Malam ini saya menghadiri sebuah undangan pameran lukisan yang sedianya akan dibuka oleh seorang pejabat negara. Pameran yang diadakan di Ballroom sebuah hotel berbintang tersebut mengumpulkan hasil lukisan dari 30 seniman baik yang masih hidup dan anumerta dari seluruh Indonesia dan hasil penjualannya akan disumbangkan untuk keperluan sosial. Undangan dicetak atas nama lembaga si pejabat dan tiba di meja kerja saya minggu lalu.
Saat waktu yang telah ditetapkan, tak ada satu pun undangan yang dibidik untuk mau beramal datang. Jangankan yang diundang, yang seyogyanya membuka saja tidak datang dan meminta anak buahnya menggantikan. Selebihnya, para pelukis dan kerabatnya yang tidak mendatangkan uang yang diharapkan. Dan saya, yang diundang karena kenalan lama lembaga yang menjadi tuan rumah. Maka, pameran di malam hujan rintik itu menjadi sangat sepi dan hampa. Makan malam pun berlimpah ruah. Sangat berbeda dengan ketika diadakan sebelumnya, di mana pejabat terdahulu datang dan acara sukses besar. Sekarang, sebagian besar kursi kosong, bahkan meja VVIP pun kosong. Jadilah saya diundang duduk di meja VVIP bersama pejabat yang ditugaskan membuka pameran dan ketua panitia nya.
Dalam hati, saya terenyuh. Adakah terlintas di benak pemimpin kita betapa besar dana yang sudah dikeluarkan, tenaga dan sumberdaya yang tercurah untuk acara ini? Mengapa ia tega begitu saja mengecewakan orang-orang yang sudah berusaha membuat acara ini berhasil? Mengapa ia tidak menghargai upaya panitia dan para pelukis yang berharap karya nya dapat didukung dengan acara seperti ini?
Saya bisa merasakan kesedihan dan hancurnya harapan serta semangat panitia dan para seniman yang hadir. Saya ikut merasakan bagaimana rasanya upaya yang sudah kita lakukan dengan susah payah, dana yang tidak sedikit sudah terbuang demi menyukseskan program sang pejabat, dilewatkan begitu saja, dan terasa benar tidak dihargai. Kalau Beliau berkilah Beliau menghargai dengan tetap berusaha mengirim wakilnya, dalam kasus ini, saya tidak bisa menerimanya dengan baik. Sebagai pejabat publik, mestinya Beliau tahu persis arti strategis kehadiran Beliau dibandingkan yang mewakili.
Karena bisa ikut merasakan kekecewaan penyelenggara, hari ini saya belajar salah satu karakter penting yang harus dimiliki seorang pimpinan : Bisa menghargai upaya sekecil apa pun dari orang lain yang sudah mengeluarkan tenaga dan sumberdayanya untuk mendukung program kita. Selain itu saya belajar, bahwa seorang pemimpin yang bijaksana tidak mementingkan dan mendahulukan kebutuhan pribadinya, melainkan mementingkan dan mendahulukan tugas dan perannya. Pemimpin yang bijaksana melayani. Pemimpin yang bijaksana mengayomi. Pemimpin yang bijaksana membimbing dan memberi arahan. Saya lalu terdiam dan mengoreksi. Kualitas ini selayaknya bukan hanya milik seorang pemimpin, tapi setiap individu yang bijak...
No comments:
Post a Comment