Petang ini Channel News Asia lewat acara blogtv nya mengulas topik berjudul "Stop in the Name of Love". Bekerja sama dengan yayasan sosial dan operator telepon, mereka menggelar kegiatan di berbagai tempat, menghentikan orang di jalan untuk memberi kesempatan mereka menelpon orang yang dicintainya dan mengatakan "I love You". Program ini disertai kesempatan mengungkapkan cinta melalui sms dan internet. Target penelpon adalah 500 orang, namun di akhir acara tercatat 1099 orang yang berpartisipasi, yang akhirnya digenapi oleh salah seorang narasumber muda menjadi 1100.
Yang menarik dari program ini ternyata orang Singapura, kalau bukan bisa digeneralisasi orang Asia termasuk kita, bukan orang yang ekspresif menyatakan cintanya. Mereka menganggap ekspresi cinta cukup dengan tingkah laku yang membuat pasangan, anak, kerabat dan teman mengerti bahwa mereka dicintai. Maka, ketika mereka menerima tantangan dan menelepon orang yang paling dicintainya, terbanyak ke ibu dan pasangan hidup, mata mereka pun membasah terbawa emosi haru. Mereka juga terlihat canggung dan takut akan reaksi orang di seberang telepon. Reaksinya? Sebagian besar bertanya: why? Ada apa ini? Kamu bener anakku? Karena tidak biasa menyatakan perasaan cinta, maka sekalinya kita menyatakannya, kita dicurigai, ada apa sebenarnya yang terjadi?
Saya lalu bertanya, pernahkah saya mengatakan "saya cinta" pada ayah dan ibu saya? Jawabnya tidak. Menelpon mereka? Ya, sering, secara cukup regular. Namun mengatakan cinta? Waduh, ternyata tidak pernah, mungkin karena asumsinya sebagai anak ya seharusnya cinta dong dengan orang tua kita. Oke, oke. Itu orang tua. Kepada Kakak? Tidak pernah juga, kecuali di sms masih bunyi love, juga kepada ibu saya. Mungkin sama, asumsinya sebagai saudara sudah seharusnya juga cinta. Kalau pasangan? Hmm... selama menjalin hubungan 8 tahun, saya yang lebih rajin menagih, mana kata "I love you" nya. Dan kalau sudah lama tidak terdengar, saya menggoda, kamu sebenarnya cinta saya nggak sih? Dia selalu beralasan kan cinta nggak harus diucapkan, tapi lebih baik dilakukan. Saya menukas, iya, sih, tapi sekali-sekali saya juga butuh afirmasi dan mendengar dengan telinga sendiri bahwa kamu cinta saya.
Orang bule memang lebih ekspresif dari orang Asia yang cenderung lebih banyak aturan kesantunan timurnya. Tapi dengan berkembangnya waktu seperti sekarang, rasanya batas itu sudah mulai memudar. Namun sesering kita berani menuliskan love, I love you, di sms dan bbm, ternyata kalau harus diungkapkan lewat suara, kita ciut juga nyalinya. Saya jadi bertanya mengapa? Karena budaya kita bukan budaya ekspresif? Mungkin juga. Padahal seperti saya bilang tadi, sesekali kita butuh juga menerima konfirmasi bahwa pasangan kita memang mencintai kita, tidak hanya dengan perbuatan, namun juga kata-kata. Buktinya, ketika ke tiga kata itu diucapkan, semua partisipan melelehkan air mata, sedang yang ditelpon mencoba menghalau haru dengan cara bercanda atau sok galak, dan akhirnya malu malu singkat mengatakan I love you too...
Setelah acara berakhir, saya lalu segera mengangkat telepon menghubungi ibu saya. Saya bicara ngalor ngidul padanya sambil berpikir, gimana caranya ya bilang I love you? Ini tidak ada peristiwa khusus, jadi bingung juga menyampaikannya. Beliau pasti heran kalau saya sekonyong-konyong bilang, Mam, I love you. Jangan-jangan dianggap firasat yang aneh lagi. Maka, di akhir pembicaraan yang lebih dari setengah jam itu saya bilang, okay have fun di Aussie ya... klik! telepon dimatikan. Tidak sekecap pun kata I love You yang keluar.
Arrrrrrghhhhh! Misi gagal! Saya jadi tercenung. Apa mestinya saya bilang saja ya tadi, "Mam, aku baru lihat tayangan televisi tentang orang yang mengungkapkan cinta pada orang-orang terdekatnya, dan aku jadi terinspirasi untuk bilang I love you, mom ..." Tapi saat saya memikirkannya, saya kok jadi malu dan tersipu-sipu sendiri ya? Ada apa? Mengapa saya malu mengungkapkan cinta saya pada ibu saya sendiri? Apa karena saya sudah terlalu tua untuk mengatakannya? Padahal, saya tahu kalau saya mengungkapkannya melalui suara saya sendiri, dampaknya akan sangat luar biasa bagi kami berdua. Dan jarang-jarang pula mengungkapkan hal itu. Saya sendiri, di luar surat, tak pernah mengumandangkan kata saya cinta pada mendiang ayah saya secara langsung. Semua berjalan tahu sama tahu. Bahkan ketika ayah saya meninggal, dan dalam salah satu eulogi mewakili keluarga saya mengatakan Papi, I love you, saya yang tadinya tegar menjadi berlinang air mata dan merasakan betapa dalamnya ungkapan cinta itu terekspresikan meski orang yang dituju hanya mendengarnya dari dunia yang berbeda.
Tapi tetap saja, saya seolah tak menemukan momen dan kata yang tepat untuk mengungkapkannya kepada Ibu saya sekarang. Tadinya selama beberapa menit saya mengetik kalimat-kalimat ini, saya masih saja bimbang, nelpon lagi gak ya? nelpon lagi gak yaaa? Lalu saya ambil keputusan pengecut, untuk sekarang ini saya simpan dulu ya niat mengatakan langsung pada Ibu saya. Mungkin besok deh saya telepon lagi dan mencoba sekali lagi. Moga-moga sih berhasil. Untuk sementara, saya mau mengungkapkannya lewat blog ini saja dulu : Mom, I love you so very much with all my heart and soul!
Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Anda? Ayo, coba dong sekarang juga pencet telepon genggam Anda dan langsung hubungi orang tercinta untuk mengungkapkan secara verbal rasa cinta Anda, dan kalau sudah, bagi-bagi resep ya dengan saya ... karena saya baru sadar, meski sudah melanglang buana, saya ini kok masih sangat Asia sekali ya?
No comments:
Post a Comment