Tuesday, March 23, 2010

23 Maret 2010 : Pertarungan Melawan Maut

Membaca blog saya kemarin, seorang teman lalu mengatakan ia jadi teringat sebuah kisah nyata mengenai kanker namun berbeda alur. Ia pun menceritakan melalui bbm dan mengirimkan alamat http://www.facebook.com/l/1c3a6;www.femina.co.id/issue/issue_detail.asp?id=584&cid=1&views=27 yang berisi perjuangan hidup Dinda Nawang melawan kanker payudara dan getah bening. Dikisahkan bagai petir di siang bolong, Dinda harus menhadapi kenyataan bahwa di payudara sebelah kanannya ditemukan benjolan seluas 2 cm. Ia dihadapkan pada dua pilihan, mengangkat seluruh seluruh payudara kanan hingga tak bersisa, atau mengangkat tumornya saja, namun setelah itu ia harus dikemoterapi untuk membabat sel-sel kanker yang menempel di payudara. Dinda pun memutuskan untuk mengangkat tumor tersebut beserta seluruh payudara kanannya itu dan merekonstruksinya melalui sebuah operasi besar. Namun belum tuntas ia sembuh benar, ia disambar petir kedua : menderita kanker getah bening yang membuatnya harus menjalani terapi kemo yang menyakitkan. Di tengah badai kanker, ia digalaukan dengan kegigihan Alexander Abimanyu untuk merebut cintanya. Justru pada saat ia mampu menghapus keraguannya akan perbedaan keyakinan dan kesungguhan Alex, ayahanda Dinda berpulang. Dan ketika dinyatakan sembuh, ia harus menghadapi petir kehidupan berikutnya : sang suami cinta berpulang beberapa minggu lalu karena jantung! Saya tidak kenal Alex, namun saat ia meninggal namanya membahana di facebook saya karena teman-teman yang mengenalnya mengenangnya dengan luar biasa indahnya sehingga saya penasaran dan menanyakan kepada seorang rekan siapa dia.

Perjuangan orang melawan maut memang macam-macam. Sebagian merasa kalah sebelum bertarung dan perasaan kalah ini justru membawanya lebih cepat lagi ke titik akhir. Ibu mantan kekasih saya juga terserang kanker lebih dari sepuluh tahun lalu. Saat pertama kali saya mengenalnya di akhir tahun 2000, hidupnya hanya di seputar kamar tidur. Maka kehidupan seluruh keluarga pun tersedot ke sana. Demi mendekatkan diri pada ibunda, anak-anaknya pun mengalihkan aktivitas di kamar ibunya yang besar. Maka berubahlah kamar itu menjadi ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur. Saya yang tidak biasa dengan pemandangan seperti itu, merasa semangat sang bunda tidak terbangun, lalu berkata kepadanya, "Tante, jangan dipikirkan soal mati nya. Hidup dan mati kita itu di tangan Tuhan. Tante bisa sakit bertahun-tahun, dan saya bisa sehat walafiat, namun jika Tuhan menghendaki, detik ini juga saya bisa dipanggilNya. Jadi saran saya adalah, hadapi penyakit ini dengan benar. Kita berusaha, Tuhan menentukan. Jadi tante, live life to the fullest. Putus asa sekarang juga tak ada gunanya. Mati itu bisa kapan saja, siapa kita yang menentukan kalau kita kena kanker maka kita akan mati lebih dulu dari orang lain." Maka Beliau sedikit demi sedikit bangkit, mulai keluar dari kamar dan sekarang sudah bepergian bahkan ke luar pulau untuk bisa berlebaran dengan sanak saudara mendiang suaminya. Kini, sepuluh tahun kemudian, Beliau masih dikaruniai kehidupan hingga bisa melihat cucu-cucunya lahir dan berkembang sehat. Beliau bahkan melampaui besannya yang lebih belakangan sakit dan meninggal karena kanker yang sama.

Dalam bentuk yang berbeda, saya jadi ingat paman saya, satu-satunya adik lelaki ayah yang waktu itu sudah masuk di ICCU di Bandung dengan keadaan yang begitu parah, sudah mengorok dan nafasnya tinggal satu satu. Semua orang sudah mendoakan dan membisikkan di telinganya, merelakan kepergiannya. Seperti terjadi keajaiban, Beliau melawan maut dan beberapa bulan kemudian sehat sempurna seperti tidak pernah sakit sama sekali, bahkan sekarang masih segar bugar sedang saudara-saudara yang dulu membisikkan kata rela di telinganya sebagian besar sudah mendahuluinya.

Pertarungan melawan maut juga dialami oleh mendiang bos saya, Bapak Ken Sudarto, pendiri dan pemilik Matari Inc. sebuah perusahaan periklanan nasional yang sangat dihormati hingga ke manca negara. Ketika Beliau berjuang melawan kanker limfoma nya, di tengah roller coaster perasaan yang dialami, tak ada sedikit pun terbersit di kepalanya bahwa ia akan kalah. Bahkan di detik-detik kepergiannya, ia masih sempat sms yang diteruskan oleh putri sematawayangnya Cynthia kepada saya. Bunyinya :

Hidup adalah bagaikan bendera perang
Kadang-kadang berkibar megah menantang
Kadang-kadang kotor, robek dan hampir jatuh ke tangan musuh ...
Tapi harus tetap dipertahankan dengan gagah berani - sampai ke tangan Tuhan!

Apa yang ditulis Beliau merupakan semangat yang tercermin dari lagu favorit Beliau "The Impossible Dream".

Di luar kisah gagah perjuangan ini, saya mendengar dari kakak saya, bahwa teman baiknya Freddy, salah satu pemilik group Wings, meninggal dunia karena kecolongan demam berdarah, seperti Michael Ruslim, mantan presdir Astra yang meninggal tanpa "dipersiapkan" secara mental terlebih dahulu.

Saya lalu mencoba menyarikan seluruh kisah nyata yang saya dengar selama tiga hari ini dan berkesimpulan bahwa melalui cerita-cerita tersebut saya diingatkan untuk :

1. Tidak menyia-nyiakan hidup : live life to the fullest!
2. Bahkan dalam kehidupan yang terbaik saya harus menyadari bahwa semuanya harus berakhir, tak peduli bagaimana akhirnya, dan saya harus siap (secara mental) dan rela ketika waktu yang dipinjamkan buat saya sudah berakhir.
3. Karena saya tidak tahu kapan waktu itu akan tiba, saya tidak boleh sok memutuskan sendiri dan merasa bahwa kalau ada suatu hal yang terjadi pada diri saya, maka hidup saya akan berakhir. Karena itu, balik lagi ke nomor satu : saya harus hidup dengan benar, sebaik dan sebertanggung jawab mungkin. Tidak langsung down ketika dibilang kemungkinan hidup saya tinggal sekian saat lagi. Siapa kita bisa menentukan. Cuma Tuhan yang berhak memberi dan mengambil hidup kita, karena itu saya tak boleh kehilangan semangat dan harapan di segala situasi hidup.
4. Dalam menjalani hidup, yang memagari dan menuntun saya adalah rasa syukur dan terima kasih yang tak habis-habisnya kepada Sang Pencipta atas anugerah kesempatan hidup yang diberikanNya.

Saya ingin menutup perenungan hari ini dengan sebuah kalimat yang diucapkan Lousia May Alcott dalam buku karangan Mary Anne Radmacher dan Jonathan Lock wood Huie yang berjudul, "Simply an Inspired Life" (SAIL):

"I'm not afraid of storms, for I'm learning how to sail my ship."

dan sebuah kalimat bijak yang tertera di atas sebuah kain pajangan yang selalu terngiang di hati saya:

In the end what matters most is
How well did you live
How well did you love
How well did you learn to let go...

Terima kasih tak terhingga untuk teman-teman tercinta yang sudah mau berbagi cerita nyata yang begitu inspiratif yang membuat saya lebih menghargai dan mensyukuri hidup.

2 comments:

Drs. R.Hardjoeno said...

thanks, I am alexabimanyu father

Drs. R.Hardjoeno said...
This comment has been removed by the author.