Wednesday, September 15, 2010

15 September 2010 : Mengusir

Saya suka film serial "Glee" tapi jujur, dengan malam ini, saya baru menonton 2 episode, itu pun tidak dari awal sehingga tidak tahu persis jalan ceritanya seperti apa. Namun episode kali ini menarik perhatian saya karena secuplik adegan yang menggambarkan bagaimana seorang ayah bagai tersambar petir kaget mendengar pengakuan anak gadis yang sangat dibanggakannya hamil sebelum menikah. Ia kemudian mengusir anaknya dan pacarnya padahal sang anak mencoba menjelaskan tak ada yang berubah dari dirinya, kecuali ia telah berbuat kesalahan. Selebihnya, ia tetap anak sang ayah yang cinta orang tua dan keluarganya. Tapi sang ayah malah mengatur waktu alarm dari microwavenya dan menghitung tepat 30 menit buat sang puteri berkemas.

Seketika itu juga saya jadi ingat kejadian dimana keluarga teman saya serasa runtuh dunia saat mendengar salah satu anggota keluarganya ternyata diam-diam telah menikah siri karena menghamili pacarnya. Bukan saja hamil, ketika ketahuan sang janin sudah melihat sinar matahari, alias lahir. Keluarga teman saya kemudian sibuk mengucilkan si nomor empat, sampai akhirnya saya tidak tahan sendiri. Saya kemudian angkat bicara pada teman saya dan ibunya. Saya bilang, saya pernah punya pengalaman yang sama ketika kerabat saya kabur dari rumah, anak dan isterinya dan memilih tinggal dengan wanita lain. Waktu itu keluarga saya marah besar, karena dikira tindakan marah dan mengucilkan akan menghukum kerabat saya itu dan membuatnya sadar lalu kembali lagi pada keluarga. Kenyataannya tidak. Belasan tahun kemudian, kini, ia telah bercerai resmi dengan isterinya dan tetap bertahan dengan wanita yang dipilihnya, bahkan sudah menikahi dan memiliki anak darinya. Ketika semua keluarga memusuhi, dan saya juga jadi sibuk menghibur dan mengurus anak isterinya, saya menjadi sadar, apa yang dilakukan kerabat saya memang salah menurut ukuran keluarga kami, namun kita kan tidak tahu persis apa yang memicu semua ini terjadi? Lagi pula memusuhi dan tidak menganggapnya kerabat tidak menghapus kenyataan bahwa sampai kapan pun ia tetap kerabat saya. Berangkat dari pemikiran itu, saya lalu bersikap lebih netral. Tidak membenarkan, namun tidak menghakimi. Kami pun menjadi semakin dekat dan kini terlepas setuju atau tidak setuju atas perbuatannya, ikatan keluarga kami kembali terjalin erat.

Saya lalu berkata kalau kerabat saya lari dengan orang lain, sedang si nomor 4 sudah menyatakan tanggung jawabnya dan menikahi bahkan menghidupi anak isterinya walaupun dalam kondisi terbatas. Seharusnya kita ini bangga karena ia orang yang bertanggung jawab, sehingga tidak ada alasan buat kita untuk malu menerima dia. Soal omongan orang, anggap saja angin lalu. Mereka cuma tahu kulitnya yang renyah dibuat gosip. Yang tahu apa yang terjadi sesungguhnya adalah kita. Bagaimana pun si nomor 4 adalah sanak saudara sendiri yang tak kan terhapus oleh apa pun juga yang terjadi, dan dalam keadaan seperti ini ia justru membutuhkan dukungan, bukan penghakiman dan penghukuman. Pada kondisi ini, tegakah kita justru menyingkirkannya dan memarahinya bagaikan sampah? Kekompakan kita justru menjadi semangat kasih sayang yang merekatkan keluarga, dan pada akhirnya membawa semua kekacauan kembali menjadi tenang.

Akhirnya, teman saya dan ibunya memutuskan untuk tidak ambil pusing gosip keluarga. Mereka kemudian menemui dan merangkuh kembali anak yang hilang dan bertangis-tangisan bahagia, karena seketika itu juga lenyap rasa marah dan kekecewaan. Yang ada hanyalah cinta dan kasih sayang.

Malam ini saya diingatkan kembali betapa banyaknya orang yang karena amarah kehilangan orang yang paling dicintainya. Saya memutuskan tidak mau menyerah pada amarah. Saya mau menyerah pada cinta kasih. Semoga apa yang saya alami, juga yang telah dialami keluarga teman saya, dan adegan film Glee malam ini membuka hati semua orang, membuang amarah dan menggantikannya dengan cinta kasih yang tidak menghakimi. Setiap orang perlu itu. Setiap Keluarga perlu. Dan dunia memerlukannya...

No comments: