Sunday, September 19, 2010

19 September 2010 : Idiot yang Cemerlang

Selama ini saya berangan ingin pensiun dini, artinya tidak bekerja kantoran lagi pada usia masih produktif. Kalau usia saya sekarang menjelang 46, ya... sepuluh tahun lagi lah saya mau pensiun. Tahun ini saya sudah mulai menata keuangan saya, agar di usia 55 tahun saya bisa berpenghasilan tetap dari skema dana pensiun saya sehingga saya punya ruang gerak yang besar untuk melakukan hal-hal yang ingin saya lakukan tanpa terikat orang lain, waktu dan tempat. Tapi, mau apa tepatnya, sampai detik ini saya masih belum punya gambaran.

Hari ini saya menonton sebuah film yang sudah berbulan-bulan lalu direkomendasikan begitu banyak teman. Saya ingat, Adrian Maulana sempat mengatakan, "Kalau soal filosofi hidup, Mas nonton "The 3 idiots", deh bagus banget!" Tak sempat menyaksikan di layar lebar, saya menyaksikan di "layar lebar" versi sendiri, alias di home theater di rumah.

The 3 idiots adalah film India yang tidak seperti film India kebanyakan. Meskipun berbumbu cinta, ia menyentil issue tatanan pendidikan dan sosial masyarakat India yang sangat terpaku pada gelar Insinyur dan Dokter, hampir sama dengan di Indonesia. Pokoknya kalau laki-laki bergelar Insinyur dan perempuan bergelar Dokter wah, prestisiusnya luar biasa. Film ini terus terang mengharu biru perasaan saya yang mengalami apa yang diceritakan di film : diindoktrinasi untuk sekolah dokter (di Indonesia dokter - apa pun jenis kelaminnya - memberi nilai lebih di mata masyarakat) dan diberi pengertian yang meremehkan profesi selain dokter. Jadi, tak peduli minat saya di bidang apa, pokoknya harus jadi dokter. Kalau angka sekolahnya tidak maksimal, sulit jadi dokter apa lagi mencari kerja. Persis seperti di film itu.

The 3 idiots menanamkan sebuah hal penting : Kejarlah excellence (keunggulan), dan keberhasilan akan mendatangi Anda. Tak peduli apa pun bidangnya, kalau kita unggul di bidang yang kita cintai, maka kita akan merasa bahagia dengan apa yang kita kerjakan, dan kerja bukanlah kerja lagi.

Maka saya seperti mendapat jawaban : saya mau melakukan sesuatu yang memang menjadi kesenangan saya tanpa harus kuatir kalau apa yang saya kerjakan tak menghasilkan uang saya akan mati kelaparan, namun bukan berarti bahwa apa yang saya lakukan itu tidak (dapat) menghasilkan uang. Saya berangan, apa pun uang yang saya hasilkan nanti di masa pensiun haruslah uang yang dapat saya nikmati untuk bepergian, digunakan untuk hal-hal sosial yang bisa mendatangkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk apa pun.

Dengan konsep itu, saya bisa mengatakan saya suka menulis, saya suka melakukan hal yang bisa mendatangkan kesejahteraan masyarakat, saya suka travelling,saya suka budaya, saya tertarik di bidang kesehatan masyarakat, saya punya bekal ilmu pendidikan, komunikasi, berinteraksi dengan orang. Maka hari ini saya tiba-tiba bisa membuat daftar apa yang ingin saya lakukan :

- saya ingin merancang berbagai strategi dan program komunikasi yang bisa mengajak bangsa Indonesia mengubah pola hidupnya menjadi lebih baik, misalnya di bidang perilaku hidup sehat, atau membantu negeri ini merancang grand strategy in country branding untuk kepentingan budaya dan pariwisata, membantu merancang kurikulum yang mengutamakan akhlak, budi pekerti dan nilai-nilai kebangsaan.

- Kesukaan saya akan travelling bisa saya bagikan dalam bentuk tulisan baik di blog saya atau di berbagai media.

- Kesukaan saya dalam menulis bisa menghasilkan berbagai karya tulis yang bisa dinikmati masyarakat dalam bentuk buku atau pun blog yang bisa diakses secara gratis.

- Kesukaan saya bersosialisasi bisa saya wujudkan dalam sebuah kafe mungil tempat "nongkrong" saya sambil berinteraksi dengan pengunjung kafe.

- Saya pun masih bisa tetap menjadi konsultan komunikasi, hanya kali ini proyek yang saya tangani adalah proyek yang benar-benar patut dibantu karena memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai yang saya percaya.

Tiba-tiba, apa yang tadinya saya bimbangkan mengenai apa bentuk kegiatan saya di saat pensiun menjadi penuh dan daftarnya masih akan bertambah terus. Saya jadi ingat arahan Pendeta muda Max kemarin saat pendalaman iman bersama rekan-rekan saya. Pak Max mengatakan bahwa setiap kita ini dipakai dan dipersiapkan Tuhan sesuai dengan rancanganNya. Tak mungkin seorang yang berkecimpung di dunia fashion akan diberi tugas jadi tukang pempek di kemudian harinya. Pasti ada saja skill dan tempaan yang diberikanNya yang akan mempersiapkan kita menjalankan peran dan tugas yang sudah dipersiapkan bagi kita. Karenanya dalam sebuah ayat kita diminta untuk menyerahkan diri saat dibentuk dan ditempa, bahwa jatuh bangun kita sekarang ini adalah dalam rangka mempersiapkan kita pada peran yang sudah disiapkan.

Tiba-tiba lagi saya merasa saya harus benar-benar meresapi hidup saya saat ini, susah senangnya, sehingga saya bisa menjalankan kehidupan mendatang dengan semaksimal mungkin. Bahasa Inggrisnya : appreciate and experience the present to the fullest so we can live a fulfilled life in the future. Sebuah jawaban yang saya butuhkan ketika saat ini saya tengah dilanda gundah mengenai berbagai beban dan hambatan kerja yang menghadang di hari-hari mendatang ini...

No comments: