang benar dari dokternya. Sudah tahu apa yang harus dialami dan dilakukan, tapi masih cemas juga. Saya jadi belajar, tahu apa yang harus dilakukan tidak berarti dapat menghalau kecemasan dan pikiran-pikiran hasil kipasan setan. Malah, sekarang kipasnya makin kencang : aduuuuh gimana ya kalau sampai besok saya tetap tidak dijawab, padahal acaranya tinggal beberapa hari lagi... Gubrakss!
Saya :
Pagi ini saya mengirim messenger kepada seorang mitra kerja untuk melaporkan dua hal yang berkaitan dengannya dan minta masukannya namun sampai saya menulis blog ini, masih juga belum mendapat jawaban darinya. Pesan saya jelas sudah diterima bahkan telah dibacanya karena Blackberry memberi fasilitas bagi pemiliknya untuk bisa memantau apakah pesan yang dikirimnya sudah terkirim dan bahkan sudah terbaca. Kemungkinannya adalah Beliau memang sibuk sekali, sehingga setelah membaca pesannya, karena butuh jawaban jawaban kapan bisa bertemu, Beliau menyimpan jawabannya sampai di depan buku agenda sekretarisnya. Tapi mungkin saya sedang sensi hari ini, jadi saya bertanya-tanya cemas. Ada apa ya dengan Beliau? Apakah ada kata atau tindakan saya yang salah? Atau karena saya tidak datang di rapat Jumat lalu? Jangan-jangan ada yang tidak berkenan dan Beliau ngambek. Saya jadi tidak tenang. Saya membaca ulang berkali-kali pesan Bbm saya untuk memastikan tidak ada yang salah, dan ternyata semuanya memang baik-baik saja. Saya sih dijadwalkan akan bertemu Beliau dua hari lagi, tapi rasa tidak tenang masih bergayut di hati. Ada apa ya...?
Anggota tim saya :
Saya mendapat laporan ada anggota tim yang menangis sore ini saking kesalnya dengan saya. Ihwalnya karena ia mengirim sebuah draft dan saya menyuruhnya mendiskusikan dengan anggota tim yang lain. Lalu sore hari ini, ia melihat saya mendiskusikannya dengan anggota tim yang lain itu, dan langsung ia mendongkol. Saya sendiri mungkin kurang sensitif, dan saya harus minta maaf padanya soal ini. Tapi saya punya alasan tersendiri : dengan adanya perubahan struktur tim, sebentar lagi ia tak akan memegang klien ini dan tanggung jawabnya akan beralih pada temannya. Karena itu saya ingin melibatkannya di setiap tahapan yang dilalui. Saya mengirimkan pesan untuk mendiskusikan draft di pagi hari, karena itu ketika siangnya saya menerima draft dari teman kerjanya, saya otomatis menganggapnya draft tersebut adalah hasil karya berdua. Ternyata tidak. Dan tim saya yang satu itu menjadi dongkol, merasa tidak saya hargai jerih payahnya, merasa tidak saya percaya, merasa saya cuma menempatkannya sebagai juara administrasi saja. Padahal tak ada maksud sama sekali untuk melakukannya. Saya tahu kok dia yang membuat, dan saya sangat menghargai usahanya, dan usahanya sudah cukup baik, tinggal diputar kanan kiri sedikit saja sudah jadi, tapi ya itu tadi, kalau sudah sensi, mana ada akal sehat yang jalan. Adanya kita dikuasai emosi, kekecewaan, kecemasan atau amarah ...
Sambil mencoba mengatur keresahan saya atas tidak dijawabnya pesan saya selama seharian, saya meneliti soal sensi. Kesimpulan saya : sensi itu adalah produk ketidakpercayaan diri yang datangnya dadakan, tiba-tiba, dengan begitu saja. Begitu ada sesuatu hal yang menyenggol topik sensitif, langsung naiklah voltase emosi kita. Entah dalam bentuk marah atau kecemasan, yang jelas dua-duanya belum tentu jelas kebenarannya namun membawa dampak negatif terhadap mood kita. Padahal kalau otak kita dingin-dingin saja, semua issue sensitif itu pun tak akan jadi soal. Saya lalu bertanya dalam hati, bagaimana yang mengatasi sensi ini? Apakah kita selalu harus berasumsi semuanya tidak seperti yang kita duga atau rasakan? Bahwa semuanya baik-baik saja atau All is Well seperti kata Rancho dalam film 3 idiots sehingga kepercayaan diri kita tumbuh?
Salah satu resep untuk menumbuhkan kepercayaan diri adalah mengatakan jangan berprasangka. Tapi pengalaman saya mengatakan memang mudah bilang jangan berprasangka, tapi prakteknya sih sama sekali sulit. Rasanya kalau sedang cemas atau marah karena sensi, sepertinya ada malaikat dan setan di sisi pundak kita. Setannya mengipasi emosi, yang malaikatnya menonton saja, sambil harap-harap cemas. Makin keras kipasnya, makin kencang hembusan emosinya : makin cemas, makin marah. Mungkin saking kencangnya mengipas, lama-kelamaan setannya capek juga, dan waktu capek inilah yang dimanfaatkan si malaikat untuk menghembuskan angin dingin ke otak.
Lalu saya mengambil kesimpulan, bahwa kalau sedang sensi, yang harus dilakukan adalah melakukan invervensi persepsi, semacam terapi kejut yang mengatakan : tidak, semua yang kamu cemaskan tidak beralasan, jangan berprasangka! sambil memberi waktu untuk bisa berpikir jernih, menumbuhkan rasa percaya diri.
Tapi itu sekali lagi teori. Prakteknya, cemas saya tak hilang juga tuh, setelah tahu semua do and don'ts nya. Sama seperti sms teman yang mengabarkan ia kena cacar air di usia setua ini dan menyuruh saya menanyakan kepada kakak saya yang dokter siapa tahu ada obat cespleng yang menghilangkan kegatalan dan keperihan yang dideritanya, padahal ia sudah dapat obat yang benar dari dokternya. Sudah tahu apa yang harus dialami dan dilakukan, tapi masih cemas juga. Saya jadi belajar, tahu apa yang harus dilakukan tidak berarti dapat menghalau kecemasan dan pikiran-pikiran hasil kipasan setan. Malah, sekarang kipasnya makin kencang : aduuuuh gimana ya kalau sampai besok saya tetap tidak dijawab, padahal acaranya tinggal beberapa hari lagi... Gubrakss!
Sunday, September 19, 2010
19 September 2010 : Idiot yang Cemerlang
Selama ini saya berangan ingin pensiun dini, artinya tidak bekerja kantoran lagi pada usia masih produktif. Kalau usia saya sekarang menjelang 46, ya... sepuluh tahun lagi lah saya mau pensiun. Tahun ini saya sudah mulai menata keuangan saya, agar di usia 55 tahun saya bisa berpenghasilan tetap dari skema dana pensiun saya sehingga saya punya ruang gerak yang besar untuk melakukan hal-hal yang ingin saya lakukan tanpa terikat orang lain, waktu dan tempat. Tapi, mau apa tepatnya, sampai detik ini saya masih belum punya gambaran.
Hari ini saya menonton sebuah film yang sudah berbulan-bulan lalu direkomendasikan begitu banyak teman. Saya ingat, Adrian Maulana sempat mengatakan, "Kalau soal filosofi hidup, Mas nonton "The 3 idiots", deh bagus banget!" Tak sempat menyaksikan di layar lebar, saya menyaksikan di "layar lebar" versi sendiri, alias di home theater di rumah.
The 3 idiots adalah film India yang tidak seperti film India kebanyakan. Meskipun berbumbu cinta, ia menyentil issue tatanan pendidikan dan sosial masyarakat India yang sangat terpaku pada gelar Insinyur dan Dokter, hampir sama dengan di Indonesia. Pokoknya kalau laki-laki bergelar Insinyur dan perempuan bergelar Dokter wah, prestisiusnya luar biasa. Film ini terus terang mengharu biru perasaan saya yang mengalami apa yang diceritakan di film : diindoktrinasi untuk sekolah dokter (di Indonesia dokter - apa pun jenis kelaminnya - memberi nilai lebih di mata masyarakat) dan diberi pengertian yang meremehkan profesi selain dokter. Jadi, tak peduli minat saya di bidang apa, pokoknya harus jadi dokter. Kalau angka sekolahnya tidak maksimal, sulit jadi dokter apa lagi mencari kerja. Persis seperti di film itu.
The 3 idiots menanamkan sebuah hal penting : Kejarlah excellence (keunggulan), dan keberhasilan akan mendatangi Anda. Tak peduli apa pun bidangnya, kalau kita unggul di bidang yang kita cintai, maka kita akan merasa bahagia dengan apa yang kita kerjakan, dan kerja bukanlah kerja lagi.
Maka saya seperti mendapat jawaban : saya mau melakukan sesuatu yang memang menjadi kesenangan saya tanpa harus kuatir kalau apa yang saya kerjakan tak menghasilkan uang saya akan mati kelaparan, namun bukan berarti bahwa apa yang saya lakukan itu tidak (dapat) menghasilkan uang. Saya berangan, apa pun uang yang saya hasilkan nanti di masa pensiun haruslah uang yang dapat saya nikmati untuk bepergian, digunakan untuk hal-hal sosial yang bisa mendatangkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk apa pun.
Dengan konsep itu, saya bisa mengatakan saya suka menulis, saya suka melakukan hal yang bisa mendatangkan kesejahteraan masyarakat, saya suka travelling,saya suka budaya, saya tertarik di bidang kesehatan masyarakat, saya punya bekal ilmu pendidikan, komunikasi, berinteraksi dengan orang. Maka hari ini saya tiba-tiba bisa membuat daftar apa yang ingin saya lakukan :
- saya ingin merancang berbagai strategi dan program komunikasi yang bisa mengajak bangsa Indonesia mengubah pola hidupnya menjadi lebih baik, misalnya di bidang perilaku hidup sehat, atau membantu negeri ini merancang grand strategy in country branding untuk kepentingan budaya dan pariwisata, membantu merancang kurikulum yang mengutamakan akhlak, budi pekerti dan nilai-nilai kebangsaan.
- Kesukaan saya akan travelling bisa saya bagikan dalam bentuk tulisan baik di blog saya atau di berbagai media.
- Kesukaan saya dalam menulis bisa menghasilkan berbagai karya tulis yang bisa dinikmati masyarakat dalam bentuk buku atau pun blog yang bisa diakses secara gratis.
- Kesukaan saya bersosialisasi bisa saya wujudkan dalam sebuah kafe mungil tempat "nongkrong" saya sambil berinteraksi dengan pengunjung kafe.
- Saya pun masih bisa tetap menjadi konsultan komunikasi, hanya kali ini proyek yang saya tangani adalah proyek yang benar-benar patut dibantu karena memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai yang saya percaya.
Tiba-tiba, apa yang tadinya saya bimbangkan mengenai apa bentuk kegiatan saya di saat pensiun menjadi penuh dan daftarnya masih akan bertambah terus. Saya jadi ingat arahan Pendeta muda Max kemarin saat pendalaman iman bersama rekan-rekan saya. Pak Max mengatakan bahwa setiap kita ini dipakai dan dipersiapkan Tuhan sesuai dengan rancanganNya. Tak mungkin seorang yang berkecimpung di dunia fashion akan diberi tugas jadi tukang pempek di kemudian harinya. Pasti ada saja skill dan tempaan yang diberikanNya yang akan mempersiapkan kita menjalankan peran dan tugas yang sudah dipersiapkan bagi kita. Karenanya dalam sebuah ayat kita diminta untuk menyerahkan diri saat dibentuk dan ditempa, bahwa jatuh bangun kita sekarang ini adalah dalam rangka mempersiapkan kita pada peran yang sudah disiapkan.
Tiba-tiba lagi saya merasa saya harus benar-benar meresapi hidup saya saat ini, susah senangnya, sehingga saya bisa menjalankan kehidupan mendatang dengan semaksimal mungkin. Bahasa Inggrisnya : appreciate and experience the present to the fullest so we can live a fulfilled life in the future. Sebuah jawaban yang saya butuhkan ketika saat ini saya tengah dilanda gundah mengenai berbagai beban dan hambatan kerja yang menghadang di hari-hari mendatang ini...
Hari ini saya menonton sebuah film yang sudah berbulan-bulan lalu direkomendasikan begitu banyak teman. Saya ingat, Adrian Maulana sempat mengatakan, "Kalau soal filosofi hidup, Mas nonton "The 3 idiots", deh bagus banget!" Tak sempat menyaksikan di layar lebar, saya menyaksikan di "layar lebar" versi sendiri, alias di home theater di rumah.
The 3 idiots adalah film India yang tidak seperti film India kebanyakan. Meskipun berbumbu cinta, ia menyentil issue tatanan pendidikan dan sosial masyarakat India yang sangat terpaku pada gelar Insinyur dan Dokter, hampir sama dengan di Indonesia. Pokoknya kalau laki-laki bergelar Insinyur dan perempuan bergelar Dokter wah, prestisiusnya luar biasa. Film ini terus terang mengharu biru perasaan saya yang mengalami apa yang diceritakan di film : diindoktrinasi untuk sekolah dokter (di Indonesia dokter - apa pun jenis kelaminnya - memberi nilai lebih di mata masyarakat) dan diberi pengertian yang meremehkan profesi selain dokter. Jadi, tak peduli minat saya di bidang apa, pokoknya harus jadi dokter. Kalau angka sekolahnya tidak maksimal, sulit jadi dokter apa lagi mencari kerja. Persis seperti di film itu.
The 3 idiots menanamkan sebuah hal penting : Kejarlah excellence (keunggulan), dan keberhasilan akan mendatangi Anda. Tak peduli apa pun bidangnya, kalau kita unggul di bidang yang kita cintai, maka kita akan merasa bahagia dengan apa yang kita kerjakan, dan kerja bukanlah kerja lagi.
Maka saya seperti mendapat jawaban : saya mau melakukan sesuatu yang memang menjadi kesenangan saya tanpa harus kuatir kalau apa yang saya kerjakan tak menghasilkan uang saya akan mati kelaparan, namun bukan berarti bahwa apa yang saya lakukan itu tidak (dapat) menghasilkan uang. Saya berangan, apa pun uang yang saya hasilkan nanti di masa pensiun haruslah uang yang dapat saya nikmati untuk bepergian, digunakan untuk hal-hal sosial yang bisa mendatangkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk apa pun.
Dengan konsep itu, saya bisa mengatakan saya suka menulis, saya suka melakukan hal yang bisa mendatangkan kesejahteraan masyarakat, saya suka travelling,saya suka budaya, saya tertarik di bidang kesehatan masyarakat, saya punya bekal ilmu pendidikan, komunikasi, berinteraksi dengan orang. Maka hari ini saya tiba-tiba bisa membuat daftar apa yang ingin saya lakukan :
- saya ingin merancang berbagai strategi dan program komunikasi yang bisa mengajak bangsa Indonesia mengubah pola hidupnya menjadi lebih baik, misalnya di bidang perilaku hidup sehat, atau membantu negeri ini merancang grand strategy in country branding untuk kepentingan budaya dan pariwisata, membantu merancang kurikulum yang mengutamakan akhlak, budi pekerti dan nilai-nilai kebangsaan.
- Kesukaan saya akan travelling bisa saya bagikan dalam bentuk tulisan baik di blog saya atau di berbagai media.
- Kesukaan saya dalam menulis bisa menghasilkan berbagai karya tulis yang bisa dinikmati masyarakat dalam bentuk buku atau pun blog yang bisa diakses secara gratis.
- Kesukaan saya bersosialisasi bisa saya wujudkan dalam sebuah kafe mungil tempat "nongkrong" saya sambil berinteraksi dengan pengunjung kafe.
- Saya pun masih bisa tetap menjadi konsultan komunikasi, hanya kali ini proyek yang saya tangani adalah proyek yang benar-benar patut dibantu karena memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai yang saya percaya.
Tiba-tiba, apa yang tadinya saya bimbangkan mengenai apa bentuk kegiatan saya di saat pensiun menjadi penuh dan daftarnya masih akan bertambah terus. Saya jadi ingat arahan Pendeta muda Max kemarin saat pendalaman iman bersama rekan-rekan saya. Pak Max mengatakan bahwa setiap kita ini dipakai dan dipersiapkan Tuhan sesuai dengan rancanganNya. Tak mungkin seorang yang berkecimpung di dunia fashion akan diberi tugas jadi tukang pempek di kemudian harinya. Pasti ada saja skill dan tempaan yang diberikanNya yang akan mempersiapkan kita menjalankan peran dan tugas yang sudah dipersiapkan bagi kita. Karenanya dalam sebuah ayat kita diminta untuk menyerahkan diri saat dibentuk dan ditempa, bahwa jatuh bangun kita sekarang ini adalah dalam rangka mempersiapkan kita pada peran yang sudah disiapkan.
Tiba-tiba lagi saya merasa saya harus benar-benar meresapi hidup saya saat ini, susah senangnya, sehingga saya bisa menjalankan kehidupan mendatang dengan semaksimal mungkin. Bahasa Inggrisnya : appreciate and experience the present to the fullest so we can live a fulfilled life in the future. Sebuah jawaban yang saya butuhkan ketika saat ini saya tengah dilanda gundah mengenai berbagai beban dan hambatan kerja yang menghadang di hari-hari mendatang ini...
Saturday, September 18, 2010
18 September 2010: Salaman
Petang ini saat saya sedang menunggu giliran pemberkatan pernikahan sanak seorang teman di sebuah gereja kristen, tiba-tiba muncullah saudara sepupu saya yang memang pendiri gereja tersebut. Saking kondangnya ia berkeliling ke gereja-gereja di berbagai kota dan karena memang tidak tinggal di sini maka Jakarta kebagian kehadirannya di setiap minggu ke tiga setiap bulannya. Jadi, pertemuan hari ini adalah sebuah kebetulan. Saya dan dia yang sudah lama tidak bertemu langsung meninggalkan yang lain dan berjabat erat. Ia lalu mengenalkan kepada khalayak yang hadir kalau saya ini saudaranya. Ia tidak sendirian. Ia didampingi oleh isterinya yang juga sudah saya kenal sejak saya duduk di sekolah dasar. Maklum, saya berada di urutan terakhir dalam jenjang keluarga jadi jarak saya dengan kakak-kakak dan sepupu sangat jauh. Rasanya beda saya dengan sepupu saya ini sekitar 12 tahun lebih. Biasanya, saya yang berisik dan akrab segera memeluk dan berciuman pipi dengan saudara atau teman dekat, namun kali ini isteri kakak sepupu saya seperti tidak kenal dan bersalaman dengan saya bak saya ini salah seorang umat suaminya. Hal ini diam-diam menjadi pikiran yang mengganjal. Saya yang sok akrab, atau memang mestinya begitu ya cara menyambut yang wajar?
Tadinya saya mau menerima dan memakluminya begitu saja, namun hati saya berontak. Kalau kedekatan dengan isteri kakak sepupu yang sudah saya anggap saudara dekat apa lagi kakak sepupu ini adalah anak dari adik ayah saya ini diterjemahkan dengan bersalaman formal, saya merasa keberadaan mereka jauh lebih asing dibandingkan seorang teman yang tidak ada hubungan darah apa pun, tapi kemudian kalau bertemu menimbulkan excitement luar biasa dan tanpa disuruh kita berpelukan melepas kangen. Tapi memang istiadat cipika cipiki dan memeluk ini bukan barang biasa. Saya ingat kebiasaan ini menjadi sebuah issue besar bagi anak-anak Semarang ketika kami kuliah di Salatiga. Kebiasaan teman-teman eks SMA saya di Malang dengan cipika cipiki antar teman berbeda jenis menjadi gunjingan anak Semarang, katanya pergaulan bebas. Apanya yang bebas kalau cium pipi itu diartikan sebagai kehangatan hubungan pertemanan? Ada yang aneh lagi, waktu saya sedang naik motor sendirian, lalu melihat teman cewek saya jalan kaki, saya langsung mendekati dan menawarkan membonceng tapi ditolak. Katanya kalau di Semarang, orang yang boncengan itu pacaran. Benar atau tidaknya pandangan itu saya tidak tahu, siapa tahu itu cuma alasan teman saya tapi kalau itu benar, waduh, sungguh paham yang tidak bisa masuk di otak saya.
Saya bisa mengerti kalau hubungan kita adalah sebatas formalitas kerja kita sengaja mematutkan jarak. Di kalangan pemerintah saya biasanya mengatupkan kedua telapak tangan saya dan dinaikkan hingga ke depan muka untuk menghormati kenalan wanita saya yang muslim, tanpa menyentuh tangannya. Di luar itu, sebagian besar saya menjabat tangan dengan erat, tidak dengan asal nempel seperti tidak niat yang sering saya jumpai saat bersalaman. Tapi dengan keluarga? Aduh kok aneh ya rasanya kalau cuma salamannya seperti ketika saya jadi among tamu dan salaman dengan ratusan orang yang sebagian besar tidak saya kenal? Apa lagi dengan keluarga yang runutannya sedekat itu, kok nggak pantes ya rasanya?
Lalu saya mencoba menelaah, apa sih bedanya salaman biasa dengan pelukan cipika cipiki? Jawaban yang saya temukan :
Kedekatan : a) salaman = kamu dan saya sebatas kenal sehingga saya mau kamu tetap di tempat dan tidak macam-macam memasuki area pribadi saya. b) jabat erat dan lama = kamu dan saya dekat namun tetap berjarak. c) pelukan = menghilangkan jarak menunjukkan kedekatan silaturahmi yang hangat
Kedekatan ini perlu didefinisikan dan disetujui kedua belah pihak karena kalau tidak ya kejadiannya seperti saya, saya menganggapnya dekat sehingga otomatis mau memberikan pelukan hangat keluarga, dianya menganggap saya ada di zona yang berbeda.
Kalau dahulu saya yang tidak suka formalitas dan cenderung "warm" kepada orang yang saya temui, malam ini saya belajar untuk tidak spontan lagi. Mulai sekarang kalau bertemu dengan orang yang jarang berkomunikasi meskipun dekat secara garis darah, saya menunggu dulu reaksi orang yang dihadapan saya apakah a) atau b)atau c). Dari pada dianggap sok akrab, mendingan saya berdiri di belakang pagar saja dulu. Kalau orangnya welcome, baru saya bukakan pintu pagar. Bagaimana pun juga, nggak lucu kan kalau kitanya sudah sok kedekatan, dianya dingin-dingin saja....
Tadinya saya mau menerima dan memakluminya begitu saja, namun hati saya berontak. Kalau kedekatan dengan isteri kakak sepupu yang sudah saya anggap saudara dekat apa lagi kakak sepupu ini adalah anak dari adik ayah saya ini diterjemahkan dengan bersalaman formal, saya merasa keberadaan mereka jauh lebih asing dibandingkan seorang teman yang tidak ada hubungan darah apa pun, tapi kemudian kalau bertemu menimbulkan excitement luar biasa dan tanpa disuruh kita berpelukan melepas kangen. Tapi memang istiadat cipika cipiki dan memeluk ini bukan barang biasa. Saya ingat kebiasaan ini menjadi sebuah issue besar bagi anak-anak Semarang ketika kami kuliah di Salatiga. Kebiasaan teman-teman eks SMA saya di Malang dengan cipika cipiki antar teman berbeda jenis menjadi gunjingan anak Semarang, katanya pergaulan bebas. Apanya yang bebas kalau cium pipi itu diartikan sebagai kehangatan hubungan pertemanan? Ada yang aneh lagi, waktu saya sedang naik motor sendirian, lalu melihat teman cewek saya jalan kaki, saya langsung mendekati dan menawarkan membonceng tapi ditolak. Katanya kalau di Semarang, orang yang boncengan itu pacaran. Benar atau tidaknya pandangan itu saya tidak tahu, siapa tahu itu cuma alasan teman saya tapi kalau itu benar, waduh, sungguh paham yang tidak bisa masuk di otak saya.
Saya bisa mengerti kalau hubungan kita adalah sebatas formalitas kerja kita sengaja mematutkan jarak. Di kalangan pemerintah saya biasanya mengatupkan kedua telapak tangan saya dan dinaikkan hingga ke depan muka untuk menghormati kenalan wanita saya yang muslim, tanpa menyentuh tangannya. Di luar itu, sebagian besar saya menjabat tangan dengan erat, tidak dengan asal nempel seperti tidak niat yang sering saya jumpai saat bersalaman. Tapi dengan keluarga? Aduh kok aneh ya rasanya kalau cuma salamannya seperti ketika saya jadi among tamu dan salaman dengan ratusan orang yang sebagian besar tidak saya kenal? Apa lagi dengan keluarga yang runutannya sedekat itu, kok nggak pantes ya rasanya?
Lalu saya mencoba menelaah, apa sih bedanya salaman biasa dengan pelukan cipika cipiki? Jawaban yang saya temukan :
Kedekatan : a) salaman = kamu dan saya sebatas kenal sehingga saya mau kamu tetap di tempat dan tidak macam-macam memasuki area pribadi saya. b) jabat erat dan lama = kamu dan saya dekat namun tetap berjarak. c) pelukan = menghilangkan jarak menunjukkan kedekatan silaturahmi yang hangat
Kedekatan ini perlu didefinisikan dan disetujui kedua belah pihak karena kalau tidak ya kejadiannya seperti saya, saya menganggapnya dekat sehingga otomatis mau memberikan pelukan hangat keluarga, dianya menganggap saya ada di zona yang berbeda.
Kalau dahulu saya yang tidak suka formalitas dan cenderung "warm" kepada orang yang saya temui, malam ini saya belajar untuk tidak spontan lagi. Mulai sekarang kalau bertemu dengan orang yang jarang berkomunikasi meskipun dekat secara garis darah, saya menunggu dulu reaksi orang yang dihadapan saya apakah a) atau b)atau c). Dari pada dianggap sok akrab, mendingan saya berdiri di belakang pagar saja dulu. Kalau orangnya welcome, baru saya bukakan pintu pagar. Bagaimana pun juga, nggak lucu kan kalau kitanya sudah sok kedekatan, dianya dingin-dingin saja....
Labels:
'lawrence tjandra',
dekat
Friday, September 17, 2010
17 September 2010 : Kehilangan Kata
Untuk menghilangkan stress yang sudah bertengger padahal baru saja usai libur Lebaran, saya menonton film berjudul the Switch yang dibintangi Jennifer Anniston. Film ini berkisah tentang Kassie yang berencana memiliki anak dan mencari orang yang tepat untuk dimintai sperma nya. Ia mendapat tentangan dari teman dekatnya Wally yang diam-diam mencintainya. Ia semakin frustrasi karena ternyata Kassie menemukan calon yang tepat, ganteng tinggi dan keren bernama Roland. Di tengah mabuk dan frustrasinya, Wally tanpa sengaja membuang sperma Roland dalam botol yang siap diinseminasikan. Panik, ia menggantinya dengan sperma miliknya sendiri. Karena larut dalam kemabukannya, ia tak ingat kejadian ini sampai tujuh tahun kemudian ia bertemu kembali dengan Kassie dan anaknya Sebastian. Berbagai kejadian membawa ingatannya kembali dan menyadari bahwa ia lah ayah Sebastian yang sesungguhnya. Ia pun segera menemui Kassie untuk memberitahu hal yang sebenarnya, namun tanpa diduga Kassie memotong pengakuan Wally dan mengatakan bahwa ia juga "punya rasa" dengan sahabatnya itu. Kaget karena topiknya sama sekali beda dengan yang akan dibahasnya, Wally lalu mengatakan dengan polos kalau bukan itu yang ingin dibahasnya. Kassie menjadi sangat malu dan menutup diri, ia memilih untuk merajut hubungan dengan Ronald sementara setiap kali Wally mencoba mengutarakan kejujuran terhalang oleh berbagai hal dan oleh dirinya sendiri. Words got in the way. Ia kehilangan kata.
Sambil menonton, saya jadi melihat diri saya pada Wally : suka kehilangan kata. Mengapa sulit sekali untuk mengungkapkan perasaan? atau mengatakan sesuatu hal kepada orang lain? Saya suka sekali sulit berkata-kata karena sering takut disalahartikan dan disalahterimakan. Tapi seperti yang terjadi di dalam film, kegagalan saya menyampaikan pesan dan maksud saya justru menjadi bumerang dan membuat segala sesuatunya menjadi buruk dan tak seperti yang saya harapkan. Yang terjadi justru berbelok arah di luar yang saya kehendaki dan membuat saya kecewa dan mengumpat : bodoh! bodoh! bodoh! mengapa saya takut mengungkapkan hal ini? Bagaimana kalau saya sudah tidak punya kesempatan lagi menyampaikannya?
Yang namanya film Hollywood dengan pakem Happy Ending selalu memberi kesempatan, dan Wally pun mengambil nyali untuk mengatakan yang sebenarnya tepat ketika Ronald akan melamar Kassie di hadapan keluarganya. Tapi dalam kenyataan hidup, tak selamanya kita punya kesempatan yang sama atau yang kedua. Saya lalu menelaah, dimana sih letak ketakutan saya? Saya lalu mendaftar :
1. takut salah waktu
2. takut salah terima
3. takut salah arti
4. takut salah menyampaikan
5. takut reaksinya di luar harapan saya
Saya menyadari sebagai seorang yang berkecimpung di dunia komunikasi, kemampuan komunikasi hubungan pribadi saya payah sekali. Saya sering canggung dan salah berkata-kata. Saya juga sering takut salah timing,jangan-jangan saat ini bukan saat yang tepat, atau kalau sudah tepat, karena ketakutan akan reaksi yang di luar harapan membuat saya menunda dan menunda lagi, sampai saya kehilangan kesempatan sama sekali.
Malam ini saya belajar, untuk sesuatu yang sungguh urgent, tak ada lagi istilah salah waktu, takut salah menyampaikan dan ... persetan dengan reaksi yang bisa jadi di luar harapan : saya harus menyampaikannya sekarang dengan lugas.
Namun kadang kala, saya sudah mendapat situasi yang sangat baik untuk menyampaikan sesuatu, tapi saya masih takut saja akan hasilnya. Kalau sudah begini, saya biasa bicara berputar-putar, persis seperti apa yang dilakukan Wally dengan tujuan memberikan pengantar agar yang menerima berita siap menerima berita "utama" dari kita. Sayangnya, tidak selamanya dengan cara berputar itu kita bisa sampai pada berita utama karena terpotong situasi lain yang lebih "urgent". Untuk hal ini, saya lalu menyimpulkan kita harus bisa memilih statement angle yang tepat, kemudian mengatakannya dengan lugas namun tetap memperhatikan keadaan psikologis sang penerima berita. Soal hasilnya sesuai atau tidak, yang terpenting kita sudah menyampaikannya dengan baik dan benar. Karena kita tidak akan tahu bagaimana reaksi penerima pesan kalau pesan itu sendiri tidak disampaikan.
Maka malam ini saya belajar lagi tentang kebenaran sebuah pepatah kuno : You will never land a six if you never throw the dice. Kamu tak akan pernah mendapat dadu angka 6 kalau kamu tak melemparkannya terlebih dahulu. Dan peribahasa : Kesempatan tidak selamanya sabar menunggu kamu. Dengan kata lain, kunci utamanya : guts, guts, guts! Keberanian! Saya ditantang untuk mendobrak ketakutan dan kecemasan diri dan berani mengambil risiko melempar dadu...
Sambil menonton, saya jadi melihat diri saya pada Wally : suka kehilangan kata. Mengapa sulit sekali untuk mengungkapkan perasaan? atau mengatakan sesuatu hal kepada orang lain? Saya suka sekali sulit berkata-kata karena sering takut disalahartikan dan disalahterimakan. Tapi seperti yang terjadi di dalam film, kegagalan saya menyampaikan pesan dan maksud saya justru menjadi bumerang dan membuat segala sesuatunya menjadi buruk dan tak seperti yang saya harapkan. Yang terjadi justru berbelok arah di luar yang saya kehendaki dan membuat saya kecewa dan mengumpat : bodoh! bodoh! bodoh! mengapa saya takut mengungkapkan hal ini? Bagaimana kalau saya sudah tidak punya kesempatan lagi menyampaikannya?
Yang namanya film Hollywood dengan pakem Happy Ending selalu memberi kesempatan, dan Wally pun mengambil nyali untuk mengatakan yang sebenarnya tepat ketika Ronald akan melamar Kassie di hadapan keluarganya. Tapi dalam kenyataan hidup, tak selamanya kita punya kesempatan yang sama atau yang kedua. Saya lalu menelaah, dimana sih letak ketakutan saya? Saya lalu mendaftar :
1. takut salah waktu
2. takut salah terima
3. takut salah arti
4. takut salah menyampaikan
5. takut reaksinya di luar harapan saya
Saya menyadari sebagai seorang yang berkecimpung di dunia komunikasi, kemampuan komunikasi hubungan pribadi saya payah sekali. Saya sering canggung dan salah berkata-kata. Saya juga sering takut salah timing,jangan-jangan saat ini bukan saat yang tepat, atau kalau sudah tepat, karena ketakutan akan reaksi yang di luar harapan membuat saya menunda dan menunda lagi, sampai saya kehilangan kesempatan sama sekali.
Malam ini saya belajar, untuk sesuatu yang sungguh urgent, tak ada lagi istilah salah waktu, takut salah menyampaikan dan ... persetan dengan reaksi yang bisa jadi di luar harapan : saya harus menyampaikannya sekarang dengan lugas.
Namun kadang kala, saya sudah mendapat situasi yang sangat baik untuk menyampaikan sesuatu, tapi saya masih takut saja akan hasilnya. Kalau sudah begini, saya biasa bicara berputar-putar, persis seperti apa yang dilakukan Wally dengan tujuan memberikan pengantar agar yang menerima berita siap menerima berita "utama" dari kita. Sayangnya, tidak selamanya dengan cara berputar itu kita bisa sampai pada berita utama karena terpotong situasi lain yang lebih "urgent". Untuk hal ini, saya lalu menyimpulkan kita harus bisa memilih statement angle yang tepat, kemudian mengatakannya dengan lugas namun tetap memperhatikan keadaan psikologis sang penerima berita. Soal hasilnya sesuai atau tidak, yang terpenting kita sudah menyampaikannya dengan baik dan benar. Karena kita tidak akan tahu bagaimana reaksi penerima pesan kalau pesan itu sendiri tidak disampaikan.
Maka malam ini saya belajar lagi tentang kebenaran sebuah pepatah kuno : You will never land a six if you never throw the dice. Kamu tak akan pernah mendapat dadu angka 6 kalau kamu tak melemparkannya terlebih dahulu. Dan peribahasa : Kesempatan tidak selamanya sabar menunggu kamu. Dengan kata lain, kunci utamanya : guts, guts, guts! Keberanian! Saya ditantang untuk mendobrak ketakutan dan kecemasan diri dan berani mengambil risiko melempar dadu...
Labels:
'kehilangan kata',
'lawrence tjandra',
dadu,
keberanian
Thursday, September 16, 2010
16 September 2010 : Belajar
Terus terang, gara-gara berkomitmen menulis blog ini setiap hari, sering saya bertanya pada diri sendiri, belajar apa saya hari ini? Sudah berkali-kali saya mau menyerah karena kok merasa tak belajar sesuatu yang signifikan hari ini. Seperti sekarang. Kalau ditanya belajar apa hari ini? Ada beberapa yang bisa dimasukkan daftar tetapi kok saya merasa apa yang saya alami hari ini bukan sesuatu yang layak saya sebut belajar sesuatu yang baru. Saya lalu menyadari bahwa seperti ilmu periklanan, kehidupan ini sering mengulang pesan dan pelajarannya supaya lebih merasuk di hati. Semakin sering terulang pesannya, semakin menancap di otak dan di hati.
Hari ini saya mulai dengan gundah karena pekerjaan. Saya lalu mempraktekkan apa yang saya pelajari untuk menyerahkan kepada Tuhan dan saya berdoa. Tuhan menjawab dan membimbing saya untuk menyelesaikan masalahnya. Lalu saya mengerjakan hal rutin, dan saya merasa tak belajar apa-apa dari sana karena memang saya melakukan sesuatu yang biasa saya lakukan. Malam sepulang kantor saya mendapat berita ada kebocoran di ruang tamu yang asalnya dari kamar mandi atas namun tak bisa langsung diperbaiki karena tukangnya masih lebaran. Saya mencoba maklum, tapi itu juga bukan sesuatu yang baru. Kemudian setelah mandi, saya menonton Oprah yang berbicara tentang pelestarian hidup dan pentingnya kita berpartisipasi dalam menghemat dan sumberdaya alam. Okelah, saya diingatkan untuk tidak buang listrik, pasang ac seperlunya, mandi jangan lama-lama, tapi itu bukan hal baru. Lalu teman saya curhat soal boss barunya yang belagu. Juga bukan hal baru.
O, oke, ada satu : ada kabar gembira dari pasangan di kantor yang minta izin mengantar isterinya yang sakit namun ternyata hamil. Pasangan ini baru menikah beberapa bulan dan langsung dikaruniai kehamilan, sedang ada yang sudah bertahun-tahun dan gagal proses bayi tabung berkali-kali tapi tetap saja saat ini masih mencoba lagi, saya saja yang mendengarnya sudah lelah. Saya sampai berpikir, kapan manusia akan menyerah berusaha dan pasrah kepada kehendak Ilahi? Kalau saya, uang ratusan juta yang terbuang lebih baik saya jadikan asuransi pensiun atau saya pakai keliling dunia. Hidup ini perlu dinikmati, bukan? Apa gunanya harus pantang ini itu bertahun-tahun tanpa hasil? Kita ini sering menyiksa diri. Apa yang seharusnya dipasrahkan kepada kehendak Ilahi justru kita paksakan.
Begitulah proses saya belajar pada hari ini. Tak ada yang istimewa sampai saya menerima sebuah kutipan yang seolah menjawab kebodohan saya :
I remind myself every morning : Nothing I say this day will teach me anything. So if I'm going to learn, I must do it by listening - Larry King
Hm. Bisa jadi karena saya terlalu banyak mulut sehingga tuli dan tak melihat apa yang seharusnya saya pelajari. Well, apa boleh buat, hari ini sudah hampir usai. Besok saya berjanji untuk lebih buka kuping dan mata dan lebih sering tutup mulut, supaya menyerap lebih banyak daripada bocornya. Thank you Larry King for the small tips.
Hari ini saya mulai dengan gundah karena pekerjaan. Saya lalu mempraktekkan apa yang saya pelajari untuk menyerahkan kepada Tuhan dan saya berdoa. Tuhan menjawab dan membimbing saya untuk menyelesaikan masalahnya. Lalu saya mengerjakan hal rutin, dan saya merasa tak belajar apa-apa dari sana karena memang saya melakukan sesuatu yang biasa saya lakukan. Malam sepulang kantor saya mendapat berita ada kebocoran di ruang tamu yang asalnya dari kamar mandi atas namun tak bisa langsung diperbaiki karena tukangnya masih lebaran. Saya mencoba maklum, tapi itu juga bukan sesuatu yang baru. Kemudian setelah mandi, saya menonton Oprah yang berbicara tentang pelestarian hidup dan pentingnya kita berpartisipasi dalam menghemat dan sumberdaya alam. Okelah, saya diingatkan untuk tidak buang listrik, pasang ac seperlunya, mandi jangan lama-lama, tapi itu bukan hal baru. Lalu teman saya curhat soal boss barunya yang belagu. Juga bukan hal baru.
O, oke, ada satu : ada kabar gembira dari pasangan di kantor yang minta izin mengantar isterinya yang sakit namun ternyata hamil. Pasangan ini baru menikah beberapa bulan dan langsung dikaruniai kehamilan, sedang ada yang sudah bertahun-tahun dan gagal proses bayi tabung berkali-kali tapi tetap saja saat ini masih mencoba lagi, saya saja yang mendengarnya sudah lelah. Saya sampai berpikir, kapan manusia akan menyerah berusaha dan pasrah kepada kehendak Ilahi? Kalau saya, uang ratusan juta yang terbuang lebih baik saya jadikan asuransi pensiun atau saya pakai keliling dunia. Hidup ini perlu dinikmati, bukan? Apa gunanya harus pantang ini itu bertahun-tahun tanpa hasil? Kita ini sering menyiksa diri. Apa yang seharusnya dipasrahkan kepada kehendak Ilahi justru kita paksakan.
Begitulah proses saya belajar pada hari ini. Tak ada yang istimewa sampai saya menerima sebuah kutipan yang seolah menjawab kebodohan saya :
I remind myself every morning : Nothing I say this day will teach me anything. So if I'm going to learn, I must do it by listening - Larry King
Hm. Bisa jadi karena saya terlalu banyak mulut sehingga tuli dan tak melihat apa yang seharusnya saya pelajari. Well, apa boleh buat, hari ini sudah hampir usai. Besok saya berjanji untuk lebih buka kuping dan mata dan lebih sering tutup mulut, supaya menyerap lebih banyak daripada bocornya. Thank you Larry King for the small tips.
Wednesday, September 15, 2010
15 September 2010 : Mengusir
Saya suka film serial "Glee" tapi jujur, dengan malam ini, saya baru menonton 2 episode, itu pun tidak dari awal sehingga tidak tahu persis jalan ceritanya seperti apa. Namun episode kali ini menarik perhatian saya karena secuplik adegan yang menggambarkan bagaimana seorang ayah bagai tersambar petir kaget mendengar pengakuan anak gadis yang sangat dibanggakannya hamil sebelum menikah. Ia kemudian mengusir anaknya dan pacarnya padahal sang anak mencoba menjelaskan tak ada yang berubah dari dirinya, kecuali ia telah berbuat kesalahan. Selebihnya, ia tetap anak sang ayah yang cinta orang tua dan keluarganya. Tapi sang ayah malah mengatur waktu alarm dari microwavenya dan menghitung tepat 30 menit buat sang puteri berkemas.
Seketika itu juga saya jadi ingat kejadian dimana keluarga teman saya serasa runtuh dunia saat mendengar salah satu anggota keluarganya ternyata diam-diam telah menikah siri karena menghamili pacarnya. Bukan saja hamil, ketika ketahuan sang janin sudah melihat sinar matahari, alias lahir. Keluarga teman saya kemudian sibuk mengucilkan si nomor empat, sampai akhirnya saya tidak tahan sendiri. Saya kemudian angkat bicara pada teman saya dan ibunya. Saya bilang, saya pernah punya pengalaman yang sama ketika kerabat saya kabur dari rumah, anak dan isterinya dan memilih tinggal dengan wanita lain. Waktu itu keluarga saya marah besar, karena dikira tindakan marah dan mengucilkan akan menghukum kerabat saya itu dan membuatnya sadar lalu kembali lagi pada keluarga. Kenyataannya tidak. Belasan tahun kemudian, kini, ia telah bercerai resmi dengan isterinya dan tetap bertahan dengan wanita yang dipilihnya, bahkan sudah menikahi dan memiliki anak darinya. Ketika semua keluarga memusuhi, dan saya juga jadi sibuk menghibur dan mengurus anak isterinya, saya menjadi sadar, apa yang dilakukan kerabat saya memang salah menurut ukuran keluarga kami, namun kita kan tidak tahu persis apa yang memicu semua ini terjadi? Lagi pula memusuhi dan tidak menganggapnya kerabat tidak menghapus kenyataan bahwa sampai kapan pun ia tetap kerabat saya. Berangkat dari pemikiran itu, saya lalu bersikap lebih netral. Tidak membenarkan, namun tidak menghakimi. Kami pun menjadi semakin dekat dan kini terlepas setuju atau tidak setuju atas perbuatannya, ikatan keluarga kami kembali terjalin erat.
Saya lalu berkata kalau kerabat saya lari dengan orang lain, sedang si nomor 4 sudah menyatakan tanggung jawabnya dan menikahi bahkan menghidupi anak isterinya walaupun dalam kondisi terbatas. Seharusnya kita ini bangga karena ia orang yang bertanggung jawab, sehingga tidak ada alasan buat kita untuk malu menerima dia. Soal omongan orang, anggap saja angin lalu. Mereka cuma tahu kulitnya yang renyah dibuat gosip. Yang tahu apa yang terjadi sesungguhnya adalah kita. Bagaimana pun si nomor 4 adalah sanak saudara sendiri yang tak kan terhapus oleh apa pun juga yang terjadi, dan dalam keadaan seperti ini ia justru membutuhkan dukungan, bukan penghakiman dan penghukuman. Pada kondisi ini, tegakah kita justru menyingkirkannya dan memarahinya bagaikan sampah? Kekompakan kita justru menjadi semangat kasih sayang yang merekatkan keluarga, dan pada akhirnya membawa semua kekacauan kembali menjadi tenang.
Akhirnya, teman saya dan ibunya memutuskan untuk tidak ambil pusing gosip keluarga. Mereka kemudian menemui dan merangkuh kembali anak yang hilang dan bertangis-tangisan bahagia, karena seketika itu juga lenyap rasa marah dan kekecewaan. Yang ada hanyalah cinta dan kasih sayang.
Malam ini saya diingatkan kembali betapa banyaknya orang yang karena amarah kehilangan orang yang paling dicintainya. Saya memutuskan tidak mau menyerah pada amarah. Saya mau menyerah pada cinta kasih. Semoga apa yang saya alami, juga yang telah dialami keluarga teman saya, dan adegan film Glee malam ini membuka hati semua orang, membuang amarah dan menggantikannya dengan cinta kasih yang tidak menghakimi. Setiap orang perlu itu. Setiap Keluarga perlu. Dan dunia memerlukannya...
Seketika itu juga saya jadi ingat kejadian dimana keluarga teman saya serasa runtuh dunia saat mendengar salah satu anggota keluarganya ternyata diam-diam telah menikah siri karena menghamili pacarnya. Bukan saja hamil, ketika ketahuan sang janin sudah melihat sinar matahari, alias lahir. Keluarga teman saya kemudian sibuk mengucilkan si nomor empat, sampai akhirnya saya tidak tahan sendiri. Saya kemudian angkat bicara pada teman saya dan ibunya. Saya bilang, saya pernah punya pengalaman yang sama ketika kerabat saya kabur dari rumah, anak dan isterinya dan memilih tinggal dengan wanita lain. Waktu itu keluarga saya marah besar, karena dikira tindakan marah dan mengucilkan akan menghukum kerabat saya itu dan membuatnya sadar lalu kembali lagi pada keluarga. Kenyataannya tidak. Belasan tahun kemudian, kini, ia telah bercerai resmi dengan isterinya dan tetap bertahan dengan wanita yang dipilihnya, bahkan sudah menikahi dan memiliki anak darinya. Ketika semua keluarga memusuhi, dan saya juga jadi sibuk menghibur dan mengurus anak isterinya, saya menjadi sadar, apa yang dilakukan kerabat saya memang salah menurut ukuran keluarga kami, namun kita kan tidak tahu persis apa yang memicu semua ini terjadi? Lagi pula memusuhi dan tidak menganggapnya kerabat tidak menghapus kenyataan bahwa sampai kapan pun ia tetap kerabat saya. Berangkat dari pemikiran itu, saya lalu bersikap lebih netral. Tidak membenarkan, namun tidak menghakimi. Kami pun menjadi semakin dekat dan kini terlepas setuju atau tidak setuju atas perbuatannya, ikatan keluarga kami kembali terjalin erat.
Saya lalu berkata kalau kerabat saya lari dengan orang lain, sedang si nomor 4 sudah menyatakan tanggung jawabnya dan menikahi bahkan menghidupi anak isterinya walaupun dalam kondisi terbatas. Seharusnya kita ini bangga karena ia orang yang bertanggung jawab, sehingga tidak ada alasan buat kita untuk malu menerima dia. Soal omongan orang, anggap saja angin lalu. Mereka cuma tahu kulitnya yang renyah dibuat gosip. Yang tahu apa yang terjadi sesungguhnya adalah kita. Bagaimana pun si nomor 4 adalah sanak saudara sendiri yang tak kan terhapus oleh apa pun juga yang terjadi, dan dalam keadaan seperti ini ia justru membutuhkan dukungan, bukan penghakiman dan penghukuman. Pada kondisi ini, tegakah kita justru menyingkirkannya dan memarahinya bagaikan sampah? Kekompakan kita justru menjadi semangat kasih sayang yang merekatkan keluarga, dan pada akhirnya membawa semua kekacauan kembali menjadi tenang.
Akhirnya, teman saya dan ibunya memutuskan untuk tidak ambil pusing gosip keluarga. Mereka kemudian menemui dan merangkuh kembali anak yang hilang dan bertangis-tangisan bahagia, karena seketika itu juga lenyap rasa marah dan kekecewaan. Yang ada hanyalah cinta dan kasih sayang.
Malam ini saya diingatkan kembali betapa banyaknya orang yang karena amarah kehilangan orang yang paling dicintainya. Saya memutuskan tidak mau menyerah pada amarah. Saya mau menyerah pada cinta kasih. Semoga apa yang saya alami, juga yang telah dialami keluarga teman saya, dan adegan film Glee malam ini membuka hati semua orang, membuang amarah dan menggantikannya dengan cinta kasih yang tidak menghakimi. Setiap orang perlu itu. Setiap Keluarga perlu. Dan dunia memerlukannya...
Tuesday, September 14, 2010
14 September 2010 : Palsu
Kalau Anda mengikuti perkembangan musik dunia, Anda pasti tahu nama Lady Gaga dan Justin Bieber. Yang awal selalu berpenampilan aneh namun disuka penggemarnya yang satu lagi imut-imut. Justin Bieber muncul karena kecanggihan teknologi. Ibunya merekam saat ia bernyanyi dan meng-up loadnya di youtube. Jadilah lagu "Baby" diputar di mana-mana, sampai saya bosan sendiri. Saya tak perlu membeli albumnya untuk bisa menikmati suaranya. Lagu tersebut berkumandang di mall, toko, radio hingga televisi seperti orang yang regular minum obat dalam sehari. Tak heran kalau lagu tersebut membawa Justin yang masih remaja tersebut memenangkan penghargaan Best New Artist di MTV Video Music Award 2010 di Nokia Theater, Los Angeles hari Minggu lalu.
Justin pun diundang MTV untuk menampilkan kebolehannya untuk mengesankan penonton, namun sambutan yang ramai diperolehnya lewat internet adalah olok-olok dan julukan "palsu" karena ia lebih memilih bernyanyi lipsync ketimbang menyanyi secara live. Ia masih untung tidak bernasib sial seperti Ashlee Simpson di acara Saturday Night Live. Di tengah-tengah lagu, rekaman suara Ashlee rusak dan ia kabur dari panggung karena malu.
Mengapa orang mau melakukan segala cara untuk terlihat baik meskipun apa yang dilakukannya palsu? Apakah selama ini Justin telah menipu penggemarnya dengan mengunakan teknologi rekaman padahal suara aslinyanya tak sejernih dan selantang di keping CD? Atau sekedar tidak pede? Saya tidak tahu, namun yang saya tahu begitu banyak orang melakukan hal serupa Justin. Namun berita kecil yang terlansir di yahoo ini sekali lagi menegaskan pada saya, jangan melakukan hal yang palsu, yang tidak saya kuasai sendiri dengan baik. Saya lebih baik jadi saya apa adanya. Kalau suara saya sedang serak, sebaiknya saya katakan apa adanya. Kalau saya tidak bisa menyanyi dengan baik, sebaiknya tak usah sok dan bermimpi jadi penyanyi terkON enal. Karena kalau ketahuan, masa depan kita hancur tidak hanya di bidang tarik suara, tapi di semua bidang kehidupan karena keburu di cap 'palsu', 'penipu'.
Malam ini, saya juga baru saja menghabiskan sebuah film lama berjudul "Stormriders" yang dibintangi Aaron Kwok dan Ekin Cheng yang menceritakan seorang penguasa yang mengambil dua anak kecil setelah membunuh orang tua mereka. Singkat cerita setelah dididik dan mendapatkan ilmu bela diri yang di atas rata-rata, mereka mengetahui asal usul mereka dan membalas dendam pada sang penguasa. Filmnya diwarnai berbagai intrik cinta dan pengkhianatan, namun yang tertancap di benak saya adalah kata-kata sang pendeta yang mengatakan bahwa selama ini sang penguasa sudah memanipulasi kekuatan yang bukan miliknya dan mengalami masa jaya selama sepuluh tahun, kini masa tersebut sudah sirna dan datang waktunya dimana kekuatan yang dibangunnya akan menghancurkan dirinya sendiri.
Saat saya menyatukan kedua hal - Justin dan Stormriders -dalam satu tulisan blog malam ini, saya dibuat mengerti mengapa hidup sering melakukan pengulangan dalam memberikan pelajaran hidup : supaya saya mengerti makna dan pesan yang tersirat, yang pada malam ini berbunyi :
1. Jadilah diri sendiri. Belajarlah, asahlah, tempa-lah diri untuk bisa menghasilkan sesuatu yang terbaik, tapi jangan pernah mencurangi kemampuan diri sendiri atau semuanya akan berbalik (fire back) kepada kita sendiri.
2.Seringkali, kita sendiri lah yang tidak bisa menerima (keadaan kita sendiri) sehingga kita mencurangi kemampuan sendiri. Namun orang yang paling dikelabui dan tipu oleh perbuatan tersebut adalah kita sendiri.
Jadi intinya : jadilah yang asli, bukan yang palsu.
Justin pun diundang MTV untuk menampilkan kebolehannya untuk mengesankan penonton, namun sambutan yang ramai diperolehnya lewat internet adalah olok-olok dan julukan "palsu" karena ia lebih memilih bernyanyi lipsync ketimbang menyanyi secara live. Ia masih untung tidak bernasib sial seperti Ashlee Simpson di acara Saturday Night Live. Di tengah-tengah lagu, rekaman suara Ashlee rusak dan ia kabur dari panggung karena malu.
Mengapa orang mau melakukan segala cara untuk terlihat baik meskipun apa yang dilakukannya palsu? Apakah selama ini Justin telah menipu penggemarnya dengan mengunakan teknologi rekaman padahal suara aslinyanya tak sejernih dan selantang di keping CD? Atau sekedar tidak pede? Saya tidak tahu, namun yang saya tahu begitu banyak orang melakukan hal serupa Justin. Namun berita kecil yang terlansir di yahoo ini sekali lagi menegaskan pada saya, jangan melakukan hal yang palsu, yang tidak saya kuasai sendiri dengan baik. Saya lebih baik jadi saya apa adanya. Kalau suara saya sedang serak, sebaiknya saya katakan apa adanya. Kalau saya tidak bisa menyanyi dengan baik, sebaiknya tak usah sok dan bermimpi jadi penyanyi terkON enal. Karena kalau ketahuan, masa depan kita hancur tidak hanya di bidang tarik suara, tapi di semua bidang kehidupan karena keburu di cap 'palsu', 'penipu'.
Malam ini, saya juga baru saja menghabiskan sebuah film lama berjudul "Stormriders" yang dibintangi Aaron Kwok dan Ekin Cheng yang menceritakan seorang penguasa yang mengambil dua anak kecil setelah membunuh orang tua mereka. Singkat cerita setelah dididik dan mendapatkan ilmu bela diri yang di atas rata-rata, mereka mengetahui asal usul mereka dan membalas dendam pada sang penguasa. Filmnya diwarnai berbagai intrik cinta dan pengkhianatan, namun yang tertancap di benak saya adalah kata-kata sang pendeta yang mengatakan bahwa selama ini sang penguasa sudah memanipulasi kekuatan yang bukan miliknya dan mengalami masa jaya selama sepuluh tahun, kini masa tersebut sudah sirna dan datang waktunya dimana kekuatan yang dibangunnya akan menghancurkan dirinya sendiri.
Saat saya menyatukan kedua hal - Justin dan Stormriders -dalam satu tulisan blog malam ini, saya dibuat mengerti mengapa hidup sering melakukan pengulangan dalam memberikan pelajaran hidup : supaya saya mengerti makna dan pesan yang tersirat, yang pada malam ini berbunyi :
1. Jadilah diri sendiri. Belajarlah, asahlah, tempa-lah diri untuk bisa menghasilkan sesuatu yang terbaik, tapi jangan pernah mencurangi kemampuan diri sendiri atau semuanya akan berbalik (fire back) kepada kita sendiri.
2.Seringkali, kita sendiri lah yang tidak bisa menerima (keadaan kita sendiri) sehingga kita mencurangi kemampuan sendiri. Namun orang yang paling dikelabui dan tipu oleh perbuatan tersebut adalah kita sendiri.
Jadi intinya : jadilah yang asli, bukan yang palsu.
Labels:
'lawrence tjandra',
asli,
palsu
Monday, September 13, 2010
13 September 2010 : Ayunan
Pernah mengalami mood swing? Saya cukup sering, dan hari ini saya mengalaminya lagi. Setelah pagi sampai sore ini cuaca hati saya cerah-cerah saja, dan berkeliling di kawasan Jakarta Utara, mulai dari wisata kuliner sampai menyambangi dua mall di sana, akhirnya saya mendarat juga di Mal Karawaci, untuk makan malam dan beli roti. Karena masih sore, maka saya mencoba window shopping. Tiba-tiba saya merasa lelah (terang aja, dari tadi nyetir melulu, dan keliling 2 mall jalan kaki, what an exercise!)dan mood saya jadi jelek ketika saya duduk di kursi makan restoran. Saat menanti makanan datang, saya merasakan ayunan hati dari cerah menjadi berpetir. Alih-alih meneruskan kejengkelan hati, saya malah menelitinya. Apa yang menyebabkan terjadinya mood swing?
Dari sekian daftar kemungkinan, akhirnya saya sampai pada beberapa penyebab suasana hati kita menjadi suram:
1. Menurunnya stamina tubuh, dalam artian sedang sakit, lapar, haus atau capai
2. Suasana yang berubah menjadi membosankan atau memberikan rasa tidak nyaman
3. Tingkah laku atau perkataan orang yang tidak berkenan atau membuat diri tiba-tiba merasa tidak nyaman
4. Gejolak pikiran yang tidak tenang, yang tiba-tiba mengingatkan kita pada sesuatu hal yang membuat kita tidak nyaman atau kesal
5. Mendapat kabar tiba-tiba yang membuat kita kesal, sedih atau tidak nyaman
Sebaliknya, suasana muram bisa menjadi ceria bila :
1. Mendengar kabar yang menyenangkan
2. Cukup istirahat atau makan/ minum
3. Mendapat perlakuan yang baik dari orang
4. gejolak pikiran menjadi tenang
5. Suasana berubah menjadi menenangkan dan menyenangkan
Saat suasana hati kita mengayun, terutama dari senang menjadi sebal, tentu orang-orang di sekitar kitalah yang paling pertama akan merasakan dampaknya padahal belum tentu karena kesalahan mereka. Seperti sore ini. Tiba-tiba saya sadar, saya sudah membuat suasana yang menyebalkan karena kesebalan saya yang tidak dipahami orang lain, padahal mungkin mood swing saya - kalau saya teliti lagi - disebabkan karena kecapaian. Maka saya mulai mencoba memperbaikinya dan hasilnya suasana sekitar menjadi semakin kondusif sehingga mood saya paling tidak kembali ke netral.
Saya pribadi diam-diam cukup kagum : wow saya sudah membuat masalah mood swing sedemikian scientific nya sehingga saya bisa mengurai penyembab kekesalan saya dan memperbaikinya, menggiring kembali paling tidak pada tingkat netral. Sekarang saya tahu, kalau mood saya sedang berayun-ayun, paling tidak saya bisa menganalisa apa penyebabnya sehingga saya tidak merusak suasana lingkungan sekeliling saya...
Dari sekian daftar kemungkinan, akhirnya saya sampai pada beberapa penyebab suasana hati kita menjadi suram:
1. Menurunnya stamina tubuh, dalam artian sedang sakit, lapar, haus atau capai
2. Suasana yang berubah menjadi membosankan atau memberikan rasa tidak nyaman
3. Tingkah laku atau perkataan orang yang tidak berkenan atau membuat diri tiba-tiba merasa tidak nyaman
4. Gejolak pikiran yang tidak tenang, yang tiba-tiba mengingatkan kita pada sesuatu hal yang membuat kita tidak nyaman atau kesal
5. Mendapat kabar tiba-tiba yang membuat kita kesal, sedih atau tidak nyaman
Sebaliknya, suasana muram bisa menjadi ceria bila :
1. Mendengar kabar yang menyenangkan
2. Cukup istirahat atau makan/ minum
3. Mendapat perlakuan yang baik dari orang
4. gejolak pikiran menjadi tenang
5. Suasana berubah menjadi menenangkan dan menyenangkan
Saat suasana hati kita mengayun, terutama dari senang menjadi sebal, tentu orang-orang di sekitar kitalah yang paling pertama akan merasakan dampaknya padahal belum tentu karena kesalahan mereka. Seperti sore ini. Tiba-tiba saya sadar, saya sudah membuat suasana yang menyebalkan karena kesebalan saya yang tidak dipahami orang lain, padahal mungkin mood swing saya - kalau saya teliti lagi - disebabkan karena kecapaian. Maka saya mulai mencoba memperbaikinya dan hasilnya suasana sekitar menjadi semakin kondusif sehingga mood saya paling tidak kembali ke netral.
Saya pribadi diam-diam cukup kagum : wow saya sudah membuat masalah mood swing sedemikian scientific nya sehingga saya bisa mengurai penyembab kekesalan saya dan memperbaikinya, menggiring kembali paling tidak pada tingkat netral. Sekarang saya tahu, kalau mood saya sedang berayun-ayun, paling tidak saya bisa menganalisa apa penyebabnya sehingga saya tidak merusak suasana lingkungan sekeliling saya...
Labels:
'lawrence tjandra',
'mood swing'
Sunday, September 12, 2010
12 September 2010 : Belajar dari MJ
Hujan deras yang mengguyur kawasan rumah diam-diam saya syukuri karena saya jadi tertahan sejenak mengundur waktu cari makan malam, dan sebagai gantinya duduk di depan televisi menyaksikan acara langka dimana Oprah Winfrey mengenang Michael Jackson melalui wawancara fenomenalnya di tahun 1993, yang pertama setelah Michael Jackson vakum diwawancara dalam kurun waktu 14 tahun. Dari berbagai jawaban MJ dan kesan Oprah, saya mencatat beberapa poin yang saya dapatkan dari kisah hidup MJ.
1. Masa Kanak-Kanak.
MJ merasa kehidupan anak-anaknya terampas karena harus bekerja sejak kecil dan karenanya ia mencoba membayar semuanya di saat dewasa. MJ membangun Neverland, sebuah amusement park pribadi lengkap dengan toko dan konter es krimnya.
Saya melihat di masa kini orang dewasa juga dengan semena-mena merampas hak bermain anak dengan alasan kompetisi kehidupan. Anak dijejali jadwal belajar, les dan sebagainya, bahkan dari usia sangat dini. Saya beruntung dibesarkan oleh orang tua yang memberi cukup banyak waktu bagi saya untuk bermain dan menikmati masa kecil bersama teman-teman seumur. Yang jadi pertanyaan saya, bagaimana ya anak-anak sekarang mengkompensasikan waktu bermainnya yang hilang di masa kecilnya?
2. Orang Tua yang Selalu Menuntut.
MJ mendapat pelecehan dari orang tuanya sendiri. Bapaknya kerap menyebut dia jelek saat MJ sedang depresi melihat banyaknya jerawat di mukanya. Bagi Bapaknya, MJ terasa kurang-kurang-kurang terus.
Saya melihat betapa banyaknya pelecehan yang dilakukan oleh orang tua sendiri kepada anaknya. Orang tua yang selalu menuntut lebih dari anaknya dan menganggap apa yang telah dicapai anaknya selalu kurang sempurna. Hari ini saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang teman (yang sudah dewasa dan) yang sedang sakit didamprat ibunya karena dianggap anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya gara-gara tidak dapat mengantarkan ibunya pergi. Malamnya anak yang sama ditelepon oleh orang tua yang sama, minta ditransfer uang karena tidak punya lagi dana untuk makan besok. Kalau yang ini terdengar sangat ekstrim, bagaimana dengan orang tua yang dengan semangat me-les-kan anaknya ini itu supaya bisa dibilang berbakat sehingga praktis anaknya tak punya waktu bermain? Atau bagaimana seorang ibu berusaha memaksa anaknya masuk ke Kedokteran padahal sang putri maunya bergelut di bidang seni karena kepiawaiannya bermain piano. Saya jadi heran, yang berambisi ini orang tuanya atau anaknya? Mereka sering berdalih, suatu saat nanti kamu akan berterima kasih pada ayah/ ibu. Benarkah demikian?
Dari wawancaranya terungkap bahwa ada beberapa pendapat MJ tentang ayahnya yang belum pernah ia ungkapkan sebelumnya bahkan kepada ayahnya. Saya yakin ayahnya akan shock mendengar statement putra yang dikiranya sudah selayaknya mencintai ayahnya namun ternyata menyimpan rasa takut luar biasa hingga sering sakit sebelum bertemu ayahnya sendiri. Pengalaman hidup saya mencatat, anak yang bermasalah dengan orang tuanya, sedikit banyak bermasalah juga dengan kehidupannya.
3. Kulit Putih dan Operasi Plastik dan Seksualitas
Michael Jackson menjelaskan bahwa ia terserang penyakit kulit yang memudarkan pigmennya sehingga warnanya menjadi putih. Ia juga mengatakan bahwa di industri Hollywood, adalah hal lumrah bagi orang untuk melakukan operasi plastik. Masalahnya, mengapa ia diributkan, sedangkan yang lain tidak?
Kalau waktu itu saya di dekatnya saya akan menjelaskan bahwa it's not just about you, karena dalam skala yang berbeda, orang memang senang mengetahui semua sisi kehidupan pribadi kita, apa lagi yang menyangkut seksualitas : kisah cinta, perselingkuhan, perceraian hingga pilihan seksual selalu menjadi topik hangat di semua penjuru lapisan masyarakat. Jadi, kita tak perlu menjadi seterkenal MJ untuk digunjingkan dengan tanpa perasaan, bahkan oleh keluarganya sendiri.
4. Instrument of Life
MJ menyebut dirinya sebagai instrument of life. Sebuah istilah luar biasa karena yang ada di otaknya bukan hanya karya cinta yang berbanding lurus dengan seksualitas namun lebih pada kecintaannya pada kehidupan, lingkungan, dunia.
Setiap manusia bisa menjadi instrument of life dengan skalanya sendiri-sendiri. Sayangnya kebanyakan orang tidak tahu bahwa mereka adalah instrument of life. Mereka justru lebih paham perannya sebagai a destruction element of life.
5. Gossip dan Kenyataan.
Dari hasil wawancaranya, kita bisa membuktikan bahwa 90% lebih gossip yang beredar tentang MJ ternyata tidak benar. MJ bukan orang yang paranoid udara sehingga selalu memakai tabung oksigen di rumah. Bahkan rumahnya yang digambarkan sebagai taman safari sangat jauh dari kesan kebun binatang. Rumahnya adalah seperti rumah kebanyakan orang dan tertata dengan indah. Ia adalah orang yang butuh cinta dan mencintai.
Dari sini saya belajar, jangan ambil serius gosip. Meskipun tampaknya benar, kenyataannya sebagian besar tidak demikian keadaan sesungguhnya.
Setahun setelah kepergian Michael Jackson, masih tak putus hal yang bisa kita petik dari kehidupannya. Yang paling saya pelajari dari kehidupannya? Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pilihan kehidupan. Dan kita harus siap menanggungnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari jalan kehidupan yang dipilih.
1. Masa Kanak-Kanak.
MJ merasa kehidupan anak-anaknya terampas karena harus bekerja sejak kecil dan karenanya ia mencoba membayar semuanya di saat dewasa. MJ membangun Neverland, sebuah amusement park pribadi lengkap dengan toko dan konter es krimnya.
Saya melihat di masa kini orang dewasa juga dengan semena-mena merampas hak bermain anak dengan alasan kompetisi kehidupan. Anak dijejali jadwal belajar, les dan sebagainya, bahkan dari usia sangat dini. Saya beruntung dibesarkan oleh orang tua yang memberi cukup banyak waktu bagi saya untuk bermain dan menikmati masa kecil bersama teman-teman seumur. Yang jadi pertanyaan saya, bagaimana ya anak-anak sekarang mengkompensasikan waktu bermainnya yang hilang di masa kecilnya?
2. Orang Tua yang Selalu Menuntut.
MJ mendapat pelecehan dari orang tuanya sendiri. Bapaknya kerap menyebut dia jelek saat MJ sedang depresi melihat banyaknya jerawat di mukanya. Bagi Bapaknya, MJ terasa kurang-kurang-kurang terus.
Saya melihat betapa banyaknya pelecehan yang dilakukan oleh orang tua sendiri kepada anaknya. Orang tua yang selalu menuntut lebih dari anaknya dan menganggap apa yang telah dicapai anaknya selalu kurang sempurna. Hari ini saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang teman (yang sudah dewasa dan) yang sedang sakit didamprat ibunya karena dianggap anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya gara-gara tidak dapat mengantarkan ibunya pergi. Malamnya anak yang sama ditelepon oleh orang tua yang sama, minta ditransfer uang karena tidak punya lagi dana untuk makan besok. Kalau yang ini terdengar sangat ekstrim, bagaimana dengan orang tua yang dengan semangat me-les-kan anaknya ini itu supaya bisa dibilang berbakat sehingga praktis anaknya tak punya waktu bermain? Atau bagaimana seorang ibu berusaha memaksa anaknya masuk ke Kedokteran padahal sang putri maunya bergelut di bidang seni karena kepiawaiannya bermain piano. Saya jadi heran, yang berambisi ini orang tuanya atau anaknya? Mereka sering berdalih, suatu saat nanti kamu akan berterima kasih pada ayah/ ibu. Benarkah demikian?
Dari wawancaranya terungkap bahwa ada beberapa pendapat MJ tentang ayahnya yang belum pernah ia ungkapkan sebelumnya bahkan kepada ayahnya. Saya yakin ayahnya akan shock mendengar statement putra yang dikiranya sudah selayaknya mencintai ayahnya namun ternyata menyimpan rasa takut luar biasa hingga sering sakit sebelum bertemu ayahnya sendiri. Pengalaman hidup saya mencatat, anak yang bermasalah dengan orang tuanya, sedikit banyak bermasalah juga dengan kehidupannya.
3. Kulit Putih dan Operasi Plastik dan Seksualitas
Michael Jackson menjelaskan bahwa ia terserang penyakit kulit yang memudarkan pigmennya sehingga warnanya menjadi putih. Ia juga mengatakan bahwa di industri Hollywood, adalah hal lumrah bagi orang untuk melakukan operasi plastik. Masalahnya, mengapa ia diributkan, sedangkan yang lain tidak?
Kalau waktu itu saya di dekatnya saya akan menjelaskan bahwa it's not just about you, karena dalam skala yang berbeda, orang memang senang mengetahui semua sisi kehidupan pribadi kita, apa lagi yang menyangkut seksualitas : kisah cinta, perselingkuhan, perceraian hingga pilihan seksual selalu menjadi topik hangat di semua penjuru lapisan masyarakat. Jadi, kita tak perlu menjadi seterkenal MJ untuk digunjingkan dengan tanpa perasaan, bahkan oleh keluarganya sendiri.
4. Instrument of Life
MJ menyebut dirinya sebagai instrument of life. Sebuah istilah luar biasa karena yang ada di otaknya bukan hanya karya cinta yang berbanding lurus dengan seksualitas namun lebih pada kecintaannya pada kehidupan, lingkungan, dunia.
Setiap manusia bisa menjadi instrument of life dengan skalanya sendiri-sendiri. Sayangnya kebanyakan orang tidak tahu bahwa mereka adalah instrument of life. Mereka justru lebih paham perannya sebagai a destruction element of life.
5. Gossip dan Kenyataan.
Dari hasil wawancaranya, kita bisa membuktikan bahwa 90% lebih gossip yang beredar tentang MJ ternyata tidak benar. MJ bukan orang yang paranoid udara sehingga selalu memakai tabung oksigen di rumah. Bahkan rumahnya yang digambarkan sebagai taman safari sangat jauh dari kesan kebun binatang. Rumahnya adalah seperti rumah kebanyakan orang dan tertata dengan indah. Ia adalah orang yang butuh cinta dan mencintai.
Dari sini saya belajar, jangan ambil serius gosip. Meskipun tampaknya benar, kenyataannya sebagian besar tidak demikian keadaan sesungguhnya.
Setahun setelah kepergian Michael Jackson, masih tak putus hal yang bisa kita petik dari kehidupannya. Yang paling saya pelajari dari kehidupannya? Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pilihan kehidupan. Dan kita harus siap menanggungnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari jalan kehidupan yang dipilih.
Saturday, September 11, 2010
11 September 2010 : Menghargai
Tahu kalau liburan Lebaran kali ini pekerjaan saya hanya mengurusi kelinci, kura-kura dan ikan koi, teman dekat saya mengajak makan siang bersama orang tuanya. Ia sudah merencanakan santap nikmat di sebuah restoran Cina terkenal dan sudah membayangkan menu-menu lezat. Maka pagi-pagi ia sudah mengkonfirmasikan kepada ayah ibunya dan mengatakan akan menjemput mereka menjelang siang.
Saat tiba di rumahnya dan menemukan garasinya lengang, saya dengan polosnya bertanya, "Lha, mana kendaraannya?" Ternyata sang ayah sedang menemani adiknya - yang sudah dewasa - menjaga konter makanan kakaknya di sebuah mall sementara si kakak sedang mudik lebaran bersama suaminya. Ibunya bilang, ayah akan ikut, kita disuruh jemput ke mall lalu pergi sama-sama. Bersamaan dengan itu, muncul pula sepupu-sepupu kecil teman saya, ikut nimbrung. Lengkaplah ke bete an teman saya. Ia merasa yang dipikirkan orang tuanya hanyalah kakak adik kakak adiknya saja, yang sudah sehari-hari tinggal bersama mereka, sementara teman saya yang tinggal agak jauh merasa dinomorduakan. Ia bisa paham kalau yang dipikirkan itu masih anak-anak, tapi kalau sudah dewasa, teman saya merasa adiknya bisa mengurus dirinya sendiri, lagian kan janjian makan siang ini tidak makan waktu sepanjang hari, hanya beberapa jam saja.
Maka jadilah saya makan siang bersama ayah ibu dan teman saya itu di sebuah resto di mall tempat adiknya menjaga konter makanan dengan suasana yang sama sekali tak nyaman. Teman saya diam dan manyun, dan saking kesalnya kerjanya cuma memencet-mencet bbmnya, ayahnya sibuk telepon kolega, ibu mengurus cucunya. Lengkap sudah penderitaan saya. Suasana tak enak, ibu tak napsu makan, ayah juga ogah makan, tinggal saya sendirian yang terkenyang-kenyang dengan sepiring nasi goreng ikan asin dengan porsi sangat mengejutkan! Teman saya sendiri menghabiskan sepiring nasi goreng jawa dengan super cepatnya.
Sambil mengunyah, saya mengumpat. Tahu gitu saya tidak ikut! Maunya liburan santai dan menenangkan, ini malah tepat di sumber kawah peperangan. Saya kemudian menganalisa, teman saya salah, tapi orang tuanya juga salah. Saya lalu angkat suara di malam harinya ketika amarahnya sudah mereda dan kami sedang santai menyeruput es krim yogurt mochi.
Saya bilang, kamu tadi bertujuan untuk menyenangkan orang tua kamu. Saya tahu kamu sudah merencanakan yang terbaik, tapi kamu juga tahu bahwa kesukaan orang tua kamu adalah memperhatikan adik dan kakak kamu. Jadi tidak sepatutnya kamu bete seperti itu karena orang tua kamu itu tadi sudah ada di tengah-tengah kesenangan mereka, jadi buat mereka tidak makan di restoran mahal pun tak apa, asal bisa dekat dengan adik kamu, tapi juga bisa ketemu kamu saja sudah senang. Kamu jengkel karena mereka tidak mengikuti apa yang kamu mau kan? Itu karena apa yang kamu bilang terbaik belum tentu yang mereka inginkan. Kalau kamu menyadarinya, maka tadi kamu akan happy-happy saja tak peduli kita makannya di mana, karena tujuannya adalah menyenangkan orang tua kamu, bukan menyenangkan diri kamu karena kamu kira menyenangkan orang tua kamu adalah dengan cara mengajaknya makan di restoran mahal. Apa yang kamu lakukan tadi, sungguh merusak suasana, sehingga tujuan kamu menyenangkan mereka jadi tak tercapai.
Tapi, orang tua kamu juga kepret! Orang tua kamu tidak tahu menghargai usaha anaknya. Saya mengerti sifat kamu, karena saya juga punya sifat yang sama: kalau saya mengundang atau menjamu seseorang, tentu saya sudah mengkhayalkan dan merencanakan secara cermat waktu yang akan dilalui bersama. Kalau orang tua kamu pikir bahwa berbakti pada orang tua itu sudah suatu hal yang selayaknya dan semestinya dilakukan oleh anaknya, mereka harus melihat betapa banyaknya anak yang tidak tahu menghargai dan menghormati ayah ibunya, yang tahunya cuma merongrong dan menggerogoti mental dan harta orang tuanya. Seharusnya orang tua kamu bersyukur punya anak seperti kamu. Dalam hal hari ini, orang tua kamu sebetulnya punya kesempatan untuk menanyakan rencana, atau kalau ada perubahan rencana pun, mestinya mereka memberitahu kamu, sehingga kamu bisa menjelaskan atau mengubah acara atau bahkan menundanya sehingga semua happy. Terus terang saya tidak suka dengan cara orang tua kamu yang menggampangkan dan cenderung ah... nggak usah bilang-bilang, ntar aja kalau dia udah di sini diberi tahu. Itu sekali lagi namanya tidak menghargai. Justru dengan sebelumnya memberi tahu, maka kamu tahu what to expect.
Jadi kalau boleh saya simpulkan, kondisinya satu sama: sama sama salah.
Melalui situasi ini saya belajar dua hal :
1. Betapa seringnya kita merencanakan sesuatu bagi orang lain dari kaca mata kita. Kita merasa rencana kita yang terbaik, kenyataannya ketika orang lain itu memiliki prioritas, kepentingan dan pilihan yang berbeda kita menjadi kecewa kepada orang tersebut. Kita lupa bahwa orang yang paling benar disalahkan adalah diri kita sendiri. Salah kita sendiri menetapkan rencana dengan menggunakan ukuran kita pada orang lain.
2. Betapa kita ini sering take for granted dan tidak menghargai apa yang telah dilakukan orang lain kepada kita. Kita ini benar-benar suka menggampangkan. Ah, gitu aja kok marah. Ah, biarin aja deh ntar aja kita beri tahu kalau dia udah di sini. Sama sekali tak terpikirkan bahwa di balik ajakan dan rencana yang terdengar sederhana itu, sebenarnya orang yang bersangkutan telah melakukan persiapan yang begitu banyak : menyediakan waktu khusus, bahkan pesan tempat khusus, sudah menyusun menu khusus, dan lain sebagainya.
Di akhir ceramah saya pada teman yang tadinya bete, saya malah mendapat pelajaran :
- Ukuran saya tidak sama dengan ukuran orang lain, karena itu ketika menemukan ketidaksamaan tersebut, mestinya kita menghargai perbedaan tersebut.
- Ketika saya menerima ajakan atau tawaran atau undangan, saya harus menghargai pengundang. Mulai sekarang saya akan lebih cermat lagi menyikapi undangan atau ajakan dengan segera mengkonfirmasikan kehadiran atau ketidakhadiran saya, tidak lagi mengambang seolah mau bikin win-win solution buat semua orang. Percayalah, kejadian siang tadi membuktikan hasilnya malah lose-lose...
Saat tiba di rumahnya dan menemukan garasinya lengang, saya dengan polosnya bertanya, "Lha, mana kendaraannya?" Ternyata sang ayah sedang menemani adiknya - yang sudah dewasa - menjaga konter makanan kakaknya di sebuah mall sementara si kakak sedang mudik lebaran bersama suaminya. Ibunya bilang, ayah akan ikut, kita disuruh jemput ke mall lalu pergi sama-sama. Bersamaan dengan itu, muncul pula sepupu-sepupu kecil teman saya, ikut nimbrung. Lengkaplah ke bete an teman saya. Ia merasa yang dipikirkan orang tuanya hanyalah kakak adik kakak adiknya saja, yang sudah sehari-hari tinggal bersama mereka, sementara teman saya yang tinggal agak jauh merasa dinomorduakan. Ia bisa paham kalau yang dipikirkan itu masih anak-anak, tapi kalau sudah dewasa, teman saya merasa adiknya bisa mengurus dirinya sendiri, lagian kan janjian makan siang ini tidak makan waktu sepanjang hari, hanya beberapa jam saja.
Maka jadilah saya makan siang bersama ayah ibu dan teman saya itu di sebuah resto di mall tempat adiknya menjaga konter makanan dengan suasana yang sama sekali tak nyaman. Teman saya diam dan manyun, dan saking kesalnya kerjanya cuma memencet-mencet bbmnya, ayahnya sibuk telepon kolega, ibu mengurus cucunya. Lengkap sudah penderitaan saya. Suasana tak enak, ibu tak napsu makan, ayah juga ogah makan, tinggal saya sendirian yang terkenyang-kenyang dengan sepiring nasi goreng ikan asin dengan porsi sangat mengejutkan! Teman saya sendiri menghabiskan sepiring nasi goreng jawa dengan super cepatnya.
Sambil mengunyah, saya mengumpat. Tahu gitu saya tidak ikut! Maunya liburan santai dan menenangkan, ini malah tepat di sumber kawah peperangan. Saya kemudian menganalisa, teman saya salah, tapi orang tuanya juga salah. Saya lalu angkat suara di malam harinya ketika amarahnya sudah mereda dan kami sedang santai menyeruput es krim yogurt mochi.
Saya bilang, kamu tadi bertujuan untuk menyenangkan orang tua kamu. Saya tahu kamu sudah merencanakan yang terbaik, tapi kamu juga tahu bahwa kesukaan orang tua kamu adalah memperhatikan adik dan kakak kamu. Jadi tidak sepatutnya kamu bete seperti itu karena orang tua kamu itu tadi sudah ada di tengah-tengah kesenangan mereka, jadi buat mereka tidak makan di restoran mahal pun tak apa, asal bisa dekat dengan adik kamu, tapi juga bisa ketemu kamu saja sudah senang. Kamu jengkel karena mereka tidak mengikuti apa yang kamu mau kan? Itu karena apa yang kamu bilang terbaik belum tentu yang mereka inginkan. Kalau kamu menyadarinya, maka tadi kamu akan happy-happy saja tak peduli kita makannya di mana, karena tujuannya adalah menyenangkan orang tua kamu, bukan menyenangkan diri kamu karena kamu kira menyenangkan orang tua kamu adalah dengan cara mengajaknya makan di restoran mahal. Apa yang kamu lakukan tadi, sungguh merusak suasana, sehingga tujuan kamu menyenangkan mereka jadi tak tercapai.
Tapi, orang tua kamu juga kepret! Orang tua kamu tidak tahu menghargai usaha anaknya. Saya mengerti sifat kamu, karena saya juga punya sifat yang sama: kalau saya mengundang atau menjamu seseorang, tentu saya sudah mengkhayalkan dan merencanakan secara cermat waktu yang akan dilalui bersama. Kalau orang tua kamu pikir bahwa berbakti pada orang tua itu sudah suatu hal yang selayaknya dan semestinya dilakukan oleh anaknya, mereka harus melihat betapa banyaknya anak yang tidak tahu menghargai dan menghormati ayah ibunya, yang tahunya cuma merongrong dan menggerogoti mental dan harta orang tuanya. Seharusnya orang tua kamu bersyukur punya anak seperti kamu. Dalam hal hari ini, orang tua kamu sebetulnya punya kesempatan untuk menanyakan rencana, atau kalau ada perubahan rencana pun, mestinya mereka memberitahu kamu, sehingga kamu bisa menjelaskan atau mengubah acara atau bahkan menundanya sehingga semua happy. Terus terang saya tidak suka dengan cara orang tua kamu yang menggampangkan dan cenderung ah... nggak usah bilang-bilang, ntar aja kalau dia udah di sini diberi tahu. Itu sekali lagi namanya tidak menghargai. Justru dengan sebelumnya memberi tahu, maka kamu tahu what to expect.
Jadi kalau boleh saya simpulkan, kondisinya satu sama: sama sama salah.
Melalui situasi ini saya belajar dua hal :
1. Betapa seringnya kita merencanakan sesuatu bagi orang lain dari kaca mata kita. Kita merasa rencana kita yang terbaik, kenyataannya ketika orang lain itu memiliki prioritas, kepentingan dan pilihan yang berbeda kita menjadi kecewa kepada orang tersebut. Kita lupa bahwa orang yang paling benar disalahkan adalah diri kita sendiri. Salah kita sendiri menetapkan rencana dengan menggunakan ukuran kita pada orang lain.
2. Betapa kita ini sering take for granted dan tidak menghargai apa yang telah dilakukan orang lain kepada kita. Kita ini benar-benar suka menggampangkan. Ah, gitu aja kok marah. Ah, biarin aja deh ntar aja kita beri tahu kalau dia udah di sini. Sama sekali tak terpikirkan bahwa di balik ajakan dan rencana yang terdengar sederhana itu, sebenarnya orang yang bersangkutan telah melakukan persiapan yang begitu banyak : menyediakan waktu khusus, bahkan pesan tempat khusus, sudah menyusun menu khusus, dan lain sebagainya.
Di akhir ceramah saya pada teman yang tadinya bete, saya malah mendapat pelajaran :
- Ukuran saya tidak sama dengan ukuran orang lain, karena itu ketika menemukan ketidaksamaan tersebut, mestinya kita menghargai perbedaan tersebut.
- Ketika saya menerima ajakan atau tawaran atau undangan, saya harus menghargai pengundang. Mulai sekarang saya akan lebih cermat lagi menyikapi undangan atau ajakan dengan segera mengkonfirmasikan kehadiran atau ketidakhadiran saya, tidak lagi mengambang seolah mau bikin win-win solution buat semua orang. Percayalah, kejadian siang tadi membuktikan hasilnya malah lose-lose...
Friday, September 10, 2010
10 September 2010 : Kafir
Saya mendapat hadiah siraman rohani di Hari Fitri dengan adanya dua kejadian penting : pidato Presiden dan Film Sang Pencerah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempatkan memberikan statement didampingi politisi dan pengemuka berbagai agama untuk menanggapi rencana pembakaran kitab suci Alquran oleh Pendeta (bukan pastor seperti yang disampaikan Presiden, karena pastor berkonotasi katolik, sedangkan yang bersangkutan bukan) Terry Jones pada peringatan Peristiwa 9/11 di Amerika. Sebelumnya Vatikan dan Presiden Obama sudah mengecam rencana tersebut, dan berbagai bangsa di Timur Tengah sudah bereaksi keras dengan berbagai demo dan pembakaran bendera Amerika Serikat. Beberapa menit sebelum Presiden menyampaikan statement dua bahasanya, sang pendeta mengumumkan membatalkan rencana tersebut. Belakangan ia meralat untuk menundanya.
Televisi nasional menyiarkan secara langsung statement Presiden dilengkapi dengan liputan mengenai rencana pembakaran tersebut. Saya yang menyaksikannya merasa sangat sedih dan tak habis mengerti mengenai kedangkalan pola pikir sang pendeta. Mengapa ia menyerang agama? Apakah ia merasa bahwa agamanya lebih baik dari yang lain? Lalu apakah pola pikir itu dapat disahkan dengan pembakaran kitab suci agama lain? Tak terpikirkah ia bahwa kelakuannya itu justru membuktikan bahwa ia lebih rendah dari yang dicercanya? Siapa yang sebetulnya ingin ia selamatkan dan bela? Tuhankah yang dibelanya? Siapa dia begitu takabur merasa ia bisa membela Tuhan? Tuhan tak perlu dibela, kitalah yang justru membutuhkan pembelaan Tuhan.
Sorenya saya mendapat pencerahan yang luar biasa dari Sang Pencerah. Film yang menceritakan sejarah lahirnya Muhammadiyah dan jalan hidup pendirinya, Kyai Achmad Dahlan menggambarkan betapa sebuah pandangan ditentang dan berusaha ditiadakan oleh pandangan lain yang lebih mapan. Dari sekian banyak yang saya dapatkan dari film tersebut, paling tidak ada dua hal yang sangat berkesan :
Ketika seorang santri bertanya apakah itu agama, Beliau memainkan sebuah lagu dengan merdu dari gesekan biolanya. Beliau lalu menjelaskan itulah agama : yang memberi ketentraman dan mengayomi. Lalu Beliau meminta santri lain untuk memainkan biola. Karena tak pernah belajar, santri tersebut menghasilkan suara sumbang. Beliau kemudian menjelaskan : Itu lah agama : bila tidak dipelajari dengan baik dan benar, akan menimbulkan kekacauan dan kegalauan.
Dan itulah yang sesungguhnya terjadi di seluruh dunia. Saya yakin, banyak umat dunia adalah penganut agama beraliran seperti seseorang yang belum atau baru belajar menggesek biola : bunyinya sumbang dan jauh dari harmoni, namun sok menyebut dirinya pemain biola sejati. Maka mereka yang bertindak anarkis dan teroris adalah mereka yang tidak mengerti namun merasa mengerti. Seperti Terry Jones. Saya yakin pemahamannya tentang agama yang hakiki sama dasarnya dengan pemahaman seorang yang baru belajar memainkan biola di hari pertama. Film Sang Pencerah menunjukkan bahwa kelompok mayoritas yang merasa terancam kaum minoritas adalah seharusnya menyadari bahwa mereka tak perlu cemas atas apa yang dilakukan orang lain kalau setiap anggota kelompoknya mengerti dengan baik dan benar azas-azas dan dasar nilai yang mereka anut. Kalau setiap orang memahami, tak mudah mereka tergoyah dan tergoda paham dan pandangan baru. Jadi bila ada kelompok yang merasa cemas, harus dipertanyakan, sudahkah mereka melakukan pekerjaan rumahnya agar setiap anggotanya tahu dengan baik azas dan nilai yang mereka anut? Ataukah kelompoknya hanya menjalankan ritual saja sehingga tampaknya menganut namun dalamnya kosong? Sayangnya, tak semua memiliki pemahaman mendalam seperti Kyai Haji Dahlan dan karena yang tak memahami jumlahnya besar, maka gesekan seperti apa yang dilakukan Terry Jones bisa menimbulkan sebuah ledakan dahsyat antar umat beragama yang dipicu oleh kenyataan bahwa sama-sama tidak memiliki pemahaman yang mendalam, baik dan benar mengenai hakiki beragama. Kalau apa yang terjadi dalam film adalah ledakan yang terjadi dalam satu agama, dan itu sudah berakibat perobohan dan pembakaran pesantren, apa lagi bila berbeda agama.
Hal kedua yang berkesan dari film tersebut adalah ketika seorang kyai jauh-jauh datang dari Magelang, menuduh Kyai Dahlan sebagai kafir yang memanfaatkan karya kafir karena sekolahnya menggunakan metode dan peralatan pengajaran Barat seperti bangku dan papan tulis. Kyai Dahlan lalu menanyai kyai tamunya datang dari Magelang naik apa dan dijawab naik kereta api. Kyai Dahlan lalu tersenyum mengatakan bahwa kalau begitu kyai tersebut juga kafir karena menggunakan ciptaan orang kafir.
Dari semua kejadian di hari ini, saya lalu sampai pada satu kesimpulan : Pentingnya memahami dengan baik dan benar, karena hanya dengan memahami dengan baik dan benar sajalah kita bisa mengerti tentang harmoni irama kehidupan yang memberi ketentraman dan pengayoman batin. Dengan kata lain, pemahaman selalu menghasilkan sesuatu yang indah, menentramkan dan mengayomi. Dari sana muncul rasa saling menghormati dan harmoni. Maka, sekarang, sebelum bertindak apa pun, pertama-tama yang harus saya tanyakan pada diri sendiri adalah : apakah saya mengerti, memahami dengan baik dan benar? Kalau jawabnya sedikit atau setengah-setengah saja, lebih baik saya diam dan tak melakukan apa-apa, karena pasti hasilnya akan salah besar dan runyam!
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempatkan memberikan statement didampingi politisi dan pengemuka berbagai agama untuk menanggapi rencana pembakaran kitab suci Alquran oleh Pendeta (bukan pastor seperti yang disampaikan Presiden, karena pastor berkonotasi katolik, sedangkan yang bersangkutan bukan) Terry Jones pada peringatan Peristiwa 9/11 di Amerika. Sebelumnya Vatikan dan Presiden Obama sudah mengecam rencana tersebut, dan berbagai bangsa di Timur Tengah sudah bereaksi keras dengan berbagai demo dan pembakaran bendera Amerika Serikat. Beberapa menit sebelum Presiden menyampaikan statement dua bahasanya, sang pendeta mengumumkan membatalkan rencana tersebut. Belakangan ia meralat untuk menundanya.
Televisi nasional menyiarkan secara langsung statement Presiden dilengkapi dengan liputan mengenai rencana pembakaran tersebut. Saya yang menyaksikannya merasa sangat sedih dan tak habis mengerti mengenai kedangkalan pola pikir sang pendeta. Mengapa ia menyerang agama? Apakah ia merasa bahwa agamanya lebih baik dari yang lain? Lalu apakah pola pikir itu dapat disahkan dengan pembakaran kitab suci agama lain? Tak terpikirkah ia bahwa kelakuannya itu justru membuktikan bahwa ia lebih rendah dari yang dicercanya? Siapa yang sebetulnya ingin ia selamatkan dan bela? Tuhankah yang dibelanya? Siapa dia begitu takabur merasa ia bisa membela Tuhan? Tuhan tak perlu dibela, kitalah yang justru membutuhkan pembelaan Tuhan.
Sorenya saya mendapat pencerahan yang luar biasa dari Sang Pencerah. Film yang menceritakan sejarah lahirnya Muhammadiyah dan jalan hidup pendirinya, Kyai Achmad Dahlan menggambarkan betapa sebuah pandangan ditentang dan berusaha ditiadakan oleh pandangan lain yang lebih mapan. Dari sekian banyak yang saya dapatkan dari film tersebut, paling tidak ada dua hal yang sangat berkesan :
Ketika seorang santri bertanya apakah itu agama, Beliau memainkan sebuah lagu dengan merdu dari gesekan biolanya. Beliau lalu menjelaskan itulah agama : yang memberi ketentraman dan mengayomi. Lalu Beliau meminta santri lain untuk memainkan biola. Karena tak pernah belajar, santri tersebut menghasilkan suara sumbang. Beliau kemudian menjelaskan : Itu lah agama : bila tidak dipelajari dengan baik dan benar, akan menimbulkan kekacauan dan kegalauan.
Dan itulah yang sesungguhnya terjadi di seluruh dunia. Saya yakin, banyak umat dunia adalah penganut agama beraliran seperti seseorang yang belum atau baru belajar menggesek biola : bunyinya sumbang dan jauh dari harmoni, namun sok menyebut dirinya pemain biola sejati. Maka mereka yang bertindak anarkis dan teroris adalah mereka yang tidak mengerti namun merasa mengerti. Seperti Terry Jones. Saya yakin pemahamannya tentang agama yang hakiki sama dasarnya dengan pemahaman seorang yang baru belajar memainkan biola di hari pertama. Film Sang Pencerah menunjukkan bahwa kelompok mayoritas yang merasa terancam kaum minoritas adalah seharusnya menyadari bahwa mereka tak perlu cemas atas apa yang dilakukan orang lain kalau setiap anggota kelompoknya mengerti dengan baik dan benar azas-azas dan dasar nilai yang mereka anut. Kalau setiap orang memahami, tak mudah mereka tergoyah dan tergoda paham dan pandangan baru. Jadi bila ada kelompok yang merasa cemas, harus dipertanyakan, sudahkah mereka melakukan pekerjaan rumahnya agar setiap anggotanya tahu dengan baik azas dan nilai yang mereka anut? Ataukah kelompoknya hanya menjalankan ritual saja sehingga tampaknya menganut namun dalamnya kosong? Sayangnya, tak semua memiliki pemahaman mendalam seperti Kyai Haji Dahlan dan karena yang tak memahami jumlahnya besar, maka gesekan seperti apa yang dilakukan Terry Jones bisa menimbulkan sebuah ledakan dahsyat antar umat beragama yang dipicu oleh kenyataan bahwa sama-sama tidak memiliki pemahaman yang mendalam, baik dan benar mengenai hakiki beragama. Kalau apa yang terjadi dalam film adalah ledakan yang terjadi dalam satu agama, dan itu sudah berakibat perobohan dan pembakaran pesantren, apa lagi bila berbeda agama.
Hal kedua yang berkesan dari film tersebut adalah ketika seorang kyai jauh-jauh datang dari Magelang, menuduh Kyai Dahlan sebagai kafir yang memanfaatkan karya kafir karena sekolahnya menggunakan metode dan peralatan pengajaran Barat seperti bangku dan papan tulis. Kyai Dahlan lalu menanyai kyai tamunya datang dari Magelang naik apa dan dijawab naik kereta api. Kyai Dahlan lalu tersenyum mengatakan bahwa kalau begitu kyai tersebut juga kafir karena menggunakan ciptaan orang kafir.
Dari semua kejadian di hari ini, saya lalu sampai pada satu kesimpulan : Pentingnya memahami dengan baik dan benar, karena hanya dengan memahami dengan baik dan benar sajalah kita bisa mengerti tentang harmoni irama kehidupan yang memberi ketentraman dan pengayoman batin. Dengan kata lain, pemahaman selalu menghasilkan sesuatu yang indah, menentramkan dan mengayomi. Dari sana muncul rasa saling menghormati dan harmoni. Maka, sekarang, sebelum bertindak apa pun, pertama-tama yang harus saya tanyakan pada diri sendiri adalah : apakah saya mengerti, memahami dengan baik dan benar? Kalau jawabnya sedikit atau setengah-setengah saja, lebih baik saya diam dan tak melakukan apa-apa, karena pasti hasilnya akan salah besar dan runyam!
Labels:
'lawrence tjandra',
'mengerti',
'perdamaian dunia'
Thursday, September 09, 2010
9 September 2010 : Maaf lahir batin
Gema Takbir memenuhi langit Jakarta yang berhias rintik hujan dan sejak saat itu bbm dan sms saya sibuk dengan saling berbagi ucapan selamat Idul Fitri 1431 H serta tak lupa mohon maaf lahir batin.
Kegiatan ini sudah merupakan tradisi dan ritual yang saya lakukan kepada kerabat, teman dan klien terdekat. Sambil sms dan bbm, muncul pertanyaan dalam hati apakah saya benar-benar memahami arti mohon maaf lahir batin? Ataukah ini hanya lip-service yang saya ucapkan tanpa makna dan sekedar memenuhi tradisi saja tanpa benar-benar tahu mengapa saya minta maaf?
Otak saya kemudian lari lebih jauh lagi. Setiap hari saya minta ampun atas dosa-dosa saya kepada Tuhan dan setiap hari saya bikin dosa baru lagi, kalau tidak mengulang dosa yang sudah saya minta hapus di hari sebelumnya.Apa yang ada di benak saya ketika minta ampun? Merasa bahwa hanya dengan memohon lewat doa dosa saya sudah dihapuskan dan karena sudah merasa bersih saya boleh berbuat dosa lagi untuk kemudian minta ampun lagi? Saya membayangkan kalau dosa itu tulisan yang saya buat di kertas putih, dan ketika saya minta ampun dosa itu dihapuskan lalu ditulis lagi dihapus lagi ... sampai kapan kertas itu kuat ditulis hapus? Tentu suatu saat kertasnya tidak akan putih lagi, dan karena ditulis hapus maka seratnya semakin tipis dengan penghapus dan akhirnya sobek atau berlubang, tak bisa diperbaiki lagi. Saya tahu, karena saya punya pengalaman di sekolah dasar membuat pekerjaan rumah yang salah melulu sehingga selalu dihapus oleh ibu saya hingga akhirnya berlubang. Kejadiannya makin parah kalau alat tulis yang saya gunakan bukan pinsil namun pena. Bayangkan kalau dosa besar kita ibarat pena...
Selama ini saya selalu membahas mengenai forgiveness, memaafkan, mengampuni, namun saat ini justru saya lah yang meminta maaf, minta ampun atas kesalahan saya. Dari yang tadinya hanya ritual saja, kini minta maafnya jadi lebih bermakna karena saya membayangkan kesalahan kita tidak bisa diulang-ulang terus, karena kalau diulang terus berarti saya tidak niat minta maaf. Demikian dengan dosa, kalau diulang terus dan selalu minta ampun, itu namanya tidak niat buat bertobat. Bagaimana kalau kita tahu itu salah atau dosa namun karena nikmat dan "perlu" kita mengulangnya terus? Perlukah minta maaf? ataukah maaf menjadi strategi agar mendapat kesempatan untuk mengulanginya lagi?
Tiba-tiba saya berhenti meng-sms dan bbm teman. Rasanya ingin menghapus pesan "sejuta ummat" yang saya tulis tadi. Maksudnya satu pesan kemudian diforward ke semua orang. Pesannya sendiri dibuat seumum mungkin sehingga tak perlu lagi repot mengulang untuk setiap orang. Saya jadi malu sendiri karena kelakuan saya ini mencerminkan sikap minta maaf yang hanya seremonial dan ritual saja, tanpa tahu sebenarnya salah saya apa pada orang yang bersangkutan karena pesannya massal. Sayangnya pesan yang sudah dikirim tak mungkin dicabut lagi, bahkan sebagian juga sudah dibalas dengan pesan massal, jadi acara maaf memaafkan ini menjadi hanya sekedar festival, bukan dari dalam hati karena yang minta maaf adalah pesan-pesan yang diforward dari kanan kiri, bahkan sudah dihias-hias pula yang datangnya bukan dari diri kita sendiri. Hanya supaya kelihatan keren dan bagus, permintaan maaf orang diforward ke orang lain.
Maka kali ini saya benar-benar mohon maaf dari lubuk hati terdalam atas kesalahan saya, baik yang saya sadari maupun banyaknya tentu yang tidak saya sadari. Dengan tekad tak akan mengulanginya lagi di masa mendatang. Itu baru namanya perbaikan diri dan naik kelas, sehingga kalau perlu minta maaf lahir batin lagi di tahun depan, salahnya bukan kesalahan yang itu-itu lagi, tapi kesalahan yang lain yang lebih ringan dan lebih sedikit. Namanya manusia, pasti ade sale sale kate atau laku, cuma tahun depan diharap menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Jadi, sekali lagi, kali ini benar-benar murni dari hati terdalam : Mohon maaf lahir batin, selamat Idul Fitri 1431 H. Semoga hari yang suci ini menjadi pengingat kita kepada sesama dan Pencipta tentang makna minta maaf dan ampun atas kesalahan kita. Ibarat kertas sudah dibersihkan kembali, tentu maunya diisi dengan tulisan yang benar, sehingga tak perlu dihapus lagi...
Kegiatan ini sudah merupakan tradisi dan ritual yang saya lakukan kepada kerabat, teman dan klien terdekat. Sambil sms dan bbm, muncul pertanyaan dalam hati apakah saya benar-benar memahami arti mohon maaf lahir batin? Ataukah ini hanya lip-service yang saya ucapkan tanpa makna dan sekedar memenuhi tradisi saja tanpa benar-benar tahu mengapa saya minta maaf?
Otak saya kemudian lari lebih jauh lagi. Setiap hari saya minta ampun atas dosa-dosa saya kepada Tuhan dan setiap hari saya bikin dosa baru lagi, kalau tidak mengulang dosa yang sudah saya minta hapus di hari sebelumnya.Apa yang ada di benak saya ketika minta ampun? Merasa bahwa hanya dengan memohon lewat doa dosa saya sudah dihapuskan dan karena sudah merasa bersih saya boleh berbuat dosa lagi untuk kemudian minta ampun lagi? Saya membayangkan kalau dosa itu tulisan yang saya buat di kertas putih, dan ketika saya minta ampun dosa itu dihapuskan lalu ditulis lagi dihapus lagi ... sampai kapan kertas itu kuat ditulis hapus? Tentu suatu saat kertasnya tidak akan putih lagi, dan karena ditulis hapus maka seratnya semakin tipis dengan penghapus dan akhirnya sobek atau berlubang, tak bisa diperbaiki lagi. Saya tahu, karena saya punya pengalaman di sekolah dasar membuat pekerjaan rumah yang salah melulu sehingga selalu dihapus oleh ibu saya hingga akhirnya berlubang. Kejadiannya makin parah kalau alat tulis yang saya gunakan bukan pinsil namun pena. Bayangkan kalau dosa besar kita ibarat pena...
Selama ini saya selalu membahas mengenai forgiveness, memaafkan, mengampuni, namun saat ini justru saya lah yang meminta maaf, minta ampun atas kesalahan saya. Dari yang tadinya hanya ritual saja, kini minta maafnya jadi lebih bermakna karena saya membayangkan kesalahan kita tidak bisa diulang-ulang terus, karena kalau diulang terus berarti saya tidak niat minta maaf. Demikian dengan dosa, kalau diulang terus dan selalu minta ampun, itu namanya tidak niat buat bertobat. Bagaimana kalau kita tahu itu salah atau dosa namun karena nikmat dan "perlu" kita mengulangnya terus? Perlukah minta maaf? ataukah maaf menjadi strategi agar mendapat kesempatan untuk mengulanginya lagi?
Tiba-tiba saya berhenti meng-sms dan bbm teman. Rasanya ingin menghapus pesan "sejuta ummat" yang saya tulis tadi. Maksudnya satu pesan kemudian diforward ke semua orang. Pesannya sendiri dibuat seumum mungkin sehingga tak perlu lagi repot mengulang untuk setiap orang. Saya jadi malu sendiri karena kelakuan saya ini mencerminkan sikap minta maaf yang hanya seremonial dan ritual saja, tanpa tahu sebenarnya salah saya apa pada orang yang bersangkutan karena pesannya massal. Sayangnya pesan yang sudah dikirim tak mungkin dicabut lagi, bahkan sebagian juga sudah dibalas dengan pesan massal, jadi acara maaf memaafkan ini menjadi hanya sekedar festival, bukan dari dalam hati karena yang minta maaf adalah pesan-pesan yang diforward dari kanan kiri, bahkan sudah dihias-hias pula yang datangnya bukan dari diri kita sendiri. Hanya supaya kelihatan keren dan bagus, permintaan maaf orang diforward ke orang lain.
Maka kali ini saya benar-benar mohon maaf dari lubuk hati terdalam atas kesalahan saya, baik yang saya sadari maupun banyaknya tentu yang tidak saya sadari. Dengan tekad tak akan mengulanginya lagi di masa mendatang. Itu baru namanya perbaikan diri dan naik kelas, sehingga kalau perlu minta maaf lahir batin lagi di tahun depan, salahnya bukan kesalahan yang itu-itu lagi, tapi kesalahan yang lain yang lebih ringan dan lebih sedikit. Namanya manusia, pasti ade sale sale kate atau laku, cuma tahun depan diharap menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Jadi, sekali lagi, kali ini benar-benar murni dari hati terdalam : Mohon maaf lahir batin, selamat Idul Fitri 1431 H. Semoga hari yang suci ini menjadi pengingat kita kepada sesama dan Pencipta tentang makna minta maaf dan ampun atas kesalahan kita. Ibarat kertas sudah dibersihkan kembali, tentu maunya diisi dengan tulisan yang benar, sehingga tak perlu dihapus lagi...
Wednesday, September 08, 2010
8 September 2010 : Tanpa Cap dan Baju Hakim
Oprah Winfrey hari ini menampilkan sebuah sesi yang menjadi topik bahasannya : apa yang ada di benak para pelaku pelecehan seksual pada anak. Ia mewawancarai dan berdiskusi dengan empat orang pelaku kejahatan seksual dan menyelami alam pikiran mereka. Saat bertanya, ia melakukannya dengan sangat hati-hati agar tidak terperangkap dalam kata-kata maupun sikap yang menghakimi sehingga para responden mau berbicara terbuka.
Selama acara berlangsung, sebenarnya saya jadi jauh lebih tertarik pada teknik wawancaranya daripada isinya. Kalau soal isi, saya sudah cukup familiar dengan fakta bahwa para pelaku berusaha mendapatkan kepercayaan dari korban sehingga dapat dengan mudah melaksanakan rencananya dan bahwa 90% pelaku adalah orang yang dikenal dekat oleh korbannya. Namun yang menjadi perhatian saya adalah bagaimana Oprah menumbuhkan rasa nyaman kepada responden sehingga tak segan-segan bercerita seolah-olah apa yang dilakukannya kepada para korban adalah hal yang wajar. Dari situ saya menyadari bahwa kalau kita bersikap tak berprasangka, kita justru mendapatkan manfaat dari memahami apa yang ada di balik kejadian atau perilaku seseorang.
Bicara soal tak berprasangka, saya ini orangnya justru tukang menghakimi. Ada dandanan aneh sedikit dikomentari, orang bersikap apa langsung di cap tertentu. Malam ini mata saya terbuka bahwa dengan sikap mengadili atau menghakimi, kita justru menutup diri dari sesuatu yang sebenarnya dapat membuat kita lebih mengerti dan menikmati hidup. Selain itu, mereka yang diadili pun akan segera menutup diri rapat-rapat sehingga kita tidak dapat menjangkau mereka, membuat jurang semakin besar.
Saat seorang dicap melakukan tindakan yang salah atau saat sebuah situasi dihakimi sebagai keadaan yang diharamkan, detik itu juga kita kehilangan kesempatan untuk memahami mengapa semua ini terjadi. Dan karena kehilangan pengertian, kita juga kehilangan kesempatan untuk bisa melihat dunia dari sisi yang berbeda sehingga wawasan kita hanya akan berkutat sebatas pagar pandangan jiwa dan mata kita yang terbatas.
Malam ini, ketika menonton Oprah, saya dibukakan mata hati agar membuang semua cap dan baju hakim dan menerima sebanyak-banyaknya informasi serta keadaan tanpa melakukan penilaian agar wawasan saya menjadi semakin terbuka luas. Wawasan yang luas membawa pandangan yang tidak terkungkung dan membuat kita menjadi seorang yang semakin bijaksana. Saya lalu teringat akan adanya sebuah badan yang kerap mengeluarkan berbagai larangan berdasarkan wawasan yang terbatas sehingga selalu saja ada kecaman atas pandangan-pandangan yang dikemukakan, sebagian bahkan dianggap angin lalu karena dirasakan terlalu mengada-ada.
Kesimpulan saya malam ini adalah :
Menerima informasi dan keadaan tanpa prasangka menghasilkan wawasan yang luas, dan semakin luas wawasan semakin tinggi pula tingkat kebijaksanaan kita.
Stephen Covey, pengarang buku terkenal 7 Habits of Highly Effective People mengatakan :
When we listen with the intent to understand others, rather than with the intent to reply, we begin true communication and relationship building. opportunities to then speak openly and to be understood come much more naturally and easily.
Saya mengamininya. Mulai sekarang, saya akan berusaha mulai membuang semua cap dan baju hakim, serta menghentikan kebiasaan jadi pemotong pembicaraan alias tukang interupsi. Kuping kita dua, mulut kita satu. Saya harus lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Selama acara berlangsung, sebenarnya saya jadi jauh lebih tertarik pada teknik wawancaranya daripada isinya. Kalau soal isi, saya sudah cukup familiar dengan fakta bahwa para pelaku berusaha mendapatkan kepercayaan dari korban sehingga dapat dengan mudah melaksanakan rencananya dan bahwa 90% pelaku adalah orang yang dikenal dekat oleh korbannya. Namun yang menjadi perhatian saya adalah bagaimana Oprah menumbuhkan rasa nyaman kepada responden sehingga tak segan-segan bercerita seolah-olah apa yang dilakukannya kepada para korban adalah hal yang wajar. Dari situ saya menyadari bahwa kalau kita bersikap tak berprasangka, kita justru mendapatkan manfaat dari memahami apa yang ada di balik kejadian atau perilaku seseorang.
Bicara soal tak berprasangka, saya ini orangnya justru tukang menghakimi. Ada dandanan aneh sedikit dikomentari, orang bersikap apa langsung di cap tertentu. Malam ini mata saya terbuka bahwa dengan sikap mengadili atau menghakimi, kita justru menutup diri dari sesuatu yang sebenarnya dapat membuat kita lebih mengerti dan menikmati hidup. Selain itu, mereka yang diadili pun akan segera menutup diri rapat-rapat sehingga kita tidak dapat menjangkau mereka, membuat jurang semakin besar.
Saat seorang dicap melakukan tindakan yang salah atau saat sebuah situasi dihakimi sebagai keadaan yang diharamkan, detik itu juga kita kehilangan kesempatan untuk memahami mengapa semua ini terjadi. Dan karena kehilangan pengertian, kita juga kehilangan kesempatan untuk bisa melihat dunia dari sisi yang berbeda sehingga wawasan kita hanya akan berkutat sebatas pagar pandangan jiwa dan mata kita yang terbatas.
Malam ini, ketika menonton Oprah, saya dibukakan mata hati agar membuang semua cap dan baju hakim dan menerima sebanyak-banyaknya informasi serta keadaan tanpa melakukan penilaian agar wawasan saya menjadi semakin terbuka luas. Wawasan yang luas membawa pandangan yang tidak terkungkung dan membuat kita menjadi seorang yang semakin bijaksana. Saya lalu teringat akan adanya sebuah badan yang kerap mengeluarkan berbagai larangan berdasarkan wawasan yang terbatas sehingga selalu saja ada kecaman atas pandangan-pandangan yang dikemukakan, sebagian bahkan dianggap angin lalu karena dirasakan terlalu mengada-ada.
Kesimpulan saya malam ini adalah :
Menerima informasi dan keadaan tanpa prasangka menghasilkan wawasan yang luas, dan semakin luas wawasan semakin tinggi pula tingkat kebijaksanaan kita.
Stephen Covey, pengarang buku terkenal 7 Habits of Highly Effective People mengatakan :
When we listen with the intent to understand others, rather than with the intent to reply, we begin true communication and relationship building. opportunities to then speak openly and to be understood come much more naturally and easily.
Saya mengamininya. Mulai sekarang, saya akan berusaha mulai membuang semua cap dan baju hakim, serta menghentikan kebiasaan jadi pemotong pembicaraan alias tukang interupsi. Kuping kita dua, mulut kita satu. Saya harus lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Tuesday, September 07, 2010
7 September 2010 : Detox Jiwa Raga
Tanpa sengaja saya menonton sebuah reality show di Hallmark Channel berjudul "Loosing it with Jillian." Dalam episode ini diceritakan Jillain mendatangi Keluarga May yang berantakan dengan bercerainya Ruth dari sang suami, meninggalkan dia dan ketiga anak remajanya dalam keadaan yang memrihatinkan : gemuk tak sehat, menutup diri, tak bercahaya. Tugas Jillian adalah mengubah segalanya dalam seminggu. Ia menantang, menghardik, menjembatani, serta menyusun kembali puing-puing yang ada menjadi sesuatu yang baru. Menyingkirkan semua makanan tak sehat, menyingkirkan semua benda-benda yang menjadi jembatan mereka ke kenangan masa lalu, menggembleng setiap anggota keluarga untuk berolah tubuh, menumbuhkan kepercayaan Ruth dengan berkencan lagi, menumbuhkan kepercayaan anak-anak dengan menghubungkan mereka kembali pada komunitas sekolah.
Saya melihat betapa sulitnya kita melepas zona nyaman kita, seburuk apa pun kubangan yang kita ciptakan dari rasa duka dan bersalah. Kita tidak menyadari apa yang kita lakukan sedikit berdampak pada anggota keluarga yang lain. Keterpurukan Ruth ternyata menimbulkan rasa khawatir pada salah seorang puterinya sehingga ia merasa takut berprestasi karena dengan berprestasi berarti ia harus keluar rumah, sebuah keadaan yang ia khawatirkan karena ia mencemaskan ibunya tak bisa bertahan tanpa dia. Puteri yang satu lagi menjadi penyendiri karena merasa tidak bisa memercayai siapa pun di dunia ini setelah ayahnya - orang yang paling dipercayainya - meninggalkan dia dan keluarganya. Kubangan depresi ini merupakan sarang yang nyaman bagi mereka dan tanpa sadar membawa mereka kepada sebuah kondisi yang lebih memrihatinkan lagi.
Dari tayangan itu saya melihat betapa kita ini sering tak bisa lepas dari hal-hal yang membuat kita sedih dan tidak bisa menerima kenyataan : perceraian, putus cinta, pemecatan atau kematian orang tercinta. Seolah hidup kita berhenti sampai di situ saja. Baru beberapa hari ini saya membahas soal keikhlasan ditinggal (mati) orang tercinta. Hari ini saya ditunjukkan dampaknya bagi orang sekeliling.
Pada dasarnya Jillian mengajak kita untuk tetap berjalan maju, serta membangun kembali percaya diri yang terkoyak. Perceraian, putus cinta, pemecatan dan kematian dengan mudah menggelincirkan kita pada kehilangan percaya diri. Seolah tanpa orang tersebut atau tanpa pekerjaan tersebut kita tidak bisa bertahan hidup. Jillian tadi berpesan, "life is not slipping away from you, you are slipping away from life."
Saya jadi ingat, begitu banyak barang yang sebetulnya tidak saya perlukan saya endapkan di rumah karena saya tidak mau kehilangan kenangan atasnya. Setelah menyaksikan tayangan ini, saya berjanji liburan lebaran ini akan saya gunakan untuk membersihkan rumah dari barang-barang yang tidak berguna tersebut. Saya juga jadi ingat beberapa minggu ini saya tidak lagi berolah raga secara teratur karena saya merasa sedang tidak enak badan. Saya mau bergiat lagi, karena semakin saya tidak berolah raga, semakin badan saya tidak terawat dan tidak bugar. Saat saya menulis sekarang, saya tengah berpikir dan menilai apakah kondisi hidup saya sekarang ini adalah produk ketakutan saya terhadap sesuatu dan apakah saya sedang bersembunyi di zona nyaman kita. Ternyata, baik secara fisik mau pun mental, begitu banyak sampah yang tersimpan dalam diri saya, dan saya bertekad untuk membersihkannya. Semacam terapi detox. Kuncinya adalah : bagaimana kita mendobrak rasa takut dan keluar dari zona (yang kita pikir kita) aman.
Di akhir minggu ke delapan, kita dipertemukan lagi dengan keluarga May. Kali ini mereka terlihat langsing, bersemangat, penuh percaya diri dan bersinar. Tidak tampak lagi bintik-bintik kusam di wajah Ruth, yang ada adalah sepasang mata indah yang berbinar-binar.
Hidup ini memang seperti ilmu komunikasi, harus sering-sering diingatkan. Begitu pula hari ini, saya diingatkan sekali lagi untuk hidup mendobrak semua ketakutan dan zona nyaman agar saya bisa keluar melihat dunia yang lebih berwarna dan merasakan hidup yang lebih hidup lagi...
Saya melihat betapa sulitnya kita melepas zona nyaman kita, seburuk apa pun kubangan yang kita ciptakan dari rasa duka dan bersalah. Kita tidak menyadari apa yang kita lakukan sedikit berdampak pada anggota keluarga yang lain. Keterpurukan Ruth ternyata menimbulkan rasa khawatir pada salah seorang puterinya sehingga ia merasa takut berprestasi karena dengan berprestasi berarti ia harus keluar rumah, sebuah keadaan yang ia khawatirkan karena ia mencemaskan ibunya tak bisa bertahan tanpa dia. Puteri yang satu lagi menjadi penyendiri karena merasa tidak bisa memercayai siapa pun di dunia ini setelah ayahnya - orang yang paling dipercayainya - meninggalkan dia dan keluarganya. Kubangan depresi ini merupakan sarang yang nyaman bagi mereka dan tanpa sadar membawa mereka kepada sebuah kondisi yang lebih memrihatinkan lagi.
Dari tayangan itu saya melihat betapa kita ini sering tak bisa lepas dari hal-hal yang membuat kita sedih dan tidak bisa menerima kenyataan : perceraian, putus cinta, pemecatan atau kematian orang tercinta. Seolah hidup kita berhenti sampai di situ saja. Baru beberapa hari ini saya membahas soal keikhlasan ditinggal (mati) orang tercinta. Hari ini saya ditunjukkan dampaknya bagi orang sekeliling.
Pada dasarnya Jillian mengajak kita untuk tetap berjalan maju, serta membangun kembali percaya diri yang terkoyak. Perceraian, putus cinta, pemecatan dan kematian dengan mudah menggelincirkan kita pada kehilangan percaya diri. Seolah tanpa orang tersebut atau tanpa pekerjaan tersebut kita tidak bisa bertahan hidup. Jillian tadi berpesan, "life is not slipping away from you, you are slipping away from life."
Saya jadi ingat, begitu banyak barang yang sebetulnya tidak saya perlukan saya endapkan di rumah karena saya tidak mau kehilangan kenangan atasnya. Setelah menyaksikan tayangan ini, saya berjanji liburan lebaran ini akan saya gunakan untuk membersihkan rumah dari barang-barang yang tidak berguna tersebut. Saya juga jadi ingat beberapa minggu ini saya tidak lagi berolah raga secara teratur karena saya merasa sedang tidak enak badan. Saya mau bergiat lagi, karena semakin saya tidak berolah raga, semakin badan saya tidak terawat dan tidak bugar. Saat saya menulis sekarang, saya tengah berpikir dan menilai apakah kondisi hidup saya sekarang ini adalah produk ketakutan saya terhadap sesuatu dan apakah saya sedang bersembunyi di zona nyaman kita. Ternyata, baik secara fisik mau pun mental, begitu banyak sampah yang tersimpan dalam diri saya, dan saya bertekad untuk membersihkannya. Semacam terapi detox. Kuncinya adalah : bagaimana kita mendobrak rasa takut dan keluar dari zona (yang kita pikir kita) aman.
Di akhir minggu ke delapan, kita dipertemukan lagi dengan keluarga May. Kali ini mereka terlihat langsing, bersemangat, penuh percaya diri dan bersinar. Tidak tampak lagi bintik-bintik kusam di wajah Ruth, yang ada adalah sepasang mata indah yang berbinar-binar.
Hidup ini memang seperti ilmu komunikasi, harus sering-sering diingatkan. Begitu pula hari ini, saya diingatkan sekali lagi untuk hidup mendobrak semua ketakutan dan zona nyaman agar saya bisa keluar melihat dunia yang lebih berwarna dan merasakan hidup yang lebih hidup lagi...
Labels:
'lawrence tjandra',
'zona nyaman',
ketakutan
Subscribe to:
Posts (Atom)