Wednesday, October 13, 2010

13 Oktober 2010 : Suntuk!

Pernah suntuk kan? Saya juga. Tapi saya belum pernah benar-benar merenungkan apa yang terjadi dengan kita dan sekitar kita kalau sedang suntuk. Bagimana mau merenung, namanya saja sedang suntuk, jadi ya yang terpikir cuma ruwetnya pikiran dan emosi yang menggelegar. Tapi kali ini yang sedang suntuk bukan saya, melainkan seorang teman. Jadi saya berkesempatan mengikuti kronologisnya dan akhirnya merenungkannya.

Singkat cerita teman saya ini tadinya berencana ikut makan malam bersama, namun mendekati waktunya ia bercerita sedang suntuk dan moodnya sedang sangat tidak bagus, jadi ia mengundurkan diri tidak ikut makan malam, takut merusak suasana. Saya bilang, tetap ikut saja - hitung-hitung refreshing. Tapi ia tetap ngotot tidak mau, ya saya tak mau memaksa. Saya pikir apa jadinya kalau orang lagi suntuk dipaksa-paksa : kemungkinan besar ia bakal lebih suntuk dan saya menjadi ikutan suntuk! Lalu hujan turun deras, saya tanya apakah ia masih sibuk, jawabnya masih di kantor. Sudah makan? Jawabnya tidak sinkron : nggak apa-apa. Saya kemudian berpikir, sebegitu suntuknya kah dia? Tadinya saya mau menawarkan kalau sudah mau pulang, mampir saja di resto tempat kami mengumpul, toh kami masih mengobrol jadi ia bisa catch up sambil makan. Tapi ia bilang sudah menuju parkir, mau pulang. Ternyata acara mengobrol di resto berjalan seru sehingga tak terasa kami baru angkat kaki satu jam setelah teman saya tadi bilang mau pulang. Di jalan saya tanya, sudah di rumah? Tak ada jawaban. Satu jam setelah pertanyaan saya melalui bbm itu, ia menjawab singkat : nyasar. Wah, saking suntuknya sampai rambu pulang pun tak terlihat. Untung akhirnya ia tiba di rumah dengan selamat. Tadinya saya mau menyediakan diri menjadi kuping yang baik, namun dengan ogah-ogahan ia cuma bicara singkat dan bilang mau tidur, capek.

Saya lalu merefleksikan keseluruhan proses suntuk. Ketika terjadi sesuatu yang menimpa diri kita, ternyata dampaknya mempengaruhi dua arah: ke dalam diri kita sendiri dan ke luar. Kita jadi tak napsu makan, kehilangan konsentrasi, dan pikiran kita hanya berputar-putar sekeliling keruwetan masalah yang biasanya kita pikir tak ada solusinya sehingga membuat kita putus asa. Emosi kita cenderung menjadi ketus dan mudah tersulut, dada terasa sesak, seperti ingin mati saja dan mau teriak kencang! Itu ke dalam. Ke luarnya, kita cenderung ketus, mudah marah dan sensitif pada orang-orang sekitar kita. Namun terlebih lagi pada orang-orang yang justru secara lingkup terdekat dengan diri kita. Tanpa sengaja, otak dan pikiran kita disetir oleh emosi suntuk sehingga mendorong serta mengasari orang-orang terdekat, entah dengan kata-kata atau perbuatan. Tak perlu secara harafiah memukul atau melukai, namun sering kali sikap kita jadi menarik diri dan tidak mau berurusan dengan mereka. Padahal orang-orang terdekat ini semestinya bisa menjadi "a shoulder to cry on" atau paling tidak menjadi "kuping" yang baik. Suntuk membuat kita sulit membedakan antara masalah dan lingkungan kita.

Saya juga memperhatikan, ternyata cara orang mengekspresikan dan mengatasi kesuntukannya berbeda-beda. Ada yang diam saja, tak mau makan, ada yang pergi ke tempat keramaian dan mengubur kesuntukannya di sana, ada yang berjalan tak tentu arah dengan pandangan kosong tapi pikiran tak berhenti berbicara, dan lain-lain, tapi apa pun itu saya kemudian belajar, bahwa sesuntuk-suntuknya kita : don't make any stupid rush decision or action. Saat melakukannya kita tidak menyadari betapa kita sedang membuat disaster yang lebih besar lagi.

Bagaimana dengan orang yang terkena imbasnya? Bagaimana kita harus bersikap bila ada orang di lingkungan terdekat kita sedang suntuk? Malam ini yang saya lakukan adalah tidak memaksa teman saya bercerita. Saya hanya meyakinkan dia bahwa tak ada masalah yang tak dapat diatasi karena ia punya (seorang) teman untuk berbagi, dan saya adalah salah seorangnya. Saya lalu berkata saya siap jadi kuping, apakah ia mau berbagi, dan ketika ia bilang malas, saya biarkan saja. Saya merasa orang yang sedang suntuk seharusnya memang diberi waktu untuk bermain dan menikmati kesuntukannya.

Maka hari ini saya membuat berbagai catatan tentang suntuk :

- Seperti dicatat di atas, don't make any stupid rush decision or action. Biarkan saja suntuk berkutat di otak namun jangan melibatkan mulut dan gerakan apa pun bentuknya.
- Kalau sedang suntuk, jangan biarkan mempengaruhi atau bahkan "push away" orang-orang terdekat Anda.
- Begitu suntuk dan berpikir tak ada jalan keluar, saya mau ingat bahwa tak ada masalah yang tak selesai, tak peduli bagaimana akhir masalahnya dan bahwa waktu menyelesaikan segala perkara.
- Doa - doa - doa. Kalau dikatakan time will heal, pengalaman saya juga berkata prayers give strength and healing. Doa adalah cara curhat yang paling ampuh, karena curhatnya dengan Yang Di Atas, dan Yang Di Atas punya kuasa mengatur dan mengubah hidup kita.


- Kalau orang (lain) sedang suntuk, jangan memberikan nasihat,tapi katakan bahwa kita ada untuk dia dan siap menjadi a shoulder to cry on atau "kuping" yang baik. Kuping yang baik artinya hanya mendengar, tanpa berkomentar.
- Kalau memungkinkan, a hug is the best medicine.
- Juga jangan memaksa bercerita, everybody needs a me-space from time to time

Amit-amit, tapi kalau suatu saat saya sedang suntuk, semoga saya ingat pakem di atas.

No comments: