Monday, September 27, 2010

27 September 2010 : Mitra yang Pongah

Sebenarnya sudah beberapa hari ini saya dongkol seleher dengan kelakuan orang-orang yang karena jabatannya berlaku sewenang-wenang. Saya jadi ingat parodi yang ditulis teman saya Samuel Mulia di Koran Kompas kemarin berjudul "Kamu tahu, Saya ini Siapa?" Ia mengatakan semakin tinggi kedudukan orang, ia dituntut semakin rendah hati. Karena pemimpin ada untuk melayani, bukan untuk dilayani. Saya setuju sekali dengan pendapatnya.

Saya cukup banyak berinteraksi dengan orang-orang yang seyogyanya menjadi pemimpin, dan karena jabatan dan kedudukannya mereka lalu merasa perlu untuk membuat batasan tersendiri, menjadikan mereka menara gading yang misterius, dan terpisah dari orang-orang yang seharusnya diayominya. Seorang pemimpin yang baik tidaklah mengerjakan semua beban tugasnya sendiri. Namanya juga pemimpin, jadi dia harus memimpin pasukannya. Kalau dia juga yang mengerjakan, maka dia pantas dipertanyakan kepiawaiannya dalam memimpin. Seorang pemimpin yang baik harus dapat menjalin kemitraan dengan semua pihak dan membagikan tugas sesuai dengan porsi masing-masing sambil mengakui hasil kerja masing-masing pihak agar setiap pihak merasa dihargai jerih payahnya, dan bukannya semua ditelan sendiri seolah-olah ini adalah hasil pekerjaannya sedang mitranya cuma bantu-bantu saja. Kelakuan ini merupakan kepongahan yang luar biasa dari seorang pemimpin. Apa lagi kalau si pemimpin ini lalu meminta imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan seorang mitra untuk membantu sang pemimpin menyelesaikan tugasnya. Jadi sudah dibantu masih minta upeti pula!

Hari ini, saya mendapat perlakuan yang tidak fair dan semena-mena. Saya bingung cara menghadapinya. Haruskah saya menyatakan kekecewaan saya dan menantang si penginjak, atau haruskah saya diam saja mengikuti semua kemauan yang didiktekan karena saya ini di pihak yang dituntut harus menurut?

Setelah saya pikir-pikir, saya tidak mengambil alternatif a atau b. Saya mengambil alternatif yang lain : menetapkan sebuah langkah yang seolah-olah mengikuti kemauan sang penginjak, namun kalau diperhatikan lagi, kali ini saya sudah tidak mengikuti semua tuntutannya. Karena dengan keluar dari lingkup sang penginjak, saya berada di zona independen dan bisa melakukan sesuatu sesuai prinsip sendiri sehingga bila ada pihak yang ingin ikut serta, mereka harus mengikuti peraturan yang saya buat. Kalau mau protes, silakan keluar dari arena ini.

Hari ini saya belajar bahwa sebutuh-butuhnya kita dengan orang lain, jangan sampai kita mau diperbudak oleh orang itu. Saya tetap seorang yang independen. Yang namanya bermitra berarti ada dua pihak yang berkedudukan setara, yang saling memberi keuntungan atas kebutuhan masing-masing dan bukannya satu bersikap sebagai raja yang otoriter, sementara yang lain dituntut bersikap menurut seperti pembantu. Kalau begitu, bukan mitra namanya.

Yang namanya bermitra tentu ada toleransi dan saling mengerti dimana satu pihak kadang mendapat keuntungan lebih besar dari yang lain, namun semuanya masih dalam taraf kesetaraan. Kalau kemudian mitra kita bersikap semena-mena sehingga kita tidak merasa nyaman lagi, kita tentu akan keluar dari kemitraan itu, dan bisa jadi kita akan memilih kemitraan lain yang memiliki visi dan misi yang sama. Jadi jangan dianggap mitra kita berhasil karena ada kita. Sejujurnya keberhasilan itu karena sinergi dua belah pihak, bukan karena satu pihak saja.

Jadi jangan pernah kita merasa menang karena kita berkuasa. Seharusnya kita malu sendiri, karena kekuasaan itu seharusnya dipakai untuk kebaikan semua pihak. Sebaiknya kita merasa menang karena tujuan pokok yang kita emban tercapai dengan baik dengan dukungan berbagai pihak yang memang memiliki komitmen untuk mewujudkan tugas pokok tersebut. Maafkan hari ini saya mengeluarkan uneg-uneg. Biasalah, orang yang terinjak terkadang tiba-tiba bisa menjadi bijak...

No comments: