Hari ini saya memanjakan diri, mulai dari makan pagi santai sepulang gereja di tengah suasana teduh deretan cafe yang menyuguhkan menu breakfast lezat, ke pameran seni, spa lalu santap malam dan diakhiri dengan satu cup es krim strawberry yang segar.
Tapi di antara kenikmatan itu, ada saja orang-orang yang menyebalkan hadir mencoba mengganggu kesenangan yang saya peroleh setelah berminggu-minggu kerja di akhir pekan. Entah itu waiter yang dengan muka ketus melayani sekenanya, atau mobil yang berhenti sembarangan, atau berbagai macam orang yang seenaknya sendiri. Tapi saya teringat akan bbm teman saya Anita yang bunyi nya seperti ini :
Suatu ketika Guru Zen Foyin minum teh bersama Su Dongpo, seorang pejabat tinggi dan juga penyair di sebuah kedai makanan. Anehnya, seorang pelayan di kedai tersebut melayani keduanya secara berbeda. Guru Zen dilayani layaknya pelanggan pada umumnya, sedangkan Su Dongpo dilayani secara istimewa. Su Dongpo merasa kurang nyaman diperlakukan istimewa seperti itu. Ia pun berkali-kali mendesak pelayan tersebut agar mau memberikan pelayanan istimewa juga kepada Guru Zen. Namun pelayan itu sama sekali tidak menanggapi desakannya. Usai minum teh, Guru Zen membayar sesuai harga minuman yang sudah dipatok kedai tersebut. Tetapi sebelum beranjak pergi, Guru Zen dengan sikapnya yang ramah menyempatkan diri memberikan uang tambahan atau sering disebut uang tip kepada pelayan yang melayaninya tadi.
Tak urung sikap Guru Zen mengundang tanya dalam benak Su Dongpo. “Ehmmm, sikap pelayan tadi kurang baik bukan?” tanya Su Dongpo ragu. “Ya, betul. Boleh dibilang sikapnya terlalu materialistik dan kurang menyenangkan,” kata Guru Zen merinci. “Lalu kenapa Guru memberi tip kepadanya?” sergah Su Dongpo bingung. Guru Zen tersenyum, kemudian berkata singkat dan tegas, “Kalau memang dia seperti itu, lalu mengapa harus dia yang menentukan sikap saya?”
Kesimpulan:
Orang lain bebas memilih sifat yang mereka sukai. Kita pun bebas merespon sikap yang mereka tunjukkan terhadap kita. Entah dengan sikap senada, positif atau negatif, semuanya terserah kita. Tetapi akan lebih baik kita tidak terpancing dengan untuk merespon dengan negatif atau amarah bila mendapatkan perlakuan negatif.
Jangan biarkan orang lain menentukan sikap kita.
Hari ini sungguh tepat menerapkan apa yang diajarkan Guru Zen : saya ingin menikmati hidup dan saya tidak membiarkan sikap negatif orang lain mengusik kenikmatan yang sudah saya peroleh sejak pagi hari ...
Welcome to the world of Lawrence Tjandra where you celebrate life to its fullest. Come to see places I've been, read the articles published in media and share thoughts and views on diverse issues of life!
Sunday, October 31, 2010
Saturday, October 30, 2010
30 Oktober 2010 : Menghadapi Ditinggal Pergi
Semalaman saya agak susah tidur setelah mendapat kabar bahwa paman saya di Belanda sedang masuk rumah sakit karena jantung dan paru-parunya penuh air, padahal dalam hitungan dua minggu lagi Beliau dijadwalkan akan berlibur ke Indonesia untuk merayakan ulang tahunnya di sini. Beliau memang sudah tua dan sudah mengalami operasi jantung, tapi kondisinya setahun lalu masih sangat bugar dan enerjik. Biasanya Beliau datang saat Belanda sedang dingin-dinginnya, alias di akhir tahun sehingga kalau Beliau dan tante ada di Jakarta dan kebetulan saya juga sedang di Jakarta, saya selalu mengadakan Christmas lunch bersama mengumpulkan keluarga sepuh di rumah saya, membungkus hadiah natal untuk mereka.
Saya jadi terbayang betapa dekatnya hubungan kekeluargaan kami. Betapa Beliau tidak pernah lupa kerabat yang dulu tinggal di daerah dan sebagai pejabat tinggi negara Beliau tidak pernah lupa mampir ke rumah kalau berada di sekitar kota tempat kami tinggal dan membawa berbagai oleh-oleh. Tanpa sadar di perpindahan hari ini, saya kemudian membayangkan yang terburuk dan menjadi sedih. Tiba-tiba timbul pertanyaan mengapa orang merasa kehilangan dan sedih saat ditinggal pergi atau kehilangan orang, hewan atau benda yang disayanginya?
Malam ini saya menceritakan apa yang saya alami semalam kepada seorang kerabat, dan bertanya mengapa ia bersedih ketika ditinggal pergi selamanya oleh sang kakak? Ia menjawab karena ia merasa sedih belum melakukan apa-apa untuk membalas jasa kakaknya yang sudah mengantarnya meraih gelar kesarjanaannya. Ia juga mengatakan tanpa sadar terkenang atas semua hal yang dilalui bersama, dalam suka maupun duka dengan sang kakak. kami lalu berdiskusi dan menambah panjang daftar alasannya. Saya berkata bahwa saya menangis saat ayah saya meninggal bukan karena kepergiannya yang begitu mendadak, tetapi karena gelo (agak susah menerjemahkan istilah Jawa ini ke Bahasa Indonesia, namun intinya menyesali) karena ada beberapa hal yang saya sediakan untuk Beliau dan tak sempat Beliau saksikan dan nikmati seperti mobil keluarga saya yang baru, renovasi rumah yang sebagian dirombak disesuaikan dengan kebutuhan ayah dan ibu saya yang sudah semakin sepuh, seperti kamar mandi bathtub yang saya ubah menjadi shower area, dan sebagainya. Lalu kami juga menambahkan alasan takut akan menghadapi masa depan sendirian - terutama bagi yang kehilangan pasangan atau orang tua padahal dirinya belum atau tidak dalam kondisi mandiri.
Saya juga share saat suami sepupu dan tante saya meninggal, saya merasa sedih karena mengenang masa-masa bersama mereka, betapa mereka care terhadap saya - menyediakan makan setiap malam saat saya dulu masih bujang, sedang sampai saat ini saya merasa belum cukup membalas kebaikan dan cinta kasih mereka. Lalu ada lagi teman saya yang menambahkan saat ia kehilangan anjingnya, ia pun bersedih mengenang masa-masa indah dan kebersamaan yang dilalui mereka bersama, dan sadar bahwa tiada lagi masa-masa itu dapat terlaksana di masa mendatang. Alasan lainnya adalah rasa hampa dan kekosongan karena kehilangan milik yang selama ini kita cintai dan sayangi.
Kami lalu menyadari betapa cepat waktu ini berlalu. Rasanya baru sedetik saya mempersiapkan berbagai hal untuk proyek besar di pertengahan dan minggu ke tiga bulan ini, tahu-tahu sekarang sudah di penghujung bulan. Dan bersamaan itu kami pun memahami dan diingatkan kembali betapa pentingnya kita meresapi, menghargai, menikmati serta menjalani detik ini dengan sebaik-baiknya, karena ada pepatah kuno berkata : yesterday is a past, tomorrow may never come, that's why today is called the present.
Hari ini saya diingatkan sekali lagi dengan sebuah pertanyaan : sudahkah saya melakukan yang terbaik dan terindah bagi orang-orang yang saya kasihi?
*catatan tambahan :
(diskusi hari ini sebetulnya juga bergulir mengenai tujuan hidup dan seperti di awal tahun saya menemukan bahwa tujuan hidup saya adalah belajar berdamai dengan diri sendiri, belajar tentang unconditional love, lalu di saat yang bersamaan to share my experience and talents for the benefit of other people. Dan bicara soal unconditional love (cinta/kasih tak bersyarat), dalam pembicaraan tadi saya tiba-tiba menyadari bahwa unconditional love itu tidak terbatas kepada pasangan saya saja, karena secara alami akan lebih mudah memberikan unconditional love kepada pasangan, tetapi yang lebih sulit lagi kepada orang lain dan kepada diri sendiri. Itulah makna sejati dari unconditional love. Untuk semua umat manusia. Quite a big task!)
Saya jadi terbayang betapa dekatnya hubungan kekeluargaan kami. Betapa Beliau tidak pernah lupa kerabat yang dulu tinggal di daerah dan sebagai pejabat tinggi negara Beliau tidak pernah lupa mampir ke rumah kalau berada di sekitar kota tempat kami tinggal dan membawa berbagai oleh-oleh. Tanpa sadar di perpindahan hari ini, saya kemudian membayangkan yang terburuk dan menjadi sedih. Tiba-tiba timbul pertanyaan mengapa orang merasa kehilangan dan sedih saat ditinggal pergi atau kehilangan orang, hewan atau benda yang disayanginya?
Malam ini saya menceritakan apa yang saya alami semalam kepada seorang kerabat, dan bertanya mengapa ia bersedih ketika ditinggal pergi selamanya oleh sang kakak? Ia menjawab karena ia merasa sedih belum melakukan apa-apa untuk membalas jasa kakaknya yang sudah mengantarnya meraih gelar kesarjanaannya. Ia juga mengatakan tanpa sadar terkenang atas semua hal yang dilalui bersama, dalam suka maupun duka dengan sang kakak. kami lalu berdiskusi dan menambah panjang daftar alasannya. Saya berkata bahwa saya menangis saat ayah saya meninggal bukan karena kepergiannya yang begitu mendadak, tetapi karena gelo (agak susah menerjemahkan istilah Jawa ini ke Bahasa Indonesia, namun intinya menyesali) karena ada beberapa hal yang saya sediakan untuk Beliau dan tak sempat Beliau saksikan dan nikmati seperti mobil keluarga saya yang baru, renovasi rumah yang sebagian dirombak disesuaikan dengan kebutuhan ayah dan ibu saya yang sudah semakin sepuh, seperti kamar mandi bathtub yang saya ubah menjadi shower area, dan sebagainya. Lalu kami juga menambahkan alasan takut akan menghadapi masa depan sendirian - terutama bagi yang kehilangan pasangan atau orang tua padahal dirinya belum atau tidak dalam kondisi mandiri.
Saya juga share saat suami sepupu dan tante saya meninggal, saya merasa sedih karena mengenang masa-masa bersama mereka, betapa mereka care terhadap saya - menyediakan makan setiap malam saat saya dulu masih bujang, sedang sampai saat ini saya merasa belum cukup membalas kebaikan dan cinta kasih mereka. Lalu ada lagi teman saya yang menambahkan saat ia kehilangan anjingnya, ia pun bersedih mengenang masa-masa indah dan kebersamaan yang dilalui mereka bersama, dan sadar bahwa tiada lagi masa-masa itu dapat terlaksana di masa mendatang. Alasan lainnya adalah rasa hampa dan kekosongan karena kehilangan milik yang selama ini kita cintai dan sayangi.
Kami lalu menyadari betapa cepat waktu ini berlalu. Rasanya baru sedetik saya mempersiapkan berbagai hal untuk proyek besar di pertengahan dan minggu ke tiga bulan ini, tahu-tahu sekarang sudah di penghujung bulan. Dan bersamaan itu kami pun memahami dan diingatkan kembali betapa pentingnya kita meresapi, menghargai, menikmati serta menjalani detik ini dengan sebaik-baiknya, karena ada pepatah kuno berkata : yesterday is a past, tomorrow may never come, that's why today is called the present.
Hari ini saya diingatkan sekali lagi dengan sebuah pertanyaan : sudahkah saya melakukan yang terbaik dan terindah bagi orang-orang yang saya kasihi?
*catatan tambahan :
(diskusi hari ini sebetulnya juga bergulir mengenai tujuan hidup dan seperti di awal tahun saya menemukan bahwa tujuan hidup saya adalah belajar berdamai dengan diri sendiri, belajar tentang unconditional love, lalu di saat yang bersamaan to share my experience and talents for the benefit of other people. Dan bicara soal unconditional love (cinta/kasih tak bersyarat), dalam pembicaraan tadi saya tiba-tiba menyadari bahwa unconditional love itu tidak terbatas kepada pasangan saya saja, karena secara alami akan lebih mudah memberikan unconditional love kepada pasangan, tetapi yang lebih sulit lagi kepada orang lain dan kepada diri sendiri. Itulah makna sejati dari unconditional love. Untuk semua umat manusia. Quite a big task!)
Friday, October 29, 2010
29 Oktober : Maunya Senang
Pernah mengalami hal ini? Punya ide cemerlang yang kita pikir seru dan diusulkan kepada orang lain, tapi orang lain malas mengikutinya lalu kita memaksa dan akhirnya dituruti secara bersungut-sungut dan berakhir dengan marahan lalu bubar semua rencana senangnya yang ada malah berantem?
Itulah yang terjadi pada saya hari ini. Saya memang suka punya ide cemerlang sesaat dan seringkali juga ide cemerlang itu bekerja dengan gemilang. Namun terkadang juga tidak berjalan mulus karena yang diajak bereksplorasi enggan dengan kegilaan saya, lalu bersitegang. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, untuk hal senang-senang mestinya segalanya harus dibuat sesantai dan serelaks mungkin, serta selonggar mungkin sehingga tidak ada aturan yang membuat orang cemberut atau berkerut.
Tapi tampaknya yang tukang bikin gara-gara bukan cuma saya. Banyak orang lain juga, termasuk yang terjadi beberapa hari lalu ketika saya mengatur acara makan malam untuk temu kangen keluarga. Apa yang seharusnya simpel, berapa orang dan mau di mana, jadi super rumit karena banyak yang mau mengatur dan banyak maunya. Waktu itu saya sedang sibuk-sibuknya sehingga saya meminta bantuan sekretaris saya yang cekatan, Sicil untuk membooking resto di tengah kota, mengingat lokasinya yang strategis apa lagi melihat situasi kota yang semakin macet sekarang ini, ditambah guyuran hujan yang tidak berkompromi. Saya sudah berkali-kali wanti-wanti lewat bbm bahwa saya sudah booking jam berapa untuk berapa orang lalu tempat dan alamat resto nya di mana. Di hari yang ditentukan, kakak saya memberitahu akan mengajak sepupu dan keponakan saya yang lain, dan saya sambut dengan gembira menambahkan jumlah orang dalam daftar pesanan... sampai keponakan saya meng sms "c u in Senayan." Haa? Senayan? Resto yang saya booking itu cabang Mega Kuningan, bukan Senayan... lalu berawal lah sumber kekacauan yang dimulai dari keponakan yang lain yang selalu menjadi penghubung saya dengan keluarga yang lain tidak mengkomunikasikan detil waktu dan tempat dengan cermat, sehingga mengira Mega Kuningan sama dengan Senayan.
Sebelum menjadi ribet dan semua pihak saling menyalahkan dan marah-marah, saya cut semua kekacauan itu. Saya jadi marah-marah juga sih, mengapa acara simpel makan malam saja jadi rumitnya seperti ini. Saya batalkan pesanan di Mega Kuningan dan meminta sekretaris saya memesan tempat di Senayan. Beres.
Kalau kemarin keponakan saya bikin ulah soal bookingan, hari ini saya yang bikin ulah dengan dress code acara ketemuan Jumat malam yang berakhir membuat banyak orang bersungut-sungut. Sukses sih membuat semuanya mematuhi dress code, tapi sepanjang hari akhirnya saya harus meminta maaf atas kesemena-menaan saya dan berjanji tidak akan mengatur-atur pakaian lagi. Padahal tujuannya sih having fun, kalau difoto kelihatan bagus. Untung teman-teman tahu karakter saya dan segera memaafkan sehingga malam ini berjalan menyenangkan.
Pelajarannya? Don't argue about trivial points, discuss the big picture instead. Mau fun dan happy kan? Mengapa mesti membuat jengkel orang dengan aturan-aturan yang ribet dan tidak penting sehingga membuat orang lain tidak nyaman dan tidak fun? Bukannya semua keribetan itu menggagalkan tujuan akhirnya? Lain kali, kalau tujuannya buat senang-senang dan fun, saya tidak mau mengatur-atur lagi. Bebas longgar saja. Biarkan semua orang menikmati kebersamaan dengan gaya dan caranya sendiri yang membuat mereka nyaman. Itu baru fun. Itu baru happy...
Itulah yang terjadi pada saya hari ini. Saya memang suka punya ide cemerlang sesaat dan seringkali juga ide cemerlang itu bekerja dengan gemilang. Namun terkadang juga tidak berjalan mulus karena yang diajak bereksplorasi enggan dengan kegilaan saya, lalu bersitegang. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, untuk hal senang-senang mestinya segalanya harus dibuat sesantai dan serelaks mungkin, serta selonggar mungkin sehingga tidak ada aturan yang membuat orang cemberut atau berkerut.
Tapi tampaknya yang tukang bikin gara-gara bukan cuma saya. Banyak orang lain juga, termasuk yang terjadi beberapa hari lalu ketika saya mengatur acara makan malam untuk temu kangen keluarga. Apa yang seharusnya simpel, berapa orang dan mau di mana, jadi super rumit karena banyak yang mau mengatur dan banyak maunya. Waktu itu saya sedang sibuk-sibuknya sehingga saya meminta bantuan sekretaris saya yang cekatan, Sicil untuk membooking resto di tengah kota, mengingat lokasinya yang strategis apa lagi melihat situasi kota yang semakin macet sekarang ini, ditambah guyuran hujan yang tidak berkompromi. Saya sudah berkali-kali wanti-wanti lewat bbm bahwa saya sudah booking jam berapa untuk berapa orang lalu tempat dan alamat resto nya di mana. Di hari yang ditentukan, kakak saya memberitahu akan mengajak sepupu dan keponakan saya yang lain, dan saya sambut dengan gembira menambahkan jumlah orang dalam daftar pesanan... sampai keponakan saya meng sms "c u in Senayan." Haa? Senayan? Resto yang saya booking itu cabang Mega Kuningan, bukan Senayan... lalu berawal lah sumber kekacauan yang dimulai dari keponakan yang lain yang selalu menjadi penghubung saya dengan keluarga yang lain tidak mengkomunikasikan detil waktu dan tempat dengan cermat, sehingga mengira Mega Kuningan sama dengan Senayan.
Sebelum menjadi ribet dan semua pihak saling menyalahkan dan marah-marah, saya cut semua kekacauan itu. Saya jadi marah-marah juga sih, mengapa acara simpel makan malam saja jadi rumitnya seperti ini. Saya batalkan pesanan di Mega Kuningan dan meminta sekretaris saya memesan tempat di Senayan. Beres.
Kalau kemarin keponakan saya bikin ulah soal bookingan, hari ini saya yang bikin ulah dengan dress code acara ketemuan Jumat malam yang berakhir membuat banyak orang bersungut-sungut. Sukses sih membuat semuanya mematuhi dress code, tapi sepanjang hari akhirnya saya harus meminta maaf atas kesemena-menaan saya dan berjanji tidak akan mengatur-atur pakaian lagi. Padahal tujuannya sih having fun, kalau difoto kelihatan bagus. Untung teman-teman tahu karakter saya dan segera memaafkan sehingga malam ini berjalan menyenangkan.
Pelajarannya? Don't argue about trivial points, discuss the big picture instead. Mau fun dan happy kan? Mengapa mesti membuat jengkel orang dengan aturan-aturan yang ribet dan tidak penting sehingga membuat orang lain tidak nyaman dan tidak fun? Bukannya semua keribetan itu menggagalkan tujuan akhirnya? Lain kali, kalau tujuannya buat senang-senang dan fun, saya tidak mau mengatur-atur lagi. Bebas longgar saja. Biarkan semua orang menikmati kebersamaan dengan gaya dan caranya sendiri yang membuat mereka nyaman. Itu baru fun. Itu baru happy...
Labels:
'lawrence tjandra',
fun,
happy
Thursday, October 28, 2010
28 Oktober 2010 : Suratan
Seorang yang dalam hitungan hari lagi akan menjalani eksekusi mati dipertemukan dengan anak-anak korban yang dibunuhnya bersama mantan ibu mertuanya oleh Oprah Winfrey. Mereka sangat kenal si pembunuh karena ia adalah mantan suami bibi anak-anak yang dahulu pada saat kejadian berusia 9 dan 3 tahun. Dan yang dibunuh oleh si Bapak ini adalah mantan isterinya dan mantan adik ipar beserta isterinya.
Empat belas tahun berlalu, semua pihak mengatakan bahwa kejadian itu sepertinya masih kemarin, dan setiap hari menghantui mereka. Apa kata si pembunuh? Menyesal. Menyesal karena kena pengaruh narkoba. Menyesal karena perbuatan yang dilakukan dalam hitungan detik itu berakibat sengsara setiap detiknya bagi semua orang yang terlibat di dalamnya, terutama anak-anak tak berdosa yang melihat dan mengalami sendiri tragedi berdarah itu. Apa kata Ibu Mertuanya? Beliau marah dan menganggap mantan menantunya pantas mati. Lalu apa kata anak-anak yang kini sudah berkeluarga itu? Mereka memaafkan mantan pamannya dan tidak menghendaki mantan pamannya dihukum mati. Mereka bilang bahwa kematian sang paman tidak akan menghidupkan kembali ke dua orang tua mereka dan hukuman mati hanya menambah satu orang lagi mati.
Saya tidak tahu apa yang dirasakan sang paman, hanya saya menyaksikan si paman begitu pasrah dan tenang, lalu mengobrol lewat satelit dengan kedua keponakannya seolah-olah tak ada yang terjadi, bahkan mengenang masa lalu saat mereka sedang bahagia bersama. Sang keponakan juga demikian. Buat saya hal itu sangat luar biasa. Biasanya kalau kita sudah berbuat salah, kita terjebak dalam penyesalan yang amat sangat sehingga tidak bisa melanjutkan kehidupan kita lagi. Demikian juga bila kita disakiti, biasanya kita berkutat dengan kebencian sehingga tidak dapat benar-benar melanjutkan kehidupan kita.
Tips para keponakan itu? it's meant to be. Sudah seharusnya terjadi. Dan apa yang terjadi haruslah kita terima dengan keikhlasan. Kalau kita berkutat pada dendam, maka kita tidak bisa maju, kita terkungkung masa lalu, dan betapa ruginya kita. Setiap kejadian yang ada di dalam hidup ini membuka jendela bagi kita untuk memenangkannya, apa pun bentuk kejadian itu. Kita akan menang kalau kita bisa mengikhlaskan apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Menang atau kalah. Sehat atau sakit. Hidup atau Mati. Sempurna atau cacat. Berhasil atau gagal.
Hari ini saya belajar dimensi lain dari sebuah keikhlasan.Semoga saya mengingat bagaimana seharusnya menghadapi setiap momen kehidupan ini, terutama dalam keadaan genting atau bermasalah. Semua sudah suratan dan yang terjadi adalah jendela kesempatan kita memenangkan keadaan yang sedang melingkupi kita. Dan ikhlas adalah kata kuncinya...
Empat belas tahun berlalu, semua pihak mengatakan bahwa kejadian itu sepertinya masih kemarin, dan setiap hari menghantui mereka. Apa kata si pembunuh? Menyesal. Menyesal karena kena pengaruh narkoba. Menyesal karena perbuatan yang dilakukan dalam hitungan detik itu berakibat sengsara setiap detiknya bagi semua orang yang terlibat di dalamnya, terutama anak-anak tak berdosa yang melihat dan mengalami sendiri tragedi berdarah itu. Apa kata Ibu Mertuanya? Beliau marah dan menganggap mantan menantunya pantas mati. Lalu apa kata anak-anak yang kini sudah berkeluarga itu? Mereka memaafkan mantan pamannya dan tidak menghendaki mantan pamannya dihukum mati. Mereka bilang bahwa kematian sang paman tidak akan menghidupkan kembali ke dua orang tua mereka dan hukuman mati hanya menambah satu orang lagi mati.
Saya tidak tahu apa yang dirasakan sang paman, hanya saya menyaksikan si paman begitu pasrah dan tenang, lalu mengobrol lewat satelit dengan kedua keponakannya seolah-olah tak ada yang terjadi, bahkan mengenang masa lalu saat mereka sedang bahagia bersama. Sang keponakan juga demikian. Buat saya hal itu sangat luar biasa. Biasanya kalau kita sudah berbuat salah, kita terjebak dalam penyesalan yang amat sangat sehingga tidak bisa melanjutkan kehidupan kita lagi. Demikian juga bila kita disakiti, biasanya kita berkutat dengan kebencian sehingga tidak dapat benar-benar melanjutkan kehidupan kita.
Tips para keponakan itu? it's meant to be. Sudah seharusnya terjadi. Dan apa yang terjadi haruslah kita terima dengan keikhlasan. Kalau kita berkutat pada dendam, maka kita tidak bisa maju, kita terkungkung masa lalu, dan betapa ruginya kita. Setiap kejadian yang ada di dalam hidup ini membuka jendela bagi kita untuk memenangkannya, apa pun bentuk kejadian itu. Kita akan menang kalau kita bisa mengikhlaskan apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Menang atau kalah. Sehat atau sakit. Hidup atau Mati. Sempurna atau cacat. Berhasil atau gagal.
Hari ini saya belajar dimensi lain dari sebuah keikhlasan.Semoga saya mengingat bagaimana seharusnya menghadapi setiap momen kehidupan ini, terutama dalam keadaan genting atau bermasalah. Semua sudah suratan dan yang terjadi adalah jendela kesempatan kita memenangkan keadaan yang sedang melingkupi kita. Dan ikhlas adalah kata kuncinya...
Labels:
'lawrence tjandra',
ikhlas
27 Oktober 2010 : Dari Hati
Sebuah kado yang kadaluarsa dua minggu tiba di tangan saya dengan teriring maaf. Kado dengan bungkus penuh pesan seperti More Reliable, Respect & Honor, Real dan sebagainya itu pun saya buka perlahan.
Isinya merupakan serangkaian hadiah dengan tema berbeda namun dipersiapkan sendiri oleh si pemberi. Mulai dari pemilihan kartu, hingga kata-kata lalu isi hadiahnya memiliki makna. Pernah sekali waktu kami mendiskusikan soal sebuah lagu yang berjudul footprints lalu saya bercerita mengenai makna puisi footprints in the sands yang memberi kekuatan bagi kita dalam kemalangan karena puisi itu mengatakan bahwa dalam saat susah Tuhan tidak berjalan bersama kita, namun malah menggendong kita. Percakapan itu lalu diwujudkan dalam sebuah salib berjudul footprints.
Saya tertegun dan terharu. Hadiah yang diberikan memang tidak seberapa bila diukur dengan materi, namun dari segi makna luar biasa besarnya. Saya sangat menghargai setiap detil upaya yang dilakukannya untuk mengumpulkan berbagai hadiah itu. Sampai pembungkus kadonya pun dipikirkan secara matang, dan tidak hanya pergi ke tempat pembungkusan kado di mall supaya kelihatan cantik namun hilang makna personalnya. Saya juga menjadi sadar bahwa percakapan sekecil apa pun yang pernah kita lontarkan ternyata tidak lewat begitu saja namun terekam baik di benak orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Buktinya ya soal footprints itu, padahal seingat saya pembahasan ringan saat dalam kemacetan Jakarta itu sama sekali bersifat sekilas namun ternyata diingat.
Album hadiahnya juga sarat makna. Tidak hanya ia berhasil mengumpulkan foto-foto kandid saya, ia juga memasang berbagai postcard buatannya sendiri tentang berbagai pelajaran dan semangat hidup.
Saya lalu berpikir, kalau perkataan dan perbuatan yang sekilas saja masuk di hati, apa lagi perkataan dan perbuatan yang berdampak luar biasa seperti kemarahan atau kekasaran. Hari ini saya mendapat hadiah dari kata-kata dan perbuatan saya yang sejuk. Namun saya tidak bisa membayangkan "hadiah" apa yang saya dapatkan dari kata-kata dan perbuatan saya yang buruk.
Malam ini saya berjanji, akan berusaha seberusaha-berusahanya untuk mengeluarkan kata dan perbuatan yang baik. Lebih baik menanam embun di hati orang daripada melukai hati orang karena embun berbuah hadiah dan cinta, sedang luka berbuah dendam dan dengki. Semua kita tuai, baik yang enak maupun yang tidak. Dan kita tidak boleh protes bila tuaian kita ternyata berbuah busuk. Besar kemungkinan karena kita menanam yang busuk juga...
Isinya merupakan serangkaian hadiah dengan tema berbeda namun dipersiapkan sendiri oleh si pemberi. Mulai dari pemilihan kartu, hingga kata-kata lalu isi hadiahnya memiliki makna. Pernah sekali waktu kami mendiskusikan soal sebuah lagu yang berjudul footprints lalu saya bercerita mengenai makna puisi footprints in the sands yang memberi kekuatan bagi kita dalam kemalangan karena puisi itu mengatakan bahwa dalam saat susah Tuhan tidak berjalan bersama kita, namun malah menggendong kita. Percakapan itu lalu diwujudkan dalam sebuah salib berjudul footprints.
Saya tertegun dan terharu. Hadiah yang diberikan memang tidak seberapa bila diukur dengan materi, namun dari segi makna luar biasa besarnya. Saya sangat menghargai setiap detil upaya yang dilakukannya untuk mengumpulkan berbagai hadiah itu. Sampai pembungkus kadonya pun dipikirkan secara matang, dan tidak hanya pergi ke tempat pembungkusan kado di mall supaya kelihatan cantik namun hilang makna personalnya. Saya juga menjadi sadar bahwa percakapan sekecil apa pun yang pernah kita lontarkan ternyata tidak lewat begitu saja namun terekam baik di benak orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Buktinya ya soal footprints itu, padahal seingat saya pembahasan ringan saat dalam kemacetan Jakarta itu sama sekali bersifat sekilas namun ternyata diingat.
Album hadiahnya juga sarat makna. Tidak hanya ia berhasil mengumpulkan foto-foto kandid saya, ia juga memasang berbagai postcard buatannya sendiri tentang berbagai pelajaran dan semangat hidup.
Saya lalu berpikir, kalau perkataan dan perbuatan yang sekilas saja masuk di hati, apa lagi perkataan dan perbuatan yang berdampak luar biasa seperti kemarahan atau kekasaran. Hari ini saya mendapat hadiah dari kata-kata dan perbuatan saya yang sejuk. Namun saya tidak bisa membayangkan "hadiah" apa yang saya dapatkan dari kata-kata dan perbuatan saya yang buruk.
Malam ini saya berjanji, akan berusaha seberusaha-berusahanya untuk mengeluarkan kata dan perbuatan yang baik. Lebih baik menanam embun di hati orang daripada melukai hati orang karena embun berbuah hadiah dan cinta, sedang luka berbuah dendam dan dengki. Semua kita tuai, baik yang enak maupun yang tidak. Dan kita tidak boleh protes bila tuaian kita ternyata berbuah busuk. Besar kemungkinan karena kita menanam yang busuk juga...
Tuesday, October 26, 2010
26 Oktober 2010 : Jadi Tali Kendali dan CCTV
Pagi ini saya menonton acara Oprah Winfrey yang mengetengahkan kejahatan internet. Ceritanya seorang anak remaja yang sangat berprestasi di sekolahnya, cantik, pandai bergaul dan seorang puteri impian setiap keluarga berulang tahun ke 14 dan minta hadiah komputer. Orang tua yang selama ini selalu mengontrol ketat puterinya mengabulkan permintaannya dengan syarat puterinya tidak membuka situs porno dan membuat profil di situs pertemanan. Sang puteri yang sering mengeluh atas tindakan ibunda yang overprotective itu diam-diam melanggar janji. Ia membuat sebuah profil dan berkenalan dengan sebuah pria dewasa yang merayunya habis-habisan sehingga sang gadis mabuk kepayang dan menyerahkan kehormatannya di sebuah motel. Kenyataannya si gadis cuma dimanfaatkan dan ia terlambat menyadarinya. Sepulang dari motel, sang pria berubah menjadi kasar dan pengancam. Ia melakukan blackmail pada si gadis hingga terkena depresi berat dan mengakhiri hidupnya ketika orang tuanya pergi ke gereja.
Siangnya, saya mendengar cerita bahwa ada dua karyawan baru yang berkeluh kesah bingung atas sikap ibu mereka yang menentangnya bekerja di konsultan komunikasi karena pulang tak menentu dan bekerja tak kenal waktu dan hari. Sang ibu lalu mengancam sambil memberi pilihan apakah puterinya keluar dari pekerjaannya atau si puteri keluar dari rumah. Yang diinginkan sang Bunda agar anaknya bekerja tepat waktu, alias pulang jam 5 sore. Sebenarnya sang anak memberontak karena cinta pekerjaannya, namun karena setiap hari diocehi dan puncaknya di akhir pekan kemarin antar orang tua kongkalikong untuk memboikot anaknya, mereka menjadi tidak betah diteror orang tuanya sendiri setiap saat.
Mendengar keluh kesah mereka, saya lalu teringat kisah di pagi hari tadi dan bertanya dalam hati : mengapa orang tua memaksakan kehendaknya? Saya bisa mengerti kalau orang tua cenderung melindungi anaknya, namun ketatnya perlindungan dan penjagaan tidak menjamin anaknya akan selamat. Tidakkah mereka mempertimbangkan apa yang dikehendaki anaknya? Beberapa minggu lalu, saya pernah mengalami sebuah kejadian dimana keponakan saya yang magang di tempat saya, saya suruh pulang naik taksi karena supir yang biasa dipakainya sedang disuruh menjemput pastor untuk Misa 40 hari meninggalnya tante. Keputusan saya langsung mendapat reaksi dari berbagai pihak, termasuk dari kakak saya di Australia yang dulunya ketika kuliah malah naik turun bis di Jakarta. Ketika saya ingatkan bagaimana ia dulu, ia malah menangkis, "Lain dulu, lain sekarang." Saya bertanya, "apanya yang lain? Karena sekarang kamu punya mobil dan dulu tidak?"
Saya sungguh menyesalkan sikap orang tua yang atas nama cinta mengikat anak-anaknya bak anjing peliharaan yang harus diikat lehernya. Berbagai kejadian, terutama kejadian yang diceritakan di Oprah tadi pagi membuka mata bahwa penjagaan yang ketat tidak menjamin keselamatan sang anak. Justru pembekalan yang baik yang memberi kekuatan dan bekal akhlak serta kepercayaan yang terpimpin, yang mampu menangkis berbagai serangan bahaya ketimbang mengikuti dan menjaga anak seperti remote control dan CCTV.
Kejadian hari ini mengilhami saya dan memberi pelajaran bagaimana saya harus membimbing mereka yang ada di bawah lingkup supervisi saya. Tidak dengan ikatan dan kungkungan, tapi dengan pembekalan perisai nilai serta kepercayaan terpimpin. Buat para orang tua, pesan saya adalah : jangan jadi remote control atau CCTV atau kalung dan tali kendali anak Anda. Jadilah perisai nilai dan bekali lah sang anak dengan kepercayaan terpimpin. Anda toh mau anak Anda hidup bahagia dan utuh menurut ukuran mereka, bukan seperti yang Anda inginkan, karena sejatinya anak Anda bukanlah Anda ...
Siangnya, saya mendengar cerita bahwa ada dua karyawan baru yang berkeluh kesah bingung atas sikap ibu mereka yang menentangnya bekerja di konsultan komunikasi karena pulang tak menentu dan bekerja tak kenal waktu dan hari. Sang ibu lalu mengancam sambil memberi pilihan apakah puterinya keluar dari pekerjaannya atau si puteri keluar dari rumah. Yang diinginkan sang Bunda agar anaknya bekerja tepat waktu, alias pulang jam 5 sore. Sebenarnya sang anak memberontak karena cinta pekerjaannya, namun karena setiap hari diocehi dan puncaknya di akhir pekan kemarin antar orang tua kongkalikong untuk memboikot anaknya, mereka menjadi tidak betah diteror orang tuanya sendiri setiap saat.
Mendengar keluh kesah mereka, saya lalu teringat kisah di pagi hari tadi dan bertanya dalam hati : mengapa orang tua memaksakan kehendaknya? Saya bisa mengerti kalau orang tua cenderung melindungi anaknya, namun ketatnya perlindungan dan penjagaan tidak menjamin anaknya akan selamat. Tidakkah mereka mempertimbangkan apa yang dikehendaki anaknya? Beberapa minggu lalu, saya pernah mengalami sebuah kejadian dimana keponakan saya yang magang di tempat saya, saya suruh pulang naik taksi karena supir yang biasa dipakainya sedang disuruh menjemput pastor untuk Misa 40 hari meninggalnya tante. Keputusan saya langsung mendapat reaksi dari berbagai pihak, termasuk dari kakak saya di Australia yang dulunya ketika kuliah malah naik turun bis di Jakarta. Ketika saya ingatkan bagaimana ia dulu, ia malah menangkis, "Lain dulu, lain sekarang." Saya bertanya, "apanya yang lain? Karena sekarang kamu punya mobil dan dulu tidak?"
Saya sungguh menyesalkan sikap orang tua yang atas nama cinta mengikat anak-anaknya bak anjing peliharaan yang harus diikat lehernya. Berbagai kejadian, terutama kejadian yang diceritakan di Oprah tadi pagi membuka mata bahwa penjagaan yang ketat tidak menjamin keselamatan sang anak. Justru pembekalan yang baik yang memberi kekuatan dan bekal akhlak serta kepercayaan yang terpimpin, yang mampu menangkis berbagai serangan bahaya ketimbang mengikuti dan menjaga anak seperti remote control dan CCTV.
Kejadian hari ini mengilhami saya dan memberi pelajaran bagaimana saya harus membimbing mereka yang ada di bawah lingkup supervisi saya. Tidak dengan ikatan dan kungkungan, tapi dengan pembekalan perisai nilai serta kepercayaan terpimpin. Buat para orang tua, pesan saya adalah : jangan jadi remote control atau CCTV atau kalung dan tali kendali anak Anda. Jadilah perisai nilai dan bekali lah sang anak dengan kepercayaan terpimpin. Anda toh mau anak Anda hidup bahagia dan utuh menurut ukuran mereka, bukan seperti yang Anda inginkan, karena sejatinya anak Anda bukanlah Anda ...
Monday, October 25, 2010
25 Oktober 2010 : Lega
Apa jadinya kalau Anda tanpa sengaja mendapat sebuah informasi aneh tentang sahabat Anda namun Anda merasa kikuk bagaimana mengkonfirmasikan karena sifatnya pribadi? Padahal ia sahabat dekat Anda? Lalu bagaimana pula bila Anda lah sasaran informasi aneh itu? Apa yang akan Anda lakukan ketika mendapati tanpa sengaja sahabat Anda menemukan informasi aneh dan tak benar mengenai Anda? Berbicara langsung? Bagaimana caranya?
Hal ini terjadi pada saya. Kikuk rasanya. Kepikiran. Tapi yang jelas bukan mengenai isinya, namun lebih pada bagaimana memulai menjelaskannya. Tadinya saya mau biarkan saja, namun mengganjal juga, karena informasi yang didapat teman saya sama sekali tidak benar. Bagaimana kalau ia telanjur percaya?
Rupanya kekikukan dan kepikiran juga melanda teman saya. Ia merasa tidak nyaman dengan informasi yang diperolehnya, namun ia takut bertanya karena informasinya bernada pribadi. Kami adalah teman baik, namun tidak akan mengungkit masalah pribadi masing-masing kecuali kami saling berbagi dan bercerita.
Akhirnya ia tak tahan juga. Dengan berhati-hati ia menceritakan apa yang terjadi. Saya menyambutnya dengan lega dan dengan tangan terbuka. Alih-alih membiarkan dia untuk memberanikan diri menanyakan kebenarannya, saya sambut informasinya dengan penjelasan tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Cukup lama kami saling bersahut chatting sehingga akhirnya kami sama-sama lega. Dia lega atas penjelasan saya, dan saya lega karena ia mendapatkan informasi yang benar.
Sebetulnya buat saya yang terpenting adalah teman saya mendapatkan informasi yang benar, tak peduli bagaimana ia akan menerimanya, yang penting ia tidak mendapatkan kabar yang salah. Soal setuju tidak setuju, suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, itu soal ke dua. Saya menyadari tidak ada di dunia ini dimana semua orang mau menerima, setuju dan suka atas apa yang didengar, dilihat dan diketahuinya. Itu hak setiap orang. Asal mereka mendapatkan pengetahuan dan informasi yang sebenarnya, cukup sudah. Soal pandangan, itu bukan lagi ada di area kekuasaan saya. Kalau dengan informasi yang saya berikan ada yang tak suka, ya saya terima saja.
Hari ini saya belajar bahwa bila saya mendengar atau melihat atau mengetahui hal yang membuahkan tanda tanya tentang seseorang atau keadaan, saya tidak mau menghakimi atau mengambil kesempatan dulu. Saya akan secepatnya mengklarifikasi pada orang atau sumber yang bersangkutan. Demikian juga bila saya mengetahui seseorang menerima atau melihat atau mendengar informasi yang tidak benar tentang saya, saya akan berusaha secepat mungkin memberikan informasi yang benar. Soal nantinya saya mengambil sikap apa, atau orang yang mendengar mengambil sikap apa, itu bukan yang terpenting. Yang jelas saya lega sudah memberikan keterangan yang benar. Atau saya juga lega memperoleh keterangan yang benar. Tak peduli apa isi kebenaran itu...
Hal ini terjadi pada saya. Kikuk rasanya. Kepikiran. Tapi yang jelas bukan mengenai isinya, namun lebih pada bagaimana memulai menjelaskannya. Tadinya saya mau biarkan saja, namun mengganjal juga, karena informasi yang didapat teman saya sama sekali tidak benar. Bagaimana kalau ia telanjur percaya?
Rupanya kekikukan dan kepikiran juga melanda teman saya. Ia merasa tidak nyaman dengan informasi yang diperolehnya, namun ia takut bertanya karena informasinya bernada pribadi. Kami adalah teman baik, namun tidak akan mengungkit masalah pribadi masing-masing kecuali kami saling berbagi dan bercerita.
Akhirnya ia tak tahan juga. Dengan berhati-hati ia menceritakan apa yang terjadi. Saya menyambutnya dengan lega dan dengan tangan terbuka. Alih-alih membiarkan dia untuk memberanikan diri menanyakan kebenarannya, saya sambut informasinya dengan penjelasan tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Cukup lama kami saling bersahut chatting sehingga akhirnya kami sama-sama lega. Dia lega atas penjelasan saya, dan saya lega karena ia mendapatkan informasi yang benar.
Sebetulnya buat saya yang terpenting adalah teman saya mendapatkan informasi yang benar, tak peduli bagaimana ia akan menerimanya, yang penting ia tidak mendapatkan kabar yang salah. Soal setuju tidak setuju, suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, itu soal ke dua. Saya menyadari tidak ada di dunia ini dimana semua orang mau menerima, setuju dan suka atas apa yang didengar, dilihat dan diketahuinya. Itu hak setiap orang. Asal mereka mendapatkan pengetahuan dan informasi yang sebenarnya, cukup sudah. Soal pandangan, itu bukan lagi ada di area kekuasaan saya. Kalau dengan informasi yang saya berikan ada yang tak suka, ya saya terima saja.
Hari ini saya belajar bahwa bila saya mendengar atau melihat atau mengetahui hal yang membuahkan tanda tanya tentang seseorang atau keadaan, saya tidak mau menghakimi atau mengambil kesempatan dulu. Saya akan secepatnya mengklarifikasi pada orang atau sumber yang bersangkutan. Demikian juga bila saya mengetahui seseorang menerima atau melihat atau mendengar informasi yang tidak benar tentang saya, saya akan berusaha secepat mungkin memberikan informasi yang benar. Soal nantinya saya mengambil sikap apa, atau orang yang mendengar mengambil sikap apa, itu bukan yang terpenting. Yang jelas saya lega sudah memberikan keterangan yang benar. Atau saya juga lega memperoleh keterangan yang benar. Tak peduli apa isi kebenaran itu...
Labels:
'lawrence tjandra',
kebenaran
Sunday, October 24, 2010
24 Oktober 2010 : Batas Canda
Saya tengah melepas lelah di sebuah restoran Thai yang nyaman di daerah rumah setelah badai yang mendera selama berhari-hari akhirnya usai sudah. Saya duduk di meja tengah. Di sebelah kiri saya sebuah keluarga ayah, ibu dan kedua anak puterinya yang menjelang remaja duduk santai bersama seorang wanita bule. Namanya juga punya kuping, saya jadi tanpa sengaja mendengarkan pembicaraan mereka. Sebenarnya topiknya ngalor ngidul, tapi saya jadi tertarik ketika sang ibu dan bapak berwajah Oriental dan beraksen singlish yang kental ini saling beradu meledek di hadapan anak dan tamunya dengan mengatakan "The Lung's way" and the "Dharmawan's way" (bukan nama sebenarnya). Mereka merujuk pada nama keluarga masing-masing. Candaan ini semakin seru hingga puncaknya membuat saya terusik ketika sang suami menerima saja ledekan isterinya dengan mengatakan, "my father is quite unique. I mean, it's okay to stay with him two or three days but more than that it can be quite nerve breaking."
Wow. Wait a minute. Saya hampir menoleh dan menukas, "Pak, you make fun of your own father, wait until you hear the same words from your own daughter. And it seems like it's not impossible, knowing that an apple never falls far from its tree..."
Saya jadi heran. Apanya yang lucu ya? Saya jadi ingin tahu apakah ia ayah yang lebih baik daripada ayahnya yang dibuat becandaan olehnya? Yang jelas sih, kalau saya jadi ayahnya, saya akan merasa sakit hati dibuat bahan ketawaan seperti itu. Saya merasa sangat prihatin dengan si Bapak rambut putih yang tampak lebih tua dari usianya itu karena mestinya di usia-usia seperti ini, ia menjadi seorang yang jauh lebih bijak.
Saya tahu, malam ini saya malas berpanjang-panjang membahas mengenai hal ini karena sudah ngantuknya setengah mati dan badan rasanya copot satu-satu, tapi pikiran dan telinga saya tak bisa lepas dari kejadian singkat tadi. Saya tiba-tiba merasa menjadi ayah sang ayah dan mendengar pas persis ketika si ayah rambut putih ini melontarkan candaannya. Saya seolah tersambar petir dan berjanji untuk hati-hati dalam berkomentar atau bercanda. Yang namanya orang tua itu bukan hal untuk dibuat candaan apa lagi kepada orang lain. Sampai-sampai si Bule berkomentar, "you seem like you don't mind the mocking and you take it lightly..."
Lain kali kalau mau mengeluarkan komentar saya mesti berpikir, "Kalau giliran saya yang menerima kata-kata itu, kira-kira saya gimana ya...." Yang namanya bercanda juga ada batasnya...
Wow. Wait a minute. Saya hampir menoleh dan menukas, "Pak, you make fun of your own father, wait until you hear the same words from your own daughter. And it seems like it's not impossible, knowing that an apple never falls far from its tree..."
Saya jadi heran. Apanya yang lucu ya? Saya jadi ingin tahu apakah ia ayah yang lebih baik daripada ayahnya yang dibuat becandaan olehnya? Yang jelas sih, kalau saya jadi ayahnya, saya akan merasa sakit hati dibuat bahan ketawaan seperti itu. Saya merasa sangat prihatin dengan si Bapak rambut putih yang tampak lebih tua dari usianya itu karena mestinya di usia-usia seperti ini, ia menjadi seorang yang jauh lebih bijak.
Saya tahu, malam ini saya malas berpanjang-panjang membahas mengenai hal ini karena sudah ngantuknya setengah mati dan badan rasanya copot satu-satu, tapi pikiran dan telinga saya tak bisa lepas dari kejadian singkat tadi. Saya tiba-tiba merasa menjadi ayah sang ayah dan mendengar pas persis ketika si ayah rambut putih ini melontarkan candaannya. Saya seolah tersambar petir dan berjanji untuk hati-hati dalam berkomentar atau bercanda. Yang namanya orang tua itu bukan hal untuk dibuat candaan apa lagi kepada orang lain. Sampai-sampai si Bule berkomentar, "you seem like you don't mind the mocking and you take it lightly..."
Lain kali kalau mau mengeluarkan komentar saya mesti berpikir, "Kalau giliran saya yang menerima kata-kata itu, kira-kira saya gimana ya...." Yang namanya bercanda juga ada batasnya...
23 Oktober 2010 : Kenal Tidak Kenal
Rupanya saya punya kebiasaan buruk yang baru saya sadari hari ini : sering lupa mengenalkan kerabat atau teman yang saya ajak ke sebuah acara di mana saya diundang, atau saat berpapasan dengan teman. Seorang kerabat memprotes katanya sebetulnya saya tidak sengaja, hanya begitu bertemu teman sudah heboh sendiri sehinggal lupa yang diajak.
Tadinya saya ingin menyanggah, tapi dipikir-pikir lagi iya juga ya saya sudah beberapa kali lupa. Mungkin karena saya merasa kalau pun dikenalkan, toh tidak akan nyaman mengobrol karena beda lingkup. Namun saya menyadari kalau itu bukan alasan yang bisa diterima. Nyambung tidak nyambung itu urusan belakang. Etika nya adalah pada saat bertemu mestinya langsung dikenalkan dahulu, baru lanjut mengobrol lagi sehingga kalau lain kali bertemu lagi, tidak jadi kikuk, atau setidaknya tidak merasa dicuekin begitu saja.
Terus terang, semuanya terjadi tanpa kesengajaan tapi rupanya membawa dampak tidak nyaman bagi yang di"tinggal". Lalu saya bertanya apa yang saya lakukan kalau jadi yang "dikorbankan". Saya rasa kemungkinan besar saya sama betenya. Begitu menyadari, saya jadi malu sendiri : saya ini parah dan payah sekali ya.
Kejadian memperkenalkan ini tidak hanya sampai di sini, karena soal foto pun bisa jadi perbincangan hangat. Beberapa waktu yang lalu, saya meng-upload sebuah foto saya bersama keponakan saya yang cantik Ella saat kami berdua hadir di sebuah acara pernikahan kerabat. Serta merta semua berkomentar dan menanyakan siapa dia, calon isterikah dia dan sebagainya. Bukan hanya teman, tapi juga klien, dari yang muda sampai yang tua, semuanya berkomentar. Kalau saya pikir-pikir lagi sekarang, itu akibatnya kalau tidak dikenalkan. Tapi untuk urusan foto ini, saya benar-benar menikmati keseruannya. Kenalan tertentu langsung saya beritahu status saya dan wanita cantik di sebelah. Yang lainnya justru saya goda-goda dan menjadi semakin penasaran.
Perkenalan menjadi bagian yang penting dari sebuah pertemuan dan keadaan. Ini membawa dampak pada teman atau kerabat yang saya ajak. Menurut mereka :
1. Memperkenalkan pada teman atau kenalan yang ditemui di sebuah acara atau sedang berpapasan membuat mereka merasa dihargai.
2. Perkenalan membuat mereka merasa nyaman karena perkenalan membuat mereka mengenal secara "resmi" semua orang yang hadir dan setidaknya mereka merasa "hadir" dan "menjadi bagian" dari komunitas yang sedang di hadapi mereka, sebaliknya bila tidak diperkenalkan mereka merasa kikuk di lingkungan asing.
Saya lalu minta maaf atas ketidaknyamanan yang saya lakukan. Di menit berikutnya, yang saya lakukan pertama sebelum meneruskan percakapan adalah memperkenalkan teman atau kerabat yang sedang bersama saya. Hasilnya, semua jadi nyaman dan teman saya pun maklum kalau harus saya "tinggal sejenak" untuk mengobrol serius dengan teman saya yang lain...
Tadinya saya ingin menyanggah, tapi dipikir-pikir lagi iya juga ya saya sudah beberapa kali lupa. Mungkin karena saya merasa kalau pun dikenalkan, toh tidak akan nyaman mengobrol karena beda lingkup. Namun saya menyadari kalau itu bukan alasan yang bisa diterima. Nyambung tidak nyambung itu urusan belakang. Etika nya adalah pada saat bertemu mestinya langsung dikenalkan dahulu, baru lanjut mengobrol lagi sehingga kalau lain kali bertemu lagi, tidak jadi kikuk, atau setidaknya tidak merasa dicuekin begitu saja.
Terus terang, semuanya terjadi tanpa kesengajaan tapi rupanya membawa dampak tidak nyaman bagi yang di"tinggal". Lalu saya bertanya apa yang saya lakukan kalau jadi yang "dikorbankan". Saya rasa kemungkinan besar saya sama betenya. Begitu menyadari, saya jadi malu sendiri : saya ini parah dan payah sekali ya.
Kejadian memperkenalkan ini tidak hanya sampai di sini, karena soal foto pun bisa jadi perbincangan hangat. Beberapa waktu yang lalu, saya meng-upload sebuah foto saya bersama keponakan saya yang cantik Ella saat kami berdua hadir di sebuah acara pernikahan kerabat. Serta merta semua berkomentar dan menanyakan siapa dia, calon isterikah dia dan sebagainya. Bukan hanya teman, tapi juga klien, dari yang muda sampai yang tua, semuanya berkomentar. Kalau saya pikir-pikir lagi sekarang, itu akibatnya kalau tidak dikenalkan. Tapi untuk urusan foto ini, saya benar-benar menikmati keseruannya. Kenalan tertentu langsung saya beritahu status saya dan wanita cantik di sebelah. Yang lainnya justru saya goda-goda dan menjadi semakin penasaran.
Perkenalan menjadi bagian yang penting dari sebuah pertemuan dan keadaan. Ini membawa dampak pada teman atau kerabat yang saya ajak. Menurut mereka :
1. Memperkenalkan pada teman atau kenalan yang ditemui di sebuah acara atau sedang berpapasan membuat mereka merasa dihargai.
2. Perkenalan membuat mereka merasa nyaman karena perkenalan membuat mereka mengenal secara "resmi" semua orang yang hadir dan setidaknya mereka merasa "hadir" dan "menjadi bagian" dari komunitas yang sedang di hadapi mereka, sebaliknya bila tidak diperkenalkan mereka merasa kikuk di lingkungan asing.
Saya lalu minta maaf atas ketidaknyamanan yang saya lakukan. Di menit berikutnya, yang saya lakukan pertama sebelum meneruskan percakapan adalah memperkenalkan teman atau kerabat yang sedang bersama saya. Hasilnya, semua jadi nyaman dan teman saya pun maklum kalau harus saya "tinggal sejenak" untuk mengobrol serius dengan teman saya yang lain...
Friday, October 22, 2010
22 Oktober 2010 : Di tengah Badai
Apa yang harus dilakukan jika sedang di tengah badai? Menantangnya? Mundur? Atau terseret?
Yang jelas hari ini saya sedang berada di tengah pusaran badai. Bukan badai bencana alam betulan, tetapi badai dalam hidup. Saya sedang dalam sebuah proyek yang ada saja halangannya, dan karena ukuran proyeknya besar luar biasa, maka goyangan sekecil apa pun terasa menggemparkan dan menggelegar. Saya bagaikan memasuki mulai dari awal, di tengah hingga hari Minggu ini, di akhir badai. Dan seperti yang saya katakan tadi, hari ini saya tepat berada di tengah badai.
Yang saya rasakan? Frustrasi, karena begitu banyak kejutan yang tidak mengenakkan. Marah dan kecewa, karena begitu banyak orang yang tidak beretika. Putus asa, karena tidak bisa berbuat banyak selain terseret-seret badai dan harus menyesuaikan keadaan setiap saat. Dikhianati, karena begitu banyak orang yang bertopeng teman tapi berhati setan.
Apa yang saya lakukan? Saya akhirnya curhat kepada rekan kerja saya atas segala ketidakadilan yang saya alami. Saya berusaha mempertahankan agar tetap berdiri tegak. Saya berusaha mengubah semua rencana disesuaikan dengan segala perubahan yang ada. Saya tetap bertahan karena tahu badai pasti berlalu, apa pun hasilnya. Doa saya setiap pagi antara lain menuturkan :
Puji dan Syukur kepadaMu atas segala penyelenggaraanMu dalam hidup kami. Terima kasih untuk segala keberhasilan maupun kegagalan, untuk kesehatan maupun penyakit, untuk kegembiraan maupun kesedihan, untuk kehidupan maupun kematian, serta untuk setiap percobaan yang mengajari dan menempa kami, sehingga kami lebih bertakwa kepadaMu.
Jadi, kalau sekarang saya sedang diterpa badai, saya menyadarinya sebagai hal yang menguji batin apakah saya akan memaki Tuhan, atau menyukurinya sebagai tempaan yang membuat saya semakin bertakwa kepadaNya. Dan sesuai doa, tentu saja saya diharapkan belajar dari setiap tiupan topan untuk lebih bertakwa kepadaNya.
Yesus sendiri mengalaminya. Pada malam Ia ditangkap untuk disalibkan, Ia mengalami ketakutan yang amat sangat hingga mengeluarkan keringat darah. Ia pun berseru kepada Allah agar kalau berkenan diambil saja cawannya namun Ia juga mengatakan terjadilah kehendakMu, dan ia menjalani serentetan kisah sengsara yang luar biasa untuk kemudian mendapatkan kemuliaan.
Saya bukan orang suci. Namun paling tidak secara mini, saya merasa setiap orang pasti mengalami apa yang dialami Yesus. Tahu akan ada badai menerjang, dan takut menghadapinya, namun karena harus dilalui, kita terpaksa ikut menerjang badai. Tergantung kita bagaimana mengatasinya.
Malam ini saya menjadi mengerti makna doa yang setiap pagi saya lafalkan. Bahwa kalau kita mengerti setiap percobaan itu kita hadapi agar menjadi manusia yang lebih baik dan dewasa, kita akan menjalaninya dengan penuh ketegaran dan keterbukaan, agar disetiap bilur yang kita dapatkan, kita memperoleh pengetahuan baru dan menjadi manusia yang lebih baik karenanya.
Saya masih akan berada di dalam badai dua hari mendatang, namun kini meskipun sedang berpusing-pusing di tengah amukan badai, saya menjadi lebih tenang karena tahu, badai tidak hanya akan berlalu, tetapi juga badai terjadi bukan untuk membunuh atau mengkhianati saya melainkan untuk membentuk saya...
Yang jelas hari ini saya sedang berada di tengah pusaran badai. Bukan badai bencana alam betulan, tetapi badai dalam hidup. Saya sedang dalam sebuah proyek yang ada saja halangannya, dan karena ukuran proyeknya besar luar biasa, maka goyangan sekecil apa pun terasa menggemparkan dan menggelegar. Saya bagaikan memasuki mulai dari awal, di tengah hingga hari Minggu ini, di akhir badai. Dan seperti yang saya katakan tadi, hari ini saya tepat berada di tengah badai.
Yang saya rasakan? Frustrasi, karena begitu banyak kejutan yang tidak mengenakkan. Marah dan kecewa, karena begitu banyak orang yang tidak beretika. Putus asa, karena tidak bisa berbuat banyak selain terseret-seret badai dan harus menyesuaikan keadaan setiap saat. Dikhianati, karena begitu banyak orang yang bertopeng teman tapi berhati setan.
Apa yang saya lakukan? Saya akhirnya curhat kepada rekan kerja saya atas segala ketidakadilan yang saya alami. Saya berusaha mempertahankan agar tetap berdiri tegak. Saya berusaha mengubah semua rencana disesuaikan dengan segala perubahan yang ada. Saya tetap bertahan karena tahu badai pasti berlalu, apa pun hasilnya. Doa saya setiap pagi antara lain menuturkan :
Puji dan Syukur kepadaMu atas segala penyelenggaraanMu dalam hidup kami. Terima kasih untuk segala keberhasilan maupun kegagalan, untuk kesehatan maupun penyakit, untuk kegembiraan maupun kesedihan, untuk kehidupan maupun kematian, serta untuk setiap percobaan yang mengajari dan menempa kami, sehingga kami lebih bertakwa kepadaMu.
Jadi, kalau sekarang saya sedang diterpa badai, saya menyadarinya sebagai hal yang menguji batin apakah saya akan memaki Tuhan, atau menyukurinya sebagai tempaan yang membuat saya semakin bertakwa kepadaNya. Dan sesuai doa, tentu saja saya diharapkan belajar dari setiap tiupan topan untuk lebih bertakwa kepadaNya.
Yesus sendiri mengalaminya. Pada malam Ia ditangkap untuk disalibkan, Ia mengalami ketakutan yang amat sangat hingga mengeluarkan keringat darah. Ia pun berseru kepada Allah agar kalau berkenan diambil saja cawannya namun Ia juga mengatakan terjadilah kehendakMu, dan ia menjalani serentetan kisah sengsara yang luar biasa untuk kemudian mendapatkan kemuliaan.
Saya bukan orang suci. Namun paling tidak secara mini, saya merasa setiap orang pasti mengalami apa yang dialami Yesus. Tahu akan ada badai menerjang, dan takut menghadapinya, namun karena harus dilalui, kita terpaksa ikut menerjang badai. Tergantung kita bagaimana mengatasinya.
Malam ini saya menjadi mengerti makna doa yang setiap pagi saya lafalkan. Bahwa kalau kita mengerti setiap percobaan itu kita hadapi agar menjadi manusia yang lebih baik dan dewasa, kita akan menjalaninya dengan penuh ketegaran dan keterbukaan, agar disetiap bilur yang kita dapatkan, kita memperoleh pengetahuan baru dan menjadi manusia yang lebih baik karenanya.
Saya masih akan berada di dalam badai dua hari mendatang, namun kini meskipun sedang berpusing-pusing di tengah amukan badai, saya menjadi lebih tenang karena tahu, badai tidak hanya akan berlalu, tetapi juga badai terjadi bukan untuk membunuh atau mengkhianati saya melainkan untuk membentuk saya...
Labels:
'lawrence tjandra',
badai
Thursday, October 21, 2010
21 Oktober 2010 : Tanpa Emosi
You can change a challenge into an opportunity. Don't let yourself get flustered if something doesn't go your way - even if it's something important. If you give into nervousness or a fear of failing, you will make yourself weaker. Instead of facing a problem with a sense of panic, try to look at it as a puzzle you can solve with just a bit of creativity. In other words, transform fear into enthusiasm, and you will be able to make a positive out of a negative.
Begitulah bunyi saran yang saya peroleh di pagi hari dan ternyata benar-benar terjadi sepanjang hari ini. Saya tak bisa menceritakan secara detil, namun hari ini energi saya tersedot oleh orang-orang ber-energi negatif yang sungguh-sungguh menguras tenaga lahir batin. Mereka adalah orang-orang oportunis yang sok bermoral. Kalau mereka tidak berkedudukan penting, sudah lama saya tinggalkan. Tadi pun, saya lupa saran di atas dan sempat "menyemburkan api naga" sejenak. Saya berdoa, dan saya memperoleh jalan, lalu terhambat ganjalan lagi, dan berdoa lagi, lalu diberi jalan keluar lagi.
Selama pertemuan tadi saya berjuang keras untuk mengontrol emosi yang sudah dikocok-kocok sehingga hampir berada di ujung menyembur! Sulit untuk tidak terpancing dan sulit pula untuk fokus pada tujuan awal saya datang dalam berbagai pertemuan tadi, yaitu untuk memperoleh dukungan dan kerja sama, mengingat orang-orang yang di dalamnya sebagian berjiwa kerdil dan ya... itu tadi, oportunis egoistis. Sungguh tak mungkin mengubah kegeraman menjadi sebuah antusiasme. Namun semua yang tak mungkin dan sulit itu harus terwujud bila kita mau memenangkan argumen dan negosiasi agar semua yang kita inginkan bisa tercapai.
Maka sambil mengobrol saya memutar otak mencari jalan dan pada saat yang bersamaan saya berusaha keras mencoba mengatasi gejolak emosi saya dengan membatin : jangan emosi, jangan emosi, jangan emosi. Meditasi ringan yang saya lakukan sembari terus menarik ulur pembicaraan berhasil mengontrol emosi dan membuat saya lebih tenang. Ternyata ketenangan itu membawa rasa percaya diri orang kepada kita dan lebih mau menyerahkan diri atas berbagai prakarsa kita.
Hari ini saya belajar, tak peduli betapa takutnya atau bahkan marahnya kita, tampil tenang tanpa emosi membantu kita memenangkan "pertarungan".
O, satu lagi di luar pembahasan kita di atas, segala yang dimulai dengan licik dan keculasan pada akhirnya secara alami akan berbalik pada si culas dan justru termakan oleh kelicikan dan keculasannya sendiri. Sekali lagi saya diingatkan : God loves the needy, not the greedy.
Begitulah bunyi saran yang saya peroleh di pagi hari dan ternyata benar-benar terjadi sepanjang hari ini. Saya tak bisa menceritakan secara detil, namun hari ini energi saya tersedot oleh orang-orang ber-energi negatif yang sungguh-sungguh menguras tenaga lahir batin. Mereka adalah orang-orang oportunis yang sok bermoral. Kalau mereka tidak berkedudukan penting, sudah lama saya tinggalkan. Tadi pun, saya lupa saran di atas dan sempat "menyemburkan api naga" sejenak. Saya berdoa, dan saya memperoleh jalan, lalu terhambat ganjalan lagi, dan berdoa lagi, lalu diberi jalan keluar lagi.
Selama pertemuan tadi saya berjuang keras untuk mengontrol emosi yang sudah dikocok-kocok sehingga hampir berada di ujung menyembur! Sulit untuk tidak terpancing dan sulit pula untuk fokus pada tujuan awal saya datang dalam berbagai pertemuan tadi, yaitu untuk memperoleh dukungan dan kerja sama, mengingat orang-orang yang di dalamnya sebagian berjiwa kerdil dan ya... itu tadi, oportunis egoistis. Sungguh tak mungkin mengubah kegeraman menjadi sebuah antusiasme. Namun semua yang tak mungkin dan sulit itu harus terwujud bila kita mau memenangkan argumen dan negosiasi agar semua yang kita inginkan bisa tercapai.
Maka sambil mengobrol saya memutar otak mencari jalan dan pada saat yang bersamaan saya berusaha keras mencoba mengatasi gejolak emosi saya dengan membatin : jangan emosi, jangan emosi, jangan emosi. Meditasi ringan yang saya lakukan sembari terus menarik ulur pembicaraan berhasil mengontrol emosi dan membuat saya lebih tenang. Ternyata ketenangan itu membawa rasa percaya diri orang kepada kita dan lebih mau menyerahkan diri atas berbagai prakarsa kita.
Hari ini saya belajar, tak peduli betapa takutnya atau bahkan marahnya kita, tampil tenang tanpa emosi membantu kita memenangkan "pertarungan".
O, satu lagi di luar pembahasan kita di atas, segala yang dimulai dengan licik dan keculasan pada akhirnya secara alami akan berbalik pada si culas dan justru termakan oleh kelicikan dan keculasannya sendiri. Sekali lagi saya diingatkan : God loves the needy, not the greedy.
Wednesday, October 20, 2010
20 Oktober 2010 : Refreshed!
Saya memutuskan untuk mengganti telepon genggam yang sudah saya miliki dan jelajahi lebih dari setahun. Telepon genggam saya yang terakhir ini merupakan telepon genggam terlama yang pernah saya pakai secara aktif dan sebenarnya tidak memiliki masalah yang berarti. Hanya saja ada tipe baru keluar dengan kecanggihan yang menarik seperti kamera 12 megapixel dan kemampuan melihat tv melalui internet. Sebetulnya fitur yang lain tak terlalu berbeda dengan telepon genggam saya yang lama yang juga sudah super canggih, namun terus terang saya sudah bosan mengutak atik semua fiturnya.
Setiap menggenggam telepon baru, gairah saya seakan terbarukan dan menjadi lebih bersemangat. Dari tadi saya mulai mengutak atik fitur barunya dan mengubah berbagai tampilan dan nada panggil agar sesuai dengan kebutuhan dan memberikan personifikasi khas saya. Sebetulnya, saya masih ingin terus mengutak atik kalau saja baterainya tidak habis dan perlu di charge awal selama 8 jam.
Sambil menunggu penuhnya kembali baterai telepon baru, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya bahwa hidup seharusnya dibuat selalu bergairah dengan berbagai excitement baru. Tak perlu perubahan total, tapi perubahan sederhana pun mampu menyegarkan suasana yang sudah lesu karena apa yang kita lakukan telah berubah menjadi rutinitas. Lalu saya mengingat-ingat, ternyata secara naluri saya telah melakukannya. Dua tahun yang lalu saya mengubah warna dinding, mengubah gaya dapur dan kamar mandi, serta mengganti beberapa furnitur di rumah. Hasilnya, saya sampai saat ini masih bergairah untuk cepat pulang dan merasakan kenyamanan rumah saya yang asri. Saya juga mengubah beberapa perangkat di ruang kantor agar selalu memberikan semangat. Kalau natal, saya bawa beberapa ornamen natal dan tentu saja lagu-lagu natal. Ketika tahun baru Cina tiba, saya mengganti penanggalan pemberian Hong Kong Tourism Board dengan yang baru. Saya juga kadang tiba-tiba membeli bunga dan merasakan semarak yang seketika menaungi ruang makan dan keluarga yang membuat saya betah duduk berlama-lama dengan nyamannya di sofa empuk sambil menikmati pemandangan yang sejuk.
Tak hanya itu, saya juga secara berkala membeli baju baru yang memberi sejumput semangat bagi saya untuk berangkat kerja dengan mood yang baik. Saya juga mengubah penampilan saya seperti kadang berbatik, tapi bisa juga berbaju ala eksekutif, dan kalau Jumat berjins dan kaus.
Proses saya memilih warna telepon genggam tadi sore mengajari saya bahwa suatu perubahan tidak harus radikal dan keluar dari zona nyaman kita. Tadinya saya dibuat bingung apakah memilih telepon genggam warna hijau limau atau warna silver. Akhirnya, saya memilih yang warna silver karena tidak terlalu sreg dengan hijau limau nya yang terlalu ngejreng dan membuat materi metalnya seperti kaleng di cat hijau.
Hari ini saya menyadari perlunya secara konsisten melakukan perubahan yang membawa penyegaran bagi hidup agar kita selalu disadarkan bahwa hidup itu exciting and never boring. Kalau kita merasa jenuh atau merasa hidup ini membosankan, berarti ada yang salah dengan cara kita menjalani hidup...
Setiap menggenggam telepon baru, gairah saya seakan terbarukan dan menjadi lebih bersemangat. Dari tadi saya mulai mengutak atik fitur barunya dan mengubah berbagai tampilan dan nada panggil agar sesuai dengan kebutuhan dan memberikan personifikasi khas saya. Sebetulnya, saya masih ingin terus mengutak atik kalau saja baterainya tidak habis dan perlu di charge awal selama 8 jam.
Sambil menunggu penuhnya kembali baterai telepon baru, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya bahwa hidup seharusnya dibuat selalu bergairah dengan berbagai excitement baru. Tak perlu perubahan total, tapi perubahan sederhana pun mampu menyegarkan suasana yang sudah lesu karena apa yang kita lakukan telah berubah menjadi rutinitas. Lalu saya mengingat-ingat, ternyata secara naluri saya telah melakukannya. Dua tahun yang lalu saya mengubah warna dinding, mengubah gaya dapur dan kamar mandi, serta mengganti beberapa furnitur di rumah. Hasilnya, saya sampai saat ini masih bergairah untuk cepat pulang dan merasakan kenyamanan rumah saya yang asri. Saya juga mengubah beberapa perangkat di ruang kantor agar selalu memberikan semangat. Kalau natal, saya bawa beberapa ornamen natal dan tentu saja lagu-lagu natal. Ketika tahun baru Cina tiba, saya mengganti penanggalan pemberian Hong Kong Tourism Board dengan yang baru. Saya juga kadang tiba-tiba membeli bunga dan merasakan semarak yang seketika menaungi ruang makan dan keluarga yang membuat saya betah duduk berlama-lama dengan nyamannya di sofa empuk sambil menikmati pemandangan yang sejuk.
Tak hanya itu, saya juga secara berkala membeli baju baru yang memberi sejumput semangat bagi saya untuk berangkat kerja dengan mood yang baik. Saya juga mengubah penampilan saya seperti kadang berbatik, tapi bisa juga berbaju ala eksekutif, dan kalau Jumat berjins dan kaus.
Proses saya memilih warna telepon genggam tadi sore mengajari saya bahwa suatu perubahan tidak harus radikal dan keluar dari zona nyaman kita. Tadinya saya dibuat bingung apakah memilih telepon genggam warna hijau limau atau warna silver. Akhirnya, saya memilih yang warna silver karena tidak terlalu sreg dengan hijau limau nya yang terlalu ngejreng dan membuat materi metalnya seperti kaleng di cat hijau.
Hari ini saya menyadari perlunya secara konsisten melakukan perubahan yang membawa penyegaran bagi hidup agar kita selalu disadarkan bahwa hidup itu exciting and never boring. Kalau kita merasa jenuh atau merasa hidup ini membosankan, berarti ada yang salah dengan cara kita menjalani hidup...
Labels:
'lawrence tjandra',
refreshed
Tuesday, October 19, 2010
19 Oktober 2010 : Ban
Hari ini saya memandu acara jumpa pers untuk peluncuran produk terbaru Goodyear. Sambil memandu, saya belajar bahwa ban memiliki struktur yang sangat rumit dimana setiap bagian memiliki fungsi dan teknologinya sendiri untuk meningkatkan keselamatan, kenyamanan dan bahkan menghemat energi dan memperpanjang usia ban.
Selama ini, saat mengemudikan mobil, perhatian saya tak pernah benar-benar terpusat pada ban. Yang penting ban-nya tidak gundul dan memiliki tekanan udara yang cukup. Demikian juga pada saat saya memilih mobil. Yang paling menarik perhatian saya adalah kelengkapan dan asesoris yang terlihat kasat mata untuk menambah kenyamanan selama berkendara seperti adanya perangkat audio-video-tv dan penyejuk ruangan yang memadai, suara senyap dan kehalusan mesin. Padahal nasib kita sebagian besar tertumpu pada ban. Mobil kita pun tertumpu pada ban.
Saya baru tahu kalau 20% penggunaan bahan bakar digunakan untuk menggelindingkan ban. Saya juga baru menyadari pentingnya mengganti ban pada kilometer tertentu karena konstruksi dan kembangan ban nya sudah perlu diganti. Saya juga belajar ternyata ban yang kurang angin jauh lebih berpotensi pecah ketimbang ban yang terlalu keras. Ban gundul sangat berbahaya karena tidak dapat mencengkeram jalanan ketika turun hujan dan bahwa guratan-guratan ban menyalurkan udara dan air dan menjadikannya lebih efisien dalam penggelindingan serta mencengkeram jalanan lebih baik sehingga menghindarkan slip di jalan licin.
Bersamaan dengan semakin mengertinya saya akan fungsi ban, saya juga menyadari bahwa sama seperti ban, hal-hal yang terpenting dalam hidup ini justru yang paling sering saya abaikan. Saya sering menomorduakan keimanan saya. Saya merasa hal itu bisa menunggu, sedang yang di depan mata seperti pekerjaan harus didahulukan karena menghasilkan uang. Saya sering menomorsekiankan orang-orang yang saya cintai, tanpa menyadari bahwa mereka lah penopang hidup paling utama, terutama di saat susah. Saya lebih mengutamakan ketampanan dan perut indah ketimbang semua organ yang tersembunyi di balik kulit dengan gaya hidup yang tidak bertanggung jawab. Saya bahkan seperti beberapa orang yang bermain-main dengan ukuran ban yang sengaja dibuat lebih besar atau lebih kecil padahal tidak sesuai dengan kendaraannya hanya untuk kepentingan gaya. Demikian juga saya yang "bermain-main" dengan semua hal penting dalam hidup dan mengorbankan keselamatan saya hanya untuk tampil gaya.
Pada akhir jumpa pers, saya berterima kasih kepada Tuhan karena diberi kesempatan untuk mengerti bahwa hal yang terpenting dalam hidup bukanlah unsur-unsur yang tampil terdepan, melainkan yang letaknya tersembunyi dan terlupakan. Hal-hal inilah yang sepatutnya mendapat perhatian terbesar ketimbang asesoris pemanis...
Selama ini, saat mengemudikan mobil, perhatian saya tak pernah benar-benar terpusat pada ban. Yang penting ban-nya tidak gundul dan memiliki tekanan udara yang cukup. Demikian juga pada saat saya memilih mobil. Yang paling menarik perhatian saya adalah kelengkapan dan asesoris yang terlihat kasat mata untuk menambah kenyamanan selama berkendara seperti adanya perangkat audio-video-tv dan penyejuk ruangan yang memadai, suara senyap dan kehalusan mesin. Padahal nasib kita sebagian besar tertumpu pada ban. Mobil kita pun tertumpu pada ban.
Saya baru tahu kalau 20% penggunaan bahan bakar digunakan untuk menggelindingkan ban. Saya juga baru menyadari pentingnya mengganti ban pada kilometer tertentu karena konstruksi dan kembangan ban nya sudah perlu diganti. Saya juga belajar ternyata ban yang kurang angin jauh lebih berpotensi pecah ketimbang ban yang terlalu keras. Ban gundul sangat berbahaya karena tidak dapat mencengkeram jalanan ketika turun hujan dan bahwa guratan-guratan ban menyalurkan udara dan air dan menjadikannya lebih efisien dalam penggelindingan serta mencengkeram jalanan lebih baik sehingga menghindarkan slip di jalan licin.
Bersamaan dengan semakin mengertinya saya akan fungsi ban, saya juga menyadari bahwa sama seperti ban, hal-hal yang terpenting dalam hidup ini justru yang paling sering saya abaikan. Saya sering menomorduakan keimanan saya. Saya merasa hal itu bisa menunggu, sedang yang di depan mata seperti pekerjaan harus didahulukan karena menghasilkan uang. Saya sering menomorsekiankan orang-orang yang saya cintai, tanpa menyadari bahwa mereka lah penopang hidup paling utama, terutama di saat susah. Saya lebih mengutamakan ketampanan dan perut indah ketimbang semua organ yang tersembunyi di balik kulit dengan gaya hidup yang tidak bertanggung jawab. Saya bahkan seperti beberapa orang yang bermain-main dengan ukuran ban yang sengaja dibuat lebih besar atau lebih kecil padahal tidak sesuai dengan kendaraannya hanya untuk kepentingan gaya. Demikian juga saya yang "bermain-main" dengan semua hal penting dalam hidup dan mengorbankan keselamatan saya hanya untuk tampil gaya.
Pada akhir jumpa pers, saya berterima kasih kepada Tuhan karena diberi kesempatan untuk mengerti bahwa hal yang terpenting dalam hidup bukanlah unsur-unsur yang tampil terdepan, melainkan yang letaknya tersembunyi dan terlupakan. Hal-hal inilah yang sepatutnya mendapat perhatian terbesar ketimbang asesoris pemanis...
Monday, October 18, 2010
18 Oktober 2010 : Buih Palsu
Sepulang dari acara di Surabaya kemarin, saya membahas betapa event organizer yang mengerjakan acara tersebut banyak janji palsunya. Dengan meyakinkan mereka mengatakan mampu mengumpulkan massa lebih dari 3000 untuk ikut jalan sehat dalam jangka waktu kurang dari 2 minggu. Saya sudah berkali-kali tanya : yakin? Karena terus terang, saya tidak yakin dan tidak mengenal karakter masyarakat Surabaya dengan baik. Kenyataannya, sampai H-1 mereka cuma mampu mengumpulkan 700 orang, padahal laporan awalnya 3 hari setelah pertemuan kami di Jakarta, mereka sudah mengumpulkan 1500 orang. Saya sudah curiga ketika laporan hariannya tidak naik-naik dari angka segitu. Hari Minggu lalu, terkumpul 3000 orang, tapi tidak dari sang EO.
Hari ini saya makan malam dengan seorang teman yang sudah janjian untuk liburan akhir tahun bersama. Beberapa bulan yang lalu secara menggebu-gebu ia memilih Eropa, namun malam ini ia bilang tak punya uang dan menawarkan menunda tahun depan rencana ini. Saya yang memang selalu mengumpulkan cuti di akhir tahun tentu saja mendongkol! Untung tidak dalam waktu mepet ia mengatakan pembatalannya, sehingga saya bisa merencanakan alternatif lain.
Saya tidak yakin keduanya berniat mau menipu saya, tidak. Saya merasa mereka "cuma" salah perhitungan dan terlalu percaya diri. Mereka tidak menyadari bahwa janji ringannya itu membawa dampak luar biasa bagi yang diberi janji. Dalam hal si EO, untung ada berbagai pihak di luar mereka yang siap membantu. Soal teman saya, masih ada waktu untuk melakukan rencana ulang.
Intinya malam ini, saya belajar tentang pentingnya memiliki rencana atau skenario alternatif alias Plan B di setiap kesempatan dan keadaan, baik yang sifatnya berhubungan dengan pekerjaan atau urusan pribadi.
Do not rely on just one plan. Get use to equipped yourself with different routes to one destination. That way you will arrive on time safest no matter what.
Hari ini saya makan malam dengan seorang teman yang sudah janjian untuk liburan akhir tahun bersama. Beberapa bulan yang lalu secara menggebu-gebu ia memilih Eropa, namun malam ini ia bilang tak punya uang dan menawarkan menunda tahun depan rencana ini. Saya yang memang selalu mengumpulkan cuti di akhir tahun tentu saja mendongkol! Untung tidak dalam waktu mepet ia mengatakan pembatalannya, sehingga saya bisa merencanakan alternatif lain.
Saya tidak yakin keduanya berniat mau menipu saya, tidak. Saya merasa mereka "cuma" salah perhitungan dan terlalu percaya diri. Mereka tidak menyadari bahwa janji ringannya itu membawa dampak luar biasa bagi yang diberi janji. Dalam hal si EO, untung ada berbagai pihak di luar mereka yang siap membantu. Soal teman saya, masih ada waktu untuk melakukan rencana ulang.
Intinya malam ini, saya belajar tentang pentingnya memiliki rencana atau skenario alternatif alias Plan B di setiap kesempatan dan keadaan, baik yang sifatnya berhubungan dengan pekerjaan atau urusan pribadi.
Do not rely on just one plan. Get use to equipped yourself with different routes to one destination. That way you will arrive on time safest no matter what.
Sunday, October 17, 2010
17 oktober 2010 : Prioritas Ban Serep
Kenalan saya Ibu Eileen Rachman menulis di facebooknya :
"Never allow someone to be your priority while allowing yourself to be their option."
Saya langsung membagikannya kepada seorang teman yang dalam pekerjaannya diberi tugas bertumpuk-tumpuk karena ia mampu, sehingga hidupnya keteteran. Selain mensupervisi daerah Jobodetabek, ia baru saja diminta menangani daerah Medan karena orang yang bertugas di sana mengundurkan diri. Di saat yang sama, perusahaannya meminta ia menuntaskan perolehan sertifikasi profesi internasional. Dan ia juga sedang berencana meneruskan kuliah S-2 nya yang ia tunda karena pekerjaan. Saya langsung bertanya : kamu itu termasuk yang diprioritaskan perusahaan, atau yang dimanfaatkan? Kalau kamu selama ini pontang panting membela perusahaan, mungkin sudah saatnya kamu bertanya kembali apakah perusahaan sudah membela kamu juga dalam artian hak kerja dan pribadi kamu.
Namun apa yang dikatakan Ibu Eileen itu tidak terbatas pada hal pekerjaan saja. Saya juga merasakan ketepatan kalimat itu bagi mereka yang sedang jatuh cinta. Sering kali kita salah mendahulukan dan memrioritaskan orang, padahal orang yang kita cintai setengah mati hanya menganggap kita sebagai main-main saja, atau tambah butuh alias tak ada rotan akar pun jadi. Selama ini saya melihat begitu banyaknya orang yang jatuh cinta dan rela mengorbankan apa saja untuk kekasihnya ... yang sudah punya pacar atau bahkan isteri dan itu mereka lakukan karena terbutakan oleh buaian tipu daya rayuan yang maut dari orang yang berselingkuh itu. Biasanya orang yang semacam ini merasa kasihan dan merasa bisa membantu, menjadi pahlawan bagi kekasihnya yang sudah punya kekasih itu. Saya bisa bilang begini, karena saya pernah mengalami. Saya tak tahu kenapa waktu itu mau saja dibohongi dan percaya saja, dan memberikan semua yang bisa saya berikan padanya. Anda boleh tertawa, tapi saya tidak sendirian. Beberapa dari kelompok ini bahkan percaya bahwa sang kekasih menjadi korban kesemenaan pasangannya, dan yakin bahwa mereka bisa membawa sang kekasih keluar dari kesengsaraannya dan bersama mereka si kekasih bisa hidup bahagia. Semua asumsi dan kegelapan hati dan mata itu salah besar. Yang benar adalah apa yang dikatakan ibu Eileen di atas.
Selama ini saya hanya mengalami dan memahami apa yang terjadi pada saya keliru, dan bahwa saya tidak boleh lagi tergoda untuk memiliki seseorang yang sudah memiliki pasangan, namun tak pernah terpikirkan untuk merangkaikan pengalaman saya dalam sebuah kalimat yang ampuh. Maka, ketika saya membaca kalimat tadi, saya langsung kena : This is it!
Karenanya, tanpa mau berpanjang lebar, saya ingin sekali lagi menuliskan apa yang telah tertulis di awal perenungan hari ini, agar bisa bersama-sama mencernanya sesuai dengan pengalaman masing-masing, dan menemukan solusi dan jawaban tegas melalui kalimat tersebut :
Jangan pernah memprioritaskan orang lain yang hanya menganggap kita sebagai ban serep saja.
Menyakitkan? Reality bites. Tapi begitulah semestinya, supaya kita sadar ketololan kita sendiri...
"Never allow someone to be your priority while allowing yourself to be their option."
Saya langsung membagikannya kepada seorang teman yang dalam pekerjaannya diberi tugas bertumpuk-tumpuk karena ia mampu, sehingga hidupnya keteteran. Selain mensupervisi daerah Jobodetabek, ia baru saja diminta menangani daerah Medan karena orang yang bertugas di sana mengundurkan diri. Di saat yang sama, perusahaannya meminta ia menuntaskan perolehan sertifikasi profesi internasional. Dan ia juga sedang berencana meneruskan kuliah S-2 nya yang ia tunda karena pekerjaan. Saya langsung bertanya : kamu itu termasuk yang diprioritaskan perusahaan, atau yang dimanfaatkan? Kalau kamu selama ini pontang panting membela perusahaan, mungkin sudah saatnya kamu bertanya kembali apakah perusahaan sudah membela kamu juga dalam artian hak kerja dan pribadi kamu.
Namun apa yang dikatakan Ibu Eileen itu tidak terbatas pada hal pekerjaan saja. Saya juga merasakan ketepatan kalimat itu bagi mereka yang sedang jatuh cinta. Sering kali kita salah mendahulukan dan memrioritaskan orang, padahal orang yang kita cintai setengah mati hanya menganggap kita sebagai main-main saja, atau tambah butuh alias tak ada rotan akar pun jadi. Selama ini saya melihat begitu banyaknya orang yang jatuh cinta dan rela mengorbankan apa saja untuk kekasihnya ... yang sudah punya pacar atau bahkan isteri dan itu mereka lakukan karena terbutakan oleh buaian tipu daya rayuan yang maut dari orang yang berselingkuh itu. Biasanya orang yang semacam ini merasa kasihan dan merasa bisa membantu, menjadi pahlawan bagi kekasihnya yang sudah punya kekasih itu. Saya bisa bilang begini, karena saya pernah mengalami. Saya tak tahu kenapa waktu itu mau saja dibohongi dan percaya saja, dan memberikan semua yang bisa saya berikan padanya. Anda boleh tertawa, tapi saya tidak sendirian. Beberapa dari kelompok ini bahkan percaya bahwa sang kekasih menjadi korban kesemenaan pasangannya, dan yakin bahwa mereka bisa membawa sang kekasih keluar dari kesengsaraannya dan bersama mereka si kekasih bisa hidup bahagia. Semua asumsi dan kegelapan hati dan mata itu salah besar. Yang benar adalah apa yang dikatakan ibu Eileen di atas.
Selama ini saya hanya mengalami dan memahami apa yang terjadi pada saya keliru, dan bahwa saya tidak boleh lagi tergoda untuk memiliki seseorang yang sudah memiliki pasangan, namun tak pernah terpikirkan untuk merangkaikan pengalaman saya dalam sebuah kalimat yang ampuh. Maka, ketika saya membaca kalimat tadi, saya langsung kena : This is it!
Karenanya, tanpa mau berpanjang lebar, saya ingin sekali lagi menuliskan apa yang telah tertulis di awal perenungan hari ini, agar bisa bersama-sama mencernanya sesuai dengan pengalaman masing-masing, dan menemukan solusi dan jawaban tegas melalui kalimat tersebut :
Jangan pernah memprioritaskan orang lain yang hanya menganggap kita sebagai ban serep saja.
Menyakitkan? Reality bites. Tapi begitulah semestinya, supaya kita sadar ketololan kita sendiri...
Saturday, October 16, 2010
16 Oktober 2010 : 46
Empat enam tahun. Apa yang sudah saya lakukan dan apa yang belum saya lakukan? Apa kesalahan apa saja yang sudah saya buat, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain?
Tepat setelah pergantian hari tadi, saya belum tidur, malah buka tutup mata, merenung. Sekilas seperti ada film flash back dan hasilnya seperti gado gado! Saya kagum atas anugerah Tuhan yang luar biasa untuk saya. Saya tidak bisa membayangkan bahwa saya yang tidak ada apa-apanya ini bisa melalui perjalanan hidup yang begitu mencengangkan, keliling dunia yang separuhnya dibiayai bahkan diberi uang saku, bertemu orang-orang yang tak pernah terbayangkan akan bertemu, selebritis, pejabat bahkan pemimpin negara, berteman dengan teman-teman yang luar biasa bahkan sedari taman kanak kanak dan sekolah dasar, punya keluarga yang tak ingin saya tukar dengan siapa pun, pencapaian kerja yang tak pernah terpikirkan, semua hal besar yang tak akan saya bisa kerjakan sebagai seorang manusia yang sangat biasa. Dalam perenungan ini saya merasa benar peran Tuhan dalam mengatur kehidupan saya.
Saya nya saja yang bengal, melakukan hal-hal yang tidak ada dalam daftar Ilahi, dan kadang sudah tahu salah, masih saja dilakukan. Habis enak dan asyik, sih... Tapi biar begitu, Tuhan tak kenal lelah mengingatkan, menyelamatkan dan menggiring saya balik ke jalanNya.
Intinya, meskipun saya banyak dosa dan salah, saya menerima begitu banyak kemudahan, kenikmatan dan keindahan hidup. Saya memang tidak kaya raya, tapi Tuhan memberi kecukupan berlimpah. Saya memang tidak tampan, tapi Tuhan memberikan saya teman, keluarga bahkan rekan kerja yang mencintai saya. Saya memang tidak pintar, tapi Tuhan menitipkan karya-karyaNya yang ajaib. Saya sering bertanya, siapa saya sih sampai saya diberi kenikmatan dan kecintaan seperti ini? Sudah berkali-kali membelot, masih saja disayang Tuhan. Saya kadang bergidik, asal jangan kasih Tuhan habis saja karena sudah habis kesabaranNya terhadap saya. But, so far, so good. :-)
Sebenarnya masih ada satu pertanyaan penting yang belum terjawab sampai detik ini : apa sih tujuan hidup saya? Kemarin saya sempat terhibur dengan kalimat yang dikirim Gill Weber yang mengatakan : Take the first step. You don't have to see the whole staircase. Just take the first step. Saya jadi lega karena tidak perlu tahu ujungnya bagaimana, yang penting saya berani menjalani hidup saya. Saya hanya perlu percaya akan bimbingan Tuhan. Tapi saya juga menerima kalimat seperti ini :
You have not lived a perfect day ... unless you have done something for someone who will never be able to repay you - Ruth Smeitzer
Hmm.... saya sadar kalau usia saya ini sudah di puncak-puncaknya dan bakalan turun gunung. Rasanya tepat juga bila harus menutup semua lembaran cerita seorang Lawrence Tjandra dengan berbagi dan berbuat sesuatu bagi orang-orang yang membutuhkan. Tapi seperti apa? Saya percaya akan bimbingan Tuhan. Kalau selama 46 tahun ini Ia telah berkarya dengan sangat ajaibnya dalam diri saya, saya yakin di paruh kedua kehidupan saya, Ia masih akan melanjutkan karya-karyaNya yang ajaib.
Hari ini saya mensyukuri semua nikmat dan berkat Tuhan yang telah diberikan selama 46 tahun ini. Tak ada sedikitpun jalan yang telah saya lalui dengan kekecewaan karena saya sadar bahwa justru dengan rute itulah saya menjadi saya yang sekarang, yang penuh kekurangan dan keberkatan. Namun, pelajaran yang terbesar yang saya dapatkan hari ini adalah Campur Tangan Tuhan yang luar biasa dalam hidup saya. Saya jadi sadar bahwa saya ini tidak ada apa-apanya tanpa campur tanganNya. Dan tidak ada yang bisa saya banggakan dari diri saya selain Kebesaran Tuhan.
Terima kasih Tuhan, atas penyertaanMu yang tiada habisnya dalam hidupku...
Tepat setelah pergantian hari tadi, saya belum tidur, malah buka tutup mata, merenung. Sekilas seperti ada film flash back dan hasilnya seperti gado gado! Saya kagum atas anugerah Tuhan yang luar biasa untuk saya. Saya tidak bisa membayangkan bahwa saya yang tidak ada apa-apanya ini bisa melalui perjalanan hidup yang begitu mencengangkan, keliling dunia yang separuhnya dibiayai bahkan diberi uang saku, bertemu orang-orang yang tak pernah terbayangkan akan bertemu, selebritis, pejabat bahkan pemimpin negara, berteman dengan teman-teman yang luar biasa bahkan sedari taman kanak kanak dan sekolah dasar, punya keluarga yang tak ingin saya tukar dengan siapa pun, pencapaian kerja yang tak pernah terpikirkan, semua hal besar yang tak akan saya bisa kerjakan sebagai seorang manusia yang sangat biasa. Dalam perenungan ini saya merasa benar peran Tuhan dalam mengatur kehidupan saya.
Saya nya saja yang bengal, melakukan hal-hal yang tidak ada dalam daftar Ilahi, dan kadang sudah tahu salah, masih saja dilakukan. Habis enak dan asyik, sih... Tapi biar begitu, Tuhan tak kenal lelah mengingatkan, menyelamatkan dan menggiring saya balik ke jalanNya.
Intinya, meskipun saya banyak dosa dan salah, saya menerima begitu banyak kemudahan, kenikmatan dan keindahan hidup. Saya memang tidak kaya raya, tapi Tuhan memberi kecukupan berlimpah. Saya memang tidak tampan, tapi Tuhan memberikan saya teman, keluarga bahkan rekan kerja yang mencintai saya. Saya memang tidak pintar, tapi Tuhan menitipkan karya-karyaNya yang ajaib. Saya sering bertanya, siapa saya sih sampai saya diberi kenikmatan dan kecintaan seperti ini? Sudah berkali-kali membelot, masih saja disayang Tuhan. Saya kadang bergidik, asal jangan kasih Tuhan habis saja karena sudah habis kesabaranNya terhadap saya. But, so far, so good. :-)
Sebenarnya masih ada satu pertanyaan penting yang belum terjawab sampai detik ini : apa sih tujuan hidup saya? Kemarin saya sempat terhibur dengan kalimat yang dikirim Gill Weber yang mengatakan : Take the first step. You don't have to see the whole staircase. Just take the first step. Saya jadi lega karena tidak perlu tahu ujungnya bagaimana, yang penting saya berani menjalani hidup saya. Saya hanya perlu percaya akan bimbingan Tuhan. Tapi saya juga menerima kalimat seperti ini :
You have not lived a perfect day ... unless you have done something for someone who will never be able to repay you - Ruth Smeitzer
Hmm.... saya sadar kalau usia saya ini sudah di puncak-puncaknya dan bakalan turun gunung. Rasanya tepat juga bila harus menutup semua lembaran cerita seorang Lawrence Tjandra dengan berbagi dan berbuat sesuatu bagi orang-orang yang membutuhkan. Tapi seperti apa? Saya percaya akan bimbingan Tuhan. Kalau selama 46 tahun ini Ia telah berkarya dengan sangat ajaibnya dalam diri saya, saya yakin di paruh kedua kehidupan saya, Ia masih akan melanjutkan karya-karyaNya yang ajaib.
Hari ini saya mensyukuri semua nikmat dan berkat Tuhan yang telah diberikan selama 46 tahun ini. Tak ada sedikitpun jalan yang telah saya lalui dengan kekecewaan karena saya sadar bahwa justru dengan rute itulah saya menjadi saya yang sekarang, yang penuh kekurangan dan keberkatan. Namun, pelajaran yang terbesar yang saya dapatkan hari ini adalah Campur Tangan Tuhan yang luar biasa dalam hidup saya. Saya jadi sadar bahwa saya ini tidak ada apa-apanya tanpa campur tanganNya. Dan tidak ada yang bisa saya banggakan dari diri saya selain Kebesaran Tuhan.
Terima kasih Tuhan, atas penyertaanMu yang tiada habisnya dalam hidupku...
15 Oktober 2010 : Believe.
Di antara beberapa email yang saya terima pagi ini, terselip email dari teman baik saya Gill Weber. Saya langsung melewati semua email yang lain, dan mulai membacanya. Dari situ kami seolah berbagi cerita bergantian melalui email. Saya di Jakarta dan dia di Perth. Salah satu kalimatnya tiba-tiba berbunyi seperti ini :
What do you think of this line by Dr. Martin Luther King Jr "Take the first step (in faith). You don't have to see the whole staircase. Just take the first step." Pretty deep and meaningful, eh!
Kalimat itu terngiang-ngiang sepanjang hari dan saya cerna perlahan-lahan di tengah kesibukan kerja. Saya membenarkan. Selama ini saya adalah orang yang selalu punya rencana dan mau tahu dengan pasti bagaimana akhir sebuah tindakan atau kejadian, meskipun masih hanya dalam rencana. Paling tidak saya tahu bagaimana kira-kira akhir atau hasil sebuah kegiatan atau rencana. Mungkin karena sehari-harinya saya selalu memulai perencanaan kerja saya dengan tujuan yang jelas dan dengan ukuran-ukuran pencapaian keberhasilan yang jelas pula. Di kehidupan santai, saya juga tukang ngintip akhir buku dan film. Teman-teman saya bilang saya curang, tak biarkan saja. I don't like surprises, jadi kalau beli buku, yang saya baca bagian belakangnya dulu. Sukakah saya pada akhir kisahnya? Kalau suka, baru saya beli. Demikian juga dengan dvd. Saya skip semuanya dulu dan menyaksikan bagian akhir yang dekat dengan credit title. Saya suka memaksa teman untuk bercerita akhirnya bagaimana...
Tapi kenyataan hidup berbicara lain. Sering kita tidak tahu akhirnya bagaimana dan bagaimana pula sebuah kejadian atau bahkan rencana jadi berbelok tidak ke arah yang diinginkan. Sering kali kita menyebutnya bencana atau berantakan, tapi mungkin itulah rencana kehidupan yang sesungguhnya.
Dari kalimat yang dikirim Gill saya jadi belajar, it's okay mengambil langkah yang tidak tahu ujung pangkalnya. Selama ini saya terindoktrinasi dengan "You'll never land a six unless you throw the dice" dan kalimat itu mengandung arti bahwa kita tahu yang dituju adalah angka enam atau angka tertinggi dalam dadu, namun hari ini saya juga diberi pencerahan agar tak ragu melangkah meskipun tak tahu ujung tangga membawa kita kemana, asal kita percaya. Believe.
Jadi, kunci sebuah kesuksesan adalah sebuah keberanian dan kepercayaan. Because then, Believe will guide you...
What do you think of this line by Dr. Martin Luther King Jr "Take the first step (in faith). You don't have to see the whole staircase. Just take the first step." Pretty deep and meaningful, eh!
Kalimat itu terngiang-ngiang sepanjang hari dan saya cerna perlahan-lahan di tengah kesibukan kerja. Saya membenarkan. Selama ini saya adalah orang yang selalu punya rencana dan mau tahu dengan pasti bagaimana akhir sebuah tindakan atau kejadian, meskipun masih hanya dalam rencana. Paling tidak saya tahu bagaimana kira-kira akhir atau hasil sebuah kegiatan atau rencana. Mungkin karena sehari-harinya saya selalu memulai perencanaan kerja saya dengan tujuan yang jelas dan dengan ukuran-ukuran pencapaian keberhasilan yang jelas pula. Di kehidupan santai, saya juga tukang ngintip akhir buku dan film. Teman-teman saya bilang saya curang, tak biarkan saja. I don't like surprises, jadi kalau beli buku, yang saya baca bagian belakangnya dulu. Sukakah saya pada akhir kisahnya? Kalau suka, baru saya beli. Demikian juga dengan dvd. Saya skip semuanya dulu dan menyaksikan bagian akhir yang dekat dengan credit title. Saya suka memaksa teman untuk bercerita akhirnya bagaimana...
Tapi kenyataan hidup berbicara lain. Sering kita tidak tahu akhirnya bagaimana dan bagaimana pula sebuah kejadian atau bahkan rencana jadi berbelok tidak ke arah yang diinginkan. Sering kali kita menyebutnya bencana atau berantakan, tapi mungkin itulah rencana kehidupan yang sesungguhnya.
Dari kalimat yang dikirim Gill saya jadi belajar, it's okay mengambil langkah yang tidak tahu ujung pangkalnya. Selama ini saya terindoktrinasi dengan "You'll never land a six unless you throw the dice" dan kalimat itu mengandung arti bahwa kita tahu yang dituju adalah angka enam atau angka tertinggi dalam dadu, namun hari ini saya juga diberi pencerahan agar tak ragu melangkah meskipun tak tahu ujung tangga membawa kita kemana, asal kita percaya. Believe.
Jadi, kunci sebuah kesuksesan adalah sebuah keberanian dan kepercayaan. Because then, Believe will guide you...
Labels:
'lawrence tjandra',
believe
Friday, October 15, 2010
14 Oktober 2010 : Doa, Syukur, Hidup
Hari ini saya melawan hujan dan kemacetan di Jakarta untuk menonton film yang sudah saya nantikan : Eat, Pray, Love. Saya sudah membaca dan menikmati bukunya, dan sekarang penasaran menyaksikannya di"hidup"kan di layar kaca, terutama ingin menyaksikan keindahan Bali yang menurut berbagai media ditampilkan dengan sangat luar biasa.
Ketika film berdurasi cukup panjang itu selesai, saya bisa mengerti mengapa film ini gagal booming. Dari segi alur cerita, film ini gagal menampilkan esensi emosi dan jiwa yang tercetak luar biasa bagusnya di buku. Namun bukan berarti film ini jelek. Film ini bagi saya seperti rekaman video atas kejadian-kejadian yang dialami Liz Gilbert dan ditonton ulang beramai-ramai oleh kerabatnya di ruang keluarga. Itulah mengapa "jiwa" nya tak tertangkap, namun sinematografinya yang justru berbicara. Selama 2,5 jam saya dimanjakan dengan gambar-gambar yang indah. Saat Julia Roberts makan pasta di Italy, saya jadi ikut ngiler dan ingin juga makan pasta. Kehidupan miskin India digambarkan dengan romantisme warna yang meriah. Lalu Bali digambarkan sebagai surga dunia.
Di perjalanan pulang, tiba-tiba saja tercetus di benak bahwa saya juga punya pengalaman tentang ke tiga negara tersebut, hanya saja dalam urutan yang terbalik : Indonesia (Bali), India, Italia. Maka saya merenung, apa yang saya pelajari dari ketiga tempat itu? Berikut hasil perenungan saya :
Bali - Indonesia :
Saya pertama kali menginjakkan kaki di Bali saat masih SD bersama orang tua, kakak dan keluarga teman orang tua saya. Sejak saat itu, sudah tak terhitung kali saya datang ke sana. Setiap menghirup udara Bali, saya merasa semua permasalahan saya sirna karena suasananya yang begitu ... relaxing. Satu hal yang saya belajar dari bali adalah Tuhan menduduki tempat pertama di atas segala yang kita lakukan. Teman saya yang pengusaha garment di Bali sempat mengeluh, karyawannya kerap pulang untuk berbagai upacara. Di saat santai, saya selalu disuguhi pemandangan orang Bali dengan berbagai sesajen warna warni berarak ke Pura atau di setiap sudut jalan hingga dashboard mobil terdapat sesaji. Justru di Bali saya diingatkan untuk selalu memuliakan dan menyembah Tuhan di setiap kesempatan.
India:
Saya memutuskan untuk mengunjungi India saat mengambil libur 7 hari pada peringatan Kemerdekaan Indonesia di tahun 2006. Kesan saya terhadap India : saya tidak pernah melihat peninggalan sejarah yang begitu indah dan detil namun pada saat yang bersamaan saya mengalami shock budaya karena belum pernah melihat keadaan yang begitu melarat dan kumuh di sepanjang jalan yang saya lalui, kecuali di daerah parlemen, pemerintahan dan daerah elit dimana keluarga Gandhi tinggal. Selebihnya, sungguh pengalaman miris dan eye-popping yang terlalu panjang bila diceritakan di sini. Saya pulang membawa pengalaman tak terlupakan atas kejayaan Rajahstan dan kerajaan Mogul yang megah, serta pengalaman once in a life time, masuk menyentuh makam yang sesungguhnya dari Mun TajMahal beserta Syah Jehan - kesempatan sangat langka karena hanya dibuka pada hari-hari tertentu. Makam yang kita lihat 3 meter di atasnya adalah makam palsu yang dapat dilihat sehari-hari. Namun kalau boleh dipilih satu pelajaran yang saya peroleh dari India adalah : bersyukur untuk semua limpahan karunia kehidupan yang saya peroleh. Karena itu, kalau ada dari Anda yang kerjanya menggerutu dan complain atas segala kekurangan yang Anda terima di negara kita, sebaiknya Anda ke India. Dijamin pulang-pulang Anda akan menyukuri hidup di Indonesia.
Italia
Italia adalah tempat tujuan yang masuk dalam daftar rencana kunjugan saya dalam waktu dekat ini. Meski masih belum pernah ke sana, saya sudah cukup diakrabkan dengan budayanya. Saya suka setengah mati masakan Italia, mulai dari saladnya sampai pizza tipis dan pastanya yang memabokkan, dan es krim gelatonya yang kenyal dan lumer di ronggga mulut. Saya suka lagu-lagunya yang cenderung romantis dan menenangkan. Saya bahkan sempat menikmati sepotong Venisia di Makau melalui romantisme gondola lengkap dengan dendangan serenada yang dilantunkan para gondolier Italia yang tampan. Saya merangkum citra Italia menjadi satu : Experience and Enjoy Life! Suatu hal yang mendarah daging yang dilakukan oleh Bangsa Italia secara alami sampai pada detil kehidupan yang terkecil, tanpa perlu direncanakan sebelumnya seperti kebanyakan dari kita harus secara khusus merencanakan liburan untuk dapat menikmati hidup.
Jadi kalau saya diminta membuat judul atas Indonesia (Bali), India dan Italia, maka mungkin jadinya adalah : Doa, Syukur, Hidup.
Hari ini saya disadarkan untuk senantiasa memuliakan dan bersyukur kepada Tuhan atas segala nikmat hidup yang diberikanNya kepada saya.
Ketika film berdurasi cukup panjang itu selesai, saya bisa mengerti mengapa film ini gagal booming. Dari segi alur cerita, film ini gagal menampilkan esensi emosi dan jiwa yang tercetak luar biasa bagusnya di buku. Namun bukan berarti film ini jelek. Film ini bagi saya seperti rekaman video atas kejadian-kejadian yang dialami Liz Gilbert dan ditonton ulang beramai-ramai oleh kerabatnya di ruang keluarga. Itulah mengapa "jiwa" nya tak tertangkap, namun sinematografinya yang justru berbicara. Selama 2,5 jam saya dimanjakan dengan gambar-gambar yang indah. Saat Julia Roberts makan pasta di Italy, saya jadi ikut ngiler dan ingin juga makan pasta. Kehidupan miskin India digambarkan dengan romantisme warna yang meriah. Lalu Bali digambarkan sebagai surga dunia.
Di perjalanan pulang, tiba-tiba saja tercetus di benak bahwa saya juga punya pengalaman tentang ke tiga negara tersebut, hanya saja dalam urutan yang terbalik : Indonesia (Bali), India, Italia. Maka saya merenung, apa yang saya pelajari dari ketiga tempat itu? Berikut hasil perenungan saya :
Bali - Indonesia :
Saya pertama kali menginjakkan kaki di Bali saat masih SD bersama orang tua, kakak dan keluarga teman orang tua saya. Sejak saat itu, sudah tak terhitung kali saya datang ke sana. Setiap menghirup udara Bali, saya merasa semua permasalahan saya sirna karena suasananya yang begitu ... relaxing. Satu hal yang saya belajar dari bali adalah Tuhan menduduki tempat pertama di atas segala yang kita lakukan. Teman saya yang pengusaha garment di Bali sempat mengeluh, karyawannya kerap pulang untuk berbagai upacara. Di saat santai, saya selalu disuguhi pemandangan orang Bali dengan berbagai sesajen warna warni berarak ke Pura atau di setiap sudut jalan hingga dashboard mobil terdapat sesaji. Justru di Bali saya diingatkan untuk selalu memuliakan dan menyembah Tuhan di setiap kesempatan.
India:
Saya memutuskan untuk mengunjungi India saat mengambil libur 7 hari pada peringatan Kemerdekaan Indonesia di tahun 2006. Kesan saya terhadap India : saya tidak pernah melihat peninggalan sejarah yang begitu indah dan detil namun pada saat yang bersamaan saya mengalami shock budaya karena belum pernah melihat keadaan yang begitu melarat dan kumuh di sepanjang jalan yang saya lalui, kecuali di daerah parlemen, pemerintahan dan daerah elit dimana keluarga Gandhi tinggal. Selebihnya, sungguh pengalaman miris dan eye-popping yang terlalu panjang bila diceritakan di sini. Saya pulang membawa pengalaman tak terlupakan atas kejayaan Rajahstan dan kerajaan Mogul yang megah, serta pengalaman once in a life time, masuk menyentuh makam yang sesungguhnya dari Mun TajMahal beserta Syah Jehan - kesempatan sangat langka karena hanya dibuka pada hari-hari tertentu. Makam yang kita lihat 3 meter di atasnya adalah makam palsu yang dapat dilihat sehari-hari. Namun kalau boleh dipilih satu pelajaran yang saya peroleh dari India adalah : bersyukur untuk semua limpahan karunia kehidupan yang saya peroleh. Karena itu, kalau ada dari Anda yang kerjanya menggerutu dan complain atas segala kekurangan yang Anda terima di negara kita, sebaiknya Anda ke India. Dijamin pulang-pulang Anda akan menyukuri hidup di Indonesia.
Italia
Italia adalah tempat tujuan yang masuk dalam daftar rencana kunjugan saya dalam waktu dekat ini. Meski masih belum pernah ke sana, saya sudah cukup diakrabkan dengan budayanya. Saya suka setengah mati masakan Italia, mulai dari saladnya sampai pizza tipis dan pastanya yang memabokkan, dan es krim gelatonya yang kenyal dan lumer di ronggga mulut. Saya suka lagu-lagunya yang cenderung romantis dan menenangkan. Saya bahkan sempat menikmati sepotong Venisia di Makau melalui romantisme gondola lengkap dengan dendangan serenada yang dilantunkan para gondolier Italia yang tampan. Saya merangkum citra Italia menjadi satu : Experience and Enjoy Life! Suatu hal yang mendarah daging yang dilakukan oleh Bangsa Italia secara alami sampai pada detil kehidupan yang terkecil, tanpa perlu direncanakan sebelumnya seperti kebanyakan dari kita harus secara khusus merencanakan liburan untuk dapat menikmati hidup.
Jadi kalau saya diminta membuat judul atas Indonesia (Bali), India dan Italia, maka mungkin jadinya adalah : Doa, Syukur, Hidup.
Hari ini saya disadarkan untuk senantiasa memuliakan dan bersyukur kepada Tuhan atas segala nikmat hidup yang diberikanNya kepada saya.
Labels:
'doa,
'eat pray love',
'lawrence tjandra',
hidup',
syukur
Wednesday, October 13, 2010
13 Oktober 2010 : Suntuk!
Pernah suntuk kan? Saya juga. Tapi saya belum pernah benar-benar merenungkan apa yang terjadi dengan kita dan sekitar kita kalau sedang suntuk. Bagimana mau merenung, namanya saja sedang suntuk, jadi ya yang terpikir cuma ruwetnya pikiran dan emosi yang menggelegar. Tapi kali ini yang sedang suntuk bukan saya, melainkan seorang teman. Jadi saya berkesempatan mengikuti kronologisnya dan akhirnya merenungkannya.
Singkat cerita teman saya ini tadinya berencana ikut makan malam bersama, namun mendekati waktunya ia bercerita sedang suntuk dan moodnya sedang sangat tidak bagus, jadi ia mengundurkan diri tidak ikut makan malam, takut merusak suasana. Saya bilang, tetap ikut saja - hitung-hitung refreshing. Tapi ia tetap ngotot tidak mau, ya saya tak mau memaksa. Saya pikir apa jadinya kalau orang lagi suntuk dipaksa-paksa : kemungkinan besar ia bakal lebih suntuk dan saya menjadi ikutan suntuk! Lalu hujan turun deras, saya tanya apakah ia masih sibuk, jawabnya masih di kantor. Sudah makan? Jawabnya tidak sinkron : nggak apa-apa. Saya kemudian berpikir, sebegitu suntuknya kah dia? Tadinya saya mau menawarkan kalau sudah mau pulang, mampir saja di resto tempat kami mengumpul, toh kami masih mengobrol jadi ia bisa catch up sambil makan. Tapi ia bilang sudah menuju parkir, mau pulang. Ternyata acara mengobrol di resto berjalan seru sehingga tak terasa kami baru angkat kaki satu jam setelah teman saya tadi bilang mau pulang. Di jalan saya tanya, sudah di rumah? Tak ada jawaban. Satu jam setelah pertanyaan saya melalui bbm itu, ia menjawab singkat : nyasar. Wah, saking suntuknya sampai rambu pulang pun tak terlihat. Untung akhirnya ia tiba di rumah dengan selamat. Tadinya saya mau menyediakan diri menjadi kuping yang baik, namun dengan ogah-ogahan ia cuma bicara singkat dan bilang mau tidur, capek.
Saya lalu merefleksikan keseluruhan proses suntuk. Ketika terjadi sesuatu yang menimpa diri kita, ternyata dampaknya mempengaruhi dua arah: ke dalam diri kita sendiri dan ke luar. Kita jadi tak napsu makan, kehilangan konsentrasi, dan pikiran kita hanya berputar-putar sekeliling keruwetan masalah yang biasanya kita pikir tak ada solusinya sehingga membuat kita putus asa. Emosi kita cenderung menjadi ketus dan mudah tersulut, dada terasa sesak, seperti ingin mati saja dan mau teriak kencang! Itu ke dalam. Ke luarnya, kita cenderung ketus, mudah marah dan sensitif pada orang-orang sekitar kita. Namun terlebih lagi pada orang-orang yang justru secara lingkup terdekat dengan diri kita. Tanpa sengaja, otak dan pikiran kita disetir oleh emosi suntuk sehingga mendorong serta mengasari orang-orang terdekat, entah dengan kata-kata atau perbuatan. Tak perlu secara harafiah memukul atau melukai, namun sering kali sikap kita jadi menarik diri dan tidak mau berurusan dengan mereka. Padahal orang-orang terdekat ini semestinya bisa menjadi "a shoulder to cry on" atau paling tidak menjadi "kuping" yang baik. Suntuk membuat kita sulit membedakan antara masalah dan lingkungan kita.
Saya juga memperhatikan, ternyata cara orang mengekspresikan dan mengatasi kesuntukannya berbeda-beda. Ada yang diam saja, tak mau makan, ada yang pergi ke tempat keramaian dan mengubur kesuntukannya di sana, ada yang berjalan tak tentu arah dengan pandangan kosong tapi pikiran tak berhenti berbicara, dan lain-lain, tapi apa pun itu saya kemudian belajar, bahwa sesuntuk-suntuknya kita : don't make any stupid rush decision or action. Saat melakukannya kita tidak menyadari betapa kita sedang membuat disaster yang lebih besar lagi.
Bagaimana dengan orang yang terkena imbasnya? Bagaimana kita harus bersikap bila ada orang di lingkungan terdekat kita sedang suntuk? Malam ini yang saya lakukan adalah tidak memaksa teman saya bercerita. Saya hanya meyakinkan dia bahwa tak ada masalah yang tak dapat diatasi karena ia punya (seorang) teman untuk berbagi, dan saya adalah salah seorangnya. Saya lalu berkata saya siap jadi kuping, apakah ia mau berbagi, dan ketika ia bilang malas, saya biarkan saja. Saya merasa orang yang sedang suntuk seharusnya memang diberi waktu untuk bermain dan menikmati kesuntukannya.
Maka hari ini saya membuat berbagai catatan tentang suntuk :
- Seperti dicatat di atas, don't make any stupid rush decision or action. Biarkan saja suntuk berkutat di otak namun jangan melibatkan mulut dan gerakan apa pun bentuknya.
- Kalau sedang suntuk, jangan biarkan mempengaruhi atau bahkan "push away" orang-orang terdekat Anda.
- Begitu suntuk dan berpikir tak ada jalan keluar, saya mau ingat bahwa tak ada masalah yang tak selesai, tak peduli bagaimana akhir masalahnya dan bahwa waktu menyelesaikan segala perkara.
- Doa - doa - doa. Kalau dikatakan time will heal, pengalaman saya juga berkata prayers give strength and healing. Doa adalah cara curhat yang paling ampuh, karena curhatnya dengan Yang Di Atas, dan Yang Di Atas punya kuasa mengatur dan mengubah hidup kita.
- Kalau orang (lain) sedang suntuk, jangan memberikan nasihat,tapi katakan bahwa kita ada untuk dia dan siap menjadi a shoulder to cry on atau "kuping" yang baik. Kuping yang baik artinya hanya mendengar, tanpa berkomentar.
- Kalau memungkinkan, a hug is the best medicine.
- Juga jangan memaksa bercerita, everybody needs a me-space from time to time
Amit-amit, tapi kalau suatu saat saya sedang suntuk, semoga saya ingat pakem di atas.
Singkat cerita teman saya ini tadinya berencana ikut makan malam bersama, namun mendekati waktunya ia bercerita sedang suntuk dan moodnya sedang sangat tidak bagus, jadi ia mengundurkan diri tidak ikut makan malam, takut merusak suasana. Saya bilang, tetap ikut saja - hitung-hitung refreshing. Tapi ia tetap ngotot tidak mau, ya saya tak mau memaksa. Saya pikir apa jadinya kalau orang lagi suntuk dipaksa-paksa : kemungkinan besar ia bakal lebih suntuk dan saya menjadi ikutan suntuk! Lalu hujan turun deras, saya tanya apakah ia masih sibuk, jawabnya masih di kantor. Sudah makan? Jawabnya tidak sinkron : nggak apa-apa. Saya kemudian berpikir, sebegitu suntuknya kah dia? Tadinya saya mau menawarkan kalau sudah mau pulang, mampir saja di resto tempat kami mengumpul, toh kami masih mengobrol jadi ia bisa catch up sambil makan. Tapi ia bilang sudah menuju parkir, mau pulang. Ternyata acara mengobrol di resto berjalan seru sehingga tak terasa kami baru angkat kaki satu jam setelah teman saya tadi bilang mau pulang. Di jalan saya tanya, sudah di rumah? Tak ada jawaban. Satu jam setelah pertanyaan saya melalui bbm itu, ia menjawab singkat : nyasar. Wah, saking suntuknya sampai rambu pulang pun tak terlihat. Untung akhirnya ia tiba di rumah dengan selamat. Tadinya saya mau menyediakan diri menjadi kuping yang baik, namun dengan ogah-ogahan ia cuma bicara singkat dan bilang mau tidur, capek.
Saya lalu merefleksikan keseluruhan proses suntuk. Ketika terjadi sesuatu yang menimpa diri kita, ternyata dampaknya mempengaruhi dua arah: ke dalam diri kita sendiri dan ke luar. Kita jadi tak napsu makan, kehilangan konsentrasi, dan pikiran kita hanya berputar-putar sekeliling keruwetan masalah yang biasanya kita pikir tak ada solusinya sehingga membuat kita putus asa. Emosi kita cenderung menjadi ketus dan mudah tersulut, dada terasa sesak, seperti ingin mati saja dan mau teriak kencang! Itu ke dalam. Ke luarnya, kita cenderung ketus, mudah marah dan sensitif pada orang-orang sekitar kita. Namun terlebih lagi pada orang-orang yang justru secara lingkup terdekat dengan diri kita. Tanpa sengaja, otak dan pikiran kita disetir oleh emosi suntuk sehingga mendorong serta mengasari orang-orang terdekat, entah dengan kata-kata atau perbuatan. Tak perlu secara harafiah memukul atau melukai, namun sering kali sikap kita jadi menarik diri dan tidak mau berurusan dengan mereka. Padahal orang-orang terdekat ini semestinya bisa menjadi "a shoulder to cry on" atau paling tidak menjadi "kuping" yang baik. Suntuk membuat kita sulit membedakan antara masalah dan lingkungan kita.
Saya juga memperhatikan, ternyata cara orang mengekspresikan dan mengatasi kesuntukannya berbeda-beda. Ada yang diam saja, tak mau makan, ada yang pergi ke tempat keramaian dan mengubur kesuntukannya di sana, ada yang berjalan tak tentu arah dengan pandangan kosong tapi pikiran tak berhenti berbicara, dan lain-lain, tapi apa pun itu saya kemudian belajar, bahwa sesuntuk-suntuknya kita : don't make any stupid rush decision or action. Saat melakukannya kita tidak menyadari betapa kita sedang membuat disaster yang lebih besar lagi.
Bagaimana dengan orang yang terkena imbasnya? Bagaimana kita harus bersikap bila ada orang di lingkungan terdekat kita sedang suntuk? Malam ini yang saya lakukan adalah tidak memaksa teman saya bercerita. Saya hanya meyakinkan dia bahwa tak ada masalah yang tak dapat diatasi karena ia punya (seorang) teman untuk berbagi, dan saya adalah salah seorangnya. Saya lalu berkata saya siap jadi kuping, apakah ia mau berbagi, dan ketika ia bilang malas, saya biarkan saja. Saya merasa orang yang sedang suntuk seharusnya memang diberi waktu untuk bermain dan menikmati kesuntukannya.
Maka hari ini saya membuat berbagai catatan tentang suntuk :
- Seperti dicatat di atas, don't make any stupid rush decision or action. Biarkan saja suntuk berkutat di otak namun jangan melibatkan mulut dan gerakan apa pun bentuknya.
- Kalau sedang suntuk, jangan biarkan mempengaruhi atau bahkan "push away" orang-orang terdekat Anda.
- Begitu suntuk dan berpikir tak ada jalan keluar, saya mau ingat bahwa tak ada masalah yang tak selesai, tak peduli bagaimana akhir masalahnya dan bahwa waktu menyelesaikan segala perkara.
- Doa - doa - doa. Kalau dikatakan time will heal, pengalaman saya juga berkata prayers give strength and healing. Doa adalah cara curhat yang paling ampuh, karena curhatnya dengan Yang Di Atas, dan Yang Di Atas punya kuasa mengatur dan mengubah hidup kita.
- Kalau orang (lain) sedang suntuk, jangan memberikan nasihat,tapi katakan bahwa kita ada untuk dia dan siap menjadi a shoulder to cry on atau "kuping" yang baik. Kuping yang baik artinya hanya mendengar, tanpa berkomentar.
- Kalau memungkinkan, a hug is the best medicine.
- Juga jangan memaksa bercerita, everybody needs a me-space from time to time
Amit-amit, tapi kalau suatu saat saya sedang suntuk, semoga saya ingat pakem di atas.
Labels:
'lawrence tjandra',
suntuk
Tuesday, October 12, 2010
12 Oktober 2010 : Belajar Menghargai
Malam ini saya menghadiri sebuah undangan pameran lukisan yang sedianya akan dibuka oleh seorang pejabat negara. Pameran yang diadakan di Ballroom sebuah hotel berbintang tersebut mengumpulkan hasil lukisan dari 30 seniman baik yang masih hidup dan anumerta dari seluruh Indonesia dan hasil penjualannya akan disumbangkan untuk keperluan sosial. Undangan dicetak atas nama lembaga si pejabat dan tiba di meja kerja saya minggu lalu.
Saat waktu yang telah ditetapkan, tak ada satu pun undangan yang dibidik untuk mau beramal datang. Jangankan yang diundang, yang seyogyanya membuka saja tidak datang dan meminta anak buahnya menggantikan. Selebihnya, para pelukis dan kerabatnya yang tidak mendatangkan uang yang diharapkan. Dan saya, yang diundang karena kenalan lama lembaga yang menjadi tuan rumah. Maka, pameran di malam hujan rintik itu menjadi sangat sepi dan hampa. Makan malam pun berlimpah ruah. Sangat berbeda dengan ketika diadakan sebelumnya, di mana pejabat terdahulu datang dan acara sukses besar. Sekarang, sebagian besar kursi kosong, bahkan meja VVIP pun kosong. Jadilah saya diundang duduk di meja VVIP bersama pejabat yang ditugaskan membuka pameran dan ketua panitia nya.
Dalam hati, saya terenyuh. Adakah terlintas di benak pemimpin kita betapa besar dana yang sudah dikeluarkan, tenaga dan sumberdaya yang tercurah untuk acara ini? Mengapa ia tega begitu saja mengecewakan orang-orang yang sudah berusaha membuat acara ini berhasil? Mengapa ia tidak menghargai upaya panitia dan para pelukis yang berharap karya nya dapat didukung dengan acara seperti ini?
Saya bisa merasakan kesedihan dan hancurnya harapan serta semangat panitia dan para seniman yang hadir. Saya ikut merasakan bagaimana rasanya upaya yang sudah kita lakukan dengan susah payah, dana yang tidak sedikit sudah terbuang demi menyukseskan program sang pejabat, dilewatkan begitu saja, dan terasa benar tidak dihargai. Kalau Beliau berkilah Beliau menghargai dengan tetap berusaha mengirim wakilnya, dalam kasus ini, saya tidak bisa menerimanya dengan baik. Sebagai pejabat publik, mestinya Beliau tahu persis arti strategis kehadiran Beliau dibandingkan yang mewakili.
Karena bisa ikut merasakan kekecewaan penyelenggara, hari ini saya belajar salah satu karakter penting yang harus dimiliki seorang pimpinan : Bisa menghargai upaya sekecil apa pun dari orang lain yang sudah mengeluarkan tenaga dan sumberdayanya untuk mendukung program kita. Selain itu saya belajar, bahwa seorang pemimpin yang bijaksana tidak mementingkan dan mendahulukan kebutuhan pribadinya, melainkan mementingkan dan mendahulukan tugas dan perannya. Pemimpin yang bijaksana melayani. Pemimpin yang bijaksana mengayomi. Pemimpin yang bijaksana membimbing dan memberi arahan. Saya lalu terdiam dan mengoreksi. Kualitas ini selayaknya bukan hanya milik seorang pemimpin, tapi setiap individu yang bijak...
Saat waktu yang telah ditetapkan, tak ada satu pun undangan yang dibidik untuk mau beramal datang. Jangankan yang diundang, yang seyogyanya membuka saja tidak datang dan meminta anak buahnya menggantikan. Selebihnya, para pelukis dan kerabatnya yang tidak mendatangkan uang yang diharapkan. Dan saya, yang diundang karena kenalan lama lembaga yang menjadi tuan rumah. Maka, pameran di malam hujan rintik itu menjadi sangat sepi dan hampa. Makan malam pun berlimpah ruah. Sangat berbeda dengan ketika diadakan sebelumnya, di mana pejabat terdahulu datang dan acara sukses besar. Sekarang, sebagian besar kursi kosong, bahkan meja VVIP pun kosong. Jadilah saya diundang duduk di meja VVIP bersama pejabat yang ditugaskan membuka pameran dan ketua panitia nya.
Dalam hati, saya terenyuh. Adakah terlintas di benak pemimpin kita betapa besar dana yang sudah dikeluarkan, tenaga dan sumberdaya yang tercurah untuk acara ini? Mengapa ia tega begitu saja mengecewakan orang-orang yang sudah berusaha membuat acara ini berhasil? Mengapa ia tidak menghargai upaya panitia dan para pelukis yang berharap karya nya dapat didukung dengan acara seperti ini?
Saya bisa merasakan kesedihan dan hancurnya harapan serta semangat panitia dan para seniman yang hadir. Saya ikut merasakan bagaimana rasanya upaya yang sudah kita lakukan dengan susah payah, dana yang tidak sedikit sudah terbuang demi menyukseskan program sang pejabat, dilewatkan begitu saja, dan terasa benar tidak dihargai. Kalau Beliau berkilah Beliau menghargai dengan tetap berusaha mengirim wakilnya, dalam kasus ini, saya tidak bisa menerimanya dengan baik. Sebagai pejabat publik, mestinya Beliau tahu persis arti strategis kehadiran Beliau dibandingkan yang mewakili.
Karena bisa ikut merasakan kekecewaan penyelenggara, hari ini saya belajar salah satu karakter penting yang harus dimiliki seorang pimpinan : Bisa menghargai upaya sekecil apa pun dari orang lain yang sudah mengeluarkan tenaga dan sumberdayanya untuk mendukung program kita. Selain itu saya belajar, bahwa seorang pemimpin yang bijaksana tidak mementingkan dan mendahulukan kebutuhan pribadinya, melainkan mementingkan dan mendahulukan tugas dan perannya. Pemimpin yang bijaksana melayani. Pemimpin yang bijaksana mengayomi. Pemimpin yang bijaksana membimbing dan memberi arahan. Saya lalu terdiam dan mengoreksi. Kualitas ini selayaknya bukan hanya milik seorang pemimpin, tapi setiap individu yang bijak...
Labels:
'lawrence tjandra',
membimbing,
mengarahkan,
mengayomi,
menghargai
Monday, October 11, 2010
11 Oktober 2012 : Serapi-rapinya Membungkus Bangkai
Pagi-pagi tadi saya dikirimi sebuah berita mengenai produk mie instan asal Indonesia yang ditarik dari peredaran oleh Pemerintah Taiwan karena ditengarai mengandung dua bahan pengawet Hydroxy Methyl Benzoate pada mienya dan pengawet Benzoic Acid pada bumbunya. Dua bahan ini tidak lolos dalam klarifikasi barang impor.
Awalnya saya membalas kiriman teman itu dengan mengatakan, "Makanya jangan keseringan makan mie instan. Nggak sehat, isinya bahan kimia semua tuh!" Tapi kemudian saya mengikuti berita lebih lanjut dan menjadi terkejut karena beberapa jam kemudian pihak produsen bereaksi dengan menyatakan mie instan yang di ekspor ke Taiwan telah sepenuhnya memenuhi peraturan Departemen Kesehatan dan Biro Keamanan Taiwan. Sang produsen berkeyakinan mie instan yang dirazia pihak Taiwan bukan mie instan yang ditujukan pasar Taiwan.
Saya benar-benar terperanjat dan menjadi gatal, lalu membuat komentar di situs berita : Apa maksudnya dengan statement "bukan mie instan yang ditujukan pasar Taiwan"? Jadi ditujukan untuk siapa? Apakah yang di Indonesia berarti mengandung ke dua bahan racun tersebut? Benar-benar menakutkan dan sangat tidak bertanggung jawab.
Kalau dari segi komunikasi, maka si produsen sudah melakukan blunder luar biasa terhadap reputasi perusahaannya dengan mengeluarkan pernyataan super bodoh mengenai mie yang tidak ditujukan untuk pasar Taiwan. Secara tidak langsung mereka mengakui bahwa mereka secara sadar dan sengaja membuat berbagai tipe mie instan untuk berbagai pasar, dan untuk negara tujuan tertentu, mereka membubuhkan kedua bahan beracun itu.
Kejadian ini mengingatkan cerita di mana seorang teman saya mengeluh di blackmail seorang yang tak dikenal. Oknum misterius itu membuat akun facebook atas nama teman saya lengkap dengan foto teman saya dan memuat profil yang sangat mendeskreditkan reputasi baiknya. Untung saja, apa yang ditulisnya tidak akurat sehingga kebenaran tulisan profil itu dapat mudah disanggah dan dipatahkan. Tetap saja, teman saya merasa desperate atas kejailan si oknum karena dari waktu ke waktu menerima pesan email tidak senonoh dan teman dan kerabatnya mengeluhkan menemukan akun facebook yang mengagetkan itu. Ia telah meminta kerabat dan temannya untuk memblokir, tapi tetap tidak bisa. Terakhir, ia menerima lagi keluhan dari seorang saudaranya, dan karena penasaran ia membuka akun palsunya itu. Karena muak dan marah, ia buru-buru ingin menghapus, namun tiba-tiba ia tercekat melihat foto yang terpampang di sana. Ia heran dimana gambar itu diambil karena ia sendiri tak memilikinya. Lambat laun, ingatannya kembali : Foto itu diambil ketika sedang berada di acara makan malam ulang tahun sahabat-sahabat terdekat, dan seorang sahabat terdekat mengatakan fotonya pakai kamera telepon genggamnya saja, dan berjanji akan mengirimkan lewat bluetooth tapi tak pernah terjadi. Justru muncul di akun busuk itu. Tak ada seorang pun yang memiliki foto itu kecuali sahabat terdekatnya. Misteri pun terkuak. Siapa sangka pelakunya sahabat susah senangnya sendiri!
Hari ini saya dibukakan mata bahwa sesuatu yang niatnya buruk akan terkuak dengan sendirinya oleh sang pelaku, serapi apa pun ia merencanakan kelakuan jahatnya. Jadi,serapi apa pun kejahatan dibungkus, cepat atau lambat akan terkuak pula. Serapi-rapinya rencana jahat, pasti akan ada celah dan keteledoran yang membuatnya terungkap. Dan keteledoran itu biasanya dibuat sendiri oleh sang pelaku.
Karena dari itu, sekali lagi saya hari ini mendapat pesan untuk hidup jujur, lurus dan tulus, karena pada akhirnya yang tak bersalah, yang lurus dan tulus akan menang...
Awalnya saya membalas kiriman teman itu dengan mengatakan, "Makanya jangan keseringan makan mie instan. Nggak sehat, isinya bahan kimia semua tuh!" Tapi kemudian saya mengikuti berita lebih lanjut dan menjadi terkejut karena beberapa jam kemudian pihak produsen bereaksi dengan menyatakan mie instan yang di ekspor ke Taiwan telah sepenuhnya memenuhi peraturan Departemen Kesehatan dan Biro Keamanan Taiwan. Sang produsen berkeyakinan mie instan yang dirazia pihak Taiwan bukan mie instan yang ditujukan pasar Taiwan.
Saya benar-benar terperanjat dan menjadi gatal, lalu membuat komentar di situs berita : Apa maksudnya dengan statement "bukan mie instan yang ditujukan pasar Taiwan"? Jadi ditujukan untuk siapa? Apakah yang di Indonesia berarti mengandung ke dua bahan racun tersebut? Benar-benar menakutkan dan sangat tidak bertanggung jawab.
Kalau dari segi komunikasi, maka si produsen sudah melakukan blunder luar biasa terhadap reputasi perusahaannya dengan mengeluarkan pernyataan super bodoh mengenai mie yang tidak ditujukan untuk pasar Taiwan. Secara tidak langsung mereka mengakui bahwa mereka secara sadar dan sengaja membuat berbagai tipe mie instan untuk berbagai pasar, dan untuk negara tujuan tertentu, mereka membubuhkan kedua bahan beracun itu.
Kejadian ini mengingatkan cerita di mana seorang teman saya mengeluh di blackmail seorang yang tak dikenal. Oknum misterius itu membuat akun facebook atas nama teman saya lengkap dengan foto teman saya dan memuat profil yang sangat mendeskreditkan reputasi baiknya. Untung saja, apa yang ditulisnya tidak akurat sehingga kebenaran tulisan profil itu dapat mudah disanggah dan dipatahkan. Tetap saja, teman saya merasa desperate atas kejailan si oknum karena dari waktu ke waktu menerima pesan email tidak senonoh dan teman dan kerabatnya mengeluhkan menemukan akun facebook yang mengagetkan itu. Ia telah meminta kerabat dan temannya untuk memblokir, tapi tetap tidak bisa. Terakhir, ia menerima lagi keluhan dari seorang saudaranya, dan karena penasaran ia membuka akun palsunya itu. Karena muak dan marah, ia buru-buru ingin menghapus, namun tiba-tiba ia tercekat melihat foto yang terpampang di sana. Ia heran dimana gambar itu diambil karena ia sendiri tak memilikinya. Lambat laun, ingatannya kembali : Foto itu diambil ketika sedang berada di acara makan malam ulang tahun sahabat-sahabat terdekat, dan seorang sahabat terdekat mengatakan fotonya pakai kamera telepon genggamnya saja, dan berjanji akan mengirimkan lewat bluetooth tapi tak pernah terjadi. Justru muncul di akun busuk itu. Tak ada seorang pun yang memiliki foto itu kecuali sahabat terdekatnya. Misteri pun terkuak. Siapa sangka pelakunya sahabat susah senangnya sendiri!
Hari ini saya dibukakan mata bahwa sesuatu yang niatnya buruk akan terkuak dengan sendirinya oleh sang pelaku, serapi apa pun ia merencanakan kelakuan jahatnya. Jadi,serapi apa pun kejahatan dibungkus, cepat atau lambat akan terkuak pula. Serapi-rapinya rencana jahat, pasti akan ada celah dan keteledoran yang membuatnya terungkap. Dan keteledoran itu biasanya dibuat sendiri oleh sang pelaku.
Karena dari itu, sekali lagi saya hari ini mendapat pesan untuk hidup jujur, lurus dan tulus, karena pada akhirnya yang tak bersalah, yang lurus dan tulus akan menang...
Sunday, October 10, 2010
10 Oktober 2010 : Kremasi Tiga Agama
Siang ini saya menghadiri upacara kremasi yang cukup unik. Almarhum beragama Kristen dan karenanya upacaranya dipimpin seorang pendeta, isterinya beragama Islam sedang keluarga almarhum sebagian besar beragama Buddha.
Baru kali ini saya melihat ketika upacara pemberangkatan jenazah hingga saat akan dilakukan kremasi di krematorium terjadi berbagai aktivitas dalam sebuah kesempatan. Yang kristen dalam jumlah sedikit ditambah ummat gereja bersama isteri dan ibu sang isteri ikut ibadah, sedang orang tua almarhum dan sebagian besar keluarganya duduk di kejauhan menanti upacaranya selesai, sambil makan dan minum atau mengobrol sendiri, seolah yang sedang didoakan bukan keluarganya. Tentu tidak semua demikian. Ada juga mereka yang berpikiran bijak dan terbuka berdiri di sisi saya.
Saya memaklumi dan lumrah terjadi bahwa seorang dari agama yang berbeda tidak mengikuti upacara agama lain, namun yang mengusik hati saya siang tadi adalah mengapa keluarganya hanya memandang dari segi tata cara keagamaannya? Mengapa mereka tidak melihat bahwa dengan cara apa pun, yang sedang terjadi adalah sekelompok orang sedang mengantar anggota keluarganya dalam doa? Apa salahnya ikut duduk di sekitar peti demi mendoakan dan mendampingi jenazah almarhum untuk terakhir kalinya? Doanya kan tidak harus mengikuti apa yang dituturkan si pendeta? Kita bisa ikut doa dalam hati dengan kepercayaan dan cara kita masing-masing namun tetap menghormati tata ibadah yang sedang berjalan? Bukankah dengan tidak mengikuti upacara nya kita tidak menghormati pilihan sang lelayu? Saya sendiri bukan dari gereja atau pun aliran agama yang sedang memimpin upacara, tapi saya tetap di sana dan ikut berdoa sebagai penghormatan terakhir bagi almarhum meskipun saya secara pribadi tidak mengenalnya, karena yang pergi adalah sepupu sahabat saya yang saya ceritakan selama dua hari ini.
Hari ini saya ditunjukkan betapa kita ini sering terlalu sibuk dan terlalu memusingkan kulitnya dan bukan tertuju pada pokok perkaranya. Bahwa bukan soal agama nya yang perlu menjadi perhatian, tetapi penghormatan kepada almarhum yang seharusnya menjadi fokus. Saya jadi teringat kembali film tentang kisah Nabi Muhammad yang menceritakan ketika sang paman ingin menukar keponakannya dengan upeti pada seorang raja Kristen yang telah membantu menampung Nabi muda. Sang raja menolak dan berkata, "Saya telah mendengar apa yang diajarkan keponakan Anda dan berkesimpulan bahwa ajaranNya bak melihat sinar yang sama dari jendela berbeda."
Hari ini saya diajari untuk melihat segala sesuatu tidak dari kulitnya, namun dari pokok permasalahannya...
Baru kali ini saya melihat ketika upacara pemberangkatan jenazah hingga saat akan dilakukan kremasi di krematorium terjadi berbagai aktivitas dalam sebuah kesempatan. Yang kristen dalam jumlah sedikit ditambah ummat gereja bersama isteri dan ibu sang isteri ikut ibadah, sedang orang tua almarhum dan sebagian besar keluarganya duduk di kejauhan menanti upacaranya selesai, sambil makan dan minum atau mengobrol sendiri, seolah yang sedang didoakan bukan keluarganya. Tentu tidak semua demikian. Ada juga mereka yang berpikiran bijak dan terbuka berdiri di sisi saya.
Saya memaklumi dan lumrah terjadi bahwa seorang dari agama yang berbeda tidak mengikuti upacara agama lain, namun yang mengusik hati saya siang tadi adalah mengapa keluarganya hanya memandang dari segi tata cara keagamaannya? Mengapa mereka tidak melihat bahwa dengan cara apa pun, yang sedang terjadi adalah sekelompok orang sedang mengantar anggota keluarganya dalam doa? Apa salahnya ikut duduk di sekitar peti demi mendoakan dan mendampingi jenazah almarhum untuk terakhir kalinya? Doanya kan tidak harus mengikuti apa yang dituturkan si pendeta? Kita bisa ikut doa dalam hati dengan kepercayaan dan cara kita masing-masing namun tetap menghormati tata ibadah yang sedang berjalan? Bukankah dengan tidak mengikuti upacara nya kita tidak menghormati pilihan sang lelayu? Saya sendiri bukan dari gereja atau pun aliran agama yang sedang memimpin upacara, tapi saya tetap di sana dan ikut berdoa sebagai penghormatan terakhir bagi almarhum meskipun saya secara pribadi tidak mengenalnya, karena yang pergi adalah sepupu sahabat saya yang saya ceritakan selama dua hari ini.
Hari ini saya ditunjukkan betapa kita ini sering terlalu sibuk dan terlalu memusingkan kulitnya dan bukan tertuju pada pokok perkaranya. Bahwa bukan soal agama nya yang perlu menjadi perhatian, tetapi penghormatan kepada almarhum yang seharusnya menjadi fokus. Saya jadi teringat kembali film tentang kisah Nabi Muhammad yang menceritakan ketika sang paman ingin menukar keponakannya dengan upeti pada seorang raja Kristen yang telah membantu menampung Nabi muda. Sang raja menolak dan berkata, "Saya telah mendengar apa yang diajarkan keponakan Anda dan berkesimpulan bahwa ajaranNya bak melihat sinar yang sama dari jendela berbeda."
Hari ini saya diajari untuk melihat segala sesuatu tidak dari kulitnya, namun dari pokok permasalahannya...
9 Oktober 2010 : Akrab dengan Orang yang Tak Disukai
Saya punya teman yang benar-benar pusing dengan kelakuan kakak iparnya. Dulu mantan Kakak iparnya adalah penjudi, dan sampai saat ini sudah menghabiskan hampir semua harta kakak perempuannya yang selama ini sudah bekerja banting tulang mengumpulkan uang. Sebenarnya, kalau tidak jatuh di lahan judi, hidup mereka sudah jauh lebih dari cukup, bahkan bisa dikatakan berkelimpahan. Dengan kondisi yang memburuk, mereka lalu bercerai. Kini sang kakak menikah lagi, namun kondisinya tidak lebih baik. Tampaknya sang kakak selalu "salah pilih". Suami barunya meski tampan tidak memiliki pekerjaan sedang keuangan yang memprihatinkan apa lagi sang kakak saat ini sedang hamil anak kembar dan dengan perut yang semakin membuncit, sebentar lagi keluarga sang kakak akan bertambah menjadi 6 orang : suami, isteri, dua anak dari pernikahan terdahulu, dan dua orang bayi. Anak pertamanya sudah diambil alih oleh kakek neneknya, anak kedua dititipkan di suami pertama, tapi tetap saja, teman saya menjadi terbebani sebuah keluarga yang semestinya mandiri saat mereka memutuskan untuk berumah tangga.
Tak heran kalau teman saya sebalnya bukan main dengan sang kakak ipar yang lagaknya kaya tapi hidupnya bergantung di ketiak isterinya. Ia terang-terangan mengatakan pada kakaknya bahwa ia tidak menyukai suaminya. Bahkan di acara makan malam ulang tahunnya ia terang-terangan berkata pada sang kakak kalau ia mengundang kakaknya, tapi tidak sang suami.
Mendengar itu, saya berkata kalau saya tidak bisa seperti dia. Bagaimana pun juga suami dan kakaknya itu adalah satu paket. Kalau saya bertindak seperti dia, bisa-bisa hubungan saya dengan kakak akan memudar dan terlepas. Saya mungkin akan semarah dan setidaksuka teman saya pada si kakak ipar, namun saya pun harus menghargai pilihan si kakak. Saya pastinya tidak akan dekat-dekat, tapi juga tidak akan berakrab-akrab. Tapi kalau kasusnya seperti ulang tahun, ya saya akan mengundang mereka lah sepaket itu. Saya tanya pada teman saya, kalau dia jadi kakaknya, memang dia mau datang kalau dia nya diundang tapi pasangannya tak diundang? Kalau saya jadi dia tentu tersinggung dan akan menolak datang dan bendera perang akan segera ditabuhkan.
Pada akhirnya saya malam ini ditunjukkan bahwa silaturahmi keluarga itu penting namun bukan berarti kita harus campur tangan dalam masalah keluarga. Karena kalau masalah keluarga saja sudah bikin jarak, lalu silaturahmi juga dihindari, maka sirna sudah tali kekeluargaan yang sebelumnya terjalin erat. Yang disebelin kan bukan kakaknya, tapi sang suami, kenapa kakaknya harus kena dampaknya? Tidak fair bagi sang kakak dan bagi hubungan keluarga.
Semoga teman saya mengerti. Seperti yang dikatakan Lilo dan film kartun Disney "Lilo and Stich" dalam bahasa Hawaii : Ohana. Keluarga. Tak ada satu pun yang meninggalkan yang lain.
Tak heran kalau teman saya sebalnya bukan main dengan sang kakak ipar yang lagaknya kaya tapi hidupnya bergantung di ketiak isterinya. Ia terang-terangan mengatakan pada kakaknya bahwa ia tidak menyukai suaminya. Bahkan di acara makan malam ulang tahunnya ia terang-terangan berkata pada sang kakak kalau ia mengundang kakaknya, tapi tidak sang suami.
Mendengar itu, saya berkata kalau saya tidak bisa seperti dia. Bagaimana pun juga suami dan kakaknya itu adalah satu paket. Kalau saya bertindak seperti dia, bisa-bisa hubungan saya dengan kakak akan memudar dan terlepas. Saya mungkin akan semarah dan setidaksuka teman saya pada si kakak ipar, namun saya pun harus menghargai pilihan si kakak. Saya pastinya tidak akan dekat-dekat, tapi juga tidak akan berakrab-akrab. Tapi kalau kasusnya seperti ulang tahun, ya saya akan mengundang mereka lah sepaket itu. Saya tanya pada teman saya, kalau dia jadi kakaknya, memang dia mau datang kalau dia nya diundang tapi pasangannya tak diundang? Kalau saya jadi dia tentu tersinggung dan akan menolak datang dan bendera perang akan segera ditabuhkan.
Pada akhirnya saya malam ini ditunjukkan bahwa silaturahmi keluarga itu penting namun bukan berarti kita harus campur tangan dalam masalah keluarga. Karena kalau masalah keluarga saja sudah bikin jarak, lalu silaturahmi juga dihindari, maka sirna sudah tali kekeluargaan yang sebelumnya terjalin erat. Yang disebelin kan bukan kakaknya, tapi sang suami, kenapa kakaknya harus kena dampaknya? Tidak fair bagi sang kakak dan bagi hubungan keluarga.
Semoga teman saya mengerti. Seperti yang dikatakan Lilo dan film kartun Disney "Lilo and Stich" dalam bahasa Hawaii : Ohana. Keluarga. Tak ada satu pun yang meninggalkan yang lain.
Labels:
'lawrence tjandra',
ohana
Saturday, October 09, 2010
8 Oktober 2010 : Kesempatan Ke dua
Kemarin saya sudah mengaku bahwa saya melakukan kesalahan besar dan kehilangan kesempatan menolong sebuah keluarga yang tak punya dana menyemayamkan puteranya yang meninggal karena sirosis di usia ke 29. Dan keluarga itu adalah sanak teman baik saya.
Saya sudah membuat teman saya kecewa, tapi ia dengan bijaksana mengatakan bahwa saya tidak mengecewakannya dan ia menganggap ini sebagai cobaan. Di penghujung hari, kami sudah berdamai kembali dan saya merasa lega telah mengakui kesalahan saya, meminta maaf dan sudah berbaikan lagi. Selesaikah kasusnya sampai di sana?
Ternyata tidak. Meskipun sudah memaafkan, saya yakin ia masih kecewa dan dongkol pada saya. Karena itu, upaya saya berbaik-baik dengannya pagi ini disambut dengan jawaban singkat-singkat yang tidak biasanya. Selama ini dia tukang ngoceh dan bercerita, tapi pagi ini bbm nya cuma berisi satu kata-satu kata saja. Saya langsung menangkap ada yang tidak beres dan merasa bahwa kasusnya belum benar-benar ditutup dan direlakan olehnya. Saya kemudian curhat padanya, menyatakan apa yang saya rasakan : merasa ada yang mengganjal dan kalau ia masih ada yang mengganjal katakan saja, daripada suasana menjadi dingin seperti ini, saya tak tahan dan jadi kepikiran di tengah rentetan meeting. Kami lalu berjanji bertemu selepas kantor untuk bertemu. Saya minta diantar melayat tapi teman saya bilang, "let's go somewhere else, refresh." Namun ketika kami bertemu, dia bilang mari ke rumah duka. Plong hati saya.
Dalam perjalanan saya menanyakan rencana pemakamannya. Ternyata keluarganya memilih dikremasi, dan karena uangnya kurang, mereka memilih untuk kremasi dengan kayu bakar yang memakan waktu tiga harian. Saya lalu menawarkan untuk menolong agar bisa dilakukan dengan oven dan tawaran saya diterima keluarga.
Hari ini saya belajar, kalau saya sungguh-sungguh menyesali dan belajar dari kesalahan, saya akan mendapat kesempatan ke dua yang lebih baik. Terima kasih, Tuhan.
Saya sudah membuat teman saya kecewa, tapi ia dengan bijaksana mengatakan bahwa saya tidak mengecewakannya dan ia menganggap ini sebagai cobaan. Di penghujung hari, kami sudah berdamai kembali dan saya merasa lega telah mengakui kesalahan saya, meminta maaf dan sudah berbaikan lagi. Selesaikah kasusnya sampai di sana?
Ternyata tidak. Meskipun sudah memaafkan, saya yakin ia masih kecewa dan dongkol pada saya. Karena itu, upaya saya berbaik-baik dengannya pagi ini disambut dengan jawaban singkat-singkat yang tidak biasanya. Selama ini dia tukang ngoceh dan bercerita, tapi pagi ini bbm nya cuma berisi satu kata-satu kata saja. Saya langsung menangkap ada yang tidak beres dan merasa bahwa kasusnya belum benar-benar ditutup dan direlakan olehnya. Saya kemudian curhat padanya, menyatakan apa yang saya rasakan : merasa ada yang mengganjal dan kalau ia masih ada yang mengganjal katakan saja, daripada suasana menjadi dingin seperti ini, saya tak tahan dan jadi kepikiran di tengah rentetan meeting. Kami lalu berjanji bertemu selepas kantor untuk bertemu. Saya minta diantar melayat tapi teman saya bilang, "let's go somewhere else, refresh." Namun ketika kami bertemu, dia bilang mari ke rumah duka. Plong hati saya.
Dalam perjalanan saya menanyakan rencana pemakamannya. Ternyata keluarganya memilih dikremasi, dan karena uangnya kurang, mereka memilih untuk kremasi dengan kayu bakar yang memakan waktu tiga harian. Saya lalu menawarkan untuk menolong agar bisa dilakukan dengan oven dan tawaran saya diterima keluarga.
Hari ini saya belajar, kalau saya sungguh-sungguh menyesali dan belajar dari kesalahan, saya akan mendapat kesempatan ke dua yang lebih baik. Terima kasih, Tuhan.
Labels:
'kesempatan ke dua',
'lawrence tjandra'
Thursday, October 07, 2010
7 Oktober 2010 : Hati yang Mau Menolong
We all make mistakes. The wise, admits & learns. The insecure, denies. The foolish, repeats.
Hari ini saya membuat kesalahan besar, mengakui dan belajar dari ketidakmengertian saya.
Semua berawal saat saya sedang meeting dan menerima telepon dari seorang sahabat yang mengatakan untuk urusan sepupunya yang meninggal sudah beres semua namun masih butuh sejumlah uang dan menanyakan apakah saya bersedia menyumbang. Saya yang berada di tengah pertemuan bisnis, merasa penjelasan sahabat saya kurang lengkap dan menyisakan berbagai pertanyaan sehingga menjawab dengan nada enggan yang jelas, ya okee... Memang sahabat saya yang seyogyanya akan bertemu makan malam bersama dan nonton film setelah meeting saya ini tadi siang sempat menelpon singkat mengatakan sepupunya meninggal karena sakit mendadak dan ia harus mengurus mengeluarkan jenazah karena kalau tidak dibayar jenazah tak bisa dikeluarkan dari rumah sakit, tapi selebihnya tak ada penjelasan lagi karena terburu-buru.
Mendengar nada enggan, sahabat saya segera menarik diri dan bilang, terima kasih, cari bantuan lain saja. Lalu telepon ditutup. Saya menjadi terpukul berat, menyadari kekeliruan saya yang sangat fatal. Ia adalah sahabat saya, mengapa saya butuh penjelasan ketika ia membutuhkan bantuan? Seharusnya saya mempercayainya sama seperti saya mempercayainya selama ini.
Malam harinya, saya bertemu dengannya, khusus untuk meminta maaf atas kelakuan saya yang tidak pantas itu. Teman saya dengan tulus tersenyum dan menceritakan kronologis kejadiannya.
Ia sendiri tengah rapat ketika ditelepon keluarganya bahwa sang sepupu meninggal. Ternyata sepupunya yang baru berusia 29 tahun itu meninggal karena sirosis yang tak diobati karena tidak ada biaya. Ia muntah dan buang air darah selama 2 minggu dan dalam kesakitan yang luar biasa namun tidak ingin membebani sanak keluarganya yang lain karena ia tahu kondisi sanaknya sama menyedihkannya. Ia anak ke 3 dari 4 bersaudara yang semuanya tidak ada yang tamat sekolah. Ayahnya sedang terkena kanker paru-paru dan ibunya berjualan kue. Isterinya seorang pembantu cuci pakaian. Dari keluarga terdekat, hanya teman saya yang memiliki pekerjaan yang lumayan baik. Maka teman saya itu menguras isi atm nya untuk mengeluarkan jenazah dan memanggil ambulans. Jenazah terpaksa disemayamkan di rumah duka karena rumahnya terlalu sempit dan berada di tengah pasar. Untungnya keluarga mendapat sumbangan ruang gratis di rumah duka, namun tidak menghilangkan biaya peti jenazah dan jasa kremasi. Untuk menebus peti jenazah itulah teman saya menelpon. Sayangnya, saya terlalu sibuk untuk mencari penjelasan yang bisa diterima agar permintaan itu bisa lolos kriteria patut dibantu. Mungkin ini juga karena kebiasaan di pekerjaan, apa-apa harus ada proposalnya untuk mendapat persetujuan dan lampu hijau.
Tapi gara-gara itulah saya kehilangan kesempatan membantu orang yang sedang membutuhkan. Teman saya berdoa dan dengan segera doanya dijawab. Seorang tante menelponnya dan mengatakan bahwa ia mendengar bahwa kerabatnya meninggal dan butuh bantuan biaya dan ia membawa seorang hamba Tuhan yang bersedia membantu kekurangan dana. Sang hamba Tuhan itu juga seorang tukang kue yang pernah jatuh usahanya dan mengalami penyakit yang tersembuhkan. Sejak saat itu ia membantu orang-orang kekurangan dan mendanai orang-orang meninggal yang tak punya uang untuk menyemayamkan dengan layak. Ia berkata, "Hidup saya ini penuh kemurahan Tuhan dan sudah selayaknya saya membagikan kemurahan Tuhan ini kepada yang membutuhkan." Saat itu juga, masalah dana peti jenazah dan kremasi teratasi. Ketika saya menanyai teman saya apakah sekarang kas nya minus, ia menjawab, "saya tidak kehilangan uang, uang saya saya berikan kepada Tuhan. Ia tahu apa yang saya butuhkan dan saya tak akan kekurangan hanya karena tidak ada uang." Hati saya tersayat.
Dengan penjelasan yang sebegini panjang lebar dan mengharukan, Anda tentu pasti setuju untuk rela membantu. Tapi hal itu tak terjadi, karena kesempatan yang diberikan sudah lewat, gara-gara saya sibuk menuntut penjelasan yang lebih rinci.
Saya benar-benar malu dan benar-benar menyesal. Teman macam apa saya ini yang telah mengecewakan seorang sahabat karena kebebalan saya! Begini ya kelakuan saya yang mengaku belajar setiap hari dan beribadah namun kenyataannya tidak benar-benar belajar dan mengimplementasikan apa yang dipelajarinya. Tapi lagi-lagi teman saya berkata, "Saya tidak kecewa sama kamu. Saya menganggap ini sebuah cobaan."
Saya terdiam dan dengan suara serak dan mata membasah saya berkata, "Saya minta maaf. Saya minta maaf atas sikap saya, saya minta maaf karena ketidakpekaan saya, saya minta maaf karena tidak mempercayai kamu, dan saya minta maaf telah mengecewakan kamu. Namun, hari ini saya mendapat pelajaran luar biasa : Tak perlu penjelasan untuk membantu orang yang membutuhkan, yang dibutuhkan hanyalah hati yang tulus dan mau menolong. Terima kasih saya diberi kesempatan melakukan kesalahan ini, dan terima kasih saya diberi kesempatan untuk belajar."
Semoga saya beralih dari the foolish yang tidak belajar dari kesalahannya menjadi the wise yang tidak hanya belajar namun menerapkan apa yang dipelajarinya...
Hari ini saya membuat kesalahan besar, mengakui dan belajar dari ketidakmengertian saya.
Semua berawal saat saya sedang meeting dan menerima telepon dari seorang sahabat yang mengatakan untuk urusan sepupunya yang meninggal sudah beres semua namun masih butuh sejumlah uang dan menanyakan apakah saya bersedia menyumbang. Saya yang berada di tengah pertemuan bisnis, merasa penjelasan sahabat saya kurang lengkap dan menyisakan berbagai pertanyaan sehingga menjawab dengan nada enggan yang jelas, ya okee... Memang sahabat saya yang seyogyanya akan bertemu makan malam bersama dan nonton film setelah meeting saya ini tadi siang sempat menelpon singkat mengatakan sepupunya meninggal karena sakit mendadak dan ia harus mengurus mengeluarkan jenazah karena kalau tidak dibayar jenazah tak bisa dikeluarkan dari rumah sakit, tapi selebihnya tak ada penjelasan lagi karena terburu-buru.
Mendengar nada enggan, sahabat saya segera menarik diri dan bilang, terima kasih, cari bantuan lain saja. Lalu telepon ditutup. Saya menjadi terpukul berat, menyadari kekeliruan saya yang sangat fatal. Ia adalah sahabat saya, mengapa saya butuh penjelasan ketika ia membutuhkan bantuan? Seharusnya saya mempercayainya sama seperti saya mempercayainya selama ini.
Malam harinya, saya bertemu dengannya, khusus untuk meminta maaf atas kelakuan saya yang tidak pantas itu. Teman saya dengan tulus tersenyum dan menceritakan kronologis kejadiannya.
Ia sendiri tengah rapat ketika ditelepon keluarganya bahwa sang sepupu meninggal. Ternyata sepupunya yang baru berusia 29 tahun itu meninggal karena sirosis yang tak diobati karena tidak ada biaya. Ia muntah dan buang air darah selama 2 minggu dan dalam kesakitan yang luar biasa namun tidak ingin membebani sanak keluarganya yang lain karena ia tahu kondisi sanaknya sama menyedihkannya. Ia anak ke 3 dari 4 bersaudara yang semuanya tidak ada yang tamat sekolah. Ayahnya sedang terkena kanker paru-paru dan ibunya berjualan kue. Isterinya seorang pembantu cuci pakaian. Dari keluarga terdekat, hanya teman saya yang memiliki pekerjaan yang lumayan baik. Maka teman saya itu menguras isi atm nya untuk mengeluarkan jenazah dan memanggil ambulans. Jenazah terpaksa disemayamkan di rumah duka karena rumahnya terlalu sempit dan berada di tengah pasar. Untungnya keluarga mendapat sumbangan ruang gratis di rumah duka, namun tidak menghilangkan biaya peti jenazah dan jasa kremasi. Untuk menebus peti jenazah itulah teman saya menelpon. Sayangnya, saya terlalu sibuk untuk mencari penjelasan yang bisa diterima agar permintaan itu bisa lolos kriteria patut dibantu. Mungkin ini juga karena kebiasaan di pekerjaan, apa-apa harus ada proposalnya untuk mendapat persetujuan dan lampu hijau.
Tapi gara-gara itulah saya kehilangan kesempatan membantu orang yang sedang membutuhkan. Teman saya berdoa dan dengan segera doanya dijawab. Seorang tante menelponnya dan mengatakan bahwa ia mendengar bahwa kerabatnya meninggal dan butuh bantuan biaya dan ia membawa seorang hamba Tuhan yang bersedia membantu kekurangan dana. Sang hamba Tuhan itu juga seorang tukang kue yang pernah jatuh usahanya dan mengalami penyakit yang tersembuhkan. Sejak saat itu ia membantu orang-orang kekurangan dan mendanai orang-orang meninggal yang tak punya uang untuk menyemayamkan dengan layak. Ia berkata, "Hidup saya ini penuh kemurahan Tuhan dan sudah selayaknya saya membagikan kemurahan Tuhan ini kepada yang membutuhkan." Saat itu juga, masalah dana peti jenazah dan kremasi teratasi. Ketika saya menanyai teman saya apakah sekarang kas nya minus, ia menjawab, "saya tidak kehilangan uang, uang saya saya berikan kepada Tuhan. Ia tahu apa yang saya butuhkan dan saya tak akan kekurangan hanya karena tidak ada uang." Hati saya tersayat.
Dengan penjelasan yang sebegini panjang lebar dan mengharukan, Anda tentu pasti setuju untuk rela membantu. Tapi hal itu tak terjadi, karena kesempatan yang diberikan sudah lewat, gara-gara saya sibuk menuntut penjelasan yang lebih rinci.
Saya benar-benar malu dan benar-benar menyesal. Teman macam apa saya ini yang telah mengecewakan seorang sahabat karena kebebalan saya! Begini ya kelakuan saya yang mengaku belajar setiap hari dan beribadah namun kenyataannya tidak benar-benar belajar dan mengimplementasikan apa yang dipelajarinya. Tapi lagi-lagi teman saya berkata, "Saya tidak kecewa sama kamu. Saya menganggap ini sebuah cobaan."
Saya terdiam dan dengan suara serak dan mata membasah saya berkata, "Saya minta maaf. Saya minta maaf atas sikap saya, saya minta maaf karena ketidakpekaan saya, saya minta maaf karena tidak mempercayai kamu, dan saya minta maaf telah mengecewakan kamu. Namun, hari ini saya mendapat pelajaran luar biasa : Tak perlu penjelasan untuk membantu orang yang membutuhkan, yang dibutuhkan hanyalah hati yang tulus dan mau menolong. Terima kasih saya diberi kesempatan melakukan kesalahan ini, dan terima kasih saya diberi kesempatan untuk belajar."
Semoga saya beralih dari the foolish yang tidak belajar dari kesalahannya menjadi the wise yang tidak hanya belajar namun menerapkan apa yang dipelajarinya...
Labels:
'lawrence tjandra',
belajar
Wednesday, October 06, 2010
6 Oktober 2010 : Saya Salah Apa Ya?
Sebuah serial komedi Amerika tadi pagi menanyangkan kejadian yang menarik. Sang suami bertandang ke rumah orang tuanya dan sang ibu menangkap ada yang tidak beres dalam rumah tangga anaknya. Setelah dikorek-korek, sang anak kemudian bercerita tentang ketidaknyamanannya di rumah.
Masalahnya sepele. Soal pembuka kaleng. Diceritakan sang pria yang biasa ceria pulang ke rumah dan dengan hati riang menyapa anak dan isterinya. Isterina kelihatan kecapean dan meladeni sang suami dengan ogah-ogahan dan cenderung uring-uringan. Merasa lapar dan sang isteri belum sempat memasak, sang suami berniat menyiapkan makan malamnya sendiri. Ia lalu melongok isi lemari makanan dan mendapatkan sebuah kaleng tuna, jadi ia berencana membuat sandwich tuna. Ia kemudian bertanya dimana pembuka kaleng disimpan. Sang isteri menjawab di laci. Laci mana? Laci dapur. Setelah mengaduk isi laci, sang suami menemukan sebuah pembuka kaleng baru. Sang isteri menjelaskan bahwa pembuka kaleng yang baru ini lebih baik karena tidak meninggalkan bekas tajam di sobekan kaleng yang dibuka. Karena belum biasa, akhirnya tumpahlah air tuna dari dalam kaleng. Dengan tidak sabar sang isteri memberi garpu bekas untuk menahan isi tuna dalam kaleng. Berniat membersihkan, sang suami membawa kaleng beserta pembukanya ke wastafel. Sialnya, kalengnya terbalik dan tuna nya tumpah. Sang suami lalu berkata, "Aku nggak keberatan makan tuna di atas roti, tapi aku nggak kebayang makan tuna dari wastafel." Sang isteri lalu naik pitam atas komentar yang sok melucu itu. "I know you must have thought it's because of the stupid opener! But I'm not stupid!" Lalu dengan nada marah sang isteri pergi meninggalkannya melongo di dapur. Sang suami lalu bilang, "Saya salah ngomong apa sih?"
Tapi itu versi suami. Versi isterinya lain lagi. Ketika bercerita pada kakak iparnya, ia sambil tersedu mengatakan bahwa suaminya yang sejak awal sudah uring-uringan dan ketika dibantu sang suami sudah sejak awal tidak berkenan.
Saya seperti ditusuk. Kejadian yang ditampilkan ini sering saya alami. Rasanya apa yang saya lakukan selaluuuu saja salah, tak ada benarnya. Sabar salah, bahkan diartikan sinis. Marah-marah, lebih salah lagi. Apa pun tindakan saya, rasanya tidak pernah benar. Tapi setelah dengan dingin kepala kami duduk dan membahas permasalahan kami, ternyata dia juga melontarkan hal yang sama. Capek. Apa yang dilakukannya selaluuu saja dianggap salah oleh saya. Saya uring-uringan melulu. Marah-marah terus. Apa yang dilakukannya tak pernah benar. Jadi yang benar yang mana?
Ayahnya lalu turun tangan memberikan nasihat pada sang putera. Dia bilang selama puluhan tahun menikah dengan ibunya, kesalahan terbesar dia adalah terlalu berusaha untuk mengerti. Dalam selama itu juga ia tak pernah bisa mengerti. Sampai suatu saat ia memutuskan untuk berhenti mencoba mengerti, dan mengubahnya menjadi menerima, tanpa perlu tahu pasti alasannya karena apa pun alasannya, ia tak pernah bisa mengerti.
Wow! Mengapa tak pernah terpikirkan oleh saya untuk menerima? Mengapa saya menerimanya separuh-separuh saja, sedang yang separuh lainnya dengan susah payah mencoba saya cerna dan tak bisa-bisa saya mengerti? Kemungkinan besar karena saya mencernanya berdasarkan pengertian saya sendiri, dari kaca mata saya, dan tidak pernah melihatnya dari kaca mata pasangan saya. Karena standar yang dipakai adalah standar saya pribadi yang notabene unik alias bukan standar umum, ya akhirnya apa-apa yang dikerjakan pasangan salah melulu, atau apa yang kita kerjakan juga salah melulu di mata pasangan. Karena kita sama sama mencoba memahami dari sudut pandang ukuran kita masing-masing.
Lalu saya mencoba menelaah kata: menerima. Iya ya, dalam kata menerima tidak ada syarat harus mengerti atau memahami. Menerima berarti memaklumi apapun alasan dan cara dan sikap pasangan dan merangkulnya dengan segenap hati tanpa mempertanyakannya. Dan itu tidak saya lakukan selama ini. Ini juga kunci kegagalan komunikasi saya dengan pasangan saya yang terdahulu. Saya terlalu ingin menerima dia berdasarkan ukuran dan kebiasaan dan nilai-nilai yang saya miiki.
Sekarang saya mengerti kuncinya. Dalam sebuah hubungan yang terpenting adalah menerima sepenuh hati jiwa dan raga, dan bukannya mencoba memahami atau mengerti pasangan kita dengan sepenuh hati karena itu tak akan pernah terjadi...
Masalahnya sepele. Soal pembuka kaleng. Diceritakan sang pria yang biasa ceria pulang ke rumah dan dengan hati riang menyapa anak dan isterinya. Isterina kelihatan kecapean dan meladeni sang suami dengan ogah-ogahan dan cenderung uring-uringan. Merasa lapar dan sang isteri belum sempat memasak, sang suami berniat menyiapkan makan malamnya sendiri. Ia lalu melongok isi lemari makanan dan mendapatkan sebuah kaleng tuna, jadi ia berencana membuat sandwich tuna. Ia kemudian bertanya dimana pembuka kaleng disimpan. Sang isteri menjawab di laci. Laci mana? Laci dapur. Setelah mengaduk isi laci, sang suami menemukan sebuah pembuka kaleng baru. Sang isteri menjelaskan bahwa pembuka kaleng yang baru ini lebih baik karena tidak meninggalkan bekas tajam di sobekan kaleng yang dibuka. Karena belum biasa, akhirnya tumpahlah air tuna dari dalam kaleng. Dengan tidak sabar sang isteri memberi garpu bekas untuk menahan isi tuna dalam kaleng. Berniat membersihkan, sang suami membawa kaleng beserta pembukanya ke wastafel. Sialnya, kalengnya terbalik dan tuna nya tumpah. Sang suami lalu berkata, "Aku nggak keberatan makan tuna di atas roti, tapi aku nggak kebayang makan tuna dari wastafel." Sang isteri lalu naik pitam atas komentar yang sok melucu itu. "I know you must have thought it's because of the stupid opener! But I'm not stupid!" Lalu dengan nada marah sang isteri pergi meninggalkannya melongo di dapur. Sang suami lalu bilang, "Saya salah ngomong apa sih?"
Tapi itu versi suami. Versi isterinya lain lagi. Ketika bercerita pada kakak iparnya, ia sambil tersedu mengatakan bahwa suaminya yang sejak awal sudah uring-uringan dan ketika dibantu sang suami sudah sejak awal tidak berkenan.
Saya seperti ditusuk. Kejadian yang ditampilkan ini sering saya alami. Rasanya apa yang saya lakukan selaluuuu saja salah, tak ada benarnya. Sabar salah, bahkan diartikan sinis. Marah-marah, lebih salah lagi. Apa pun tindakan saya, rasanya tidak pernah benar. Tapi setelah dengan dingin kepala kami duduk dan membahas permasalahan kami, ternyata dia juga melontarkan hal yang sama. Capek. Apa yang dilakukannya selaluuu saja dianggap salah oleh saya. Saya uring-uringan melulu. Marah-marah terus. Apa yang dilakukannya tak pernah benar. Jadi yang benar yang mana?
Ayahnya lalu turun tangan memberikan nasihat pada sang putera. Dia bilang selama puluhan tahun menikah dengan ibunya, kesalahan terbesar dia adalah terlalu berusaha untuk mengerti. Dalam selama itu juga ia tak pernah bisa mengerti. Sampai suatu saat ia memutuskan untuk berhenti mencoba mengerti, dan mengubahnya menjadi menerima, tanpa perlu tahu pasti alasannya karena apa pun alasannya, ia tak pernah bisa mengerti.
Wow! Mengapa tak pernah terpikirkan oleh saya untuk menerima? Mengapa saya menerimanya separuh-separuh saja, sedang yang separuh lainnya dengan susah payah mencoba saya cerna dan tak bisa-bisa saya mengerti? Kemungkinan besar karena saya mencernanya berdasarkan pengertian saya sendiri, dari kaca mata saya, dan tidak pernah melihatnya dari kaca mata pasangan saya. Karena standar yang dipakai adalah standar saya pribadi yang notabene unik alias bukan standar umum, ya akhirnya apa-apa yang dikerjakan pasangan salah melulu, atau apa yang kita kerjakan juga salah melulu di mata pasangan. Karena kita sama sama mencoba memahami dari sudut pandang ukuran kita masing-masing.
Lalu saya mencoba menelaah kata: menerima. Iya ya, dalam kata menerima tidak ada syarat harus mengerti atau memahami. Menerima berarti memaklumi apapun alasan dan cara dan sikap pasangan dan merangkulnya dengan segenap hati tanpa mempertanyakannya. Dan itu tidak saya lakukan selama ini. Ini juga kunci kegagalan komunikasi saya dengan pasangan saya yang terdahulu. Saya terlalu ingin menerima dia berdasarkan ukuran dan kebiasaan dan nilai-nilai yang saya miiki.
Sekarang saya mengerti kuncinya. Dalam sebuah hubungan yang terpenting adalah menerima sepenuh hati jiwa dan raga, dan bukannya mencoba memahami atau mengerti pasangan kita dengan sepenuh hati karena itu tak akan pernah terjadi...
Labels:
'lawrence tjandra',
memahami,
menerima,
mengerti
Tuesday, October 05, 2010
5 Oktober 2010: I am Somebody
Malam ini, saya segera ganti haluan, mengubah topik bahasan apa yang saya pelajari hari ini ketika melihat kalimat ini :
I always wondered why somebody didn't do something about that, then I realized I was somebody - Lily Tomlin
Saya sudah sering mengimbau untuk melakukan sesuatu bagi lingkungan dan negara kita, namun tetap saja kalimat itu bagaikan panah yang menancap di dada dan membekas di hati. Kalimat "kok nggak ada (orang) yang bertindak sih?" adalah kalimat yang sering saya ucapkan ketika melihat sesuatu yang membuat kesal, namun tidak berdaya melakukan apa-apa karena merasa tidak memiliki wewenang, atau bukan orang yang bertanggung jawab terhadap masalah tersebut. Jadi bisanya cuma menggerutu dan kesal saja. Dan itu saya lakukan setiap hari!
Saya menggerutu karena ada orang yang membuang sampah seenaknya di jalan raya yang bersih. Saya dongkol karena ada orang yang menyerobot antrean dan didiamkan saja. Saya kesal melihat kesemena-menaan aparat berwajib yang membuat peraturan namun dilanggar sendiri di depan mata masyarakatnya. Saya geram pada mereka yang sudah dipilih rakyat untuk mengurus kotanya namun membiarkan kota yang dipasrahkan padanya menjadi kubangan kolam lele setiap hujan dan setiap hari menjadi lapangan parkir raksasa karena kemacetan yang semakin menjadi, sementara kekayaannya naik drastis dalam waktu sekian puluh bulan menduduki jabatannya - dan tak ada seorang pun berbuat sesuatu. Saya hilang harapan kepada mereka yang seharusnya memiliki otoritas berbuat sesuatu bagi kesejahteraan bangsa ini namun ternyata terlalu lemah untuk melakukannya. Berharap ada orang yang punya kualitas pemimpin dan kemampuan melakukan perubahan. Tapi setiap kali saya mendengar hal yang sama : siapa ya yang bisa?
Malam ini saya disadarkan, saya ini kan juga orang, mengapa saya tidak melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan perubahan yang saya harapkan terjadi? Takutkah saya? Tidak mampukah saya? Atau saya terlalu cuek untuk mau melakukan sesuatu yang saya sendiri butuhkan? Mengapa menanti seseorang untuk menggerakkan massa untuk melakukan suatu perubahan? Tidak bisakah saya yang melakukan?
Saya jadi malu sendiri. Saya selalu menanti seseorang mau melakukan perubahan, padahal saya juga seseorang. Saya tiba-tiba menyadari bahwa dunia ini tidak menunggu siapa pun dan dunia ini tidak menunggu apa pun. The world does not wait for nobody and does not even wait for anything else. Jadi hanya mereka yang mau bertindak mengambil kesempatan yang mendapat tempat. Relakah saya tempat dan kesempatan itu dirampas dan digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab? Relakah kita kehilangan waktu ketika yang lain sudah berpacu soal hal lain, kita masih saja berkutat di hal-hal remeh temeh yang dibuat menjadi ruwet sendiri karena kita kerjanya menunggu orang lain berbuat sesuatu dan menanti keajaiban akan terjadi? Lihat lah siapa yang mengambil kesempatan saat kita sibuk menanti : orang-orang culas dan serakah.
Saya tiba-tiba tidak rela waktu, tempat dan kesempatan saya dirampas orang yang tidak bertanggung jawab hanya karena saya kerjanya cuma termangu, menggerutu, menyesali keadaan dan berharap-harap ada orang yang mau dan bisa membenahi keadaan ini. Saya kan juga orang. Anda kan juga orang. Kita kan juga orang.
Jadi, mulai malam ini saya tak akan lagi menunggu orang lain mengerjakan sesuatu yang ingin saya kerjakan. Mulai dari hal sederhana. Kalau ada sampah yang mengganjal di hati, saya akan memungutnya membuang di tempat yang telah disediakan. Kalau ada kemacetan, saya akan tertib di jalur yang tersedia dan tidak akan membuat sebuah jalur alternatif yang kreatif, yang malah membuat tambah macet seperti yang dilakukan oleh angkot dan supir lain yang berjiwa angkot. Atau di rumah, seperti misalnya membereskan koran yang ditaruh sembarangan. All the small stuffs or the big stuffs I wish someone would do. Now I know : I can be, I will be and I am the somebody. Daripada membuang waktu dan energi dengan menggerutu, lebih baik waktu dan energinya dialihkan menjadi perbuatan nyata...
I always wondered why somebody didn't do something about that, then I realized I was somebody - Lily Tomlin
Saya sudah sering mengimbau untuk melakukan sesuatu bagi lingkungan dan negara kita, namun tetap saja kalimat itu bagaikan panah yang menancap di dada dan membekas di hati. Kalimat "kok nggak ada (orang) yang bertindak sih?" adalah kalimat yang sering saya ucapkan ketika melihat sesuatu yang membuat kesal, namun tidak berdaya melakukan apa-apa karena merasa tidak memiliki wewenang, atau bukan orang yang bertanggung jawab terhadap masalah tersebut. Jadi bisanya cuma menggerutu dan kesal saja. Dan itu saya lakukan setiap hari!
Saya menggerutu karena ada orang yang membuang sampah seenaknya di jalan raya yang bersih. Saya dongkol karena ada orang yang menyerobot antrean dan didiamkan saja. Saya kesal melihat kesemena-menaan aparat berwajib yang membuat peraturan namun dilanggar sendiri di depan mata masyarakatnya. Saya geram pada mereka yang sudah dipilih rakyat untuk mengurus kotanya namun membiarkan kota yang dipasrahkan padanya menjadi kubangan kolam lele setiap hujan dan setiap hari menjadi lapangan parkir raksasa karena kemacetan yang semakin menjadi, sementara kekayaannya naik drastis dalam waktu sekian puluh bulan menduduki jabatannya - dan tak ada seorang pun berbuat sesuatu. Saya hilang harapan kepada mereka yang seharusnya memiliki otoritas berbuat sesuatu bagi kesejahteraan bangsa ini namun ternyata terlalu lemah untuk melakukannya. Berharap ada orang yang punya kualitas pemimpin dan kemampuan melakukan perubahan. Tapi setiap kali saya mendengar hal yang sama : siapa ya yang bisa?
Malam ini saya disadarkan, saya ini kan juga orang, mengapa saya tidak melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan perubahan yang saya harapkan terjadi? Takutkah saya? Tidak mampukah saya? Atau saya terlalu cuek untuk mau melakukan sesuatu yang saya sendiri butuhkan? Mengapa menanti seseorang untuk menggerakkan massa untuk melakukan suatu perubahan? Tidak bisakah saya yang melakukan?
Saya jadi malu sendiri. Saya selalu menanti seseorang mau melakukan perubahan, padahal saya juga seseorang. Saya tiba-tiba menyadari bahwa dunia ini tidak menunggu siapa pun dan dunia ini tidak menunggu apa pun. The world does not wait for nobody and does not even wait for anything else. Jadi hanya mereka yang mau bertindak mengambil kesempatan yang mendapat tempat. Relakah saya tempat dan kesempatan itu dirampas dan digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab? Relakah kita kehilangan waktu ketika yang lain sudah berpacu soal hal lain, kita masih saja berkutat di hal-hal remeh temeh yang dibuat menjadi ruwet sendiri karena kita kerjanya menunggu orang lain berbuat sesuatu dan menanti keajaiban akan terjadi? Lihat lah siapa yang mengambil kesempatan saat kita sibuk menanti : orang-orang culas dan serakah.
Saya tiba-tiba tidak rela waktu, tempat dan kesempatan saya dirampas orang yang tidak bertanggung jawab hanya karena saya kerjanya cuma termangu, menggerutu, menyesali keadaan dan berharap-harap ada orang yang mau dan bisa membenahi keadaan ini. Saya kan juga orang. Anda kan juga orang. Kita kan juga orang.
Jadi, mulai malam ini saya tak akan lagi menunggu orang lain mengerjakan sesuatu yang ingin saya kerjakan. Mulai dari hal sederhana. Kalau ada sampah yang mengganjal di hati, saya akan memungutnya membuang di tempat yang telah disediakan. Kalau ada kemacetan, saya akan tertib di jalur yang tersedia dan tidak akan membuat sebuah jalur alternatif yang kreatif, yang malah membuat tambah macet seperti yang dilakukan oleh angkot dan supir lain yang berjiwa angkot. Atau di rumah, seperti misalnya membereskan koran yang ditaruh sembarangan. All the small stuffs or the big stuffs I wish someone would do. Now I know : I can be, I will be and I am the somebody. Daripada membuang waktu dan energi dengan menggerutu, lebih baik waktu dan energinya dialihkan menjadi perbuatan nyata...
Monday, October 04, 2010
4 Oktober 2010 : Amal Ibadah
Ceramah Pastor dalam rangka 40 hari tante dan 100 hari wafatnya sepupu saya malam ini sungguh menggelitik. Beliau berkata, biasanya untuk menghibur keluarga yang berduka sering kita mendengar, "Semoga arwahnya diterima di sisi Bapa sesuai dengan amal ibadahnya." Pastor bilang, kalau Beliau, Beliau tidak mau. Coba hitung saja besar mana dosa dibanding amal ibadah kita. "Bisa-bisa saya masuk neraka kalau dihitung dari amal ibadah," kata Beliau yang kami sambut dengan tertawa. Dalam hati saya membenarkan apa yang dikatakan Beliau. Benar juga ya, kalau dihitung dari amal ibadah sih timbangan saya akan jauh jeblok masuk ke neraka. Ibadah tidak beres, apa lagi amalnya, masih lebih rela beli barang sampai menyicil-nyicil daripada beramal.
Pastor lalu mengatakan bahwa hidup kita ini selalu ditimbang dan diukur dari apa yang kita beri, seolah-olah amal adalah sebuah perbuatan untuk membeli tiket ke Surga. Semakin besar amal kita, semakin besar pula kesempatan kita masuk Surga. Bahkan sering tidak memedulikan apakah kelakuan kita yang lain layak membuat kita masuk ke Taman Firdaus. Banyak contoh yang menunjukkan bagaimana seseorang melakukan amal, membangun rumah ibadah, padahal korupsinya yang artinya merampas hak orang lain berlipat-lipat ganda dibandingkan sejumput dana yang dikeluarkan untuk amal. Seimbangkah apa yang dilakukannya? Maka perbuatan baik itu hendaknya bukan karena ingin membeli hak masuk Surga, tetapi karena memang menjadi sifat kita.
Tujuan berbuat baik adalah karena kita memang care dengan sesama, apa yang kita lakukan karena memang sudah selayaknya menjadi kebiasaan kita, bukan karena pamrih. Bahwa sifat amal kita tidak lantas kita hargai dengan ranking masuk Surga. Lagi pula siapa kita yang punya hak untuk menilai amal yang ini harganya lebih tinggi dari amal yang itu. Lagi pula, kalau sudah kita sombong-sombongkan, hilang sudah nilai amalnya, karena sudah terbayar saat itu juga. Kita juga tidak punya hak menilai apakah perbuatan ini dosa atau tidak, hanya dengan menilainya berdasarkan tradisi adat manusia yang berlaku. Sedang orang yang dilempari batu sebagai pelacur dan penzinah pun tidak dihitung dosanya oleh Yesus. Ingat waktu Yesus membuat sebuah garis dan mengatakan siapa yang tidak pernah berbuat dosa hendaklah menjadi yang pertama yang melempar batu? Justru kerumunan itu meninggalkan orang yang dituduh berdosa, satu per satu dimulai dari yang paling tua. Apakah artinya makin tua kita makin banyak dosanya? Lalu sudah seimbangkah atau lebih tinggikah amal kita dibanding dosa kita? Kami yang ada di ruangan itu sepakat, setinggi-tingginya amal kita tak akan bisa melebihi dosa dan kesalahan yang kita lakukan di dunia ini. Jadi, urusan masuk Surga atau tidak itu bukan berdasarkan banyaknya amal atau dosa.
Oleh karena itu Pastor lalu mengajari, "lain kali doanya diganti begini: semoga arwahnya diterima disisi Bapa karena kebaikan Allah." Amien.
Pastor lalu mengatakan bahwa hidup kita ini selalu ditimbang dan diukur dari apa yang kita beri, seolah-olah amal adalah sebuah perbuatan untuk membeli tiket ke Surga. Semakin besar amal kita, semakin besar pula kesempatan kita masuk Surga. Bahkan sering tidak memedulikan apakah kelakuan kita yang lain layak membuat kita masuk ke Taman Firdaus. Banyak contoh yang menunjukkan bagaimana seseorang melakukan amal, membangun rumah ibadah, padahal korupsinya yang artinya merampas hak orang lain berlipat-lipat ganda dibandingkan sejumput dana yang dikeluarkan untuk amal. Seimbangkah apa yang dilakukannya? Maka perbuatan baik itu hendaknya bukan karena ingin membeli hak masuk Surga, tetapi karena memang menjadi sifat kita.
Tujuan berbuat baik adalah karena kita memang care dengan sesama, apa yang kita lakukan karena memang sudah selayaknya menjadi kebiasaan kita, bukan karena pamrih. Bahwa sifat amal kita tidak lantas kita hargai dengan ranking masuk Surga. Lagi pula siapa kita yang punya hak untuk menilai amal yang ini harganya lebih tinggi dari amal yang itu. Lagi pula, kalau sudah kita sombong-sombongkan, hilang sudah nilai amalnya, karena sudah terbayar saat itu juga. Kita juga tidak punya hak menilai apakah perbuatan ini dosa atau tidak, hanya dengan menilainya berdasarkan tradisi adat manusia yang berlaku. Sedang orang yang dilempari batu sebagai pelacur dan penzinah pun tidak dihitung dosanya oleh Yesus. Ingat waktu Yesus membuat sebuah garis dan mengatakan siapa yang tidak pernah berbuat dosa hendaklah menjadi yang pertama yang melempar batu? Justru kerumunan itu meninggalkan orang yang dituduh berdosa, satu per satu dimulai dari yang paling tua. Apakah artinya makin tua kita makin banyak dosanya? Lalu sudah seimbangkah atau lebih tinggikah amal kita dibanding dosa kita? Kami yang ada di ruangan itu sepakat, setinggi-tingginya amal kita tak akan bisa melebihi dosa dan kesalahan yang kita lakukan di dunia ini. Jadi, urusan masuk Surga atau tidak itu bukan berdasarkan banyaknya amal atau dosa.
Oleh karena itu Pastor lalu mengajari, "lain kali doanya diganti begini: semoga arwahnya diterima disisi Bapa karena kebaikan Allah." Amien.
Labels:
'lawrence tjandra",
amal ibadah
Sunday, October 03, 2010
3 Oktober 2010 : Burung Hantu yang Bijaksana
Sebelum keponakan saya dijemput untuk kembali ke rumah sepupu, kami sempat menonton film 3 dimensi "Legend of the Guardians : The Owls of Ga'hoole." Filmnya tentang komunitas burung hantu yang penuh intrik. Seorang kakak yang merasa dihargai di kelompok jahat, rela mengorbankan adiknya yang dianggap lembek, lemah dan pecundang gara-gara suka berkhayal dan pemimpi. Ia juga rela mengorbankan adik perempuannya yang masih kecil, dan ketika hidupnya di ujung tanduk, bergantung pada cengekeraman sang adik yang dianggap lemah, ia sempat merayu, "Saya ini kan saudara kamu" dan ketika sang adik tak tega, dimanfaatkannya momen itu untuk mencari keuntungannya sendiri. Namanya juga film, sang Sutradara mengambil alih jadi Tuhan dan Nasib, si jahat tergelincir di kobaran api.
Mungkin karena lelah setelah menyetir dari Anyer, atau cara bertuturnya yang agak membosankan, saya sempat tertidur namun untungnya tak kehilangan esensi ceritanya. Saya kemudian bertanya pada kerabat yang ikut menonton, apa yang ia dapatkan dari film itu? Ternyata, jawabannya berbeda. Maka saya akan berbagi apa yang ia pelajari dan apa yang saya pelajari:
Orang yang menusuk kita adalah orang yang terdekat dengan kita : itu adalah pengalaman si burung hantu Soren yang ditikam berkali-kali oleh kakaknya Kludd, dan itu pula yang dialami kerabat saya. Sudah berkali-kali ia ditikam oleh kakaknya sendiri, dicurangi, dirugikan secara materi sampai puluhan juta, tetap saja ia merasa kasihan ketika kakaknya terjepit, dan untuk kesekian kalinya lagi ia dikerjai kakaknya baru-baru ini. Tidak jera-jera dan setiap kali dirayu, ia selalu jatuh kasihan.
Saya sendiri mengambil kesimpulan yang berbeda dari apa yang dipelajari kerabat saya : Bahwa sekali orang itu berbuat culas, maka ia tak akan pernah berubah, dan karena yang berbuat adalah orang yang paling dekat dengan kita, maka ia tahu persis titik kelemahan kita sehingga bisa membidik secara tepat rasa kasihan kita dan setelah kita jatuh dalam perangkapnya, ia akan menerkam kita tanpa sisa. Apa yang perlu kita perbuat? Saya sendiri tidak tahu jawabnya sampai dimana ambang kasih kita terhadap saudara sendiri boleh berakhir. Yang jelas, kenyataan yang terjadi pada kerabat saya maupun di film tadi menceritakan bahwa bila kita jalannya lurus dan berwelas asih, akan ada saatnya dimana kehidupan dan Tuhan yang akan membalasnya, bukan oleh kita sendiri.
Pelajaran yang saya tangkap agak berbeda dan sesuai dengan pengalaman saya pribadi : Soren dilecehkan karena dianggap lemah, lembek. Saya pun demikian. Dalam pergaulan selama perkembangan dari anak-anak menjadi remaja menjadi dewasa, tak sedikit saya dilecehkan karena dianggap terlalu lembek dan kurang macho. Ukuran yang selalu dipakai untuk seorang lelaki adalah harus sering berkelahi, menguasai ilmu bela diri, menyukai sepak bola, motor gede, otomotif. Saya bukan orang yang suka berkelahi, tidak menguasai karate seperti kakak laki-laki saya, tidak handal dalam urusan memperbaiki dan permesinan, tidak suka sepak bola, tidak suka motor gede, dan tidak tahu apa-apa soal otomotif. Untungnya saya tidak terpengaruh oleh semua pelecehan itu dan saya percaya bahwa setiap manusia unik, dan bahwa tidak semua orang yang suka karate, bola dan mesin menjadi pemenang. Sekian puluh tahun kemudian saya bertemu dengan orang-orang yang melecehkan saya, nyatanya kehidupan saya sekarang ini dianggap beruntung oleh mereka. Pekerjaan saya yang membuat jejaring kenalan saya meluas dan menjadi konsultan berbagai lembaga pemerintahan dan internasional juga menjadi sumber pembahasan mereka: kok bisa ya? Apa yang bisa dipetik dari sini? Selama kita percaya dan yakin (atas apa yang kita yakini), kita mampu (begitu kita goyah, kita tak akan mampu). Believe, itulah kuncinya. Karena itu semakin banyak orang yang mengimbau baik Oprah Winfrey maupun berbagai film dan lagu, mengumandangkan : Don't stop believing.
Jadi pelajaran yang tertangkap dari film tadi buat saya adalah : kalau kita dilecehkan, dicemoohkan, direndahkan oleh orang lain, biarkan saja. Jangan pernah kehilangan keyakinan diri sendiri karena justru itulah yang tidak dimiliki oleh orang yang melecehkan kita. Seorang pemimpin yang baik dan seorang pemenang adalah orang yang memiliki dan yakin akan visi nya, yang kenyataannya berbeda dengan apa yang dilihat oleh orang kebanyakan. Tepatnya, menjadi berbeda bukanlah suatu keaiban. Justru menjadi suatu anugerah, karena yang berbeda memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menonjol dan keluar menjadi pemenang.
Terima kasih para burung hantu, kalian sudah memberikan inspirasi pelajaran hari ini buat saya...
Mungkin karena lelah setelah menyetir dari Anyer, atau cara bertuturnya yang agak membosankan, saya sempat tertidur namun untungnya tak kehilangan esensi ceritanya. Saya kemudian bertanya pada kerabat yang ikut menonton, apa yang ia dapatkan dari film itu? Ternyata, jawabannya berbeda. Maka saya akan berbagi apa yang ia pelajari dan apa yang saya pelajari:
Orang yang menusuk kita adalah orang yang terdekat dengan kita : itu adalah pengalaman si burung hantu Soren yang ditikam berkali-kali oleh kakaknya Kludd, dan itu pula yang dialami kerabat saya. Sudah berkali-kali ia ditikam oleh kakaknya sendiri, dicurangi, dirugikan secara materi sampai puluhan juta, tetap saja ia merasa kasihan ketika kakaknya terjepit, dan untuk kesekian kalinya lagi ia dikerjai kakaknya baru-baru ini. Tidak jera-jera dan setiap kali dirayu, ia selalu jatuh kasihan.
Saya sendiri mengambil kesimpulan yang berbeda dari apa yang dipelajari kerabat saya : Bahwa sekali orang itu berbuat culas, maka ia tak akan pernah berubah, dan karena yang berbuat adalah orang yang paling dekat dengan kita, maka ia tahu persis titik kelemahan kita sehingga bisa membidik secara tepat rasa kasihan kita dan setelah kita jatuh dalam perangkapnya, ia akan menerkam kita tanpa sisa. Apa yang perlu kita perbuat? Saya sendiri tidak tahu jawabnya sampai dimana ambang kasih kita terhadap saudara sendiri boleh berakhir. Yang jelas, kenyataan yang terjadi pada kerabat saya maupun di film tadi menceritakan bahwa bila kita jalannya lurus dan berwelas asih, akan ada saatnya dimana kehidupan dan Tuhan yang akan membalasnya, bukan oleh kita sendiri.
Pelajaran yang saya tangkap agak berbeda dan sesuai dengan pengalaman saya pribadi : Soren dilecehkan karena dianggap lemah, lembek. Saya pun demikian. Dalam pergaulan selama perkembangan dari anak-anak menjadi remaja menjadi dewasa, tak sedikit saya dilecehkan karena dianggap terlalu lembek dan kurang macho. Ukuran yang selalu dipakai untuk seorang lelaki adalah harus sering berkelahi, menguasai ilmu bela diri, menyukai sepak bola, motor gede, otomotif. Saya bukan orang yang suka berkelahi, tidak menguasai karate seperti kakak laki-laki saya, tidak handal dalam urusan memperbaiki dan permesinan, tidak suka sepak bola, tidak suka motor gede, dan tidak tahu apa-apa soal otomotif. Untungnya saya tidak terpengaruh oleh semua pelecehan itu dan saya percaya bahwa setiap manusia unik, dan bahwa tidak semua orang yang suka karate, bola dan mesin menjadi pemenang. Sekian puluh tahun kemudian saya bertemu dengan orang-orang yang melecehkan saya, nyatanya kehidupan saya sekarang ini dianggap beruntung oleh mereka. Pekerjaan saya yang membuat jejaring kenalan saya meluas dan menjadi konsultan berbagai lembaga pemerintahan dan internasional juga menjadi sumber pembahasan mereka: kok bisa ya? Apa yang bisa dipetik dari sini? Selama kita percaya dan yakin (atas apa yang kita yakini), kita mampu (begitu kita goyah, kita tak akan mampu). Believe, itulah kuncinya. Karena itu semakin banyak orang yang mengimbau baik Oprah Winfrey maupun berbagai film dan lagu, mengumandangkan : Don't stop believing.
Jadi pelajaran yang tertangkap dari film tadi buat saya adalah : kalau kita dilecehkan, dicemoohkan, direndahkan oleh orang lain, biarkan saja. Jangan pernah kehilangan keyakinan diri sendiri karena justru itulah yang tidak dimiliki oleh orang yang melecehkan kita. Seorang pemimpin yang baik dan seorang pemenang adalah orang yang memiliki dan yakin akan visi nya, yang kenyataannya berbeda dengan apa yang dilihat oleh orang kebanyakan. Tepatnya, menjadi berbeda bukanlah suatu keaiban. Justru menjadi suatu anugerah, karena yang berbeda memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menonjol dan keluar menjadi pemenang.
Terima kasih para burung hantu, kalian sudah memberikan inspirasi pelajaran hari ini buat saya...
2 Oktober 2010 : Berusaha vs Ngotot
Hari ini saya dan keponakan pergi menengok kondominium di Marbella, Anyer. Sudah lama tak dikunjungi, jadi kami harus bekerja bakti membersihkannya. Sore hari, ketika saya sudah santai duduk-duduk sambil menonton televisi, keponakan saya laporan bahwa flush di toilet kamar mandi rusak. Saya sudah berkali-kali menelepon minta dikirim seorang engineer tapi tak kunjung datang, padahal kami sudah memesan makan malam di pinggir pantai jam 7 malam. Tepat ketika kami keluar kamar untuk makan, tiba-tiba ada seorang engineer yang melintas, habis bertugas dari kamar lain. Saya segera mencegatnya dan meminta tolong, dan masalah yang sudah berjam-jam terbengkalai pun terselesaikan kurang dari sepuluh menit. Dalam hati saya berkata, ini bukan sekedar kebetulan, ini pasti ada campur tangan yang di Atas.
Saat berjalan menuju tempat makan, saya mendapat telepon urusan pekerjaan yang sudah saya pusingkan selama beberapa hari ini, dan telepon tersebut merupakan dewi penolong bagi keruwetan yang selama ini ada. Memang belum ada titik terang, tapi paling tidak malam ini kami melihat ada jalan. Kebetulankah? Hati saya berkata tidak, saya yakin ada campur tangan Ilahi di sini.
Soal tak ada kebetulan dalam hidup ini, saya sudah lama paham, namun malam ini saya belajar bila kita punya sebuah niat atau keinginan atau dalam situasi yang membutuhkan pertolongan, yang perlu saya lakukan adalah berdoa dan berusaha, tapi tidak ngotot. Saya belajar perbedaan antara berusaha dan ngotot. Berusaha adalah melakukan berbagai upaya untuk mencapai atau mengatasi sesuatu. Ngotot berarti secara keras kepala memaksakan kehendak. Kalau kita berusaha, dan tidak ngotot, nicsaya pertolongan dan bimbingan Ilahi akan datang pada saat yang tepat menurutNya, dan ketika kesempatan itu datang, sebaiknya kita mengikuti alur yang ditunjukkan.
Terima kasih Tuhan, atas pertolonganMu, bahkan untuk perkara yang kecil…
Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu maka Ia akan meluruskan jalanmu. Amsal 3:5-6.
Saat berjalan menuju tempat makan, saya mendapat telepon urusan pekerjaan yang sudah saya pusingkan selama beberapa hari ini, dan telepon tersebut merupakan dewi penolong bagi keruwetan yang selama ini ada. Memang belum ada titik terang, tapi paling tidak malam ini kami melihat ada jalan. Kebetulankah? Hati saya berkata tidak, saya yakin ada campur tangan Ilahi di sini.
Soal tak ada kebetulan dalam hidup ini, saya sudah lama paham, namun malam ini saya belajar bila kita punya sebuah niat atau keinginan atau dalam situasi yang membutuhkan pertolongan, yang perlu saya lakukan adalah berdoa dan berusaha, tapi tidak ngotot. Saya belajar perbedaan antara berusaha dan ngotot. Berusaha adalah melakukan berbagai upaya untuk mencapai atau mengatasi sesuatu. Ngotot berarti secara keras kepala memaksakan kehendak. Kalau kita berusaha, dan tidak ngotot, nicsaya pertolongan dan bimbingan Ilahi akan datang pada saat yang tepat menurutNya, dan ketika kesempatan itu datang, sebaiknya kita mengikuti alur yang ditunjukkan.
Terima kasih Tuhan, atas pertolonganMu, bahkan untuk perkara yang kecil…
Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu maka Ia akan meluruskan jalanmu. Amsal 3:5-6.
Labels:
'berusaha vs ngotot',
'lawrence tjandra'
Saturday, October 02, 2010
1 Oktober 2010 : Inspirasi Idola
Setiap orang punya idola, tak terkecuali mereka yang diidolakan orang lain. Si kembar Asshley dan Mary-Kate Olsen tak terkecuali. Si cantik yang sudah bekerja sejak usia 6 bulan itu kini menjelma menjadi dua wanita cantik yang smart. Mereka mengeluarkan buku yang berisi orang-orang yang menjadi idola dan inspirasi mereka. Dalam sebuah wawancara yang saya saksikan pagi ini, mereka menyebut sebuah quote yang didapat dari salah seorang idola yang menjadi inspirasi mereka :
"I don't always know what to do but I know exactly what I want to be."
Kalimat itu terngiang-ngiang sepanjang hari di benak saya. Saya lalu menilai kebenaran kalimat tersebut. Ya, saya bahkan sering tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Dalam hidup ini terjadi begitu banyak hal yang membuat saya speechless dan clueless. Kadang-kadang saya tahu apa yang harus saya lakukan namun karena berbagai kejadian mengejutkan semua rencana itu bubar berantakan, terkadang terasa tak ada jalan keluarnya. Jadi untuk penggalan pertama kalimat tersebut, saya paham benar. Tapi untuk paruh ke duanya : I know exactly what I want to be? Mau jadi apa saya ini? Sampai saat ini bayangan masa tua saya cuma di awang-awang yang kabur. Kira-kira saya tahu apa yang saya mau, tapi saya belum pasti juga. Mau tinggal di mana, mau melakukan apa, darimana saya mendapatkan penghasilan kalau sudah pensiun, mau pensiun kapan, semuanya masih meraba-raba.
Tiba-tiba saya paham, ternyata yang dimaksud belum tentu gambaran tepat tentang seperti apa saya di masa depan, tapi bisa juga kualitas yang ingin saya capai di masa datang. Selama ini saya selalu bilang I want to be simply happy. Tapi happy yang seperti apa yang saya inginkan, tak pernah saya gambarkan dengan jelas. Saya mengerti sekarang kalimat sakti yang digadang-gadang Ashley. Kalau tahu tujuannya, tentu lebih mudah mencari jalan ke tempat tujuan. Kalau tidak, bagaimana kita akan tahu. Orang-orang yang menjadi idola dan panutan biasanya terkenal pula atas keteguhan mereka dalam mencapai cita-cita mereka. Determinasi inilah yang membuat kita berhasil keluar menjadi pemenang yang berbeda. Sayangnya kita ini sering tergoda, atau panik, sehingga sering belok sebelum waktunya.
Saya jadi ingat sebuah resto di dekat rumah yang awalnya menjual ayam. Namanya juga Chicken Story, ya selayaknya jualan ayam. Namun karena sepi, rupanya sang penjual mulai panik dan banting stir. Mulai jual gurame, mulai jual yang lain-lain. Lha ayamnya kemana? Karena kehilangan identitas, maka kemarin ketika saya melintas mencari makan, saya dikejutkan karena gerai yang sekarang jual beragam makanan itu tutup alias kukut. Sekarang saya jadi berandai-andai. Bagaimana ya ceritanya kalau ia tetap di jalur ayam, namun membenahi menu dan kualitas masakannya lalu mempromosikan dengan benar? Belum tentu mati. Bisa jadi sekarang ia kualat dengan namanya sendiri : kalau namanya Chicken Story ya bertuturlah soal ayam, bukan soal gurame. Itu namanya I don't know what to do because I don't know what I want to be.
Hari ini saya belajar soal keteguhan dan arahan hidup. Kalau kita punya tujuan yang jelas, biar pun tidak tahu jalan, kita bisa mencapainya. Kan ada "GPS", kan bisa "tanya jalan", kan bisa "belajar", kan ada "wangsit dan bimbingan Tuhan" ... Insya Allah, kita akan sampai tujuan. Thank you my gorgeous twin girls, thank you for the inspiration.
"I don't always know what to do but I know exactly what I want to be."
Kalimat itu terngiang-ngiang sepanjang hari di benak saya. Saya lalu menilai kebenaran kalimat tersebut. Ya, saya bahkan sering tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Dalam hidup ini terjadi begitu banyak hal yang membuat saya speechless dan clueless. Kadang-kadang saya tahu apa yang harus saya lakukan namun karena berbagai kejadian mengejutkan semua rencana itu bubar berantakan, terkadang terasa tak ada jalan keluarnya. Jadi untuk penggalan pertama kalimat tersebut, saya paham benar. Tapi untuk paruh ke duanya : I know exactly what I want to be? Mau jadi apa saya ini? Sampai saat ini bayangan masa tua saya cuma di awang-awang yang kabur. Kira-kira saya tahu apa yang saya mau, tapi saya belum pasti juga. Mau tinggal di mana, mau melakukan apa, darimana saya mendapatkan penghasilan kalau sudah pensiun, mau pensiun kapan, semuanya masih meraba-raba.
Tiba-tiba saya paham, ternyata yang dimaksud belum tentu gambaran tepat tentang seperti apa saya di masa depan, tapi bisa juga kualitas yang ingin saya capai di masa datang. Selama ini saya selalu bilang I want to be simply happy. Tapi happy yang seperti apa yang saya inginkan, tak pernah saya gambarkan dengan jelas. Saya mengerti sekarang kalimat sakti yang digadang-gadang Ashley. Kalau tahu tujuannya, tentu lebih mudah mencari jalan ke tempat tujuan. Kalau tidak, bagaimana kita akan tahu. Orang-orang yang menjadi idola dan panutan biasanya terkenal pula atas keteguhan mereka dalam mencapai cita-cita mereka. Determinasi inilah yang membuat kita berhasil keluar menjadi pemenang yang berbeda. Sayangnya kita ini sering tergoda, atau panik, sehingga sering belok sebelum waktunya.
Saya jadi ingat sebuah resto di dekat rumah yang awalnya menjual ayam. Namanya juga Chicken Story, ya selayaknya jualan ayam. Namun karena sepi, rupanya sang penjual mulai panik dan banting stir. Mulai jual gurame, mulai jual yang lain-lain. Lha ayamnya kemana? Karena kehilangan identitas, maka kemarin ketika saya melintas mencari makan, saya dikejutkan karena gerai yang sekarang jual beragam makanan itu tutup alias kukut. Sekarang saya jadi berandai-andai. Bagaimana ya ceritanya kalau ia tetap di jalur ayam, namun membenahi menu dan kualitas masakannya lalu mempromosikan dengan benar? Belum tentu mati. Bisa jadi sekarang ia kualat dengan namanya sendiri : kalau namanya Chicken Story ya bertuturlah soal ayam, bukan soal gurame. Itu namanya I don't know what to do because I don't know what I want to be.
Hari ini saya belajar soal keteguhan dan arahan hidup. Kalau kita punya tujuan yang jelas, biar pun tidak tahu jalan, kita bisa mencapainya. Kan ada "GPS", kan bisa "tanya jalan", kan bisa "belajar", kan ada "wangsit dan bimbingan Tuhan" ... Insya Allah, kita akan sampai tujuan. Thank you my gorgeous twin girls, thank you for the inspiration.
Subscribe to:
Posts (Atom)