Ada sebuah kejadian hari ini yang tidak bisa saya ceritakan detilnya membuat saya bertanya : Mungkinkah nilai-nilai agama berjalan selaras dengan praktek usaha yang selalu mengutamakan laba dan keuntungan? Selama ini dunia kerja selalu diidentikkan akrab dengan entertain, sogok menyogok, caplok mencaplok demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sambil menekan serendah-rendahnya biaya produksi, lalu memanfaatkan semua peluang untuk meningkatkan keuntungan dalam hal apa pun setinggi-tingginya.
Baru-baru ini saya mendapat jawabnya : Mungkin. (Selama ini) Kinerja saya di perusahaan dalam mendatangkan billing tidak pernah jelek. Padahal apa yang saya lakukan tidak pakai sogokan, tidak pakai entertain-entertain - dari sekedar makan-makan, minum-minum atau menyodorkan wanita atau apa pun. Kenyataannya, saya dekat dengan klien saya, dengan para pemangku kepentingan, mulai wartawan, pemimpin redaksi, yayasan, pemerintah, sampai selebriti. Kedekatan yang saya peroleh tidak berasal dari amplop bawah meja, atau limpahan hadiah materi, namun muncul dari rasa saling hormat, percaya dan nyaman. Resep saya cuma satu : pokoknya saya melakukan pekerjaan yang diridhoi Tuhan dengan prinsip semangat ketulusan, keikhlasan, kejujuran dan berhati nurani. Saya percaya melalui prinsip tersebut, dengan sendirinya Tuhan akan memberikan kelimpahan. Seperti janji Tuhan : carilah dahulu kerajaan surga, maka kamu akan diberi kelimpahan. Terus terang, selama ini saya tidak pernah mendahulukan berhitung. Saya mendahulukan nurani. Bila nurani mengatakan ada yang tidak beres, saya lebih baik tidak ikut serta dalam projek yang ditawarkan, semenggiurkan apa pun. Namun meskipun uangnya tak banyak, bila saya percaya pada issue yang dibawa klien, saya akan membantu dengan penuh semangat dan tulus.
Sikap perusahaan yang mau mendapatkan sebesar-besarnya manfaat atas setiap uang yang dikeluarkannya buat saya wajar-wajar saja, namun saya percaya bahwa kita tetap harus menempatkannya pada konteks yang benar. Seperti sebuah cerita tentang seorang yang mencobai Yesus soal perpajakan, dan dijawab Yesus dengan sangat cemerlang : Berikanlah apa yang menjadi hak kaisarmu, dan berikanlah apa yang menjadi hak Tuhanmu. Kalimat ini sama sekali tidak bermaksud memisahkan bahwa apa yang dilakukan untuk pekerjaan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ibadah agama. Kalimat ini justru menunjukkan, ketika kita bekerja sudah selayaknya kita dituntut untuk memberikan kinerja terbaik bagi perusahaan, namun bukan berarti kita mengorbankan dan mengabaikan keberadaan kita sebagai mahluk Tuhan yang juga dituntut untuk memberikan kinerja terbaik bagi Tuhan kita. Keduanya bukan untuk dipertentangkan, melainkan selayaknyalah berjalan selaras.
Hari ini saya meresapi imbauan yang tertulis di status bbm rekan kerja saya: Mari kita kerja untuk ibadah.
No comments:
Post a Comment