Tanpa sengaja saya menonton sebuah reality show di Hallmark Channel berjudul "Loosing it with Jillian." Dalam episode ini diceritakan Jillain mendatangi Keluarga May yang berantakan dengan bercerainya Ruth dari sang suami, meninggalkan dia dan ketiga anak remajanya dalam keadaan yang memrihatinkan : gemuk tak sehat, menutup diri, tak bercahaya. Tugas Jillian adalah mengubah segalanya dalam seminggu. Ia menantang, menghardik, menjembatani, serta menyusun kembali puing-puing yang ada menjadi sesuatu yang baru. Menyingkirkan semua makanan tak sehat, menyingkirkan semua benda-benda yang menjadi jembatan mereka ke kenangan masa lalu, menggembleng setiap anggota keluarga untuk berolah tubuh, menumbuhkan kepercayaan Ruth dengan berkencan lagi, menumbuhkan kepercayaan anak-anak dengan menghubungkan mereka kembali pada komunitas sekolah.
Saya melihat betapa sulitnya kita melepas zona nyaman kita, seburuk apa pun kubangan yang kita ciptakan dari rasa duka dan bersalah. Kita tidak menyadari apa yang kita lakukan sedikit berdampak pada anggota keluarga yang lain. Keterpurukan Ruth ternyata menimbulkan rasa khawatir pada salah seorang puterinya sehingga ia merasa takut berprestasi karena dengan berprestasi berarti ia harus keluar rumah, sebuah keadaan yang ia khawatirkan karena ia mencemaskan ibunya tak bisa bertahan tanpa dia. Puteri yang satu lagi menjadi penyendiri karena merasa tidak bisa memercayai siapa pun di dunia ini setelah ayahnya - orang yang paling dipercayainya - meninggalkan dia dan keluarganya. Kubangan depresi ini merupakan sarang yang nyaman bagi mereka dan tanpa sadar membawa mereka kepada sebuah kondisi yang lebih memrihatinkan lagi.
Dari tayangan itu saya melihat betapa kita ini sering tak bisa lepas dari hal-hal yang membuat kita sedih dan tidak bisa menerima kenyataan : perceraian, putus cinta, pemecatan atau kematian orang tercinta. Seolah hidup kita berhenti sampai di situ saja. Baru beberapa hari ini saya membahas soal keikhlasan ditinggal (mati) orang tercinta. Hari ini saya ditunjukkan dampaknya bagi orang sekeliling.
Pada dasarnya Jillian mengajak kita untuk tetap berjalan maju, serta membangun kembali percaya diri yang terkoyak. Perceraian, putus cinta, pemecatan dan kematian dengan mudah menggelincirkan kita pada kehilangan percaya diri. Seolah tanpa orang tersebut atau tanpa pekerjaan tersebut kita tidak bisa bertahan hidup. Jillian tadi berpesan, "life is not slipping away from you, you are slipping away from life."
Saya jadi ingat, begitu banyak barang yang sebetulnya tidak saya perlukan saya endapkan di rumah karena saya tidak mau kehilangan kenangan atasnya. Setelah menyaksikan tayangan ini, saya berjanji liburan lebaran ini akan saya gunakan untuk membersihkan rumah dari barang-barang yang tidak berguna tersebut. Saya juga jadi ingat beberapa minggu ini saya tidak lagi berolah raga secara teratur karena saya merasa sedang tidak enak badan. Saya mau bergiat lagi, karena semakin saya tidak berolah raga, semakin badan saya tidak terawat dan tidak bugar. Saat saya menulis sekarang, saya tengah berpikir dan menilai apakah kondisi hidup saya sekarang ini adalah produk ketakutan saya terhadap sesuatu dan apakah saya sedang bersembunyi di zona nyaman kita. Ternyata, baik secara fisik mau pun mental, begitu banyak sampah yang tersimpan dalam diri saya, dan saya bertekad untuk membersihkannya. Semacam terapi detox. Kuncinya adalah : bagaimana kita mendobrak rasa takut dan keluar dari zona (yang kita pikir kita) aman.
Di akhir minggu ke delapan, kita dipertemukan lagi dengan keluarga May. Kali ini mereka terlihat langsing, bersemangat, penuh percaya diri dan bersinar. Tidak tampak lagi bintik-bintik kusam di wajah Ruth, yang ada adalah sepasang mata indah yang berbinar-binar.
Hidup ini memang seperti ilmu komunikasi, harus sering-sering diingatkan. Begitu pula hari ini, saya diingatkan sekali lagi untuk hidup mendobrak semua ketakutan dan zona nyaman agar saya bisa keluar melihat dunia yang lebih berwarna dan merasakan hidup yang lebih hidup lagi...
No comments:
Post a Comment