We all make mistakes. The wise, admits & learns. The insecure, denies. The foolish, repeats.
Hari ini saya membuat kesalahan besar, mengakui dan belajar dari ketidakmengertian saya.
Semua berawal saat saya sedang meeting dan menerima telepon dari seorang sahabat yang mengatakan untuk urusan sepupunya yang meninggal sudah beres semua namun masih butuh sejumlah uang dan menanyakan apakah saya bersedia menyumbang. Saya yang berada di tengah pertemuan bisnis, merasa penjelasan sahabat saya kurang lengkap dan menyisakan berbagai pertanyaan sehingga menjawab dengan nada enggan yang jelas, ya okee... Memang sahabat saya yang seyogyanya akan bertemu makan malam bersama dan nonton film setelah meeting saya ini tadi siang sempat menelpon singkat mengatakan sepupunya meninggal karena sakit mendadak dan ia harus mengurus mengeluarkan jenazah karena kalau tidak dibayar jenazah tak bisa dikeluarkan dari rumah sakit, tapi selebihnya tak ada penjelasan lagi karena terburu-buru.
Mendengar nada enggan, sahabat saya segera menarik diri dan bilang, terima kasih, cari bantuan lain saja. Lalu telepon ditutup. Saya menjadi terpukul berat, menyadari kekeliruan saya yang sangat fatal. Ia adalah sahabat saya, mengapa saya butuh penjelasan ketika ia membutuhkan bantuan? Seharusnya saya mempercayainya sama seperti saya mempercayainya selama ini.
Malam harinya, saya bertemu dengannya, khusus untuk meminta maaf atas kelakuan saya yang tidak pantas itu. Teman saya dengan tulus tersenyum dan menceritakan kronologis kejadiannya.
Ia sendiri tengah rapat ketika ditelepon keluarganya bahwa sang sepupu meninggal. Ternyata sepupunya yang baru berusia 29 tahun itu meninggal karena sirosis yang tak diobati karena tidak ada biaya. Ia muntah dan buang air darah selama 2 minggu dan dalam kesakitan yang luar biasa namun tidak ingin membebani sanak keluarganya yang lain karena ia tahu kondisi sanaknya sama menyedihkannya. Ia anak ke 3 dari 4 bersaudara yang semuanya tidak ada yang tamat sekolah. Ayahnya sedang terkena kanker paru-paru dan ibunya berjualan kue. Isterinya seorang pembantu cuci pakaian. Dari keluarga terdekat, hanya teman saya yang memiliki pekerjaan yang lumayan baik. Maka teman saya itu menguras isi atm nya untuk mengeluarkan jenazah dan memanggil ambulans. Jenazah terpaksa disemayamkan di rumah duka karena rumahnya terlalu sempit dan berada di tengah pasar. Untungnya keluarga mendapat sumbangan ruang gratis di rumah duka, namun tidak menghilangkan biaya peti jenazah dan jasa kremasi. Untuk menebus peti jenazah itulah teman saya menelpon. Sayangnya, saya terlalu sibuk untuk mencari penjelasan yang bisa diterima agar permintaan itu bisa lolos kriteria patut dibantu. Mungkin ini juga karena kebiasaan di pekerjaan, apa-apa harus ada proposalnya untuk mendapat persetujuan dan lampu hijau.
Tapi gara-gara itulah saya kehilangan kesempatan membantu orang yang sedang membutuhkan. Teman saya berdoa dan dengan segera doanya dijawab. Seorang tante menelponnya dan mengatakan bahwa ia mendengar bahwa kerabatnya meninggal dan butuh bantuan biaya dan ia membawa seorang hamba Tuhan yang bersedia membantu kekurangan dana. Sang hamba Tuhan itu juga seorang tukang kue yang pernah jatuh usahanya dan mengalami penyakit yang tersembuhkan. Sejak saat itu ia membantu orang-orang kekurangan dan mendanai orang-orang meninggal yang tak punya uang untuk menyemayamkan dengan layak. Ia berkata, "Hidup saya ini penuh kemurahan Tuhan dan sudah selayaknya saya membagikan kemurahan Tuhan ini kepada yang membutuhkan." Saat itu juga, masalah dana peti jenazah dan kremasi teratasi. Ketika saya menanyai teman saya apakah sekarang kas nya minus, ia menjawab, "saya tidak kehilangan uang, uang saya saya berikan kepada Tuhan. Ia tahu apa yang saya butuhkan dan saya tak akan kekurangan hanya karena tidak ada uang." Hati saya tersayat.
Dengan penjelasan yang sebegini panjang lebar dan mengharukan, Anda tentu pasti setuju untuk rela membantu. Tapi hal itu tak terjadi, karena kesempatan yang diberikan sudah lewat, gara-gara saya sibuk menuntut penjelasan yang lebih rinci.
Saya benar-benar malu dan benar-benar menyesal. Teman macam apa saya ini yang telah mengecewakan seorang sahabat karena kebebalan saya! Begini ya kelakuan saya yang mengaku belajar setiap hari dan beribadah namun kenyataannya tidak benar-benar belajar dan mengimplementasikan apa yang dipelajarinya. Tapi lagi-lagi teman saya berkata, "Saya tidak kecewa sama kamu. Saya menganggap ini sebuah cobaan."
Saya terdiam dan dengan suara serak dan mata membasah saya berkata, "Saya minta maaf. Saya minta maaf atas sikap saya, saya minta maaf karena ketidakpekaan saya, saya minta maaf karena tidak mempercayai kamu, dan saya minta maaf telah mengecewakan kamu. Namun, hari ini saya mendapat pelajaran luar biasa : Tak perlu penjelasan untuk membantu orang yang membutuhkan, yang dibutuhkan hanyalah hati yang tulus dan mau menolong. Terima kasih saya diberi kesempatan melakukan kesalahan ini, dan terima kasih saya diberi kesempatan untuk belajar."
Semoga saya beralih dari the foolish yang tidak belajar dari kesalahannya menjadi the wise yang tidak hanya belajar namun menerapkan apa yang dipelajarinya...
No comments:
Post a Comment