Saturday, September 18, 2010

18 September 2010: Salaman

Petang ini saat saya sedang menunggu giliran pemberkatan pernikahan sanak seorang teman di sebuah gereja kristen, tiba-tiba muncullah saudara sepupu saya yang memang pendiri gereja tersebut. Saking kondangnya ia berkeliling ke gereja-gereja di berbagai kota dan karena memang tidak tinggal di sini maka Jakarta kebagian kehadirannya di setiap minggu ke tiga setiap bulannya. Jadi, pertemuan hari ini adalah sebuah kebetulan. Saya dan dia yang sudah lama tidak bertemu langsung meninggalkan yang lain dan berjabat erat. Ia lalu mengenalkan kepada khalayak yang hadir kalau saya ini saudaranya. Ia tidak sendirian. Ia didampingi oleh isterinya yang juga sudah saya kenal sejak saya duduk di sekolah dasar. Maklum, saya berada di urutan terakhir dalam jenjang keluarga jadi jarak saya dengan kakak-kakak dan sepupu sangat jauh. Rasanya beda saya dengan sepupu saya ini sekitar 12 tahun lebih. Biasanya, saya yang berisik dan akrab segera memeluk dan berciuman pipi dengan saudara atau teman dekat, namun kali ini isteri kakak sepupu saya seperti tidak kenal dan bersalaman dengan saya bak saya ini salah seorang umat suaminya. Hal ini diam-diam menjadi pikiran yang mengganjal. Saya yang sok akrab, atau memang mestinya begitu ya cara menyambut yang wajar?

Tadinya saya mau menerima dan memakluminya begitu saja, namun hati saya berontak. Kalau kedekatan dengan isteri kakak sepupu yang sudah saya anggap saudara dekat apa lagi kakak sepupu ini adalah anak dari adik ayah saya ini diterjemahkan dengan bersalaman formal, saya merasa keberadaan mereka jauh lebih asing dibandingkan seorang teman yang tidak ada hubungan darah apa pun, tapi kemudian kalau bertemu menimbulkan excitement luar biasa dan tanpa disuruh kita berpelukan melepas kangen. Tapi memang istiadat cipika cipiki dan memeluk ini bukan barang biasa. Saya ingat kebiasaan ini menjadi sebuah issue besar bagi anak-anak Semarang ketika kami kuliah di Salatiga. Kebiasaan teman-teman eks SMA saya di Malang dengan cipika cipiki antar teman berbeda jenis menjadi gunjingan anak Semarang, katanya pergaulan bebas. Apanya yang bebas kalau cium pipi itu diartikan sebagai kehangatan hubungan pertemanan? Ada yang aneh lagi, waktu saya sedang naik motor sendirian, lalu melihat teman cewek saya jalan kaki, saya langsung mendekati dan menawarkan membonceng tapi ditolak. Katanya kalau di Semarang, orang yang boncengan itu pacaran. Benar atau tidaknya pandangan itu saya tidak tahu, siapa tahu itu cuma alasan teman saya tapi kalau itu benar, waduh, sungguh paham yang tidak bisa masuk di otak saya.

Saya bisa mengerti kalau hubungan kita adalah sebatas formalitas kerja kita sengaja mematutkan jarak. Di kalangan pemerintah saya biasanya mengatupkan kedua telapak tangan saya dan dinaikkan hingga ke depan muka untuk menghormati kenalan wanita saya yang muslim, tanpa menyentuh tangannya. Di luar itu, sebagian besar saya menjabat tangan dengan erat, tidak dengan asal nempel seperti tidak niat yang sering saya jumpai saat bersalaman. Tapi dengan keluarga? Aduh kok aneh ya rasanya kalau cuma salamannya seperti ketika saya jadi among tamu dan salaman dengan ratusan orang yang sebagian besar tidak saya kenal? Apa lagi dengan keluarga yang runutannya sedekat itu, kok nggak pantes ya rasanya?

Lalu saya mencoba menelaah, apa sih bedanya salaman biasa dengan pelukan cipika cipiki? Jawaban yang saya temukan :

Kedekatan : a) salaman = kamu dan saya sebatas kenal sehingga saya mau kamu tetap di tempat dan tidak macam-macam memasuki area pribadi saya. b) jabat erat dan lama = kamu dan saya dekat namun tetap berjarak. c) pelukan = menghilangkan jarak menunjukkan kedekatan silaturahmi yang hangat

Kedekatan ini perlu didefinisikan dan disetujui kedua belah pihak karena kalau tidak ya kejadiannya seperti saya, saya menganggapnya dekat sehingga otomatis mau memberikan pelukan hangat keluarga, dianya menganggap saya ada di zona yang berbeda.

Kalau dahulu saya yang tidak suka formalitas dan cenderung "warm" kepada orang yang saya temui, malam ini saya belajar untuk tidak spontan lagi. Mulai sekarang kalau bertemu dengan orang yang jarang berkomunikasi meskipun dekat secara garis darah, saya menunggu dulu reaksi orang yang dihadapan saya apakah a) atau b)atau c). Dari pada dianggap sok akrab, mendingan saya berdiri di belakang pagar saja dulu. Kalau orangnya welcome, baru saya bukakan pintu pagar. Bagaimana pun juga, nggak lucu kan kalau kitanya sudah sok kedekatan, dianya dingin-dingin saja....

No comments: