Sebuah serial komedi Amerika tadi pagi menanyangkan kejadian yang menarik. Sang suami bertandang ke rumah orang tuanya dan sang ibu menangkap ada yang tidak beres dalam rumah tangga anaknya. Setelah dikorek-korek, sang anak kemudian bercerita tentang ketidaknyamanannya di rumah.
Masalahnya sepele. Soal pembuka kaleng. Diceritakan sang pria yang biasa ceria pulang ke rumah dan dengan hati riang menyapa anak dan isterinya. Isterina kelihatan kecapean dan meladeni sang suami dengan ogah-ogahan dan cenderung uring-uringan. Merasa lapar dan sang isteri belum sempat memasak, sang suami berniat menyiapkan makan malamnya sendiri. Ia lalu melongok isi lemari makanan dan mendapatkan sebuah kaleng tuna, jadi ia berencana membuat sandwich tuna. Ia kemudian bertanya dimana pembuka kaleng disimpan. Sang isteri menjawab di laci. Laci mana? Laci dapur. Setelah mengaduk isi laci, sang suami menemukan sebuah pembuka kaleng baru. Sang isteri menjelaskan bahwa pembuka kaleng yang baru ini lebih baik karena tidak meninggalkan bekas tajam di sobekan kaleng yang dibuka. Karena belum biasa, akhirnya tumpahlah air tuna dari dalam kaleng. Dengan tidak sabar sang isteri memberi garpu bekas untuk menahan isi tuna dalam kaleng. Berniat membersihkan, sang suami membawa kaleng beserta pembukanya ke wastafel. Sialnya, kalengnya terbalik dan tuna nya tumpah. Sang suami lalu berkata, "Aku nggak keberatan makan tuna di atas roti, tapi aku nggak kebayang makan tuna dari wastafel." Sang isteri lalu naik pitam atas komentar yang sok melucu itu. "I know you must have thought it's because of the stupid opener! But I'm not stupid!" Lalu dengan nada marah sang isteri pergi meninggalkannya melongo di dapur. Sang suami lalu bilang, "Saya salah ngomong apa sih?"
Tapi itu versi suami. Versi isterinya lain lagi. Ketika bercerita pada kakak iparnya, ia sambil tersedu mengatakan bahwa suaminya yang sejak awal sudah uring-uringan dan ketika dibantu sang suami sudah sejak awal tidak berkenan.
Saya seperti ditusuk. Kejadian yang ditampilkan ini sering saya alami. Rasanya apa yang saya lakukan selaluuuu saja salah, tak ada benarnya. Sabar salah, bahkan diartikan sinis. Marah-marah, lebih salah lagi. Apa pun tindakan saya, rasanya tidak pernah benar. Tapi setelah dengan dingin kepala kami duduk dan membahas permasalahan kami, ternyata dia juga melontarkan hal yang sama. Capek. Apa yang dilakukannya selaluuu saja dianggap salah oleh saya. Saya uring-uringan melulu. Marah-marah terus. Apa yang dilakukannya tak pernah benar. Jadi yang benar yang mana?
Ayahnya lalu turun tangan memberikan nasihat pada sang putera. Dia bilang selama puluhan tahun menikah dengan ibunya, kesalahan terbesar dia adalah terlalu berusaha untuk mengerti. Dalam selama itu juga ia tak pernah bisa mengerti. Sampai suatu saat ia memutuskan untuk berhenti mencoba mengerti, dan mengubahnya menjadi menerima, tanpa perlu tahu pasti alasannya karena apa pun alasannya, ia tak pernah bisa mengerti.
Wow! Mengapa tak pernah terpikirkan oleh saya untuk menerima? Mengapa saya menerimanya separuh-separuh saja, sedang yang separuh lainnya dengan susah payah mencoba saya cerna dan tak bisa-bisa saya mengerti? Kemungkinan besar karena saya mencernanya berdasarkan pengertian saya sendiri, dari kaca mata saya, dan tidak pernah melihatnya dari kaca mata pasangan saya. Karena standar yang dipakai adalah standar saya pribadi yang notabene unik alias bukan standar umum, ya akhirnya apa-apa yang dikerjakan pasangan salah melulu, atau apa yang kita kerjakan juga salah melulu di mata pasangan. Karena kita sama sama mencoba memahami dari sudut pandang ukuran kita masing-masing.
Lalu saya mencoba menelaah kata: menerima. Iya ya, dalam kata menerima tidak ada syarat harus mengerti atau memahami. Menerima berarti memaklumi apapun alasan dan cara dan sikap pasangan dan merangkulnya dengan segenap hati tanpa mempertanyakannya. Dan itu tidak saya lakukan selama ini. Ini juga kunci kegagalan komunikasi saya dengan pasangan saya yang terdahulu. Saya terlalu ingin menerima dia berdasarkan ukuran dan kebiasaan dan nilai-nilai yang saya miiki.
Sekarang saya mengerti kuncinya. Dalam sebuah hubungan yang terpenting adalah menerima sepenuh hati jiwa dan raga, dan bukannya mencoba memahami atau mengerti pasangan kita dengan sepenuh hati karena itu tak akan pernah terjadi...
No comments:
Post a Comment