Kalau saya rangkum, hari ini saya berurusan dengan tema "sensitif", tidak hanya saya sendiri namun orang-orang di sekeliling saya.
Saya :
Pagi ini saya mengirim messenger kepada seorang mitra kerja untuk melaporkan dua hal yang berkaitan dengannya dan minta masukannya namun sampai saya menulis blog ini, masih juga belum mendapat jawaban darinya. Pesan saya jelas sudah diterima bahkan telah dibacanya karena Blackberry memberi fasilitas bagi pemiliknya untuk bisa memantau apakah pesan yang dikirimnya sudah terkirim dan bahkan sudah terbaca. Kemungkinannya adalah Beliau memang sibuk sekali, sehingga setelah membaca pesannya, karena butuh jawaban jawaban kapan bisa bertemu, Beliau menyimpan jawabannya sampai di depan buku agenda sekretarisnya. Tapi mungkin saya sedang sensi hari ini, jadi saya bertanya-tanya cemas. Ada apa ya dengan Beliau? Apakah ada kata atau tindakan saya yang salah? Atau karena saya tidak datang di rapat Jumat lalu? Jangan-jangan ada yang tidak berkenan dan Beliau ngambek. Saya jadi tidak tenang. Saya membaca ulang berkali-kali pesan Bbm saya untuk memastikan tidak ada yang salah, dan ternyata semuanya memang baik-baik saja. Saya sih dijadwalkan akan bertemu Beliau dua hari lagi, tapi rasa tidak tenang masih bergayut di hati. Ada apa ya...?
Anggota tim saya :
Saya mendapat laporan ada anggota tim yang menangis sore ini saking kesalnya dengan saya. Ihwalnya karena ia mengirim sebuah draft dan saya menyuruhnya mendiskusikan dengan anggota tim yang lain. Lalu sore hari ini, ia melihat saya mendiskusikannya dengan anggota tim yang lain itu, dan langsung ia mendongkol. Saya sendiri mungkin kurang sensitif, dan saya harus minta maaf padanya soal ini. Tapi saya punya alasan tersendiri : dengan adanya perubahan struktur tim, sebentar lagi ia tak akan memegang klien ini dan tanggung jawabnya akan beralih pada temannya. Karena itu saya ingin melibatkannya di setiap tahapan yang dilalui. Saya mengirimkan pesan untuk mendiskusikan draft di pagi hari, karena itu ketika siangnya saya menerima draft dari teman kerjanya, saya otomatis menganggapnya draft tersebut adalah hasil karya berdua. Ternyata tidak. Dan tim saya yang satu itu menjadi dongkol, merasa tidak saya hargai jerih payahnya, merasa tidak saya percaya, merasa saya cuma menempatkannya sebagai juara administrasi saja. Padahal tak ada maksud sama sekali untuk melakukannya. Saya tahu kok dia yang membuat, dan saya sangat menghargai usahanya, dan usahanya sudah cukup baik, tinggal diputar kanan kiri sedikit saja sudah jadi, tapi ya itu tadi, kalau sudah sensi, mana ada akal sehat yang jalan. Adanya kita dikuasai emosi, kekecewaan, kecemasan atau amarah ...
Sambil mencoba mengatur keresahan saya atas tidak dijawabnya pesan saya selama seharian, saya meneliti soal sensi. Kesimpulan saya : sensi itu adalah produk ketidakpercayaan diri yang datangnya dadakan, tiba-tiba, dengan begitu saja. Begitu ada sesuatu hal yang menyenggol topik sensitif, langsung naiklah voltase emosi kita. Entah dalam bentuk marah atau kecemasan, yang jelas dua-duanya belum tentu jelas kebenarannya namun membawa dampak negatif terhadap mood kita. Padahal kalau otak kita dingin-dingin saja, semua issue sensitif itu pun tak akan jadi soal. Saya lalu bertanya dalam hati, bagaimana yang mengatasi sensi ini? Apakah kita selalu harus berasumsi semuanya tidak seperti yang kita duga atau rasakan? Bahwa semuanya baik-baik saja atau All is Well seperti kata Rancho dalam film 3 idiots sehingga kepercayaan diri kita tumbuh?
Salah satu resep untuk menumbuhkan kepercayaan diri adalah mengatakan jangan berprasangka. Tapi pengalaman saya mengatakan memang mudah bilang jangan berprasangka, tapi prakteknya sih sama sekali sulit. Rasanya kalau sedang cemas atau marah karena sensi, sepertinya ada malaikat dan setan di sisi pundak kita. Setannya mengipasi emosi, yang malaikatnya menonton saja, sambil harap-harap cemas. Makin keras kipasnya, makin kencang hembusan emosinya : makin cemas, makin marah. Mungkin saking kencangnya mengipas, lama-kelamaan setannya capek juga, dan waktu capek inilah yang dimanfaatkan si malaikat untuk menghembuskan angin dingin ke otak.
Lalu saya mengambil kesimpulan, bahwa kalau sedang sensi, yang harus dilakukan adalah melakukan invervensi persepsi, semacam terapi kejut yang mengatakan : tidak, semua yang kamu cemaskan tidak beralasan, jangan berprasangka! sambil memberi waktu untuk bisa berpikir jernih, menumbuhkan rasa percaya diri.
Tapi itu sekali lagi teori. Prakteknya, cemas saya tak hilang juga tuh, setelah tahu semua do and don'ts nya. Sama seperti sms teman yang mengabarkan ia kena cacar air di usia setua ini dan menyuruh saya menanyakan kepada kakak saya yang dokter siapa tahu ada obat cespleng yang menghilangkan kegatalan dan keperihan yang dideritanya, padahal ia sudah dapat obat yang benar dari dokternya. Sudah tahu apa yang harus dialami dan dilakukan, tapi masih cemas juga. Saya jadi belajar, tahu apa yang harus dilakukan tidak berarti dapat menghalau kecemasan dan pikiran-pikiran hasil kipasan setan. Malah, sekarang kipasnya makin kencang : aduuuuh gimana ya kalau sampai besok saya tetap tidak dijawab, padahal acaranya tinggal beberapa hari lagi... Gubrakss!
No comments:
Post a Comment