Friday, September 10, 2010

10 September 2010 : Kafir

Saya mendapat hadiah siraman rohani di Hari Fitri dengan adanya dua kejadian penting : pidato Presiden dan Film Sang Pencerah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempatkan memberikan statement didampingi politisi dan pengemuka berbagai agama untuk menanggapi rencana pembakaran kitab suci Alquran oleh Pendeta (bukan pastor seperti yang disampaikan Presiden, karena pastor berkonotasi katolik, sedangkan yang bersangkutan bukan) Terry Jones pada peringatan Peristiwa 9/11 di Amerika. Sebelumnya Vatikan dan Presiden Obama sudah mengecam rencana tersebut, dan berbagai bangsa di Timur Tengah sudah bereaksi keras dengan berbagai demo dan pembakaran bendera Amerika Serikat. Beberapa menit sebelum Presiden menyampaikan statement dua bahasanya, sang pendeta mengumumkan membatalkan rencana tersebut. Belakangan ia meralat untuk menundanya.

Televisi nasional menyiarkan secara langsung statement Presiden dilengkapi dengan liputan mengenai rencana pembakaran tersebut. Saya yang menyaksikannya merasa sangat sedih dan tak habis mengerti mengenai kedangkalan pola pikir sang pendeta. Mengapa ia menyerang agama? Apakah ia merasa bahwa agamanya lebih baik dari yang lain? Lalu apakah pola pikir itu dapat disahkan dengan pembakaran kitab suci agama lain? Tak terpikirkah ia bahwa kelakuannya itu justru membuktikan bahwa ia lebih rendah dari yang dicercanya? Siapa yang sebetulnya ingin ia selamatkan dan bela? Tuhankah yang dibelanya? Siapa dia begitu takabur merasa ia bisa membela Tuhan? Tuhan tak perlu dibela, kitalah yang justru membutuhkan pembelaan Tuhan.

Sorenya saya mendapat pencerahan yang luar biasa dari Sang Pencerah. Film yang menceritakan sejarah lahirnya Muhammadiyah dan jalan hidup pendirinya, Kyai Achmad Dahlan menggambarkan betapa sebuah pandangan ditentang dan berusaha ditiadakan oleh pandangan lain yang lebih mapan. Dari sekian banyak yang saya dapatkan dari film tersebut, paling tidak ada dua hal yang sangat berkesan :

Ketika seorang santri bertanya apakah itu agama, Beliau memainkan sebuah lagu dengan merdu dari gesekan biolanya. Beliau lalu menjelaskan itulah agama : yang memberi ketentraman dan mengayomi. Lalu Beliau meminta santri lain untuk memainkan biola. Karena tak pernah belajar, santri tersebut menghasilkan suara sumbang. Beliau kemudian menjelaskan : Itu lah agama : bila tidak dipelajari dengan baik dan benar, akan menimbulkan kekacauan dan kegalauan.

Dan itulah yang sesungguhnya terjadi di seluruh dunia. Saya yakin, banyak umat dunia adalah penganut agama beraliran seperti seseorang yang belum atau baru belajar menggesek biola : bunyinya sumbang dan jauh dari harmoni, namun sok menyebut dirinya pemain biola sejati. Maka mereka yang bertindak anarkis dan teroris adalah mereka yang tidak mengerti namun merasa mengerti. Seperti Terry Jones. Saya yakin pemahamannya tentang agama yang hakiki sama dasarnya dengan pemahaman seorang yang baru belajar memainkan biola di hari pertama. Film Sang Pencerah menunjukkan bahwa kelompok mayoritas yang merasa terancam kaum minoritas adalah seharusnya menyadari bahwa mereka tak perlu cemas atas apa yang dilakukan orang lain kalau setiap anggota kelompoknya mengerti dengan baik dan benar azas-azas dan dasar nilai yang mereka anut. Kalau setiap orang memahami, tak mudah mereka tergoyah dan tergoda paham dan pandangan baru. Jadi bila ada kelompok yang merasa cemas, harus dipertanyakan, sudahkah mereka melakukan pekerjaan rumahnya agar setiap anggotanya tahu dengan baik azas dan nilai yang mereka anut? Ataukah kelompoknya hanya menjalankan ritual saja sehingga tampaknya menganut namun dalamnya kosong? Sayangnya, tak semua memiliki pemahaman mendalam seperti Kyai Haji Dahlan dan karena yang tak memahami jumlahnya besar, maka gesekan seperti apa yang dilakukan Terry Jones bisa menimbulkan sebuah ledakan dahsyat antar umat beragama yang dipicu oleh kenyataan bahwa sama-sama tidak memiliki pemahaman yang mendalam, baik dan benar mengenai hakiki beragama. Kalau apa yang terjadi dalam film adalah ledakan yang terjadi dalam satu agama, dan itu sudah berakibat perobohan dan pembakaran pesantren, apa lagi bila berbeda agama.

Hal kedua yang berkesan dari film tersebut adalah ketika seorang kyai jauh-jauh datang dari Magelang, menuduh Kyai Dahlan sebagai kafir yang memanfaatkan karya kafir karena sekolahnya menggunakan metode dan peralatan pengajaran Barat seperti bangku dan papan tulis. Kyai Dahlan lalu menanyai kyai tamunya datang dari Magelang naik apa dan dijawab naik kereta api. Kyai Dahlan lalu tersenyum mengatakan bahwa kalau begitu kyai tersebut juga kafir karena menggunakan ciptaan orang kafir.

Dari semua kejadian di hari ini, saya lalu sampai pada satu kesimpulan : Pentingnya memahami dengan baik dan benar, karena hanya dengan memahami dengan baik dan benar sajalah kita bisa mengerti tentang harmoni irama kehidupan yang memberi ketentraman dan pengayoman batin. Dengan kata lain, pemahaman selalu menghasilkan sesuatu yang indah, menentramkan dan mengayomi. Dari sana muncul rasa saling menghormati dan harmoni. Maka, sekarang, sebelum bertindak apa pun, pertama-tama yang harus saya tanyakan pada diri sendiri adalah : apakah saya mengerti, memahami dengan baik dan benar? Kalau jawabnya sedikit atau setengah-setengah saja, lebih baik saya diam dan tak melakukan apa-apa, karena pasti hasilnya akan salah besar dan runyam!

No comments: