Pagi ini saya menonton acara Oprah Winfrey yang mengetengahkan kejahatan internet. Ceritanya seorang anak remaja yang sangat berprestasi di sekolahnya, cantik, pandai bergaul dan seorang puteri impian setiap keluarga berulang tahun ke 14 dan minta hadiah komputer. Orang tua yang selama ini selalu mengontrol ketat puterinya mengabulkan permintaannya dengan syarat puterinya tidak membuka situs porno dan membuat profil di situs pertemanan. Sang puteri yang sering mengeluh atas tindakan ibunda yang overprotective itu diam-diam melanggar janji. Ia membuat sebuah profil dan berkenalan dengan sebuah pria dewasa yang merayunya habis-habisan sehingga sang gadis mabuk kepayang dan menyerahkan kehormatannya di sebuah motel. Kenyataannya si gadis cuma dimanfaatkan dan ia terlambat menyadarinya. Sepulang dari motel, sang pria berubah menjadi kasar dan pengancam. Ia melakukan blackmail pada si gadis hingga terkena depresi berat dan mengakhiri hidupnya ketika orang tuanya pergi ke gereja.
Siangnya, saya mendengar cerita bahwa ada dua karyawan baru yang berkeluh kesah bingung atas sikap ibu mereka yang menentangnya bekerja di konsultan komunikasi karena pulang tak menentu dan bekerja tak kenal waktu dan hari. Sang ibu lalu mengancam sambil memberi pilihan apakah puterinya keluar dari pekerjaannya atau si puteri keluar dari rumah. Yang diinginkan sang Bunda agar anaknya bekerja tepat waktu, alias pulang jam 5 sore. Sebenarnya sang anak memberontak karena cinta pekerjaannya, namun karena setiap hari diocehi dan puncaknya di akhir pekan kemarin antar orang tua kongkalikong untuk memboikot anaknya, mereka menjadi tidak betah diteror orang tuanya sendiri setiap saat.
Mendengar keluh kesah mereka, saya lalu teringat kisah di pagi hari tadi dan bertanya dalam hati : mengapa orang tua memaksakan kehendaknya? Saya bisa mengerti kalau orang tua cenderung melindungi anaknya, namun ketatnya perlindungan dan penjagaan tidak menjamin anaknya akan selamat. Tidakkah mereka mempertimbangkan apa yang dikehendaki anaknya? Beberapa minggu lalu, saya pernah mengalami sebuah kejadian dimana keponakan saya yang magang di tempat saya, saya suruh pulang naik taksi karena supir yang biasa dipakainya sedang disuruh menjemput pastor untuk Misa 40 hari meninggalnya tante. Keputusan saya langsung mendapat reaksi dari berbagai pihak, termasuk dari kakak saya di Australia yang dulunya ketika kuliah malah naik turun bis di Jakarta. Ketika saya ingatkan bagaimana ia dulu, ia malah menangkis, "Lain dulu, lain sekarang." Saya bertanya, "apanya yang lain? Karena sekarang kamu punya mobil dan dulu tidak?"
Saya sungguh menyesalkan sikap orang tua yang atas nama cinta mengikat anak-anaknya bak anjing peliharaan yang harus diikat lehernya. Berbagai kejadian, terutama kejadian yang diceritakan di Oprah tadi pagi membuka mata bahwa penjagaan yang ketat tidak menjamin keselamatan sang anak. Justru pembekalan yang baik yang memberi kekuatan dan bekal akhlak serta kepercayaan yang terpimpin, yang mampu menangkis berbagai serangan bahaya ketimbang mengikuti dan menjaga anak seperti remote control dan CCTV.
Kejadian hari ini mengilhami saya dan memberi pelajaran bagaimana saya harus membimbing mereka yang ada di bawah lingkup supervisi saya. Tidak dengan ikatan dan kungkungan, tapi dengan pembekalan perisai nilai serta kepercayaan terpimpin. Buat para orang tua, pesan saya adalah : jangan jadi remote control atau CCTV atau kalung dan tali kendali anak Anda. Jadilah perisai nilai dan bekali lah sang anak dengan kepercayaan terpimpin. Anda toh mau anak Anda hidup bahagia dan utuh menurut ukuran mereka, bukan seperti yang Anda inginkan, karena sejatinya anak Anda bukanlah Anda ...
No comments:
Post a Comment